You're the first person I want to talk to when I wake up.The last person when I fall asleep,The one to share good news with,The one to be upset with.I LOVE YOU.Aku suka hari jum'at. Aku suka keramaian yang hening itu. Aku suka kamu, senpai. Di hari itu aku bertemu denganmu, di tengah keramaian yang mendadak serasa sunyi. Seakan cuma ada aku dan kamu. Aku menyukai jam-jam kebersamaan kita di atas kendaraan penuh orang itu. Diam tak banyak bicara, tak banyak lakon. Tapi aku suka. Suka sekali. Aku mencintaimu. Tidak tahu pasti sejak kapan. Hanya saja, mungkin tanggal 13 Oktober 2011 itu bisa jadi simbolnya. Itu hari baik. Paling baik. Tuhan mengenalkanku padamu. Dan aku berterima kasih. Meski ketika itu aku tak tahu pada akhirnya kau adalah sosok yang akan sering sekali membuatku menangis dan luka, tapi aku tetap bersyukur. Aku mencintaimu. Mencintaimu dengan segenap hati dan kepercayaanku. Aku tulus padamu senpai. Demi Allah, hanya denganmu aku bisa begini tulus, begini diam, begini gila. Hanya kamu. Satu-satunya. Meski kemudian aku tahu senpai, pada akhirnya kamu berubah menjadi orang yang sangat jahat padaku. Banyak hal, banyak kata, banyak tulisan dan banyak lelakonmu yang entah kau sadari atau tidak, seringkali membuatku diam dan berkaca-kaca. Tak hanya sekali aku berdoa dan berharap pada Tuhan agar Tuhan membantuku untuk bisa melupakan dan menghapuskan perasaanku padamu. Tapi tetap saja begini. Sama pula ketika dengan sangat keras aku berusaha membencimu, yang ada hanya kesalahan. Sebab aku malah semakin merindukanmu. Entah apa ini? Cinta seperti apa ini? Aku takut kalau aku menjadi sangat bergantung padamu. Aku takut senpai. Apa bisa aku tetap hidup dengan baik jika nantinya aku melihat kau dengan perempuan lain. Selalu ada rasa tidak rela dan cemburu. Aku mencintaimu senpai. Mencintaimu..09.21 AM15 Juli 2012
Menepikn formulir2 beasiswa ke negeriny Mamoru, fokus kelarin kuliah dulu deh. Ambl sks mksimal tiap smster dan lulus sesuai target. Amin :)
Bikin list target. Merapikan impian. Menepikan "dareka". Insya Allah, setelah lulus bisa bilang "Hello Narita".
Percaya diri, kemampuan, sikap, usaha dan doa. Narita menunggu. :))
Yg jelas target 23 dikalahkan. Entah harus pasang emot apa untuk keputusan ini.
Ibuk sm bapak jg udah ikhlas anak perempuanny ini keluyuran jaaaauuuh. 2 atau 3 tahun disana. Not bad. Sekalian aja jodoh org sana.#eh
"Hello Narita!" Ya Allah, masih lama. Habisin dulu jatah ratusan sks. Pokoknya "stay in control". Ngga ada matkul yg ngulang. Konsisten!
Ah ya, hello Narita nya mending pas "Autumn". Momiji ga daisukikara :))
Kalo sudah "Hello Narita" kemana targetnya? Tokyo? Not bad. Tapi terlalu sibuk kota ini. Osaka jauh lebih baik. Kesana saja#target
Kalau sudah lelah mengejar impian mau kemana? | Pulang. Ke kotamu | :))
Impian, harapan, target itu kebebasan. Km yg mnentukn. Klanjutanny? Pilihanmu. Mau mnjdikanny nyata atau tetap mngurungny dlm label "mimpi".
Well, jgn liat kanan kiri. Iya klo dg liat org lain km jd tambah semangat ngejar impian. Klo down? Jadi fokus saja. Konsisten pada target.
Manusia bisa merubah nasib kok. Dan impian bercokol di daftar nasib, bukan takdir. Jadi, semangat ya!! Keep fighting!
Bismillah. Jibunni dekirukoto. :))
Ato sannen. (҂'̀⌣'́)9
Nihon e iku wa atashino unmei.#jishin
Konkaiwa majida. Kimeta!
Ah satu lagi. Dalam mengejar impian, jangan terlalu keras pada diri sendiri. Kenali batas maksimalmu. Akrabi suara lelah dan semangatmu. :))
"Aku tidak suka hujan."
Kepalaku menoleh memandangnya. Sebentar saja, kemudian kuarahkan kembali pandanganku keluar. Menerobos kaca yang buram karena hawa dingin. Hujan masih turun. Semakin deras dan langit semakin pekat. Sepertinya hujan kali ini akan sangat lama.
Aku menoleh lagi memandangnya. Kali ini bukan karena suaranya tapi karena kesunyian yang mendadak menyelinap diantara kami. Bukan kebiasaannya membiarkan kesunyian menguasai kebersamaan kami. Sehingga akan sangat mengherankan bagiku ketika situasi seperti ini mendadak tercipta.
Dia nampak murung. Memainkan jari-jari tangannya dengan tatapan kosong.
"Ada apa?"Tanyaku
Dia mendongak, menatapku. "Entah."Jawabnya mengambang
"Dia kenapa lagi?"Tanyaku lagi sambil menyeruput sedikit teh.
Matanya mengerjap. Membulat. Lalu dengan dramatis dia membuang nafas dengan kasar. "Dia akan punya anak dariku."
"Lalu?"Tanganku meletakkan cangkir tehku dengan pelan ke atas meja, sama sekali tidak memandangnya.
Dia menyipitkan matanya, "Aku tidak mau punya anak dengannya."Paparnya alih-alih mengatakan ketidaksukaannya pada tanggapanku yang sedingin hujan di luar.
Kali ini aku memandangnya dengan cermat sebelum mengalihkan pandanganku ke luar lagi. "Telah terjadi. Kau tak bisa menghindarinya. Terima saja."
Dia seperti mau protes, tapi yang kudengar kemudian hanya helaan nafasnya dan jawaban singkat yang membuatku meragukan saran yang ditawarkan bibirku sendiri.
Aku hanya mengangguk dan mengucapkan segelintir kalimat normal seperti, "hati-hati di jalan." dan "jangan ngebut" ketika dia berdiri dan berpamitan akan pergi. Aku melihat gerakan tidak jelas yang dilakukannya. Seperti maju mundur tak pasti, seakan-akan ingin menyorongkan pipinya ke arahku tapi tak jadi. Aku hanya menatapnya dengan tatapan paling biasa yang aku punya. Hingga akhirnya dia hanya mencoba tersenyum meski jelas terlihat kecut, dan dengan suara tak bersemangat dia berkata, "akan kutelpon nanti malam."Lagi-lagi aku mengangguk. Tanpa senyum sama sekali. Bahkan mungkin dia akan tahu bahwa ada sesuatu yang berat menganjal di otakku.
Ketika dia berbalik dan berjalan ke arah pintu keluar cafe, aku kembali mengarahkan pandanganku keluar. Bertopang dagu.
Samar-samar, dari kaca yang semakin memburam oleh embun hujan, aku melihat mobilnya bergerak keluar dari pelataran parkir cafe. Aku mengamatinya. Mobil itu berhenti sebentar sebelum akhirnya berbaur bersama kendaraan-kendaraan lain di jalan raya yang ada tepat di depan kafe. Dia berhenti untuk memandangku. Aku tahu itu. Dia selalu melakukannya. Selalu. Selama tujuh tahun ini.
Ya, sudah selama itu kami saling mengenal. Selama itu pula kami seperti menjalin semacam simbiosis. Entah mutualisme, entah komensalisme. Aku bahkan belum bisa memutuskan yang mana. Padahal harusnya tiga hari lagi perayaan tujuh tahun kami.
Tujuh tahun kami..
Tujuh tahun kami? Tapi sebagai apa? Temankah? Atau mungkin, pasangan?
Aku menarik nafas dalam-dalam dan makin larut dalam lagu yang sedang dinyanyikan hujan. Mendadak aku merasa akan jauh lebih baik jika aku bisa berada di bawah hujan di luar sana. Mungkin diguyur derasnya air hujan bisa membantu menjernihkan otakku yang sedang berkabut. Dan jika manjur, siapa tahu jiwaku juga bisa dijernihkan.
Iya siapa tahu?
Kalau jiwaku bisa dijernihkan, kalau bisa..
Pikiranku mengawang. Kalau saja bisa semudah itu dijernihkan. Maka aku akan membiarkan hujan meluruhkanku di tetes pertamanya. Tetes pertama yang kutemui tujuh tahun lalu.
Aku akan menjernihkan jiwaku yang terpesona dengannya pada pandangan pertama kami. Terdengar konyol dan polos, tapi itu yang terjadi. Aku jatuh cinta. Jatuh sampai menyusup ke dasar paling dasar. Aku tergila-gila.
Dan aku terus jatuh cinta padanya. Seperti sampai sekarang. Aku masih saja jatuh cinta. Meski selama tujuh tahun, tak cukup berkali-kali dia membuat hatiku patah, hancur, rusak, sakit. Sampai kebas sekarang.
Tapi aku selalu saja masih jatuh cinta dan dibuat gila olehnya. Gila? Ya mungkin gila ini pengaruh satu tahun lalu. Satu tahun lalu. Satu tahun, tiga ratus enam puluh lima hari penuh aku kehilangan dia. Tapi aku ini tidak bertepuk sebelah tangan. Biarpun dia adalah orang paling rumit. Dia mencintaiku. Dan sama gilanya. Mungkin lebih. Jadi kemudian, waktu, nasib, atau malah takdir mempertemukan kami kembali.
Satu gerakan. Sapuan lembut di bibir, mampu mengerakkan setan yang lama bersemayam di dalam tubuhku. Setanku. Obsesiku dan kegilaan cintaku pada dia. Kami menyatu. Dalam gejolak liar paling panas yang pernah kami punya.
Lalu beginlah jadinya. Aku makin gila. Jiwaku makin buram. Seperti kaca di depanku ini. Aku terjebak. Dalam tipuan obsesi kami berdua. Pun ketika dia bertutur tentang sesuatu yang mendadak mampu membuatku bisu berjam-jam. Aku tetap bertahan pada ketidakjernihan ini hanya karena dia menangis dan memelukku. Memelukku dan mengenggam jari-jariku yang bergetar menahan robohnya bangunan hatiku yang sudah tua dan dipoles renovasi seadanya.
Akhirnya aku cuma mengiyakan. Pasrah menerima kemauannya. Lalu sampai sekarang pun aku tetap bersamanya. Menjadi pujaan hatinya yang berdiri bukan di sampingnya. Tapi diam-diam mengintip dan memperhatikan dari sudut gelap di kejauhan yang tidak diketahui orang. Dan dengan gerakan sangat biasa dia akan tahu sudut itu, mengerling dan melengkungkan senyum paling mempesonakan untukku.
Ah, rupanya kami sudah serumit ini.
Aku menyentuhkan telunjukku di kaca. Dingin. Lalu aku menjatuhkan telunjukku tetap dengan menyentuh kaca. Membentuk satu garis vertikal. Membekas. Aku bisa melihat hujan di luar lebih jelas dari garis itu. Sementara kaca di sekitarnya begitu buram. Tapi hanya sebentar, karena dingin kembali mengendap dan menyelubungi garis vertikalku dengan embunnya.
Buram lagi, aku menghela nafas dan mengalihkan pandanganku mengelilingi cafe. Lumayan ramai. Ada banyak orang, dengan cangkir-cangkir setengah kosong dan obrolan yang masih penuh. Aneka rona dan ekspresi. Aku tersenyum. Wajah mereka hidup.
Lalu aku melihat ke sudut. Melihat dua sofa empuk yang diduduki sepasang muda-mudi yang tengah tertawa lepas. Mendadak wajah mereka digantikan oleh benang-benang ingatan otakku. Sebentuk wajah oval kecil, rambut bergelombang tipis. Manis. Dengan pakaian sangat rapi, sepatu berhak tinggi, rambut disanggul sederhana. Perempuan itu seperti perempuan yang menunggu untuk wawancara kerja. Percaya diri. Namun ketika dia membuka mulutnya dan bicara, aku mendengarnya seperti manusia yang kehilangan separuh nyawanya. Suara yang mengisyaratkan rasa putus asa. Kelelahan.
"Saya bertahan satu tahun lebih diperlakukan seperti itu olehnya. Saya diam meskipun saya tahu apa yang terjadi. Saya mendengar semua omongan-omongan orang tentangnya. Tapi saya tidak mau peduli. Saya percaya padanya. Saya mencintainya. Dia suami saya."
Aku hanya memandangnya dengan tatapan bosan. Setengah muak. Setengah lagi menahan diri untuk mengusirnya dari cafe ini.
"Saya tahu persis hubungan seperti apa yang terjalin antara anda dan suami saya."
Mataku menyipit, "Apa maksud anda?" Nada suaraku meninggi.
"Saya tahu kalian saling mencintai. Tapi tolong mengertilah. Ini hal yang mustahil diperjuangkan. Saya selalu sabar menghadapinya. Menghadapi sikap-sikapnya yang buruk pada saya. Saya bertahan dan terus sabar. Tapi sekarang tidak bisa lagi. Oleh karena itu saya nekat bicara dengan anda."
Aku mengangkat cangkir tehku. Menyeruputnya perlahan masih dengan memandangnya. Aku melihat perubahan raut wajahnya. Kepercayaan dirinya runtuh, digantikan ekspresi ganjil yang tidak kupahami.
"Saya tahu jika anda mengatakan ini kepadanya, dia mungkin akan menceraikan saja. Tapi saya mohon, sekali ini saja mengalahlah. Lepaskan dia dan biarkan dia belajar mencintai saya." Sebulir air matanya jatuh ketika dia memandangku dengan tatapan memohon yang tulus dan dalam.
Entah mengapa aku menjadi diam melihatnya. Aku yakin jika tidak ada meja diantara kami, dia akan duduk bersimpuh memohon di depanku. Dia memandangku dengan matanya yang lugu. Suci. Khas wanita bodoh yang mau-maunya dijodohkan di zaman semodern ini.
"Tolong.."Suaranya mengambang putus asa.
Aku masih diam. Terus terang tidak tahu harus menjawab apa.
"Pergilah."Kataku pendek.
Dia semakin terlihat lelah ketika aku mengusirnya, "Tolong, mengalahlah." Ucapnya sekali lagi. Masih berusaha memohon padaku.
"Pulanglah."
Matanya semakin basah. Dan dia bangkit dari duduknya. Menunduk. "Terima kasih sudah mau mendengarkan saya." Lalu kakinya melangkah pelan keluar dari cafe ini. Aku hanya semakin diam sambil memandang punggung wanita itu.
Ketika kau memilih seseorang yang mencintaimu untuk melangkah bersamamu.Artinya kau sudah mempercayainya bukan?Mempercayainya, dimana kau pun juga akan belajar mencintainya sebab dia telah begitu sabar dan tulus bersamamu.Lalu ketika ada orang lain datang, akankah kau tetap tegak di sampingnya?Tidak melangkah pergi?Dan bagaimana pula jika orang lain itu adalah orang yang dulu kau cintai.Akankah kau meninggalkan dia yang selalu mencintaimu, ada untukmu, untuk seseorang yang dulu selalu kau puja?Padahal dia yang dulu kau cintai itu melukaimu.Sementara berpikir, kau kemudian melihat dia yang dulu kau cintai sedang menangis dan luka.Akankah juga kau ulurkan tanganmu padanya hingga akhirnya terjebak lagi dalam perasaan masa lalumu dan pergi meninggalkan seseorang yang begitu mencintaimu.Bukan hanya dulu, tapi sekarang dan nanti.Kau meninggalkan dia?Hanya untuk dia yang lain, yang dulu kau cintai.
Jangan mendustaiku lagi Anggra.
Jangan mengatakan dan melakukan apa pun lagi. Bagiku sudah cukup penjelasan
yang ditampilkan oleh sikap dan keputusanmu ketika itu. Kita terlalu berbeda.
Berbeda dalam bentuk yang dikoar-koarkan mereka yang membesarkanmu. Tahta itu
kau harapkan. Jangan dustai aku lagi. Aku tahu, aku tahu apa yang telah kau
berat sebelahkan.
Kujejakkan langkahku menelusuri
jalan-jalan panjang di kota yang mulai lelap. Ditemani riuh redam suara-suara
malam, aku mendekap tas tangan merah di depan dadaku, mendekap langsung ke
hatiku. Menganjal sedikit sakit yang ingin ku lenyapkan.
Angin malam meraba bahuku yang
terbuka, membelai jenjang kakiku yang telanjang sampai beberapa senti di atas
lutut. Aku merasa dingin yang tak ada hubungannya dengan itu dan kubiarkan
nyeri menjamahi betisku karena terus
dipaksa berjalan dengan sepatu berhak tinggi sejauh ini.
Kuputuskan berhenti menyiksa
tubuhku, terduduk sembarangan, aku bersimpuh di trotoar jalan. Memandang kosong
ke arah kegelapan total langit di atasku. Tidak ada bintang. Tidak ada Anggra.
Aku menepis bayangan laki-laki itu dari benakku. Jangan Anggra lagi, ku mohon.
Masih bernanah rasanya luka ini dan mengingat laki-laki yang telah menelanjangi
habis kepercayaanku itu malah membuat tubuhku meremang menahan sakit hati.
Mataku menyipit, memandang mobil
yang terhenti mendadak di depanku. Kaca gelap mobil mewah itu bergerak turun
perlahan, memperlihatkan separuh badan orang yang duduk di balik kemudi yang
dilapisi kulit ular asli.
Ah dia. Cepat sekali dia menanggapi
pesan singkatku. Aku tersenyum, merapikan rambut panjangku yang bergelombang.
Aku bangkit dengan anggun, menghampiri pintu mobil itu. Jemari jemari lentikku
yang dihiasi kuteks berwarna merah terang menelusuri lekuk pinggiran pintu
mobil. Aku menatap sepasang mata yang tengah mengamatiku. Perlahan ku biarkan
tubuhku bergerak masuk ke dalam mobil yang kutahu harganya memiliki nominal
dengan jumlah angka nol yang mencapai sembilan. Duduk di sebelah laki-laki itu,
aku menyandarkan punggungku. Melepas lelahku.
Kepalaku menoleh ke arah sosok yang
akrab denganku sejak dua tahun lalu itu ketika kurasakan tangannya menyentuh
lenganku, "kau baik-baik saja?"
Aku hanya mengangguk.
"Aku sangat terkejut membaca
pesanmu, tapi aku juga sangat bahagia sebab ku sangka aku tak akan pernah
melihatmu lagi sejak kau katakan bahwa kau akan berhenti dan memulai hidup baru
yang kau pilih."
Kali ini aku memandang laki-laki
itu dengan hangat, "Bisakah kau tidak membicarakan hal itu sekarang. Aku
tau kau mungkin telah mendengar semua yang terjadi pada kami. Jadi biarkan
malam ini berlalu seperti biasanya. Seperti yang biasa kita lakukan."
Dia mengusap lembut pipiku,
"Ya, tentu saja Luna."
***
Maafkan aku Anggra. Maafkan aku.
Kuseka setetes air mata yang menyelinap turun dari sudut mataku. Kudekatkan
tubuhku ke dalam pelukan lengan kokoh laki-laki yang tengah terlelap dengan
wajah kelelahannya. Laki-laki ini, laki-laki ini bukan Anggraku. Dia hanya
salah satu dari sekian banyak orang. Sekian banyak orang yang peduli padaku.
Sekian banyak orang yang akrab denganku. Tapi dia bukan laki-laki yang
menyentuh hatiku, dia hanya laki-laki yang menyentuh jasmaniku, sama seperti
sekian banyak lainnya. Namun aku tau dia baik, dia yang paling baik diantara
semuanya. Dia seperti teman yang kerapkali mengajakku berbincang, berdebat atau
sekedar diam hanya untuk mendengarkan. Aku tahu dia menghargaiku lebuh baik
dari sekian banyak lainnya.
Perlahan sepasang mata yang
terlelap itu terbuka, memergokiku yang tengah memandangnya. Tangannya mengusap
kepalaku dengan penuh keramahan, "Tidur Luna."Katanya pelan.
Aku mengangguk dan dia menarikku
semakin erat ke dalam pelukkannya. Aku tahu, harusnya memang seperti inilah
aku. Tidak boleh keluar jalur karena memang inilah aku. Sementara begini saja.
Begini saja, semoga cukup. Dia mengusap punggungku dengan telapak tangannya
yang besar. Aku menyusupkan kepalaku ke dadanya, mencari keamanan dan rasa
hangat. Iya, begini saja.
***
Jangan
memandangku dengan tatapan seperti itu Luna. Jangan menghakimiku dengan sorot
mata nanar seperti itu. Sungguh aku tak sanggup ditelanjangi oleh pandangan
seperti itu. Aku terbiasa dengan sepasang mata coklatmu yang menatapku dengan
penuh cinta, bukan yang seperti itu. Ku mohon mengertilah aku Luna. Mengertilah
kebenaran yang berusaha kudendangkan padamu.
Aku
memandang cangkir kopi dalam genggaman tanganku. Tidak ada asap atau hawa panas
kopi yang harum dan biasa menyapa pagiku. Dengan malas, kuletakkan kembali
cangkir kopi sisa tadi malam ke meja kecil di dekat tempat tidurku. Samar, aku
merasakan pelukan lembut sepasang tangan yang melingkari perutku dari belakang.
Aku menoleh, menemukan sebingkai wajah cantik bangun tidur yang tengah
mengamatiku dengan pandangan lembut menggoda. Aku memaksakan sudut bibirku
tertarik ke atas. Terfokus, kuamati sepasang mata hitam di depanku ini.
Pemilik
sepasang mata inikah yang akan menghabiskan seluruh hidupnya denganku? Diakah
dan bukan Luna? Bukan Luna. Aku merasa kehampaan yang mencekik ketika kudapati
kenyataan itu. Ada satu lubang dalam yang terus melebar di dalam tubuhku yang
membuatku kesakitan ketika kurindukan tubuh jenjang Luna. Ketika kurindukan
tawa Luna, kecupan di pipi dan secangkir kopi panas sebagai sapaan pagi dari Luna.
Aku
merindukan dan membutuhkan Luna. Aku mencintainya, apa pun yang ada dan melekat
pada Luna aku suka. Aku memandangnya sebagai wanita sempurna. Wanita yang
sanggup membuatku berdebar tiap kali jemari-jemari indahnya menelusuri
tengkukku. Wanita yang menguasai setiap mimpi masa depanku. Wanita yang
berjanji akan setia dan hidup hanya untukku. Ah Lunaku, betapa dia sangat
memasrahkan hatinya untukku. Tapi aku? Lihat betapa pengecutnya aku. Aku
mempecundanginya, menyakitinya. Padahal aku tahu Luna telah memenuhi semua
mauku. Ditanggalkannya kebiasaan dan dunianya hanya untuk tinggal di hatiku.
Berdua. Bersamaku.
Bagaimana
bisa aku begini lemah? Bagaimana mungkin aku berani menampakkan wajahku didepan
Luna setelah semua yang kulakukan padanya? Lemah dan ketegasan prinsipku goyah
ketika mereka memberiku pilihan. Kuasaku untuk menolak kusingkirkan. Takutkah
aku? Takutkah aku kehilangan semua ini? Takutkah??
Sepasang
mata hitam itu, entah bagaimana semakin lekat memandangiku. Aku merindukan Lunaku.
Luna. Tapi ini bukan mata luna, keluhku meski tetap saja kuarahkan mata itu
semakin mendekat. Aku mendengar setiap hembusan nafas penuh makna yang semakin
jelas ketika kami semakin merapat. Bukan kebiasaan Luna, keluhku meski aku juga
membalas setiap gerakan yang ditampilkannya. Bukan Luna, bukan Luna. Tapi aku
tetap memanas dalam setiap detik yang kembali memaksaku terlarut dalam ego dan
naluriku sebagai laki-laki. Sebagai laki-laki yang tunduk pada paradigma.
***
Aku tahu, aku tahu dengan benar
segala aturannya. Permainan ini melarangku turut serta sebagai tokoh utama. Aku
tahu aku tidak boleh menjamah tempat lain selain tempatku ini. Tempat yang
memakukanku sebagai wanita yang bukan wanita utama. Disini atau dimanapun, aku
hanya akan menjadi wanita yang berada di tepian. Aku hanya dan selalu menjadi
wanita yang boleh dijamah tapi terlarang untuk dimiliki. Terlarang. Apa lagi
bagi kelompokmu yang meminta segala kesempurnaan latar belakang dan masa lalu.
Aku tahu jejakku saja akan dibaui busuk.
Tapi tuturmu membangkitkan
semangatku. Rangkaian mimpi-mimpi masa depanmu membuatku memandang segalanya
dengan arah yang berlawanan. Aku menegakkan kepalaku meski serumpun khawatir
kerap menghantuiku. Aku akan berdiri tegap menantang semuanya. Aku akan melewati
semua cemoohan dan tatapan sinis mereka yang menilaiku rendah. Aku akan menjadi
apa pun, bertahan dan selalu hidup denganmu. Asal denganmu. Asal denganmu akan
kuat.
***
"Aku ingin membalikkan
semuanya. Jika memungkinkan, aku ingin melepaskan diriku dari semua ini.
Menghapuskannya juga. Tapi aku tahu itu mustahil. Semua ini melekat padaku
sampai ke tulang-tulangku. Mereka akan tahu. Pasti. Cepat atau lambat. Dan
mereka tidak akan pernah mengizinkan ini. Tidak akan pernah."
Matamu bersorot tenang menjamahi
wajahku, tersenyum kau permainkan rambutku dengan jemari-jemarimu, "Aku
tidak peduli."katamu singkat.
"Tapi.."
Satu detik kecupanmu menghentikan
bantahanku. Separuh terkejut, aku memandangmu. "Bisakah kau diam dan
mempercayaiku saja. Ku katakan aku tak peduli dan itu berarti satu. Bahwa aku
memang tidak peduli. Percayalah Luna. Aku memilihmu."Terangmu dengan
tatapan meyakinkan, "Kau adalah segalanya bagiku." Bisikmu membuatku
gemetar karena bahagia dan lega. Kurasakan tarikan pelan tanganmu membawa tubuhku
merapat ke tubuhmu. "Kau kehidupanku Luna"
Dan aku menenggalamkan wajahku di
dadamu, terisak. Kalimat sederhana seperti itulah yang membuatku terus hidup
penuh senyum bersamamu. Andai kau tahu betapa bahagianya aku. Untuk pertama
kalinya aku merasa kalau diriku berharga. Kau membuatku memiliki alasan yang
sangat kuat untuk bertahan denganmu. Denganmu, hanya denganmu. Asal denganmu Anggra.
***
"Maaf
Luna"
Kau kehilangan karismamu. Kau
kehilangan nilaimu. Kau kehilangan kepercayaanku ketika kau mengatakan hal itu.
Maaf? Bisakah maaf mengembalikanku ke keadaan awal. Bisakah maaf menghapus
perasaan terbuang ini. Bisakah maaf menepis kenyataan bahwa aku dikhianati.
Bahwa aku dibawa terbang tinggi hanya untuk dilempar lagi ke bawah. Jatuh,
tersuruk pada dasar yang paling rendah.
"Luna.."Suaramu menggema.
Menggema lalu hilang. Aku kosong. Dekapanmu pun tak membawaku pada perasaan
nyaman dan hangat seperti biasanya. Aku membeku. Otakku berhenti bekerja.
Jantungku berhenti memompa aliran darahku. Paru-paruku kehabisan oksigennya.
Kau menyentuh lembut wajahku,
memindaiku.
Sudah, sudahkah kau temukan
seonggok luka basah bernanah di tubuhku. Sudahkah kau lihat serpihan hatiku
yang bertebaran mengenaskan. Aku tak bisa membantah. Aku tak bisa berkata apa
pun. Hanya memandangmu, mendengarkanmu. Sebab aku kehilangan kemampuanku, aku
kehilangan seluruh tenagaku yang luruh ketika kau menuntaskan semua kata-kata
dalam kepalamu menjadi serangkaian kalimat yang berputar-putar di benakku.
"Luna, kau boleh mencaciku.
Tampar aku. Maki aku Luna. Lakukan apapun, jangan diam begini."
Dengarkan, dengarkan saja hatiku
seperti biasanya Anggra. Dengarkan dengan kemampuanmu mencintaiku jika memang
itu masih ada. Usah kurangkai segala fonem dan kuucapkan itu sehingga terangkai
distorsi yang bisa kau tangkap. Andai sama besar rasamu mencintaiku seperti
rasaku mencintaimu, kau akan tahu segala hal yang tidak kuucapkan. Akan ada
banyak auditoris yang bisa kau kumpulkan.
"Beri aku waktu, Luna. Aku
mohon. Mengertilah. Izinkan sekali ini saja kuikatkan diriku dengan wanita yang
dipilihkan oleh mereka. Tapi kemudian, sungguh Luna. Aku akan menyandingmu
sebagai wanitaku. Seperti janjiku ketika kuminta kau melepas dirimu dari
duniamu yang sebelumnya."
Aku hanya menatapmu. Mengabur,
segalanya menguap. Harapanku, kebahagiaanku dan kepercayaanku. Kemudian. Pahamkah kau, pahamkah makna
kata kemudian. Aku tahu, aku tahu aku tidak akan bisa lari dari takdirku.
Takdirku sebagai wanita tepian. Bukan wanita utama. Dan kau telah membuatku
menyadari satu fakta yang tidak akan pernah bisa kuingkari itu.
Kulangkahkan kakiku pergi. Membawa
hancurnya kalbuku. Tak mengacuhkan pelukanmu, tanganmu yang mengenggam lenganku
dan menahanku pergi. Aku tetap berlalu. Kosong. Aku kehilangan semuanya. Detik
ketika semua rangkaian tuturmu membawaku pada satu kesimpulan. Tahta dan
hartamu. Kehormatanmu di mata mereka dan lingkunganmu. Kau sama saja. Mana
sanggup kau tenggelam pergi dari semua itu. Aku tahu, aku tahu Anggra. Rasa cinta yang membakar
kita dulu adalah gejolakmu, nalurimu dan egomu. Laki-laki? Begitukah kau dan
kalian semua yang pernah bertutur mencintaiku dan mengagumiku bertampang? Aku
tahu.
Kutepiskan dengan kasar hatiku yang
sudah busuk. Wujudku dikagumi tapi harga diriku dipandang dengan tipis. Nyaris
tanpa harga mungkin. Sebab mereka yang menilai tahu, tahu bahwa dengan sejumlah
nominal dan benda aku boleh disentuh. Astaga, harusnya sudah kupahami dengan
tegas hal itu. Kenapa bodoh sekali. Harusnya aku tahu, tidak ada cinta yang
benar untuk wanita sepertiku.
Aku melangkah. Aku tahu aku tidak
bisa berbalik. Meskipun pergi, meskipun kabur dan keluar dari lingkup ini. Aku
tetap punya tanda di mata mereka semua. Seperti tatto permanen, tak kan pernah
hilang meski aku mengubah segalanya. Tanda itu akan menjadi totem abadi yang
melabeliku.
***
Aku duduk di depan cermin sambil
merapikan polesan bedak di wajahku. Ku amati wajahku dengan teliti. Cantik.
Baru kali ini aku benar-benar memperhatikan wajah yang sering di puji laki-laki
ini. Aku menyapukan lipstik merah merona ke bibirku.
"Luna, sudah bangun? Mau
kemana?"
Aku menoleh, melihat tubuh
tengkurapnya yang menatapku dengan mata mengantuk. Aku tersenyum manis,
berjalan mendekat dan mengecup pipi laki-laki itu. Dia memandangku manja dan
memelukku. Ku tarik tubuhku menjauh dan melepaskan pelukannya, "Aku harus
pulang." Ujarku pelan.
Dia bangkit, duduk dengan dada
telanjang dan memandangiku dengan tatapan memohon. "Nanti saja. Biar aku
yang mengantarmu." Rajuknya.
Aku mengambil tas tangan merahku dari
atas meja, "Lain kali saja." Aku melambaikan tanganku sambil
melangkah ke arah pintu keluar hotel bintang enam ini.
"Luna. Kita masih bisa sering
bertemukan?"
Kepalaku mengangguk dan aku
berbalik dengan anggun, "Asal kau masih menyimpan nomor rekeningku
saja" Dia tersenyum kecil. Dan aku sudah tahu jawabannya.
Pintu hotel ini menutup dan
melenyapkan bunyi hak sepatuku yang beradu dengan lantai. Aku melangkah pergi.
Berjalan dengan langkah seperti model-model profesional, membiarkan laki-laki
yang berpapasan denganku berdecak kagum memandangku. Aku hanya akan menikmati
kekaguman itu tanpa mau peduli pada bisikan wanita-wanita di samping mereka.
Aku tahu, inilah aku.
Surabaya, Juli 2012
Setelah lama aku pikir, mungkin tulisan-tulisanku
tentang kamu sebelumnya agak berlebihan. Mungkin aku menulis dengan perasaan
sedih , kecewa dan marah. Sehingga seakan-akan kamu begitu jahat. Tapi setelah
kupikir ulang dan dengan pikiran yang lebih jernih, mungkin memang sifatmu yang
seperti itu. Ketidakpedulian itu mungkin ciri khasmu. Tapi aku mau percaya kamu
mencintaiku. Positive thinking tidak
apa-apakan dalam hal ini. Aku sedang tidak ingin sedih gara-gara kamu sekarang.
Senpai, aku ingin tetap menjadi perempuanmu, jika memang boleh, aku ingin
selamanya. Mendampingi hari-harimu. Memasak untukmu, dan selalu menjadi
perempuan pertama yang kamu liat ketika kamu membuka mata, terbangun dalam
tidur malammu. Aku ingin menelusuri lekuk-lekuk wajahmu dengan ujung jariku ketika
kamu tidur. Tersenyum memandangmu yang sedang terlelap. Itu hal-hal kecil yang
sangat menyenangkan untuk dilakukan. Dan aku suka. Kadang tak perlu hal-hal
besar untuk membuatmu bahagia, tak selalu barang-barang, uang, harta.
Semua tulisan dalam label Untuk Senpai adalah cerita tentang bagaimana sebuah romansa memainkan jejaknya. Beberapa menganggapnya fiksi, beberapa menganggapnya riil kisahku. Aku tersenyum. Cerita itu, romansa itu tergantung dari bagaimana kamu memandangnya. Aku hanya ingin jadi narator yang menarasikan cerita yang telah tertulis dalam naskah. Aku hanya dalang yang menjadi wewayang dalam lakonnya. Aku bukan pemegang kendali. Kalau itu ceritaku, maka aku akan mengambil alih jalan ceritanya, menjadi author yang baik dan menghapus semua kata tentang luka dan sedih. Aku akan menjadi author yang baik, aku hanya ingin setiap yang membaca bahagia. Maka tinta yang kugoreskan hanya akan bercerita tentang kebahagiaan dan senyum bukan air mata. Nah, jadi aku bukan si pemegang kendali. Untuk Senpai, aku menyebutnya begitu. agar yang tahu menjadi semakin mengerti. Dan agar yang tidak tahu belajar untuk mengerti. Ini bukan kisahku, bukan ceritaku. sebab aku bukan si pemegang kendali.
THE LADY OF MIRKWOOD
The dream catcher who belong to The Lord of Mirkwood. Don't hesitate to come for say a small "hello!"
Formulir Kontak
POPULAR POSTS
Categories
- 30-Day Writing Challenge 4
- AUPAIR 2
- Cerpen 25
- Impian 6
- Ini Curhat 11
- Jejak R & D 2
- Kisah di Austria 7
- Kisah di Jerman 7
- Kisah Tak Sempurna 8
- Kumpulan Twitt 19
- Malaikat Hujan 7
- Puisi 18
- Random Thoughts 23
- Reading Link 2
- Untaian Kata 32
- Untuk Senpai 52
- Untuk SID 7
- Visa Jerman 3
- WritingChallenge 4
Blog Archive
-
2023
(17)
-
Mei
(17)
- Prioritasmu
- Untukmu
- Salju di Bulan April
- Nadamu
- Ketika
- Jangan Jatuh Cinta Lagi
- Movin' On
- Aku
- Pembencimu
- Yang Diingatkan Oleh Rindu
- How to Have a Long and Happy Relationship?
- Cerita Tentang Anggarra
- I Ever Met A Man
- Dia Suka Perempuan Berambut Panjang
- Berdamai Dengan Masa Lalu
- Sleep Paralysis
- Sang Pemimpi
-
Mei
(17)
-
2013
(25)
- Desember (3)
- November (3)
- Oktober (2)
- September (1)
- Juli (1)
- Juni (2)
- Mei (1)
- April (7)
- Maret (5)