September 2012
Aku menjalinnya lagi. Kisah cinta yang dulu pernah meninggalkanku. Aku memaafkannya lagi, meski dulu dibuatnya aku habis sampai tak bisa lagi mengenali apa itu kebahagiaan. Menerimanya dengan tangan terbuka.Tanpa syarat.Tanpa keluhan.
Entah apa yang merasukiku sampai segila ini aku bersedia kembali padanya. Padahal dulu, ketika dia putuskan meninggalkanku dan meraih tangan perempuan lain, aku sudah kehilangan kepercayaan kepadanya. Aku kira aku sudah kehilangan semua cintaku padanya ketika kutahu tangan perempuan yang diraihnya itu adalah tangan sahabatku sendiri. Aku kira aku sudah kehilangan semua kekagumanku padanya. Tapi rupanya aku salah.
Ketika beberapa bulan kemudian sejak kejadian itu, sebuah kata maaf, serangkaian kalimat rindu dan alinea penuh cinta dihaturkannya padaku, aku menangis. Aku menangis karena aku sadar ada satu titik dalam hatiku yang bergetar hebat. Dia tak bicara tentang kenapa dulu dia meninggalkanku dan memilih sahabatku, tapi kurasa aku juga tak ingin tahu itu. Cukup bagiku mendengar kembali suaranya dan ketulusannya untuk dengan sadar berkata, “Ya, aku memaafkanmu.”. Cukup dengan semudah itu dan aku tahu, sejauh ini ternyata aku memang tak pernah bisa berhenti mencintainya. Hanya kamuflase, untuk menutupi lukaku, ketika dulu mungkin kukatakan aku membencinya. Hanya kebohongan untuk melindungi perasaanku sendiri.
Mungkin juga karena kenangan bersamanya masih hidup begitu kuat di dalam diriku sehingga aku tak pernah bisa menganggapnya jahat meski dia banyak bersikap buruk padaku. Mungkin kenangan bersamanya itulah yang selama ini melindungi perasaanku padanya. Kenangan kebersamaan kami. Dan Jogjakarta selalu jadi satu kata kunci untuk semua kenangan itu. Sebab disanalah, disanalah semua hal-hal indah itu bertunas. Lalu tumbuh menjadi kenangan yang membuatku memaafkannya.
***
Kamis, 26 Januari 2012.
Aku melihatnya kembali. Menemukan lagi mata hitam tajam miliknya. Diantara keriuhan orang-orang di depan Indomaret Janti, fokusku jatuh hanya padanya. Dia, diatas sepeda motornya. Tersenyum ketika aku mendekat, dan masih dengan tersenyum diulurkannya sebuah helm kepadaku dan berkata, “Sudah lama nunggu, de?”. Aku menggeleng, “Baru beberapa menit kok.” Jawabku sambil menerima helm itu. Kemudian percakapan basa-basi singkat membuka banyak percakapan lainnya sebelum aku beranjak naik ke atas sepeda motornya.
Ketika itu dia menjemputku. Menjemputku yang datang ke kotanya untuk menghabiskan seminggu liburan kuliahku disana. Aku memilih Jogja karena disanalah aku bisa bertemu dengannya. Karena hanya dengan datang ke Jogja-lah aku bisa menghapus jarak yang selama ini terbentang diantara kami. Selama ini aku kuliah di Surabaya sementara dia kuliah di kota pelajar ini.
Kuakui LDR memang sulit, komunikasi yang kurang, pertemuan yang jarang, rindu yang sukar terbayar lunas, dan kepercayaan yang terbatas membuatku kadang meragukan pilihan ini. Tapi aku mencintainya, dan sadar telah jatuh terlalu dalam pada perasaan tersebut sehingga kupikir aku pasti bisa melalui semua ini. Dan nyatanya pun begitu, meski berantakan aku sanggup bertahan sejauh ini.
Lalu lihatnya, pertemuan ini menghapus semua nelangsaku karena sikapnya yang sering mengabaikanku ketika kami jauh. Dia selalu sangat baik ketika tak ada lagi jarak ratusan kilometer diantara kami. Sangat peduli dan begitu manis. Dia menghapus semua bekas air mata dan keraguan yang muncul ketika aku berada di Surabaya.
Dulunya sering kupikir dia tak pernah bangga padaku. Namun Jogjaku kali ini menepis semua itu, dia mengenalkanku pada teman-temannya, pada keluarganya, dan dia bilang aku pacarnya. Aku..pacarnya. Rasanya satu sekop besar es krim coklat pun tak akan pernah bisa menandingi manisnya perasaanku ketika itu. Aku terharu, merasa diakui dan itu penting. Dia memberiku kebahagiaan yang awet hanya melalui hal-hal sederhana seperti itu.
Jogja selalu membiarkan setiap detikku berlalu bersamanya. Kami berbincang, tertawa, beradu argumen. Kadang sebuah kecupan dan pelukan menyisip, membuat pipiku merona merah jambu. Sering kali kami juga hanya diam, menikmati kebersamaan kami dalam bisu. Seperti duduk berdua di tepian jalan Malioboro misalnya. Hanya duduk memandangi jalanan di depan kami yang ramai, dan tak bicara apapun.
Dia mengajakku menelusuri kota Jogja. Membiarkan aku memeluknya dari belakang ketika motornya melaju diantara jalanan lengang Jogja yang sangat jauh berbeda dengan jalanan di Surabaya. Aku suka suasana di Jogja, pohon-pohon yang masih rindang di pinggir-pinggir jalan, orang-orang yang ramah, bahasa Jawa yang sangat halus dan jauh berbeda dengan bahasa Jawa di Surabaya. Aku suka. Rasanya seperti menemukan rumah baru untuk singgah.
Aku juga masih ingat bagaimana dia menjelaskan padaku apa bedanya angkringan dan burjo dengan warung-warung pada umumnya. Namun ketika itu aku tertawa, kupikir semua sama saja kecuali untuk harganya. Jogja menawarkan makanan-makanan lezat dengan harga sangat terjangkau bahkan bisa dikatakan murah jika dibandingkan dengan yang ada di Surabaya.
Bukit Bintang Jogjakarta (Source : Google Image) |
Dan kemudian bukit bintang menjadi satu tempat penuh kenangan yang nantinya akan membuatku sangat merindukan Jogja ketika aku tak lagi berada di kota ini. Bukit bintang, diantara malam yang semakin merambat, kami malah terdampar di tempat ini. Duduk di ketinggian memandangi bintang berdua, tapi bukan bintang yang malu-malu bersembunyi di balik awan, melainkan bintang yang menyebar megah di bawah kami. Kerlipan lampu-lampu kota Jogjakarta di malam hari. Menara-menara cahaya bandara Adi Sutjipto dan lampu-lampu kendaraan yang nampak bergerak lambat, sangat indah. Namun aku menikmati semua keindahan ini sebagai pelengkap, sebab bagiku, yang terindah adalah ketika aku bisa berada di dekatnya. Seperti ini.
***
Namun kebahagiaan itu sepertinya selalu tak tersaji kekal bagiku. Sebab setelah Januari penuh keindahan itu, Februari malah membawa petaka bagiku.23 Februari 2012, dia mengakhiri kami. Mengakhiri kami dan membiarkannya berakhir menjadi hanya aku atau hanya dia. Aku tidak tahu kenapa. Semua panjang lebar alasannya hanya seperti narasi tanpa arti ketika yang kugarisbawahi hanya kalimat pembukanya, “Mending kita pisah saja dulu..”.
Pisah? Artinya kami selesai. Begitukah? Entah, yang kutahu dia membuangku. Setelah semua sabar dan semua kepedulian yang tetap kuberikan padanya ketika dia memberi jarak baru tak terlihat dalam hubungan kami, dia melakukan ini. Dia pergi dariku begitu saja dengan hanya meninggalkan segelintir kalimat yang justru membuatku seperti sampah. Ya, seperti sampah. Tidak berguna dan dibuang begitu saja. Semudah itu.
Aku diam, tak tahu harus bagaimana lagi. Kurang sabar apa aku menghadapi semua sikapnya sejauh ini. Semua komunikasi yang terjalin ketika kami jauh sepertinya hanya satu arah, dariku. Dan aku tetap mencintainya tanpa protes ketika dia terus menyingkirkanku dari dua puluh empat jam miliknya. Tak memberikan sedetik saja waktunya untukku disini yang disesaki rindu. Ya, dia memang selalu seperti itu, membuatku kesulitan mengejanya ketika jarak Jogja-Surabaya kembali muncul. Namun dia selalu jadi malaikat, penuh cinta, dan perhatian ketika jarak itu lebur dan aku di dekatnya. Apakah memang demikian sulit baginya menjalin hubungan jarak jauh ini?
***
April mengambil habis kebahagiaan milikku yang tersisa ketika aku tahu dia memilih perempuan itu sebagai kekasihnya. Perempuan itu, bukannya perempuan yang tidak kukenal. Perempuan itu..sahabatku. Sahabat yang kubiarkan menginap di kost-anku di Surabaya ketika dia tak punya tempat tinggal di kota ini. Sahabat yang dengannya kubagi cerita bagaimana aku mencintai dia. Seseorang di Jogjakarta yang kini entah bagaimana malah menjadi kekasihnya.
Lihatlah bagaimana semua kemesraan itu terpampang nyata di dunia maya melalui akun Facebooknya. Ini belum ada enam puluh hari sejak dia menyingkirkanku dan dia sudah seperti ini. Aku masih bernanah penuh luka, dan dia sudah sibuk dengan kisah percintaannya yang baru. Aku, sedetik saja belum bisa beralih tapi dia sudah semudah itu menghapus keberadaankudalam kepalanya.
Aku menepi, menyembunyikan hatiku yang membusuk karena luka. Aku berhenti menangis karena aku sudah tidak punya airmata lagi untuk kuteteskan, semuanya kering. Sudah habis dan meninggalkan sebentuk luka yang sakitnya membuatku seperti ingin mati. Tapi tidak, cinta tidak bisa berakhir seperti ini dan aku memilih mengambil jeda dan menyingkir. Menyembuhkan diri.
***
Minggu-minggu berlalu dan aku masih berusaha menyembuhkan diri. Aku masih penuh luka ketika Juni membawanya kembali hadir dalam kehidupanku. Hubungannya dan (mantan) sahabatku itu sudah selesai, entah karena apa, aku tak peduli. Yang kupedulikan hanya dia, yang kini kembali muncul dan bersikap baik, seolah semuanya baik-baik saja
Mungkin karena cinta dan kenangan indah diantara kami yang erat mengikatku, kami kembali dekat. Memperbaiki semua yang hancur dengan perlahan-lahan. Aku masih mencintainya. Jelas itu juga satu fakta yang tak akan mungkin kuingkari. Dan waktu berjalan, membimbing kembali kami yang dulu merenggang.
September 2012, akhirnya aku menjalinnya lagi. Kisah cinta yang dulu pernah meninggalkanku. Aku memaafkannya lagi, meski dulu dibuatnya aku habis sampai tak bisa lagi mengenali seperti apa itu kebahagiaan. Menerimanya dengan tangan terbuka.Tanpa syarat.Tanpa keluhan.
Sebuah lagu darinya untuk kado ulangtahunku di bulan ini. Meski tak diberikannya secara langsung karena masih ada jarak harfiah diantara kami, aku tetap menghargainya. Aku berterima kasih. Setidaknya sekarang dia peduli padaku lebih dari dulu.
***
Aku merindukan dia. Aku merindukan Jogja dan bukit bintangnya. Aku merindukan makanan-makanan yang ada di angkringan dan burjo. Aku merindukan waktu-waktu yang kami habiskan hanya untuk menelusuri jalanan kota Jogja dengan sepeda motornya. Aku rindu..
Jogja membawa kerinduan yang sangat dalam ketika rasanya hampir setahun aku tak menyentuh kota itu. Dan kerinduan itu membuatku menyapa Jogja kembali di penghujung tahun 2012. Entah bagaimana aku sudah ada di atas sebuah bus ekonomi AC tujuan Jogjakarta. Ini tak terencanakan. Hanya terjadi begitu saja ketika kondektur bertanya kemana tujuanku, dan dengan singkat kujawab Jogja dan bukannya kota asalku.
Ah, ternyata aku memang sangat merindukan Jogjakarta. Kuputuskan Jogjaku kali ini hanya akan tentang aku dan kota ini. Tanpa dia. Kubiarkan dia marah karena aku tak ingin menemuinya padahal aku berada di kotanya.Untuk pertama kalinya aku tidak mengacuhkannya.Bukan karena aku ingin kami bertengkar, bukan.Aku hanya ingin sendiri, menikmati Jogja.Mengenang indahnya Jogja.Menghabiskan waktuku dengan berjalan menelusuri Malioboro seorang diri. Naik Trans Jogja. Duduk di sekitar Alkid ketika senja. Masuk ke taman Pelangi. Minum susu segar di Kali Milk. Aku mencoba segala hal baru di Jogjaku kali ini, meski tanpa dia, meski tanpa bukit Bintang. Tiga hari kulalui dengan sempurna dan aku tahu, selain dia, Jogjakarta juga telah membuatku jatuh cinta pada pesonanya yang tak terjabarkan kata.
***
Tahun 2012 berlalu dan 2013 membawa perasaanku semakin pekat padanya. Kami sudah melalui banyak hal buruk dan aku percaya segala sesuatunya akan indah sekarang. Semua pertengkaran dan perpisahan yang pernah ada, aku yakin akan mendewasakan kami.
Dan kemudian, disinilah aku.23 Januari 2013, kembali kuinjakkan kakiku di Jogjakarta yang kali ini kudedikasikan untuknya. Masih dengan senyum yang sama seperti tahun lalu ketika kulihat dia sudah menungguku di depan Indomaret Janti. Pun masih ada basa-basi percakapan yang akan mengawali percakapan panjang kami nantinya.
Halo Jogja, aku kembali lagi. Bisikku pada angin Jogja yang berdesing di telingaku ketika dia membawaku melaju membelah jalanan kota Jogja dengan motornya. Aku tersenyum, memeluknya dari belakang. Jogjaku kali ini pasti akan indah. Pasti.
Dan memang benar. Jogja tak pernah mengecewakanku. Ada kebahagiaan besar, selalu ada kebahagiaan yang meluap di dalam diriku ketika aku bisa secara nyata merasakan kehadirannya. Dia membuatku mengenalnya dengan lebih baik. Mengenalkanku dengan lebih banyak teman-temannya. Membiarkanku tahu aktifitas sehari-harinya. Aku paham, dia memintaku membacanya. Agar aku yang selama ini terbata-bata mengejanya menjadi lebih peka padanya.
Dia membawaku dalam dua puluh empat jam miliknya. Dua puluh empat jamnya yang dulu mengabaikanku. Meski kali ini pun tanpa bukit Bintang, Jogja tak pernah kehabisan akal untuk membuatku tak pernah melupakannya. Sekarang, hanya dengan duduk, mendengarkan dia berbincang seru dengan teman-temannya di depan Electrohell Jogja di jalan Prawirotaman, aku penuh. Penuh oleh rasa syukur dan kebahagiaan.Hanya dengan menemaninya di Koffin. Menemaninya ke Bantul. Pergi makan bersama sahabat-sahabatnya di angkringan Wijilan. Meski tanpa percakapan berlebih, aku puas. Memang selalu tak pernah banyak tutur terucap karena aku selalu suka hening diantara kami. Pun sama ketika kami nonton film Batman kesukaannya berdua. Tanpa banyak kata dan ini sudah jadi momen istimewa kami.
Meski entah kelak akan seperti apa. Aku menikmati semua kebersamaan kami sekarang. Meski entah ketika nanti kembali ada jarak Jogja-Surabaya yang mungkin akan membawa pertengkaran lagi diantara kami. Aku akan selalu mengingat semua kenangan indah ini, maka cintaku akan kembali utuh.
Aku memang tidak tahu bagaimana akhirnya nanti. Tapi setidaknya aku tahu apa yang pasti, perasaanku padanya dan pada kota ini. Ya, pada kota ini, Jogjakarta. Kelak, jika mungkin waktu memang tak mengizinkan kami terus bersama, aku akan selalu datang ke kota ini. Meski tanpa dia, kenangan indah bersamanya akan membawaku kembali ke kota ini. Pasti. Sebab disini, di Jogja, kutemukan cinta pertamaku. Sebab disini, di Jogja, ada kenangan indah yang tidak pernah putus mengikatku. Jogja, punya banyak alasan untuk menarikku kembali kesini. Bukit Bintang, Malioboro, Indomaret Janti, Jalan Prawirotaman dan begitu banyak lainnya. Ya, Jogjakarta.. Di tempat inilah kelak aku akan selalu kembali.