"Aku bosan di München. Jalan-jalan yuk.” ucapku di suatu senja pada pacarku yang akhirnya membawa kami berdua di salah satu destinasi pilihan para wisatawan luar negeri yang datang ke München. Apalagi kalau bukan si cantik nan menawan, kastil Neuschwanstein.
Kastil cantik ini memang terletak tak jauh dari München, ibukota Bundesland Bayern di Jerman. Kami hanya perlu naik kereta regional dari stasiun utama kota München dengan tujuan kota Füssen selama kira-kira dua jam.
Saya kembali. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali saya menginjakkan saya di rumah saya yang satu ini. Semuanya terasa berdebu dan dipenuhi sarang laba-laba. Udaranya pengap dan ketika saya membuka jendela untuk membiarkan udara segar masuk, bunyi berdecit dari jendela kembali mengingatkan saya tentang berapa lama yang sudah saya habiskan tanpa pernah menyentuh tempat ini. Ah, saya merasa bersalah.
Sering kali, ketika saya berlarian–berjibaku dengan kehidupan saya yang akhir-akhir ini terasa menguras habis energi saya, seseorang mengur saya, lalu dia akan bertanya apa kabar rumah saya yang ini. Kenapa saya tak pernah terlihat lagi di sana dan tentang apakah atau kapan saya akan kembali bertandang. Kebanyakan saya mencoba tersenyum, menyembunyikan rasa bersalah tapi juga sulit menjawab dengan benar. Saya juga ingin berkunjung, sebenarnya. Tapi sulit sekali. Rasanya saya menghabiskan dua puluh empat jam saya untuk hal-hal lain dan itu masih kurang, lalu bagaimana bisa saya meluangkan waktu untuk rumah ini ketika saya selalu merasa waktu saya saja tidak cukup untuk hal wajib saya?
Saya rasanya mau menangis.
Saya rindu rumah ini.
Saya rindu untuk menghidupkan semua sosok-sosok yang selama ini berkeliaran dalam cerita-cerita di rumah ini. Saya merindukan mereka di kepala saya.
Ah, rumit.
Harus bagaimana?
Malam kemarin, saya menemukan teman berbicara yang menyenangkan. Kami membicarakan banyak hal yang selama ini tidak pernah terpikir akan saya ceritakan pada orang lain. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuat saya merasa nyaman untuk menceritakan banyak hal yang pada orang lain tak pernah saya kisahkan. Dari sekian banyak hal yang kami bicarakan, topik menjadi setia menjadi hal yang menarik perhatian saya. Ada nyeri yang menyapa setiap kali saya membicarakan hal ini. Dia mendengarkan saya, tidak menyela dan hanya bertanya ketika waktunya tepat. Lalu ketika saya selesai dengan semua cerita saya, dia tidak menyalahkan sosok yang berada dalam cerita saya. Malah dengan lantang dan tegas, dia bilang bahwa itu normal. Bahwa memang seperti itulah prosesnya.
Menjadi setia dan bertahan dengan satu orang selama bertahun-tahun adalah hal yang sulit. Jangankan hanya pacaran, yang sudah menikah pun demikian. Beberapa pasangan menikah, mungkin terlihat bahagia, tapi apa mereka memang benar-benar bahagia? Mereka hanya “officially” bahagia, katanya. Kita tidak pernah tahu tentang apa yang ada di dalam kepala, pun hati mereka. Monogami adalah hal yang lumrah untuk dikhianati.
Ketika dia mengucapkan semua itu. Saya banyak terdiam dan hanya mendengarkan. Bukan karena saya sependapat dengannya, tapi lebih karena saya ingin tahu seperti apa pikiran orang lain tentang hal-hal yang selama ini hanya saya debatkan sendiri di dalam kepala. Dia masih berbicara, mengungkapkan banyak contoh dan penjabaran-penjabaran yang semakin membuat kening saya berkerut dalam.
Laki-laki (seseorang) mungkin hanya bisa bertahan selama empat sampai lima tahun untuk bisa berada dalam sebuah hubungan dengan seseorang. Setelahnya mereka akan bosan, dan mereka akan mencari pasangan lain—secara sembunyi-sembunyi atau terang-terangan dengan meminta berpisah, paparnya dengan wajah serius. Konsep ini yang membuat saya mengernyit. Selingkuh ya? Tanya saya waktu itu dengan suara getir. Bisa jadi, jawabnya.
Lalu di dalam hati, saya merasa ingin menangis. Saya tahu benar, sebosan-bosannya saya pada hubungan apa pun itu yang saya jalani, saya tidak akan pernah melakukan itu. Setidaknya saya yang sekarang, tidak akan pernah melakukan itu. Bagi saya, mendiskusikan hal ini dengan pasangan adalah cara yang lebih baik, daripada mencari solusi masalah dengan berselingkuh. Ketika seseorang sepakat untuk menjalin hubungan dengan orang lainnya, bukankah ketika itu mereka secara tidak langsung menyetujui sebuah komitmen bersama? Jadi ketika entah komitmen itu memudar atau perasaannya yang memudar, seharusnya mereka mengatakannya, dan bukannya bersembunyi dan memperbanyak masalah.
Saya lebih memilih pasangan saya mengatakan kepada saya jika dia bosan pada saya, jika dia merasa hubungan kami tidak terasa sama lagi, atau jika-jika lainnya, daripada menemukan fakta bahwa dia berselingkuh. Tidak apa-apa bagi saya jika pasangan saya berkata dia bosan dan ingin menemukan wanita lain. Sungguh, saya merasa itu jauh lebih baik. Perselingkuhan bukanlah sebuah solusi, itu hanya jalan sempit yang diambil oleh seorang pengecut.
Bagi saya, ketika saya mengambil komitmen untuk berada dalam sebuah hubungan dengan pasangan saya. Maka saya akan memberikan seratus persen kesetiaan saya padanya. Bahkan, jika saya berada dalam fase ketika saya merasa bosan padanya, saya akan mengatakannya padanya. Mungkin kami bisa mencari solusinya, jika tidak, maka kami bisa berpisah baik-baik. Seperti itu saja. Sesederhana itu.
Perselingkuhan. Pengkhianatan. Saya pernah merasakan itu dan rasa sakitnya masih sama seolah itu terjadi kemarin padahal rasanya sudah hampir lebih dari tiga tahun berlalu. Saya tidak pernah tahu secara benar apakah memang benar pasangan saya dulu berselingkuh, tapi setidaknya itu yang saya lihat dan saya percaya sampai sekarang. Dia tidak pernah menjelaskan apa pun dan saya sudah terlalu lelah untuk mencari tahu dan menunggu, sebab semakin saya tahu, semakin banyak saya merasa sakit dan menangis karena dia.
Dan teman saya kemarin membuat saya melihat dari sudut pandang lain tentang hal ini. Sudut pandang yang selama ini sama sekali tidak saya kira ada. Ada denyur tidak setuju, tapi ada juga sebagian isi kepala saya yang membenarkan. Mungkin benar, mungkin pasangan saya dulu tidak merasa cukup dengan hanya memiliki saya setelah kami berada dalam jangka waktu yang cukup lama bersama. Untuk pertama kalinya sejak bertahun-tahun setelah saya patah hati, saya merasa baik-baik saja.
Terima kasih, Alex.
Menjadi seorang aupair tentunya adalah sebuah keputusan yang besar. Ketika kamu mengambil keputusan itu, berarti kamu telah siap untuk masuk ke tahap lain di hidup kamu. Namun banyak juga dari para aupair yang merasa keputusan menjadi aupair adalah salah, justru ketika mereka sudah berada di negara lain tempat mereka menjalankan program aupair.
Coba pikirkan berapa banyak uang yang sudah mereka keluarkan dan berapa banyak waktu yang sudah mereka habiskan untuk bisa sampai di sana dan ternyata ujung-ujungnya mereka menyerah. Kalau sudah ada di negara lain, pilihan mundur jelas sudah sedikit terlambat, bukan? Nah sebelum semua itu terjadi, coba cek poin-poin yang aku akan sebutkan setelah ini untuk mengecek apakah kamu sudah benar-benar siap untuk menjadi aupair di negara lain (terutama Jerman atau Austria).
Akhirnya setelah melewati fase stress ngga dapat Termin buat bikin visa, aku sampai juga di fase leyeh-leyeh dengan stiker visa nasional Jerman di pasporku. Yuhuu!!
Selain itu, visa kali ini adalah visa dengan proses pembuatan tercepat dalam sejarah pembuatan segala macam jenis visa yang sudah pernah kulakukan. Cuma dua minggu sejak tanggal penggajuan visa dan voila.. visaku sudah jadi dan aku sudah bisa ambil di kedutaan Jerman di Wina. Proses dalam pengajuannya pun yang paling minim stress (tanpa mengabaikan betapa stress dan down-nya nyari Termin kosong).
Setelah dapat email dari kedutaan Jerman yang memberitahukanku bahwa visaku sudah jadi dan bisa diambil, aku memberitahukan kabar baik ini pada keluargaku di Indonesia dan host family-ku di sini. Host family-ku menawarkan padaku untuk mengantarkan ku mengambil visaku karena kebetulan Minggu depan mereka Urlaub (libur) jadi aku tidak perlu repot-repot naik kereta api. Terang saja aku langsung mengiyakan, lumayan juga menghemat sekitar 18€ tiket kereta api PP dari Böheimkirchen ke Wien HBF (stasiun kereta api).
Kalau di kedutaan Jerman di Wina, yang diperlukan untuk pengambilan visa hanya menunjukkan kartu asuransi kesehatan atau bukti pengajuan asuransi kesehatan di Jerman. Jika belum ada, bisa menunjukkan kartu asuransi kesehatan milik kita di Austria. Dalam kasusku, karena aku sudah punya kartu asuransi kesehatan di Jerman (aku pakai AOK Bayern), aku tinggal menunjukkan ini pada petugas kedutaan.
Di Wina, visa bisa diambil hari itu juga ketika kita menyerahkan paspor. Jadi kita datang dua kali di hari yang sama dalam pengambilan visa. Pertama kita datang pagi hari, diantara jam 9 pagi dan jam 12 siang untuk menyerahkan paspor dan bukti asuransi kesehatan di Jerman, lalu kita datang lagi pada sore hari di antara jam 3 sore dan jam 4 sore di hari yang sama untuk mengambil paspor dan visa. Saranku sih, datang aja sebelum jam 3 karena sore hari adalah jam sibuknya kedutaan. Pengajuan visa, pengambilan visa dilakukan di sore hari, pagi hari hanya diperuntukkan bagi warga Jerman yang ingin mengurus atau memperbarui KTP mereka atau mengurus paspor mereka. Jadi antrean sore hari itu astaga naga deh, aku datang jam 3 sore tepat dan dapat antrean nomer 43 sementara yang sedang dilayani masih nomer 23. Mpret ah!
Ah satu lagi, pengambilan visa di kedutaan Jerman di Wina hanya bisa dilakukan pada hari Senin, Rabu dan Kamis. Lalu jangan lupa juga bawa print out email dari kedutaan yang memberitahukan bahwa bisa kita sudah bisa diambil, tanpa bukti itu, ngga bakal diizinkan masuk sama petugas keamanan di kedutaan.
Buat kalian yang masih dalam proses pengajuan visa Jerman (apa pun jenisnya), semangat ya!!
Alamat kedutaan Jerman di Wina :
Deutsche Botschaft Wien
-Visastelle- Besucheradresse: Strohgasse 14c, 1030 Wien Postanschrift: Postfach 60, 1037 Wien Fax: 0043-(0)1 / 711 54 272
PS. Visaku berlaku selama 12 bulan. Biasanya Visa cuma berlaku 3 bulan, lalu setelah di Jerman kita perpanjang sendiri sekalian mengajukan dan mengambil Aufenthaltstitel (Kartu Residen Permit).
Ngga kerasa hampir dua tahun sudah aku tinggal di Eropa, setahun di Jerman, lalu pulang ke Indonesia demi ngejar ijasah sarjana, lalu balik Eropa dan tinggal hampir setahun di Austria. Ngga sedikit teman dan kenalan yang berkomentar, “Enak ya tinggal di Eropa.”. Tanggapan paling normal yang aku berikan biasanya seperti ini, “Ada enak dan ngga enaknya juga.”. Lalu seperti apa sebenarnya rasanya tinggal di Eropa, benua yang jaraknya belasan ribu kilometer dari rumah?
Tentunya rasanya lebih nano-nano dari permen nano-nano yang cuma anak 90-an yang paham. Banyak suka duka yang dirasakan dan kebanyakan dirasakan sendirian. Well, karena peribahasa di Indonesia mengatakan bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, maka aku bakal bahas yang ngenes-ngenes lebih dulu sebelum kita masuk ke bagian hura-huranya. So, apa sih dukanya tinggal di Eropa?
Pertama, jelas kendala bahasa. Karena kebetulan aku tinggal di Jerman dan Austria yang kebetulan sama-sama menggunakan bahasa Jerman, tantangan pertama ketika tinggal di sini jelas mempelajari bahasa Jerman. Jangan dikira bahasa Jerman ini gampang dikuasai, karena buatku gramatikal bahasa Jerman ini susahnya lebih parah daripada ngapalin huruf kanji Jepang dengan belasan cara penulisan. Selain itu, orang Jerman juga banyak yang ngga terlalu suka menggunakan bahasa Inggris meskipun mereka bisa. Aku pernah punya pengalaman tentang hal ini, dulu ketika baru seminggu tinggal di Jerman, aku pernah nanya ke orang di stasiun pakai bahasa Inggris. Eh malah di balas dengan kalimat bahasa Jerman yang kurang lebihnya seperti ini, “Kamukan di Jerman, kamu harus bisa berbahasa Jerman. Salah tidak apa-apa, kami juga mengerti.”. Akhirnya setelah itu aku nanya pakai bahasa Jermanku yang masih dasar banget dan dia menjawabnya dengan tersenyum dan menyemangatiku setelahnya untuk bisa lebih semangat belajar bahasa Jerman. Selain itu, kecuali di kota-kota besar, banyak informasi-informasi dan rambu-rambu penting yang hanya disampaikan atau ditulis dalam bahasa Jerman. Well, karena tinggal di negara berbahasa Jerman, aku jelas harus bisa (dan berupaya) memahami dan mengerti bahasa Jerman untuk bisa survive hidup di sini.
Kedua, perbedaan budaya dan adat istiadat. Ini sudah jelas, seperti kata pepatah dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Meskipun aku berasal dari negara dengan budaya timur yang kental, tapi aku juga harus belajar dan menghargai budaya di sini, tempat dimana aku tinggal sekarang. Hal pertama yang aku pelajari di sini tentunya tentang The Do’s and Don’ts in Germany and Austria alias apa yang boleh dan tidak boleh aku lakuin selama tinggal di Jerman dan Austria. Sebagai pendatang, aku jelas harus menghargai dan menghormati budaya mereka meskipun kadang terasa asing dan aneh bagiku. Toleransi, tenggang rasa, eh tapi ngomong-ngomong kayaknya dua sifat yang aku sebutin tadi, lagi perlu banget buat semakin diperkuat di Indonesia ya? Sedih banget kalau lagi baca berita tentang banyak kasus soal budaya dan SARA di Indonesia. Oh astaga, maaf curcol.
Nah yang ketiga adalah masalah hukum. Secara beda negara, beda pula hukum yang berlaku. Tinggal jauh dari negara kelahiran, jangan sampai bikin malu karena terkena kasus hukum di negara tinggal. Aku sendiri kadang gedeg sendiri sama hukum di Jerman dan Austria. Saking ribet dan kerennya, kadang banyak hal yang bagi aku, orang Indonesia, terlihat aneh bin ajaib yang sayangnya kalau dinalar kitanya bakal bilang, oh iya ya bener juga. Kayak misalnya peraturan soal keramaian, jangan harap kamu bisa setel stereo kenceng-kenceng di Jerman macam orang lagi punya hajatan karena kalau tetanggamu merasa terganggu dan dia lapor polisi, kamu bisa dipenjara. Atau mungkin hati-hati kalau sepedaan sambil makan pisang, nanti kamu ditilang (btw orang mana mau sepedaan sambil makan pisang?). Jangan harap juga bisa bawa mobil kenceng-kenceng meskipun lagi di jalan tol, karena di Austria, di jalan tol juga ada batas kecepatan, kalau melebihi 130 km/jam, siap-siap saja menerima surat tilang plus dendanya yang bisa sampai 300€ di kotak pos rumahmu. Kalau mau ngebut, di Jerman saja. LoL.
Yang keempat, kehidupan bersosialisasi. Sebagai makhluk sosial, jelas sosialisasi sangat diperlukan. Lalu apakah kehidupan bersosialisasi orang Jerman dan Austria sama dengan kehidupan bersosialisasi orang Indonesia? Jelas saja enggak. Kebanyakan orang Jerman dan Austria yang kukenal, jarang yang bisa diajak ngerumpi atau ngobrol receh. Kalau sama mereka, obrolannya berat-berat. Jelas beda banget sama orang Indonesia, yang hobi banget sama obrolan dan humor receh. Bahkan seringnya waktu buat ngerumpi ngga penting dan curhat-curhat manja bisa lebih panjang dari waktu produktif tiap harinya. Kita, orang Indonesia, terbiasa hidup di lingkungan sosial yang bisa diajak haha hihi dengan senang hati, ngalor ngidul kongkow-kongkow kemana-mana (yang penting hati senang). Nah di Jerman dan Austria, boro-boro bisa begitu, nemu teman yang sepikiran aja susah. Mau ngajak ke sana kemari juga gak bisa tiba-tiba datang dan pasang senyum cengengesan di depan rumah orang, yang ada kamu bisa dimarahi dan diusir. Ngajak jalan musti dari jauh-jauh hari. Serasa bikin Termin alias janji gitu. Kita juga ngga bisa curhat receh sama mereka, yang ada malah dipandang aneh. Nanti bukannya hilang stress, kita malah tambah stress.
Lalu yang kelima bagiku adalah cuaca dan musim. Temen-temenku paling banyak bilang ke aku, “Wah enak ya, bisa lihat dan main salju.”. Aku versi fake biasanya cuma haha hihi sambil iya iyain aja. Aku versi sarkastik dan sinis ngedumel dalam hati, “Gundulmu ta enak?” Uppss! Serius deh, salju itu cuma enak dilihat. Dirasain? Sepurane, engga banget. Belum lagi ribetnya kalau mau pergi pas musim dingin. Lima belas menit sendiri buat make baju dan tetek bengek macam sarung tangan, syal, tutup kepala, atau bahkan longjohn kalau dinginnya ekstrem banget. Nah begitu keluar, salju tinggi banget sampai buat jalan aja, kamu butuh energi super. Soalnya kadang-kadang ada jalanan buat pejalan kaki yang ngga dibersihin dan malah dijadikan tempat tumpukan kerukan salju dari jalan utama. Ini kampret banget sumpah. Belum lagi winter depresi dan perubahan mood yang adugile di musim dingin karena tubuh kurang cahaya matahari. Tapi selain salju dan dinginnya yang bisa sampai MINUS 23°C, ada juga musim gugur yang membuat aku merasa teraniaya tinggal di Eropa. Sebenarnya, kalau diantara empat musim, musim gugur selalu jadi favorit aku. Bayangin aja daun-daun memerah dan daun-daun yang berwarna kuning jatuh berguguran tertiup angin. Lalu kita gandengan jalan di taman sama pacar dengan romantisme musim gugur yang aduhai. Duh, serius deh, di tampilan tv ataupun di gambar, musim gugur itu seromantis-romantisnya musim yang ada. Eittss, tapi tunggu dulu sampai kamu ngerasain angin musim gugur. Bagiku, angin musim gugur itu racun. Sekali kena, langsung kepalaku pusing dan bisa kena migrain sampai rasanya nangis aja udah gak sanggup. Aku sendiri selama tinggal di Indonesia jarang banget sakit kepala, tapi sejak di sini, ngga ada satu hari pun di musim gugur yang aku ngga nangis-nangis karena sakit kepala. Angin musim gugur itu serius dingin banget, lebih dingin daripada salju di MINUS 23°C.
Nah, sementara ini, lima hal di atas yang menjadi duka prioritas selama tinggal di Eropa, khususnya Jerman dan Austria. Aku yakin masih banyak yang lainnya, tapi recehan lain di simpan saja untuk diceritakan ke Tuhan. Tapi jangan takut buat tinggal di Eropa, karena kepuasan, pembelajaran dan pengalaman hidup yang didapat di sana juga bakal seimbang dengan sedih-sedihnya tinggal jauh dari tanah lahir, tinggal jauh dari keluarga dan sahabat.
Last but not least, jangan jadikanlah jarak dan kata jauh menjadikan alasan untuk berhenti bermimpi. Pergilah sejauh mungkin untuk meraih cita-citamu jika itu memang yang kamu yakini, dan nanti ketika kamu kembali, kamu mungkin juga tahu seberapa dalam arti kata pulang.