Sahabatku bilang, “Laki-laki yang meninggalkanmu itu bukan laki-laki yang baik”. Lalu dia juga mengatakan sambil menepuk pundakku, “Jangan menyesal karena ditinggalkan olehnya. Buatlah dia menyesal karena meninggalkanmu”. Aku terpaku mendengarkannya bicara seperti itu. sebentar kemudian, tetes demi tetes air mata berjatuhan dari mataku. Kemudia aku tergugu. Aku menangis sampai dadaku rasanya sesak. Aku terus menangis dan sahabatku itu tidak melakukan apa pun.
Dia diam saja membiarkanku menangis karena ucapannya yang penuh makna itu. Tak lama, dia menyentuh bahuku dan berkata pelan, “Menangislah. Tidak apa-apa kalau itu bisa membuatmu merasa lega”. Aku memang tak bicara apa pun setelah itu. tapi kubiarkan semua ucapannya merasuk ke jiwaku, menyatu ke darahku dan bergolak bersama amarahku.
Ku pendam semua sakit yang bisa kugunakan sebagai obat untuk bangkit. Yah, sahabatku benar. Bukan aku yang harus menyesal, tapi kamu. Bukan aku yang seharusnya merasa sakit dan seperti sampah begini. Aku akan bangkit, setiap luka yang kamu tambahkan dalam perjalananku untuk bangkit akan kugunakan sebagai alasan, sebagai tameng yang membantuku hidup dengan benar. Terus saja kamu dengan santai dan mudahnya menyakiti aku. Menghancurkanku sampai benar-benar hancur tanpa sisa. Tapi tidak akan pernah ada balas dendam. Tidak. Aku bukan manusia serendah itu. aku mencintaimu, sangat mencintaimu dengan sepenuh jiwa dan ragaku. Tanpa syarat ketulusan itu kupersembahkan untukmu satu-satunya. Tapi kamu membuangnya. Membuangnya, menghinanya dan membuatnya luruh.
Sayang.. aku meragukanmu. Aku meragukan keseriusanmu akanku. Aku meragukan semua perasaanmu terhadapku. Aku tidak tahu kenapa. Hanya saja, aku merasa ada yang salah. Ada yang tidak benar diantara kita. Sayangku, ketahuilah.. baru kali ini kusadari kalau ternyata jalan kita begitu berbeda. Baru kusadari akan sangat sulit nantinya ketika akan kupaksakan kehendakku akanmu. Sayang, tak bisakah kau buat aku mempercayakan semuanya padamu. Sayang, aku takut kita tak bisa terus bersama. Padahal aku telah terlalu jauh bertindak.
Ada beberapa hal yang sepertinya menjadi semacam sebab aku harus tetap bersamamu. Andai aku tak bertaruh begitu besar, mungkin aku sudah akan mundur di detik pertama kau mulai mengabaikanku. Tapi nyatanya aku masih tetap disini. Masih disini dan menyatakan bahwa aku akan selalu memilih sabar menghadapimu. Mengherankan sungguh, rasanya seperti bukan aku. Seperti bukan aku saja. Aku mendadak merindukan sosok arogan dan egoisku yang dulu. Aku merindukan sosok tangguhku yang dulu. Tapi, aku mencintaimu.
Tanpa kata dalam syarat. Tidak ada apa pun dan aku mencintaimu.
Mungkin memang sangat sulit membaca hati. Terlebih hati ini sendiri. Semua mendadak terbagi-bagi. Satu memilih pergi. Satu menarikku erat dan memohon, bertahanlah. Oleh sebab itu aku kadang sama sekali tidak konsisten. Aku mengeluh, merasa lelah dan ingin mundur. Lalu di suatu ketika lainnya, aku merasa kuat, merasa tangguh dan berkeras akan selalu menjadi perempuan yang tulus padamu. Kalau sudah begini aku bisa apa selain menuruti apa maunya hatiku. Sepertinya kau telah menjadi satu bagian penting dalam kehidupanku. Dan aku tahu aku tak bisa tanpa bagian penting itu. Maka sekarang aku akan mengamati bagaimana nantinya, karena ini masih sangat awal. Masih sangat awal bagiku untuk sekedar menebak akan seperti apa aku dan kamu nantinya. Namun harapku, sejauh apa pun dan sesulit apa pun kenyataan di depan sana nantinya. Aku ingin tetap bersamamu. Semoga. Amin.
23 Desember 2011
10.27 PM
Ketika kuucapkan janji itu aku demikian bersungguh-sungguh. Aku benar-benar ingin menjadikanmu sahabat hidupku, satu-satunya laki-laki yang akan kupertahankan hingga akhir usiaku. Aku ingin berdua bersamamu melalui semua perjalanan hidup ini. Aku ingin melukis kanvas kehidupanku sejalan dengan cinta dari kita berdua. Awalnya ku kira begitu, awalnya kusangka seperti itu. Tapi ketika itu aku demikian naïf, demikian terpaku hanya pada satu fakta bahwa aku demikian mencintaimu dengan begitu besarnya.
Ketika itu aku begitu egois, janji itu kukatakan hanya karena ku ingin memilikimu sebagai konsekuensi dari perasaanku. Aku sama sekali tidak melihat itu dari sisimu. Kamu tidak sama, perasaanmu untukku tidak sama. Kamu tidak mencintaiku seperti aku melakukannya untukmu. Kamu tidak pernah. Tidak pernah mencintaiku. Lalu kalau sudah begitu, apa aku masih harus menepati janjiku? Kalau sudah begitu, bagaimana bisa aku terus berusaha menepatinya sementara kamu sama sekali tidak merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan? Apakah harus kuteruskan ketika aku sudah menyadari fakta ini? Egois sepertinya jika aku terus melangkah maju dan mengusahakan janjiku ketika kamu tidak lagi sejalan denganku.