“Adrian.. Aku mencintaimu.”
Aku memandang wajahnya, tersenyum, “Aku tahu, Dilla.”
“Lalu apa lagi yang kurang? Kita tetap bisa bersama bukan? Seperti yang selalu kau katakan untukku?”
Aku masih memandang wajah Dilla, bisa kurasakan sentuhannya di tanganku menguat. Dia takut kehilanganku. Lalu bagaimana dengan diriku? Apakah aku juga takut kehilangan dia? Aku mendesah, “Entahlah. Aku merasa ada yang salah.”
“Apalagi? Tidakkah cinta kita cukup? Mamamu akan merestui kita. Kita akan menjalin hubungan serius karena kita saling mencintai. Bukan seperti yang terjadi antara mama dan papamu. Dan kita bisa hidup bahagia.”
Kepalaku mulai berdenyut. Jika Dilla sudah membahas tentang ini lagi. Maka akhirnya kami akan hanya akan saling beradu argumen dan berakhir dengan suara bantingan pintu dan dia keluar dari apartemenku dengan marah. Dia selalu seperti itu. Keras dan tak ingin keinginannya dibantah. Namun aku juga tidak bisa begitu saja mengiyakan apapun perkataannya.
Ada begitu banyak masalah di dalam kepalaku yang saling terhubung dengan semua yang dikatakannya. Aku mencintainya, aku tidak bisa berbohong tentang hal ini. Tapi untuk berhubungan serius dengannya?
Aku menggeleng pelan, “Aku punya Nuna, Dilla.”
Seperti dugaanku, wajahnya mengeras. Kedua alisnya saling tertaut dan Dilla melepaskan pegangan tangannya di lenganku dengan kasar, “Nuna? Perempuan itu lagi??” katanya dengan nada suara tinggi. Dia nampak frustasi denganku, setengah kesal selebihnya mungkin marah, sedih atau entah apa, “Aku tidak percaya kau masih memikirkannya. Aku pikir kau hanya mencintaiku sekarang. Tapi ter—“
“Aku mencintaimu. Kau tahu pasti hal itu, Dilla. Tapi Nuna juga merupakan bagian yang penting dalam hidupku.” Kataku pelan, mulai lelah berdebat dengannya. Entah kenapa dia suka sekali membahas tentang hubunganku dengan Nuna dan aku mulai merasa tidak nyaman dengan hal ini.
Mata Dilla menyipit, memandangku tak percaya, “Lalu aku? Apakah aku tidak penting bagimu? Apakah aku masih di bawah perempuan itu di dalam kehidupanmu?”
Aku menyentuh bahunya dengan sabar, aku benar-benar sedang tidak berminta untuk bertengkar dengannya. Aku ingin tidur dan membiarkan semua masalah dalam kepalaku melebur sejenak, “Dilla, kumohon.“
Tapi bukannya mereda, kemarahannya semakin menjadi. Dengan kasar dia menyentakkan tangannku, bangkit dari sisiku dan berjalan marah menuju pintu. Aku mendesah, sudah nyaris kehilangan kesabaranku. Mendadak aku sadar bahwa suara langkah kaki Dilla menghilang, dia berdiri diam beberapa meter dari pintu kamarku.
“Nuna.”
Aku tidak sempat berpikir. Mendadak segalanya terasa berputar. Bagaimana aku bisa terjebak dalam situasi seperti ini? Sejak kapan Nuna berdiri di sana? Apakah dia mendengar semua percakapanku dengan Dilla? Apakah dia—
“Jadi kau ada di sana.” Suara Dilla terdengar dingin. Tak lama kemudian dia berbalik ke arahku, “Bukankah ini saat yang tepat untuk membuatnya tahu yang sebenarnya?”
Keningku berkerut. Tidak. Aku maju dengan cepat menyadari apa yang mungkin saja akan dikatakannya, “Apa maksudmu? Jangan macam-macam, Dilla.” Desisku dengan marah setelah mencengkeram tangannya.
Tapi Dilla seperti sudah kehilangan kontrol akan dirinya ketika dia menyentakkan tanganku sekali lagi dan berbalik, berjalan ke arah Nuna yang hanya memandangi kami dengan tatapan nanar, tatapan yang beberapa tahun ini menghantuiku akan rasa bersalah.
“Nuna, kau hanya masa lalu bagi Adrian. Kau harusnya pergi dan menjauh dari hidupnya. Hanya akan ada aku di masa depan Adrian dan kau, harusnya cukup tahu diri untuk pergi karena Adrian sudah tidak pernah mencintaimu lagi. Dilla hanya mencin—“
PLAK.
Aku bahkan butuh beberpa detik yang lama untuk menyadari apa yang sedang terjadi. Untuk pertama kalinya aku melihat Nuna dengan mata berbias setegas itu. Aku bahkan hanya diam ketika dengan gontai dia berbalik meninggalkan aku dan Dilla dalam keheningan yang seolah mencekik.
Tanpa menunggu lebih lama, aku berlari mengejar Nuna. Aku tidak akan membiarkan dia pergi. Tidak Nuna. Jangan Nuna. Mendadak aku merasa takut, aku tidak bisa kehilangan Nuna.
“Adrian!”
Suara panggilan Dilla menghentikanku, aku berhenti namun tidak berbalik.
“Kau seharusnya tahu dimana posisimu yang sebenarnya, Dilla.”
Aku tahu aku terdengar tidak berperasaan. Tapi masa bodoh. Aku tidak akan melepaskan Nuna. Tidak akan pernah. Hanya Tuhan yang tahu seberapa besar sesungguhnya aku memuja wanita itu. Nuna adalah duniaku. Duniaku yang sebenarnya. Dan aku tidak perlu mendengarkan apapun lagi dari mulut Dilla. Aku kembali berlari mengejar Nuna.
Kubuka pintu apartemenku dengan kasar dan melihat Nuna nyaris mencapai lift, “Nuna!!” teriakku keras. Aku yakin dia bisa mendengarku, namun dia mengabaikannya. Aku bisa melihat dia mempercepat langkahnya. Setengah memaki, aku berlari semakin kencang, menyusul Nuna.
“Nuna!” Aku menangkap tangannya dan memaksanya berhenti. Namun Nuna malah meronta dan membuatku melepaskan tangannya.
“Apa lagi?” Nuna berteriak marah namun aku bisa melihat air mata sudah membasahi wajahnya yang terlihat lelah. Matanya menatapku lurus dan aku melihat kekecewaan yang amat besar di bola matanya.
“Nuna.” Aku mencoba meraihnya, namun dia malah memundurkan tubuhnya seolah-olah aku akan meremukkan tubuhnya yang kusadari nampak lebih kurus dari biasanya. Apakah selama ini Nuna tidak makan dengan baik?
“Nuna..” Aku memanggilnya lagi dengan lebih lembut, “Nuna, maafkan aku.”
Namun Nuna hanya terdiam sebelum dia memalingkan wajahnya dariku, “Tidak. Kau tidak perlu minta maaf, Adrian. Aku yang harusnya minta maaf. Perempuan itu benar. Aku harusnya cukup tahu diri untuk pergi dan membiarkanmu bersamanya.”
Apa yang tadi dia bilang?? Aku menggeleng, “Tidak. Bukan seperti itu. Aku bisa menjelas—“
“Sudahlah.” Nuna mundur menjauh, “Aku lelah, Adrian. Aku bersabar untuk semua yang terjadi di antara kita. Aku bersabar ketika semua perempuan-perempuan yang bukan aku mengelilingimu. Aku berpikir bahwa masih ada harapan di antara kita. Tapi..” dia mendesah, benar-benar terlihat putus asa dan aku merasa menjadi laki-laki paling brengsek di dunia dengan membuatnya mengalami hal ini.
“Mungkin aku salah. Tidak ada harapan di antara kita. Tidak ada yang tersisa di antara kita kecuali ingatan-ingatan yang ada di masa lalu.”
“Nuna—“
“Mungkin inilah saatnya kita melepaskan semua itu. Nikmatilah hidupmu, Adrian. Pergilah dengan siapapun yang kau inginkan. Tidak akan ada lagi aku yang menjadi bebanmu. Ketika tante Amy bangun nanti, aku yang akan menjelaskan padanya bahwa ini keputusanku. Aku tahu dia akan mengerti.”
“Kau tidak bisa memutuskan semua ini begitu saja.” Aku membentaknya dengan keras. Untuk apa dia berkata seperti itu? Aku hanya menginginkannya, bukan Dilla atau bahkan ribuan wanita lain. Aku hanya membutuhkanmu, Nuna.
Aku langsung meraih tangan Nuna dan mengabaikan tatapan terkejutnya, “Nuna, aku hanya mencintaimu.” Ucapku pelan. Entah kenapa aku merasa lelah dengan semua ini. Aku merindukan Nuna dan semua waktu yang menghilang diantara kami hanya karena keegoisanku.
Namun aku justru melihat Nuna menggeleng. Tanpa sepatah kata apapun dia melepaskan genggaman tanganku. Setetes air matanya membasahi punggung tanganku. Dia benar-benar tidak mengatakan apapun lagi. Dia berbalik. Melangkah dengan tegas ketika meninggalkanku yang terpaku menatapnya. Aku tidak tahu harus melakukan apa lagi. Aku melihat wajahnya yang masih basah oleh air mata ketika pintu lift menutup membawanya meninggalkanku.
Meninggalkanku?
***
“Keluar dari apartemenku.” Aku bicara tanpa menatap Dilla. Sudah berpuluh-puluh menit berlalu sejak Nuna meninggalkan apartemenku. Tapi aku hanya diam dan menekuk wajahku, membiarkan dua tanganku menyangga kepalaku yang berdenyut-denyut memusingkan.
“Adrian, please.”
Aku kehilangan kesabaranku pada Dilla yang sejak tadi tidak mau meninggalkanku dalam diam dan malah merajuk, mengomel, dan membuat kepalaku semakin ingin pecah. Aku mengangkat wajahku, menatapnya, ”Keluar dari apartemenku.” Ulangku dengan lebih tegas.
Tapi mata hitam Dilla justru menatapku dengan tajam, “Jadi seperti ini akhirnya?” bibirnya menipis, matanya tak berkedip mengunciku dalam pandangannya, “Sejak awal memang akhirnya akan seperti ini bukan? Semua kata cinta yang kau ucapkan padaku hanya omong kosong. Kau memang selalu seperti itu, Adrian.”
Aku membuang nafas, menyandarkan punggungku ke belakang dan membalas tatapannya dengan datar, “Pulanglah, Dilla. Aku benar-benar tidak berminat bertengkar denganmu sekarang.”
“Brengsek kau, Adrian. Kau pikir aku ini pelacurmu yang bisa saja kau suruh pergi dan datangsesuai kemauanmu. Aku ini kekasihmu. Sialan kau.”
Aku diam. Mulai kehilangan kesabaranku. Namun aku menahannya dan hanya mengatur pernafasanku agar aku tidak kehilangan kendali atas diriku.
Dilla menatapku semakin berapi-api, “Dan perempuan itu.. Si Nuna sialan itu—“
“Cukup!” bentakku. “Jangan pernah menyebut nama Nuna dengan mulut kotormu itu. Keluar dari apartemenku sebelum aku kehilangan akal sehatku.”
Aku bangkit dari dudukku dan meninggalkan Nuna tanpa menoleh lagi. Jika kubiarkan diriku lebih lama dengannya, aku tidak tahu apakah aku akan cukup punya ketangguhan untuk tidak memukulnya. Dan dalam kehidupanku, aku tidak akan pernah mau melakukan tindakan hina itu. Memukul perempuan? Tidak akan pernah.
Kubanting pintu kamarku sebelum menguncinya. Aku tidak ingin Dilla menerobos masuk ke dalam sini dan membuat segalanya semakin buruk. Dengan lelah dan marah, kubanting tubuhku ke atas tempat tidur besarku, mencoba memejamkan mata. Melupakan pertengkaranku dengan Nuna dan Dilla dan berharap ketika matahari terbit besok, segalanya akan menjadi lebih baik. Lebih baik. Semoga.
***
“Bu Nuna benar-benar sedang tidak ada di kantor, pak Adrian.” Suara sekretaris Nuna terdengar seperti angin lalu bagiku. Aku tidak memandangnya dan langsung menerobos masuk ke ruangan Nuna. Sialnya dia benar, ruangan berbau hutan pinus ini kosong. Kursi Nuna kosong.
Aku berbalik, menatap si sekretaris yang sebelumnya tergopoh mengikutiku, “Dimana dia?”
Perempuan itu menunduk, “Bu Nuna menelepon dan mengatakan dia ada pekerjaan mendadak di luar kota.”
“Tanpa sekretarisnya?” kedua alisku terangkat. Tidak mempercayai kata-katanya. Aku tahu, setelah kejadian kemarin, Nuna pasti akan menghindariku dengan cara apapun. Dan aku sudah bersumpah aku tidak akan menyerah. Aku harus mendapatkan Nunaku kembali. Bagaimanapun caranya.
“Bu Nuna pergi bersama Pak Wijaya dan melarang saya ikut. Menurut beliau, saya harus di sini dan mengatur ulang semua jadwalnya dan menyelesaikan beberapa pekerjaan kantor yang ditugaskan beliau.”
Aku menyipit, mencari tanda-tanda kebohongan darinya. Tapi perempuan ini sama sekali tak terlihat gugup atau bagaimana, dia mengucapkan semuanya dengan lancar. Dia tidak berbohong. Aku tahu itu. Aku ahli dalam membaca mimik muka dan bahasa tubuh seseorang.
Tanpa mengajukan pertanyaan apapun lagi, aku melangkah meninggalkan ruangan Nuna. Aku berniat pergi ke rumahnya, jika dia benar-benar pergi dengan papanya, aku akan mencari tahu kemana mereka pergi. Nuna tidak boleh lari dariku. Aku tidak akan membiarkannya. Nuna adalah milikku. Dulu, sekarang bahkan nanti. Nuna akan selalu menjadi milikku.
***
Aku memijit pelipisku dengan frustasi, Bi Narsih tergopoh datang dengan segelas teh hitam hangat dan meletakkannya hati-hati di atas meja di dekatku.
“Nak Adrian ndak apa-apa? Apa perlu bibi pijit? Atau mau bibi ambilkan obat?”
“Tidak, bi. Aku tidak apa-apa.” Ucapku sambil tersenyum. Namun wajah perempuan paruh baya yang sudah hampir dua puluh tahun lebih mengabdi di keluarga Nuna ini, masih terlihat sangat khawatir.
“Saya benar-benar ndak tahu kemana tuan besar dan non Nuna pergi. Mereka pergi pagi-pagi sekali dengan koper-koper besar. Saya kira malah mereka mau ke luar negeri.”
Senyumku menghilang, “Ke luar negeri, bi?”
Bi Narsih mengangguk, “Kemarin non Nuna pulang tengah malam lebih dengan muka sembab dan mata merah seperti habis menangis seharian. Saya ndak tahu apa sebabnya karena tuan menyuruh saya pergi, mereka bicara berdua. Lalu tahu-tahu paginya, sudah siap pergi dan ndak bilang apa-apa. Saya ndak tahu pasti mau kemana. Saya hanya nebak kalau tentang yang luar negeri.”
Kepalaku semakin berdenyut menyakitkan. Aku meraih tehku dan meneguknya seperti orang yang nyaris mati kehausan. Jika memang benar apa yang dikatakan bi Narsih, maka kemungkinan besar papa sudah tahu tentang masalahku dengan Nuna. Apa yang dipikirkan papa tentangku sekarang? Kemana mereka pergi sebenarnya?
Aku menyandarkan kepalaku ke belakang, mengamati ruangan ini beberapa detik dan sepertinya aku butuh sesuatu untuk membuat sakit kepalaku menghilang. Aku bangkit, menuju ke bagian dalam rumah Nuna. Bi Narsih membiarkanku dan kembali pada tugasnya. Aku melangkah menuju kamar Nuna. Pintu ruangan itu tertutup rapat, aku menyentuh pegangan pintu dan menggerakkannya, tidak dikunci.
Dengan satu gerakan, pintu itu terbuka, bau khas pengharum ruangan Nuna menyapaku. Aku tersenyum, Nuna selalu suka bau hutan pinus. Pelan, aku melangkah ke dekat tempat tidur Nuna dan duduk di tepiannya. Mendadak pandanganku tertuju pada sebuah foto yang terbingkai indah dan berdiri nyaman di atas nakas. Aku meraihnya.
Seorang wanita cantik dengan dua anak kecil dalam rangkulannya, Nuna dan aku. Mama tersenyum begitu lebar dan dari wajahnya, aku bisa melihat dia begitu bahagia. Ketika kedua tangannya merangkul kami, tanganku dan tangan Nuna justru saling bertautan erat. Mata Nuna menyipit diantara tawanya dan aku bukannya melihat ke arah papa Nuna yang ketika itu memotret kami, namun malah melirik mengamati Nuna dan tersenyum.
Aku ingat benar momen ini. Setiap tawa dan canda diantara kami. Semua kebahagiaan ketika itu datang seperti aliran sungai musim hujan, berlimpah. Namun sekarang? Aku meletakkan kembali foto itu ke tempatnya. Aku merindukan semua momen yang kami miliki dulu. Jika bukan karena laki-laki sialan itu, aku dan Nuna pasti sudah menikah. Mama mungkin sedang sibuk memaksa kami untuk segera memberinya cucu dan papa Nuna hanya akan tersenyum.
Hanya gara-gara laki-laki sialan itu dan pelacur murahannya, semua kehidupan kami berantakan. Mama kehilangan cahaya hidupnya dan aku kehilangan Nuna. Nuna..
Pelan, kubaringkan tubuhku di atas tempat tidur Nuna. aku mencium bekas aroma rambutnya di bantal. Aku mencium aroma tubuhnya. Nuna. Sebesar inikah sesungguhnya aku membutuhkannya? Kenapa rasanya semuanya sia-sia jika aku tidak memiliki Nuna di sampingku? Ada kekosongan yang tidak bisa diisi perempuan manapun.
Kupejamkan mataku dan mencoba membayangkan Nuna di sampingku. Memelukku seperti biasanya. Menenggelamkan kepalanya di dadaku dan tidak mengatakan apapun, seperti kebiasaannya. Aku mendesah, Nuna.. maaf.
***
“Mama, kenapa bawa kamera segala sih?”
“Ya buat foto-foto dong.”
Aku memberengut, “Aku tidak suka difoto.”
Mama tertawa, “Tapi Nuna paling suka difoto. Apakah kau tidak ingin melihat Nuna senang?” mama menyenggol lengannku dan mengedip.
Aku mengalihkan tatapanku ke arah Nuna yang tengah sibuk dengan papanya, entah melakukan apa. Dia tertawa, dan aku seperti melihat malaikat. Nuna seolah memakai baju putih dan ada sayap di punggungnya. Mama sering bercerita bahwa malaikat adalah makhluk serba putih penebar kebahagiaan denga sayap indah di punggungnya. Dan di mataku, Nuna adalah malaikat. Aku selalu bahagia jika Nuna ada. Maka Nuna adalah malaikat. Malaikatku.
“Nuna sayang!!”
Suara lengkingan teriakan mama membuat kepalaku sakit dan aku berbalik dengan wajah protes, “Mama..” Tapi mama hanya mengangkat bahunya. Beberapa detik kemudian aku mendengar derap-derap langkah Nuna yang berlari ke arah kami, “Kita makan?”
Aku memutar bola mataku, “Nuna gendut, makan terus.”
Nuna memajukan bibirnya dan aku berusaha dengan keras menahan diri untuk tidak tertawa melihat perubahan wajahnya, “Adrian jelek, aku tidak gendut.” Bantahnya.
“Makannya nanti, kita foto-foto yuk.” Mama menyentuh bahu Nuna dan mengangkat kamera di tangan yang satunya. Dalam sedetik wajah Nuna langsung sumringah, dia melompat, “Ayo tante, ayo. Papa!! Papa sini.”
Papa Nuna hanya menggeleng-geleng melihat tingkah putrinya, “Sini papa yang fotoin.”
Mama tertawa kecil, “Arya Wijaya sang fotografer.” Ucap mama sambil mengulurkan kameranya. Papa Nuna ikut tertawa, “Dan kau Amidytha, juru masak.”
Meskipun aku dan Nuna tidak terlalu paham pembicaraan mereka, kami ikut tertawa ketika mereka berdua tertawa. Nuna tertawa melihat papanya dan mamaku tertawa, tapi aku tertawa karena Nuna tertawa. Aku ingin berbagi tawa dengan Nuna.
“Kemari-kemari.” Mama menarikku dan Nuna mendekat. Mama merangkul erat tubuh kami dari belakang.
“Sudah siap?”
Mama mengangguk, “Siap.”
“Satu..”
Mama dengan jahilnya mengelitik pinggang Nuna yang langsung bergerak tidak karuan sambil tertawa menahan geli.
“Dua..”
Mama menahan tubuh kami dalam dekapannya. Nuna masih tertawa, terbahak tapi tangannya menarik tanganku dan mengenggamnya erat. Aku menatap Nuna.
“Tiga..”
Di sana tetap ada malaikat, dan malaikatnya sedang tertawa bahagia.
***
Apa Nuna masih belum kemari?”
Martha menggeleng sambil masih memeriksa keadaan mama, “Aku melihatnya terakhir kali ke sini ketika kau datang bersama perempuan asing yang hobi mengomel itu.”
Aku tertawa, “Kau tidak menyukainya?”
Martha menghentikan aktifitasnya, mengangkat alisnya, “Aku berada di pihak Nuna.”
“Tidak diragukan.”
Aku bisa melihat Martha tersenyum. Dia melanjutkan kembali tugasnya memeriksa keadaan mama dan mencatatnya dalam kertas yang dibawanya. Sementara itu, aku mengalihkan pandanganku ke wajah mama. Kuulurkan tanganku dan membelai wajahnya yang tirus dan pucat.
“Kalian bertengkar?”
“Tidak juga.”
Martha menurunkan kertas catatannya, mengamatiku, “Lalu?”
“Hanya salah paham.”
Bisa kudengar suara helaan nafas Martha dan suara langkahnya mendekat kepadaku, “Salah paham tidak terjadi terus menerus, Adrian.
Aku menoleh, memandang Martha dengan kening berkerut, tidak memahami maksud perkataannya. Martha menatapku dengan lembut, “Kasian Nuna, Adrian. Berhentilah membuat dia sakit hati. Nuna mungkin saja terlihat tegar dan kuat, tapi wanita selalu punya batas untuk semua ini. Jangan sampai kau terlambat menyadari arti Nuna dalam kehidupanmu.”
Dan sepertinya itu sedang terjadi sekarang.
“Aku ingin memperbaiki semuanya.” Sahutku singkat, kembali memandang wajah mama.
“Kuharap seperti itu.” Kata Martha sambil menepuk bahuku pelan, “Aku harus memeriksa kondisi harian pasien lain.”
Aku mengangguk tanpa menoleh. Begitu suara pintu yang ditutup pelan terdengar, aku membenamkan wajahku ke tangan mama. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Ini sudah nyaris tiga minggu sejak Nuna melangkah meninggalkan apartemenku dan aku masih belum bisa bertemu dengannya sekalipun.
Papanya sudah kembali, tapi beliau sama sekali menolak berbicara denganku. Bahkan menyuruh petugas keamanan kantornya mengusirku ketika aku terus memaksanya memberitahuku dimana Nuna berada. Beliau bahkan memberi perintah kepada semua petugas keamanan di akntornya untuk melarangku melangkahkan kaki ke perusahaan mereka. Bahkan pintu pagar rumahnya juga terlarang untukku sekarang. Satpam rumah itu menggeleng tegas ketika aku mengedor-gedor pagar rumah mereka. Bi Narsih hanya mengucapkan maaf dan memintaku untuk jangan datang dulu untuk sementara.
“Aku harus bagaimana, ma?”
Aku merajuk, di depan mama, kulepaskan semua topeng kekuatanku. Aku hanya seorang anak laki-laki kecil dan bukannya pria dewasa di depan mama. Dan aku tidak malu mengakui itu. Aku mengenggam lengan mama, tanpa mengangkat kepalaku, “Mama.. bukalah matamu dan katakan kepadaku apa yang harus kulakukan? Nuna pergi dariku dan dia berniat untuk pergi selamanya dariku. Bangunlah ma, dan cegah dia. Bangunlah ma, dan bantu aku. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi sekarang. Tolong ma, kumohon bangunlah dan tolong aku. Tolong aku, ma..”
Aku membenamkan wajahku makin dalam. Mama.. kumohon..
***
Kami tidak bisa melacak keberadaan ibu Nuna, pak Adrian. Kami sudah melakukan segala cara dan upaya namun bu Nuna seperti menghilang ditelan bumi. Bahkan ruang kantornya sudah ditempati orang lain.”
Aku mencengkeram gelas berisi bir di tanganku dengan kuat dan menaruhkan ke atas meja dengan membantingnya, “Aku tidak mau tahu. Aku membayar kalian untuk menemukannya maka itulah yang akan kalian lakukan.”
Dua detektif bayaran di depanku menundukkan kepalanya makin dalam.
“Aku ingin tahu dimana Nuna atau aku berjanji akan membuat hidup kalian tidak tenang. Kalian tahu siapa aku dan aku bukan orang yang akan melanggar janjiku begitu saja.”
Mereka mengangguk, “Iya, pak Adrian.”
“Pergi dan cari dimana Nuna berada sekarang. Bahkan jika diujung dunia sekalipun, kalian harus tahu.” Bentakku makin keras. Mereka berdua mengangguk dan tergopoh keluar dari ruanganku. Dadaku bergemuruh tidak menyenangkan. Aku bangkit dan meraih kunci mobilku. Aku harus pergi atau aku bisa menghancurkan seluruh isi ruang kantorku hanya untuk menghilangkan kemarahanku.
***
Aku menatap sekitarku sekali lagi. Rumah minimalis sederhana dengan taman kecil penuh bermacam-macam bunga yang ditata dengan apik. Suara gemuruh ombak terdengar meskipun samar, angin menyapu sisi wajahku dan aku mengeratkan jaketku. Aku menarik nafas panjang sebelum melangkahkan kakiku mendekat ke pintu, menjulurkan tanganku dan menekan bel di samping pintu.
Satu, dua, tiga.. aku menghitung tanpa suara. Jantungku berdetak tak teratur dan aku setengah ketakutan setengah berharap. Ini hampir tiga bulan dan akhirnya aku bisa mendapatkan sedikit informasi tentang keberadaan Nuna. Jika ini salah lagi, aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku sudah melakukan segalanya. Aku memohon pada papa Nuna, merendahkan harga diriku. Tapi laki-laki itu menggeleng lemah, menatapku dengan simpati.
“Aku hanya menuruti permohonan anakkku, Adrian.”
Nuna yang ingin menghilang dari kehidupanku. Dan aku tidak akan menjadi orang bodoh gila untuk kedua kalinya dengan membiarkannya melakukan itu. Aku pernah sekali menjadi orang bodoh gila dengan menyakiti dan membuat Nuna menyerah akan hubungan kami. Tapi sekarang, aku bersumpah demi semua yang kumiliki, aku tidak akan pernah menyakiti Nuna lagi jika aku memilikinya kembali.
Persetan dengan semua dendamku pada pelacur-pelacur sialan yang membuat hidup mama dan hidupku menjadi begini berantakan. Aku tidak akan peduli lagi. Pada akhirnya aku menyadari bahwa dalam usahaku membalas dendam kepada tiap-tiap mereka, aku telah menjadi jelmaan laki-laki brengsek yang dulu pernah kupanggil papa. Dan sialnya, aku melukai Nuna, menyadarinya dan membiarkannya begitu saja. Lalu jika seperti itu, apa bedanya aku dengan si brengsek?
Demi Nuna.. aku akan melupakan semua sakit hatiku. Aku menangis dan memohon maaf pada mama. Kuharap mama mengerti. Mama akan paham alasanku berhenti membalas dendam, mama akan mengerti karena kulakukan ini semua demi Nuna yang teramat disayanginya, Nuna kami.
Kulepaskan semua dendam, sakit hati, amarah dan Adilla. Dilla.. aku nyaris melupakan nama itu karena semua kepala dan dadaku hanya dipenuhi nama Nuna. Namun sebelum mendatangi rumah ini, kuputuskan mengunjungi apartemen Dilla. Meski akan terlihat kejam, aku harus dan sudah pasti akan melepaskannya. Dilla bukan apa-apa jika dibandingkan Nuna untukku. Jika Dilla adalah negara ini, maka Nuna adalah semesta.
Mata Dilla menatapku terkejut ketika mendapati aku berdiri di depan pintu apartemennya. Sedetik kemudian, dia langsung memelukku dan menciumku seolah aku akan mati atau entah apa. Namun aku membiarkannya melakukan itu. Dia menyeret tanganku, membimbingku masuk ke apartemennya dengan wajah paling sumringah yang sanggup aku lihat..
“Kenapa ngga bilang kalau mau datang? Aku bisa masak masakan kesukaan kamu. Suka sekali bikin kejutan. Tahu kau datang, aku bisa ke salon dulu, aku mung—”
Aku menghela nafas, “Dilla..” potongku pelan, berhenti melangkah.
Dilla berbalik, raut wajahnya berubah. Dia pasti sudah bisa menebak apa yang akan kukatakan dari nada suara yang kugunakan. Dia menatap lurus ke kedua mataku, menggeleng dan bergerak meninggalkanku. Duduk ke sofa panjang, mengusap wajahnya dengan lelah. Aku menyusulnya, duduk di sampingnya. Tapi aku tidak bisa melakukan apapun untuk membuatnya lebih baik. Aku tidak bisa. Atau segalanya akan semakin sulit untuk Dilla.
“Kau mengusirku dari apartemenmu. Kau menolak bertemu denganku di kantormu, kau bahkan tetap tak mau menemuiku meski aku sudah berdiri menunggu di depan pintu apartemenmu selama berjam-jam. Aku bersabar. Tak pernah menyerah. Hari demi hari hingga sekarang. Hampir tiga bulan dan aku tetap tidak pernah menyerah untuk mendapatkan hatimu kembali, Adrian. Lalu kau datang dan aku seolah merasa akan dihakimi. Apakah kau akhirnya akan membuangku untuk selamanya sekarang?”
“Dilla..”
Dilla menatapku, aku bisa melihat matanya berkaca-kaca. Untuk pertama kalinya aku mengenal Dilla, aku melihatnya seperti ini. Dalam kepalaku, dia sosok wanita paling keras kepala, sulit dibantah, tegas, mandiri meskipun kadang suka merajuk dan manja jika denganku.
Dengan tangannya yang biasa menyentuh dan memelukku, dia menahanku untuk melanjutkan kata-kataku, “Apakah aku saja tidak bisa membuatmu merasa puas, Adrian? Apa kurangku? Aku akan memperbaiki segalanya, aku akan mengalah. Aku tidak akan bertingkah menyebalkan lagi. Kumohon Adrian, tinggallah bersamaku dan kita bisa menjadi keluarga yang bahagia, aku, kau, mamamu dan anak-anak yang mungkin akan kita miliki.”
Aku menghela nafas panjang, melepaskan cengkraman tangan Dilla dari lenganku, “Aku mencintaimu, Dilla. Aku menyayangi dan mengagumimu. Tapi bagiku, Nuna adalah segala cinta dan kebutuhanku. Setelah dia menghilang dari hidupku, aku baru memahami seberapa besar aku tergantung padanya. Dan aku tahu aku—“
“Jadi kalau aku yang menghilang dari hidupmu, itu bukan masalah bagimu.” Nada suaranya meninggi.
“Dilla.” Aku memegang kedua bahunya, memaksanya melihat ke kedalaman mataku dan merasakan bagaimana perasaanku sesungguhnya. Dia adalah satu-satunya wanita yang bisa menyentuh hatiku setelah Nuna. Aku mengenal dan dekat dengan puluhan wanita lain tapi hanya dia yang mampu membuat perbedaan.
“Akan ada laki-laki lain yang—“
“Persetan dengan laki-laki lain, aku hanya menginginkanmu.”
“Dilla.” Kunaikkan nada suaraku dan aku bisa melihat air matanya mulai membasahi pipinya, “Kumohon..” pintaku, “Entah Nuna mau menerimaku kembali atau tidak. Tapi aku sudah pasti tidak akan pernah bisa bersamamu lagi. Aku menyesal membuatmu terlibat dalam hidupku yang berantakan ini. Maafkan aku Dilla, hanya padamu aku pernah mengucapkan maaf. Dan kau harus tahu bahwa aku tulus. Aku memilih Nuna.”
Dilla terisak dan air matanya jatuh semakin banyak. Bahunya berguncang hebat. Aku mendekatkan kepalaku, dahi pada dahi dan bergerak menjauh setelah mengecup di pipinya dengan sangat lembut, “Aku menyayangimu.” Bisikku pelan, “Hiduplah dengan baik dan temukan laki-laki yang tepat. Jangan pernah menjalin hubungan dengan laki-laki brengsek seperti aku lagi.”
Tak ada kata-kata dan dia hanya menangis. Bahkan ketika aku beranjak dan melangkah keluar dari apartemennya, dia masih diam dalam tangisannya. Aku menutup pintu apartemennya, Dilla akan mengerti meski ini sangat sulit baginya.
Lalu sekarang, setelah hampir tiga jam perjalanan udara dan satu jam lebih mengendarai mobil, aku berada di sini. Dalam ketidakpastian apakah pencarianku akan berhenti di sini atau aku harus mencari dan mencari lagi.
Ketika awal Nuna pergi, dengan uang dan koneksi yang kumiliki aku bisa melihat semua daftar nama orang dalam penerbangan ke luar negeri di hari dimana Nuna pergi, namun tidak ada namanya di sana dan aku tahu, Nuna tidak pergi sejauh dugaanku. Kemudian butuh tiga bulan hampir lebih, dan aku akhirnya menemukan alamat ini.
Aku masih menghitung ketika pintu rumah ini terbuka, “Kenapa harus pencet be—“
Suara yang paling kurindukan itu berhenti. Nafasku berhenti, jantungku berhenti, waktu berhenti. Aku membeku. Berubah jadi batu sebelum aku nyaris menubruknya dan menenggelamkannya dalam pelukanku, “Nuna..”