Menjadi seorang aupair tentunya adalah sebuah keputusan yang besar. Ketika kamu mengambil keputusan itu, berarti kamu telah siap untuk masuk ke tahap lain di hidup kamu. Namun banyak juga dari para aupair yang merasa keputusan menjadi aupair adalah salah, justru ketika mereka sudah berada di negara lain tempat mereka menjalankan program aupair.
Coba pikirkan berapa banyak uang yang sudah mereka keluarkan dan berapa banyak waktu yang sudah mereka habiskan untuk bisa sampai di sana dan ternyata ujung-ujungnya mereka menyerah. Kalau sudah ada di negara lain, pilihan mundur jelas sudah sedikit terlambat, bukan? Nah sebelum semua itu terjadi, coba cek poin-poin yang aku akan sebutkan setelah ini untuk mengecek apakah kamu sudah benar-benar siap untuk menjadi aupair di negara lain (terutama Jerman atau Austria).
Akhirnya setelah melewati fase stress ngga dapat Termin buat bikin visa, aku sampai juga di fase leyeh-leyeh dengan stiker visa nasional Jerman di pasporku. Yuhuu!!
Selain itu, visa kali ini adalah visa dengan proses pembuatan tercepat dalam sejarah pembuatan segala macam jenis visa yang sudah pernah kulakukan. Cuma dua minggu sejak tanggal penggajuan visa dan voila.. visaku sudah jadi dan aku sudah bisa ambil di kedutaan Jerman di Wina. Proses dalam pengajuannya pun yang paling minim stress (tanpa mengabaikan betapa stress dan down-nya nyari Termin kosong).
Setelah dapat email dari kedutaan Jerman yang memberitahukanku bahwa visaku sudah jadi dan bisa diambil, aku memberitahukan kabar baik ini pada keluargaku di Indonesia dan host family-ku di sini. Host family-ku menawarkan padaku untuk mengantarkan ku mengambil visaku karena kebetulan Minggu depan mereka Urlaub (libur) jadi aku tidak perlu repot-repot naik kereta api. Terang saja aku langsung mengiyakan, lumayan juga menghemat sekitar 18€ tiket kereta api PP dari Böheimkirchen ke Wien HBF (stasiun kereta api).
Kalau di kedutaan Jerman di Wina, yang diperlukan untuk pengambilan visa hanya menunjukkan kartu asuransi kesehatan atau bukti pengajuan asuransi kesehatan di Jerman. Jika belum ada, bisa menunjukkan kartu asuransi kesehatan milik kita di Austria. Dalam kasusku, karena aku sudah punya kartu asuransi kesehatan di Jerman (aku pakai AOK Bayern), aku tinggal menunjukkan ini pada petugas kedutaan.
Di Wina, visa bisa diambil hari itu juga ketika kita menyerahkan paspor. Jadi kita datang dua kali di hari yang sama dalam pengambilan visa. Pertama kita datang pagi hari, diantara jam 9 pagi dan jam 12 siang untuk menyerahkan paspor dan bukti asuransi kesehatan di Jerman, lalu kita datang lagi pada sore hari di antara jam 3 sore dan jam 4 sore di hari yang sama untuk mengambil paspor dan visa. Saranku sih, datang aja sebelum jam 3 karena sore hari adalah jam sibuknya kedutaan. Pengajuan visa, pengambilan visa dilakukan di sore hari, pagi hari hanya diperuntukkan bagi warga Jerman yang ingin mengurus atau memperbarui KTP mereka atau mengurus paspor mereka. Jadi antrean sore hari itu astaga naga deh, aku datang jam 3 sore tepat dan dapat antrean nomer 43 sementara yang sedang dilayani masih nomer 23. Mpret ah!
Ah satu lagi, pengambilan visa di kedutaan Jerman di Wina hanya bisa dilakukan pada hari Senin, Rabu dan Kamis. Lalu jangan lupa juga bawa print out email dari kedutaan yang memberitahukan bahwa bisa kita sudah bisa diambil, tanpa bukti itu, ngga bakal diizinkan masuk sama petugas keamanan di kedutaan.
Buat kalian yang masih dalam proses pengajuan visa Jerman (apa pun jenisnya), semangat ya!!
Alamat kedutaan Jerman di Wina :
Deutsche Botschaft Wien
-Visastelle- Besucheradresse: Strohgasse 14c, 1030 Wien Postanschrift: Postfach 60, 1037 Wien Fax: 0043-(0)1 / 711 54 272
PS. Visaku berlaku selama 12 bulan. Biasanya Visa cuma berlaku 3 bulan, lalu setelah di Jerman kita perpanjang sendiri sekalian mengajukan dan mengambil Aufenthaltstitel (Kartu Residen Permit).
Ngga kerasa hampir dua tahun sudah aku tinggal di Eropa, setahun di Jerman, lalu pulang ke Indonesia demi ngejar ijasah sarjana, lalu balik Eropa dan tinggal hampir setahun di Austria. Ngga sedikit teman dan kenalan yang berkomentar, “Enak ya tinggal di Eropa.”. Tanggapan paling normal yang aku berikan biasanya seperti ini, “Ada enak dan ngga enaknya juga.”. Lalu seperti apa sebenarnya rasanya tinggal di Eropa, benua yang jaraknya belasan ribu kilometer dari rumah?
Tentunya rasanya lebih nano-nano dari permen nano-nano yang cuma anak 90-an yang paham. Banyak suka duka yang dirasakan dan kebanyakan dirasakan sendirian. Well, karena peribahasa di Indonesia mengatakan bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, maka aku bakal bahas yang ngenes-ngenes lebih dulu sebelum kita masuk ke bagian hura-huranya. So, apa sih dukanya tinggal di Eropa?
Pertama, jelas kendala bahasa. Karena kebetulan aku tinggal di Jerman dan Austria yang kebetulan sama-sama menggunakan bahasa Jerman, tantangan pertama ketika tinggal di sini jelas mempelajari bahasa Jerman. Jangan dikira bahasa Jerman ini gampang dikuasai, karena buatku gramatikal bahasa Jerman ini susahnya lebih parah daripada ngapalin huruf kanji Jepang dengan belasan cara penulisan. Selain itu, orang Jerman juga banyak yang ngga terlalu suka menggunakan bahasa Inggris meskipun mereka bisa. Aku pernah punya pengalaman tentang hal ini, dulu ketika baru seminggu tinggal di Jerman, aku pernah nanya ke orang di stasiun pakai bahasa Inggris. Eh malah di balas dengan kalimat bahasa Jerman yang kurang lebihnya seperti ini, “Kamukan di Jerman, kamu harus bisa berbahasa Jerman. Salah tidak apa-apa, kami juga mengerti.”. Akhirnya setelah itu aku nanya pakai bahasa Jermanku yang masih dasar banget dan dia menjawabnya dengan tersenyum dan menyemangatiku setelahnya untuk bisa lebih semangat belajar bahasa Jerman. Selain itu, kecuali di kota-kota besar, banyak informasi-informasi dan rambu-rambu penting yang hanya disampaikan atau ditulis dalam bahasa Jerman. Well, karena tinggal di negara berbahasa Jerman, aku jelas harus bisa (dan berupaya) memahami dan mengerti bahasa Jerman untuk bisa survive hidup di sini.
Kedua, perbedaan budaya dan adat istiadat. Ini sudah jelas, seperti kata pepatah dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Meskipun aku berasal dari negara dengan budaya timur yang kental, tapi aku juga harus belajar dan menghargai budaya di sini, tempat dimana aku tinggal sekarang. Hal pertama yang aku pelajari di sini tentunya tentang The Do’s and Don’ts in Germany and Austria alias apa yang boleh dan tidak boleh aku lakuin selama tinggal di Jerman dan Austria. Sebagai pendatang, aku jelas harus menghargai dan menghormati budaya mereka meskipun kadang terasa asing dan aneh bagiku. Toleransi, tenggang rasa, eh tapi ngomong-ngomong kayaknya dua sifat yang aku sebutin tadi, lagi perlu banget buat semakin diperkuat di Indonesia ya? Sedih banget kalau lagi baca berita tentang banyak kasus soal budaya dan SARA di Indonesia. Oh astaga, maaf curcol.
Nah yang ketiga adalah masalah hukum. Secara beda negara, beda pula hukum yang berlaku. Tinggal jauh dari negara kelahiran, jangan sampai bikin malu karena terkena kasus hukum di negara tinggal. Aku sendiri kadang gedeg sendiri sama hukum di Jerman dan Austria. Saking ribet dan kerennya, kadang banyak hal yang bagi aku, orang Indonesia, terlihat aneh bin ajaib yang sayangnya kalau dinalar kitanya bakal bilang, oh iya ya bener juga. Kayak misalnya peraturan soal keramaian, jangan harap kamu bisa setel stereo kenceng-kenceng di Jerman macam orang lagi punya hajatan karena kalau tetanggamu merasa terganggu dan dia lapor polisi, kamu bisa dipenjara. Atau mungkin hati-hati kalau sepedaan sambil makan pisang, nanti kamu ditilang (btw orang mana mau sepedaan sambil makan pisang?). Jangan harap juga bisa bawa mobil kenceng-kenceng meskipun lagi di jalan tol, karena di Austria, di jalan tol juga ada batas kecepatan, kalau melebihi 130 km/jam, siap-siap saja menerima surat tilang plus dendanya yang bisa sampai 300€ di kotak pos rumahmu. Kalau mau ngebut, di Jerman saja. LoL.
Yang keempat, kehidupan bersosialisasi. Sebagai makhluk sosial, jelas sosialisasi sangat diperlukan. Lalu apakah kehidupan bersosialisasi orang Jerman dan Austria sama dengan kehidupan bersosialisasi orang Indonesia? Jelas saja enggak. Kebanyakan orang Jerman dan Austria yang kukenal, jarang yang bisa diajak ngerumpi atau ngobrol receh. Kalau sama mereka, obrolannya berat-berat. Jelas beda banget sama orang Indonesia, yang hobi banget sama obrolan dan humor receh. Bahkan seringnya waktu buat ngerumpi ngga penting dan curhat-curhat manja bisa lebih panjang dari waktu produktif tiap harinya. Kita, orang Indonesia, terbiasa hidup di lingkungan sosial yang bisa diajak haha hihi dengan senang hati, ngalor ngidul kongkow-kongkow kemana-mana (yang penting hati senang). Nah di Jerman dan Austria, boro-boro bisa begitu, nemu teman yang sepikiran aja susah. Mau ngajak ke sana kemari juga gak bisa tiba-tiba datang dan pasang senyum cengengesan di depan rumah orang, yang ada kamu bisa dimarahi dan diusir. Ngajak jalan musti dari jauh-jauh hari. Serasa bikin Termin alias janji gitu. Kita juga ngga bisa curhat receh sama mereka, yang ada malah dipandang aneh. Nanti bukannya hilang stress, kita malah tambah stress.
Lalu yang kelima bagiku adalah cuaca dan musim. Temen-temenku paling banyak bilang ke aku, “Wah enak ya, bisa lihat dan main salju.”. Aku versi fake biasanya cuma haha hihi sambil iya iyain aja. Aku versi sarkastik dan sinis ngedumel dalam hati, “Gundulmu ta enak?” Uppss! Serius deh, salju itu cuma enak dilihat. Dirasain? Sepurane, engga banget. Belum lagi ribetnya kalau mau pergi pas musim dingin. Lima belas menit sendiri buat make baju dan tetek bengek macam sarung tangan, syal, tutup kepala, atau bahkan longjohn kalau dinginnya ekstrem banget. Nah begitu keluar, salju tinggi banget sampai buat jalan aja, kamu butuh energi super. Soalnya kadang-kadang ada jalanan buat pejalan kaki yang ngga dibersihin dan malah dijadikan tempat tumpukan kerukan salju dari jalan utama. Ini kampret banget sumpah. Belum lagi winter depresi dan perubahan mood yang adugile di musim dingin karena tubuh kurang cahaya matahari. Tapi selain salju dan dinginnya yang bisa sampai MINUS 23°C, ada juga musim gugur yang membuat aku merasa teraniaya tinggal di Eropa. Sebenarnya, kalau diantara empat musim, musim gugur selalu jadi favorit aku. Bayangin aja daun-daun memerah dan daun-daun yang berwarna kuning jatuh berguguran tertiup angin. Lalu kita gandengan jalan di taman sama pacar dengan romantisme musim gugur yang aduhai. Duh, serius deh, di tampilan tv ataupun di gambar, musim gugur itu seromantis-romantisnya musim yang ada. Eittss, tapi tunggu dulu sampai kamu ngerasain angin musim gugur. Bagiku, angin musim gugur itu racun. Sekali kena, langsung kepalaku pusing dan bisa kena migrain sampai rasanya nangis aja udah gak sanggup. Aku sendiri selama tinggal di Indonesia jarang banget sakit kepala, tapi sejak di sini, ngga ada satu hari pun di musim gugur yang aku ngga nangis-nangis karena sakit kepala. Angin musim gugur itu serius dingin banget, lebih dingin daripada salju di MINUS 23°C.
Nah, sementara ini, lima hal di atas yang menjadi duka prioritas selama tinggal di Eropa, khususnya Jerman dan Austria. Aku yakin masih banyak yang lainnya, tapi recehan lain di simpan saja untuk diceritakan ke Tuhan. Tapi jangan takut buat tinggal di Eropa, karena kepuasan, pembelajaran dan pengalaman hidup yang didapat di sana juga bakal seimbang dengan sedih-sedihnya tinggal jauh dari tanah lahir, tinggal jauh dari keluarga dan sahabat.
Last but not least, jangan jadikanlah jarak dan kata jauh menjadikan alasan untuk berhenti bermimpi. Pergilah sejauh mungkin untuk meraih cita-citamu jika itu memang yang kamu yakini, dan nanti ketika kamu kembali, kamu mungkin juga tahu seberapa dalam arti kata pulang.
Ciao!
Akhirnya saya dapat janji temu buat bikin visa!
Setelah penantian panjang, galau setiap harinya dan deg-degan gak jelas. Akhirnya saya dapat juga janji temu buat bikin visa di kedutaan Jerman di Wina. Lega, seneng, masih seperempat galau, dan macam-macam rasanya waktu itu. Bayangkan saja, saya dapat kontrak kerja pertanggal 4 September, dan sejak pertengahan Juni sampai September awal, ngga ada janji kosong tertera di laman resmi kedutaan Jerman di Wina, alias sudah full-booked semua. Saya bahkan email dan telpon mereka, dan jawaban mereka hanya saya diminta cek laman Terminvergabe Visa beberapa kali dalam sehari, siapa tahu ada yang membatalkan janji temu visa dan saya bisa menggantikan mereka. Lalu singkat cerita, Alhamdulillah-nya saya dapat termin tanggal 13 Juli 2017.
Well, akhirnya saya siapkan semua dokumen-dokumen yang diminta kedutaan. Jangan lupa untuk mengkopi semua dokumen asli menjadi rangkap DUA ya! Sepertinya hal ini juga berlaku jika kalian mengajukan permohonan visa BFD di Jakarta. Lalu, untuk dokumen-dokumen yang diperlukan adalah sebagai berikut :
2 lembar formulir pengajuan izin tinggal (Anträge auf Erteilung einer Aufenthaltserlaubnis) yang telah diisi dan ditandatangani. Formulir ini dapat diunduh di www.wien.diplo.de atau diambil di kantor kedutaan Jerman.
2 lembar surat pernyataan Belehrungen gemäß § 54 AufenthG yang telah ditandatangani. Surat pernyataan ini dapat diunduh di www.wien.diplo.de atau diambil di kantor kedutaan Jerman.
2 pas foto yang dapat dicetak langsung di kedutaan dengan harga 7€ per empat lembar foto. Ada mesin foto otomatis di sana yang ketentuan cetaknya sesuai dengan yang diminta kedutaan Jerman. Jika kalian mencetak foto sendiri, wajib mengunakan latar putih.
Uang 60€ tunai yang nantinya akan dibayarkan di loket pengajuan visa.
Paspor Republik Indonesia karena saya warga negara Indonesia.
Meldebestätigung der österreichischen Meldebehörde (Meldezettel) atau surat bukti pendaftaran kependudukan di Austria. Surat ini saya dapat ketika pertama datang di Austria dan melakukan daftar diri atau lapor diri di kantor kependudukan setempat.
Österreichischer Aufenthaltstitel atau izin tinggal di Austria.
Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) Austria.
Kontrak atau perjanjian kerja di Jerman. Karena saya mengajukan visa BFD, maka kontrak kerja saya juga harus ditandatangani oleh Bundesamt für Familie und Zivilgesellschaftliche Aufgaben (In English: Federal Office of Family and Civic Duties).
Daftar riwayat hidup lengkap.
Surat motivasi lengkap.
Dokumen tentang status saya di Austria seperti misalnya kontrak Aupair, atau konfirmasi penerimaan di sekolah bahasa atau universitas di Austria.
Ijasah sekolah terakhir saya. Awalnya saya ngga yakin apa saya memang perlu membawa ijasah saya. Tapi akhirnya sebagai jaga-jaga saya bawa saja dan ternyata memang diminta.
Ingat! Semua dokumen di atas harap dikopi dua rangkap ya! Jangan lupa untuk mencetak bukti janji temu untuk mengajukan visa yang telah dikirim oleh kedutaan Jerman melalui e-mail.
Kantor Kedutaan Jerman di Wina
Sekitar jam setengah dua siang saya sampai di kantor kedutaan Jerman di Wina yang beralamat di Strohgasse 14C 1030 Wien. Saya masuk ke sana bersama dengan dua perempuan asal Georgia yang akan mengajukan visa pelajar di Jerman. Kami langsung menuju ke lantai dasar tempat pengajuan visa, namun pintu kantornya malah terkunci rapat. Kami bertiga jelas bingung, karena sesuai jadwal harusnya sudah buka, dan sudah ada dua orang sebelum kami yang mungkin sedang melakukan proses pengajuan visa.
Setelah ngobrol dengan dua perempuan Georgia ini, kami memutuskan untuk naik ke lantai satu yang diperuntukkan sebagai kantor konsulat Jerman. Nah, setelah sedikit berbicara (dan berdebat) dengan petugas di lantai dua yang mengatakan bahwa pengajuan visa hari itu hanya dilakukan pagi hari, mereka akhirnya menyuruh kami kembali ke lantai dasar karena dia akan memanggilkan petugas visa ke lantai dasar setelah kami menunjukkan bukti janji temu yang dikirim kedutaan ke e-mail kami.
Setelah menunggu beberapa menit, seorang petugas keamanan membuka pintu pengajuan visa dari dalam dan menanyakan nama kami. Tak lama kemudian dia dan seorang petugas keamanan lain mempersilakan kami masuk.
Karena tidak ada orang lain selain kami bertiga yang akan mengajukan visa, dua petugas keamanan tersebut langsung mempersilakan kami ke loket visa. Saya menunggu dua perempuan Georgia itu selesai dengan proses visa mereka, sebelum akhirnya giliran saya. Petugas loket visa yang melayani saya adalah seorang perempuan Jerman yang sangat ramah. Selain mengecek semua dokumen saya, dia juga mewawancarai saya terkait pengajuan visa BFD saya, seperti apa rencana saya setelah masa BFD saya selesai, dan apakah saya punya pacar di Jerman atau tidak.
Proses pengajuan visa yang saya lakukan berlangsung tidak sampai 15menit. Setelahnya petugas loket visa mengembalikan paspor saya dan memberikan saya bukti pengajuan visa dan nomer pengajuan visa saya. Dia mengatakan bahwa saya akan mendapatkan telpon atau email dari kedutaan jika visa saya telah selesai.
Alhamdulillah. Saya keluar dari kantor kedutaan Jerman dengan nafas lega. Setidaknya saya sudah melakukan pengajuan visa. Tinggal menunggu beberapa waktu dan saya harap visa saya segera selesai. Biasanya berlangsung sekitar 2-8 minggu (hasil riset nanya sana sini), kalau sesuai dengan yang tertera di laman resmi kedutaan, proses pembuatan visa berlangsung sekitar 1-3 bulan. Woh!
Nah, sampai di sini postingan kali ini. Buat pejuang visa di seluruh dunia, SEMANGAAAAATTTTTT!!!!!!
Ps. Terima kasih buat kalian semua yang sudah mendoakan supaya saya bisa dapat janji temu bikin visa. I do love you, guys. xoxo, Ree
“R, lo gak apa-apa?”
Aku bisa merasakan cengkraman tangan di kedua lenganku dan suara samar-samar di dekatku. Aku mencoba mengangkat kepalaku namun rasanya berat sekali.
“R, lo bisa denger gue?”
Cengkraman di lenganku menguat dan aku merasa tubuhku bergoyang. Apa ada gempa bumi? Aku berusaha sekuat tenaga untuk mendongak, dan samar, wajah kalut penuh khawatir yang kukenali sebagai milik D memenuhi pandanganku.
Bagaimana dia bisa ada di apartemenku?
Aku terkikik pelan, Bodoh, aku menelponnya tadi.
Lalu bagaimana dia bisa masuk ke sini?
Ah, sial. Aku lupa lagi. D tahu kode kunci apartemenku. Hanya D dan Leon yang ta–
Leon?
“D..” panggilku serak tiba-tiba sebab rasa sakit yang ada sebelum gelas keempat belas wine merah kutenggak habis, menghantamku kembali. Melihat D membuatku ingin kembali menangis.
“D..” suara parauku memanggilnya kembali. Lalu kurasakan cengkraman di lenganku melonggar, ketika kulihat kedua tangan D bergerak ke wajahku dan menghapus tetes demi tetes air mataku
“D..” panggilku semakin tenggelam dalam isakan yang semakin keras. Lebih keras daripada suara musik yang kuputar sejak awal aku masuk ke apartemen ini dengan berbotol-botol wine di pelukanku–yang kuduga sekarang sudah kosong.
D tidak bertanya apapun dan hanya memelukku. Membiarkanku membasahi kemejanya dan menebar aroma alkohol di tubuhnya yang berbau segar musk khasnya. Aku bisa merasakan hangat tangannya melingkari punggungku erat-erat.
Ada jeda bermenit-menit dalam pelukan D yang rasanya lebih menenangkan daripada menenggelamkan diriku dalam ketidaksadaran dan keheningan semu oleh alkohol sebelum D melepaskan pelukannya dan menangkup kedua pipiku yang lembab basah.
“Lo gak perlu nangis cuma buat cowok brengsek seperti Leon. Lo punya gue, R.”
“Lo gak akan ninggalin gue?”
D menggeleng tegas, “Gue gak akan pernah ninggalin lo. Gue akan selalu ada buat lo sampai kapan pun selama hidup gue.”
Aku menatap iris gelap D dan melihat betapa dalam kejujuran yang ada di sana. Mengejutkan, jika selama ini aku bahkan tidak menyadari seperti apa perasaan D untukku.
“Sampai kapan pun, D?” lirihku. Seluruh diriku kehilangan keseimbangan, seolah tenggelam dalam mata D yang semakin merapatkan jaraknya padaku.
“Sampai kapan pun.” Suara D serak saat bibirnya sudah mencapai bibirku. Aku memejamkan mata ketika D merasakanku. Sentuhan D lembut dan aku mengernyit terkejut pada betapa manisnya bibir D. Tidak ada aroma rokok di sana, tidak seperti bibir Leon. Tidak ada aroma bibir perempuan lain di sana, tidak seperti bibir Leon.
Tidak seperti bibir Leon?
Aku mendorong D kuat-kuat dengan mendadak dan mengabaikannya yang terjatuh terduduk tak jauh dariku. Aku tidak bisa sepenuhnya melihat ekspresi D karena pandanganku menggelap dan kepalaku semakin berat.
Aku merangkak menggapai D yang langsung meraih tanganku. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku tadi mendorong D menjauh.
“Sorry, R.. gue–gue tadi gak bermak–“
Tapi tak ada suara selanjutnya keluar dari bibir D karena aku sudah membungkamnya dengan milikku. Aku mengecup D dalam sebab aku ingin menghilang selamanya bersama D. Aku bisa merasakan keterkejutan D, namun dengan cepat dia menguasai dirinya karena aku bisa merasakan hangat balasan D, bibir D.
D dan bukan Leon. Jika Leon saja bisa mencium dan tidur dengan siapa saja tanpa peduli padaku, kenapa aku tidak bisa melakukan itu juga padanya? Mulai sekarang, persetan dengannya.
“D, lo mau tidur sama gue?” bisikku tersesat diantara gerakan D dan panas tubuhku
Dan tak ada jawaban apapun setelahnya. Kami berdua tenggelam bersama.
“Lo bakal nikah di umur dua puluh enam tahun.”
Aku menoleh, terkejut, ada kerutan jelas di dahiku, “Lo mabok?”
Dia terkekeh. Memutar kepalanya menatapku, dan menyipitkan matanya setelah selesai dengan tawanya yang absurd, “Lo ngga percaya omongan gue?”
“Pulang gih. Lo udah mabok.”
Dia terkekeh lagi, makin keras, “Sepertinya lo bener. Mungkin gue uda mabok. Arrghh,” dia menyentuh kepalanya dan perlahan menjatuhkan tubuhnya pada rerumputan di belakangnya. Matanya terpejam dan satu tangannya masih tertangkup di atas dahinya. Tumpukan kaleng bir berserakan di sekitar kakinya. Aku sendiri masih mengenggam satu kaleng bir yang sudah tidak lagi dingin sambil meliriknya sekilas.
“Lo kenapa?” tanyaku santai.
“Gue ngerasa lo dan gue bakal selesai sebentar lagi.”
Aku langsung memutar kepalaku dan menatapnya benar-benar. Dia tidak pernah mengoceh aneh kalau dia memang sedang mabuk.
“Kadang, gue ngerasa gue bisa ngelihat masa depan.”
“Lo ngomong apa sih? Gak lucu tau.”
Ada cengiran tertahan di bibirnya sementara matanya masih terpejam, “Gue takut.”
Aku diam. Tidak tahu harus bereaksi apa.
“Gue ngerasa sebentar lagi lo bakal pergi dari gue.”
“Kampret! Lo nyumpahin gue mati.”
Kali ini dia membuka matanya dan tertawa, “Bukanlah, bego.”
“Terus?”
“Gue ngerasa lo bakal jatuh cinta lagi sebentar lagi. Bulan depan. Di bulan Maret. Gue rasa lo bakal jatuh cinta lagi di bulan Maret.”
Aku benar-benar ingin melempar kaleng birku ke kepalanya agar apapun itu yang sedang berproses di otaknya segerai terurai.
“Gila lo.”
“Jangan jatuh cinta lagi ya, R. Lo sama gue aja terus. Jangan jatuh cinta lagi.”
Mataku menyipit. Berusaha menemukan sesuatu di matanya. Namun dia kembali memejamkan matanya. Tak mengucapkan apapun lagi setelahnya. Jeda bisu menelan kami dalam pikiran kami masing-masing. Jujur saja aku tidak tahu harus mengatakan apa. Aku bahkan tidak benar-benar mengerti dengan apa yang dikatakannya.
Jangan jatuh cinta lagi ya, R. Lo sama gue aja terus. Jangan jatuh cinta lagi.
Hei, kamu… Suami. Apa kabar?
Apakah disana—dimanapun kamu berada—kamu baik-baik saja? Aku selalu berdoa agar kamu baik-baik dan selalu seperti itu. Sebab aku berharap, ketika Tuhan akhirnya mempertemukan kita dalam tegas suaramu di akad kita, kamu menjadi yang terbaik yang selalu Tuhan janjikan untukku. Dan sampai saat itu tiba. Aku akan menunggu dengan (sedikit) sabar di sini.
Sejujurnya malah, aku sama sekali tidak sabar. Aku ingin kita bertemu. Aku ingin kita jatuh cinta. Dan aku.. ingin kita menikah. Sehingga bisa kusebut kamu, suamiku. Laki-laki yang dihalalkan untukku. Ah, halal. Pasti sangat membahagikan jika seperti itu, bukan?
Tapi sekarang aku masih belum tahu. Aku tidak tahu dimana kamu atau—siapa kamu. Hanya keyakinan yang membuatku tegar menunggu hingga saat ini. Aku ingin menyebutmu jodoh. Tapi jodoh belum tentu suami. Dan suami sudah pasti jodoh. Jadi kupanggil saja kamu begitu.
Suami..
Aku berharap kita segera bisa dipertemukan. Semoga benang merah yang dilukis Tuhan segera jelas untukku. Aku sudah lelah bermain-main. Aku sudah lelah berdosa. Aku ingin punya bahumu, suami. Agar aku bisa bersandar dan merasa aman di sana. Dunia ini kadang kejam. Aku takut di dalamnya sendirian. Jadi kehadiranmu, keberadaann nyatamu. Akan menenangkanku dan membuat dunia terasa baik.
Aku tahu aku bukan perempuan sempurna. Tidak ada paras cantik seperti dewi-dewi Yunani, Mesir atau Romawi. Tidak ada tubuh sesintal perempuan-perempuan yang biasanya ada di majalah yang dibeli kaummu. Tapi aku punya hati. Ini masih baru. Aku punya hati yang baru yang akan kupersembahkan untukmu. Satu, sepenuhnya, sampai Tuhan membimbingku kembali kepadaNya. Hati baru ini milikmu, suami. Yang lama sudah berserak, hancur dan entah—mungkin luluh. Jadi ini yang baru. Punyamu.
Segala yang terbaik juga akan kuberikan padamu, dan pada keluarga kecil kita nanti. Aku sudah belajar memasak. Kamu pasti akan menyukai masakanku. Kuharap kamu suka pedas, karena nyaris semua masakanku tak lepas dari cabe. Selain itu aku juga sudah punya metode-metode yang akan kugunakan untuk mengasuh dan membesarkan anak-anak kita. Kamu tahu, aku ingin punya tiga anak. Bahkan yang satu—untuk yang tercantik—aku sudah punya nama untuknya.
Ahh, membayangkan anak-anak kita membuatku ingin menangis. Sepupuku baru melahirkan anak pertamanya kemarin. Dia seumuran denganku, teman sepermainanku dulu, dan bayi kecilnya adalah bayi perempuan yang cantik. Membayangkan betapa bahagianya dia membuatku menyusutkan air mata. Aku juga ingin segera punya bayi. Pasti sangat menyenangkan mengetahui ada kehidupan mungil yang demikian rapuh berasal dari rahimku. Aku harus menyelesaikan topik ini sekarang. Aku sudah menangis.
Suami, kamu tahu tidak? Aku punya metode belajar yang unik untuk mereka nanti. Semua yang terbaik yang sanggup kuberikan untuk malaikat-malaikat kecil yang akan menjadi cahaya di rumah kita. Aku akan membuat mereka tahu dunia dengan lebih baik. Pengetahuan akademik, bakat, agama, seni dan apapun yang akan membawa mereka hidup dengan baik dan berakhir dengan baik dalam surga bersama Rasullullah. Aku mau yang terbaik untuk mereka.
Jadi suami, kelak kita harus jadi orangtua yang baik, ya. Jangan hanya aku. Jangan hanya kamu. Tapi kita. Karena mereka kelak akan menjadi surga, penyelamat dan sumber kebahagiaan tak terbatas.
Ah, aku masih menangis.
Sudah. Sudah. Ini hampir tengah malam. Aku tidak akan menganggumu lagi. Tidurlah nyenyak, sayangku. Tidurlah dan semoga Tuhan memberikanmu mimpi yang indah. Semoga Tuhan selalu melindungimu dan membimbingmu mendekat padaku. Suami.. ketahuilah. Aku akan belajar bersabar dan menunggu. Kamu juga. Sampai pada waktu yang tepat, dimana Tuhan menjalin kita berdua. Aku akan di sini dalam doaku tentangmu.