Selamat ulang tahun..
Selamat ulang tahun..
Selamat ulang tahun, Ria..
Hari ini, tepat hari ini.. di hari Rabu juga, dua puluh tiga tahun lalu, seorang bayi perempuan dengan berat melebihi lima kilogram terlahir ke dunia ini. Dan dalam jerit tangis pertamanya di dunia ini, tersemat nama RIA HAPSARI DEWI. Yang menurut kedua orangtuanya, nama itu berarti dewi-dewi kebahagiaan. Dan bayi itu sekarang telah menjadi sosok di balik tulisan-tulisan ini, saya.. bayi overweight itu, telah tumbuh menjadi perempuan yang menuju kata dewasa.. pada akhirnya. Semoga..
Dua puluh tiga. Dua puluh tiga. Aku mengeja dua angka yang dijajarkan itu berulang-ulang dan tetap tidak percaya bahwa aku sudah mencapai usia ini. Rasanya seperti baru kemarin, seragam putih abu-abu kulepaskan dengan bangga. Tapi sekarang, dua puluh tiga.. aku sudah berusia dua puluh tiga tahun. Bagiku, dua puluh tiga tahun bukanlah usia yang biasa. Pada umur inilah, dulu kusematkan tujuan hidup terbesarku.. menikah. Namun, waktu pada akhirnya mengatakan kepadaku bahwa segala hal di dunia ini, tidak pernah ada yang konsisten. Begitu pula tujuan seseorang. Dan akupun tahu, bahwa TARGET 23, begitu aku menyebutnya, sudah lama kuhapus dari daftar tujuan hidupku.
Lambaikan tangan perpisahan pada Target 23 dan aku ingin melihat ke belakang, ke arah lain yang bukan ke sisi Target 23. Sudut yang ada jauh di belakang.. melihat seperti apa kaleidoskop hidupku sejauh ini. Dan melalui tulisan ini, akan kuceritakan.. akan kulukiskan.. seperti apa dua puluh tiga tahun itu berlalu sejauh ini.
Masa kecilku, bisa kusebut sebagai masa-masa bahagia. Aku masih hidup di era dimana anak kecilnya sibuk main lompat tali, petak umpet dan gobak sodor. Masa sekolah dasar, centang aman. Pindah ke sekolah menengah pertama, centang aman juga. Aku masih anak perempuan baik-baik yang menurut apa kata kedua orangtuaku. Soal masalah cowok, semasa sekolah menengah pertama, sepertinya aku tidak pacaran. Hanya memendam suka pada temanku selama tiga tahun itu. Hey, ingat cerita tentang suka pertamaku, bukan?
Well, masa sekolah menengah pertama kuhabiskan dengan sepenuhnya jadi anak rajin. Juara kelas, tak banyak membantah, dan tak terlalu sering keluyuran tidak jelas. Malah mungkin sebagian besar waktuku kuhabiskan untuk membantu ayahku yang berjualan bakso di depan sekolah. Aku sama sekali tidak malu pada pekerjaan ayahku. Aku justru bangga. Ayahku segalanya. Tapi di masa ini, ada satu nilai gelap. Ayahku mengalami tabrak lari ketika aku masih duduk di kelas tujuh. Ayah adalah satu-satunya orang yang menghidupi keluarga kami, dan beliau tidak bisa berjualan bakso selama tiga bulan sejak kejadian itu. Karena kejadian itu, sesuatu berubah dan aku tak bisa menulisnya di sini. Tapi masih bisa kukatakan bahwa centang aman masih bisa kusematkan di masa ini, meski jungkir balik masa ini sanggup kulalui dengan benar.
Masa sekolah menengah atas, di awal hingga menuju akhir, masih centang aman juga. Aku masih anak perempuan tak banyak tingkah dan masuk kategori cukup bagus dalam pelajaran akademikku. Dalam urusan laki-laki, aku juga memulainya di masa ini. Aku kenal abang juga dalam rentang waktu ini. Tuhan, terima kasih sudah membawa malaikat baik hati itu untuk selalu ada dan melindungiku. Abang, terima kasih dan sini peluk aku.
Di masa sekolah menengah atas, aku benar-benar masih terobsesi pada peran anak perempuan baik. Meskipun kebanyakan teman-teman dekatku sering terlibat dalam beberapa kasus pelanggaran di sekolah dan harus bolak-balik ke ruang bimbingan konseling, aku masih bisa mengontrol diriku dengan baik dan tak melibatkan diriku di dalamnya. Tidak selalu memang, karena godaan masa muda memang kerap datang.
Jelas sekali masih terbayang di ingatanku, bagaimana dulu waktu ada kegiatan menginap di sekolah dalam acara pesantren kilat kuhabiskan bersama teman-teman dekatku. Aku dan ketiga teman baikku, tidak ada yang berpuasa dan kami dengan gilanya malah nongkrong di warung sebelah sekolah bareng anak-anak cowok lainnya. Lalu diam-diam kabur saat ceramah di aula dilakukan dan kami berempat (dan beberapa anak lain) mengendap-endap masuk ke ruang unit kesehatan sekolah, bersembunyi disana dengan sekantong besar jajanan ringan seperti chips, cokelat.
Aku masih sering tertawa jika mengingat masa itu. Segalanya masih dalam centang aman. Aku masih siswi sekolah menengah atas dengan peringkat akademik memuaskan. Terang, aku menjaga semuanya. Meskipun kadang, aku dan teman sekelasku bolos pelajaran bersama (Iya, sekelas bolos bareng. Anak bahasa emang kompak, kan? Dihukum juga barengan sekelas), tapi aku masih bisa mengontrol semua nilai mata pelajaranku dan predikat yang kumiliki masih sebagai siswi baik-baik.
Sampai suatu ketika, hanya sebulan sebelum ujian nasional, sebuah insiden terjadi dan itu menghancurkan segalanya. Semua jerih payahku tiga tahun lenyap. Semua hal positif dalam tiga tahunku itu dirobohkan seketika. Hanya karena sebuah tuduhan gila yang sampai sekarang bahkan tak bisa kupercaya bisa diarahkan padaku. Seorang temanku kehilangan mobile phone-nya di kelas dan dia menuduhku melakukannya. Sebenarnya bukan cuma aku yang dituduh, tapi dari caranya melihatku, caranya berbicara, dia percaya sepenuhnya bahwa aku yang melakukannya.
Hanya karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Kiranya itu cocok. Sebuah image yang kubangun, dihancurkannya dengan sekali tebas. Tak ada bukti. Tak ada apapun. Tapi semua mata memandangku, seolah akulah yang melakukannya. Padahal, demi Allah, demi rasulku, Muhammad dan demi kitab suciku Al-Qur’an, aku tidak melakukannya. Tapi pengakuan jujurku dan sumpah tak akan bisa memperbaiki apa yang sudah jadi kepingan busuk. Terlebih, premisnya dikuatkan dengan pernyataan seorang dukun (iya, dukun) yang bilang kalo maling mobile phone-nya itu adalah teman yang sangat dekat dengannya. Dan menurut dia, dari semua kandidat tersangka, akulah yang paling dekat dengannya. Konyol.
Aku masih ingat dengan jelas. Hari itu, setelah hari yang sangat panjang itu, aku pulang dengan mata memerah, yang kutuju hanya kamarku dan aku menangis. Aku mengambil mukenaku dan aku menangis setelah melakukan sholat. Aku bukan muslimah yang baik, namun aku tahu bahwa aku membutuhkan Tuhanku. Aku menangis. Tangis terpanjang dan isakan paling menyakitkan sepanjang umur hidupku ketika itu. Aku tidak ikhlas diperlakukan seperti itu. Tidak ridho sedikitpun.
Sialnya, ibuku mendengar suara tangisanku dan masuk ke kamarku. Awalnya aku ingin berbohong, aku tidak ingin mengatakan apa yang terjadi. Namun pada akhirnya, dalam isakan dan airmata yang tak berhenti mengalir, aku bercerita pada wanita yang telah melahirkanku itu. Aku menyeritakan pada beliau segalanya.
Reaksi pertama ibuku adalah marah. Bukan padaku. Tapi dengan temanku itu. Saat beliau bercerita pada ayahku, itu adalah dimana waktu terasa berhenti bagiku. Seluruh kebahagiaanku disedot lenyap ketika aku melihat bagaimana wajah ayahku memerah murka dan ada kilau airmata di matanya. Aku masih ingat bagaimana ayahku membelaku. Beliau, dengan suara bergetar, berkata bahwa teman-temanku tak berhak memperlakukan itu padaku, meskipun aku bukan orang kaya, meski aku tak punya mobile phone sebagus itu, mereka tak berhak melakukan ini padaku. Sama sepertiku, ayahku tak ikhlas.
Hari itu, kudengar bagaimana sumpah kedua orangtuaku terucap. Bahwa tak akan pernah ada keikhlasan, tak ada maaf dan tak ada kebaikan yang akan datang pada mereka yang melakukan itu padaku. Detik itu, aku juga mengucapkan sumpah yang sama. Ketidakikhlasan yang sama.
Aku mengangkat kepalaku dan menguatkan diriku. Aku akan sanggup menghadapinya. Percayalah, aku bahkan menangis sekarang, ketika aku menuliskan ini semua. Sebab aku masih ingat satu kejadian lain, suatu waktu, aku harus menghadap guruku dan memberikan laporan tentang suatu hal. Mobile phoneguruku itu terletak di atas meja, dan dia langsung menarik benda itu cepat dari atas meja ketika aku duduk di depannya. Dia memasukkan benda itu cepat ke sakunya dan detik itu aku tahu, mereka semua masih percaya bahwa aku yang melakukannya. Sejujurnya, aku bahkan ingin menangis ketika itu. Beliau adalah salah satu guru yang kuhormati, dan aku tidak percaya beliau mempercayai apa yang dikatakan temanku itu. Sebenarnya sejak saat itu, aku tak terlalu percaya pada apa makna teman.
Baiklah, centang buruk di masa sekolah menengah atas. Reputasi baik yang kubangun hancur. Persahabatanku hancur. Tapi prestasiku tidak (maafkan jika aku terlihat sombong ya). Sebuah prestasi lain membawaku berpindah dari kota angin ke kota apel setelah aku lulus dari sekolah menengah atas tersebut. Aku bisa kuliah gratis di jurusan Sastra Jerman, prodi pendidikan bahasa Jerman, Universitas Negeri Malang. Oh, sudahkah kukatakan kalau aku juga anak bahasa ketika masih di sekolah menengah atas? Aku cinta sekali pada bahasa (ketawa sombong).
Kok aku sama sekali tidak menyebut kehidupan percintaanku, ya? Kalau aku tidak salah ingat, sepertinya sampai aku jadi mahasiswa Sastra Jerman, aku belum pernah benar-benar serius melakukannya. Aku pacaran untuk senang-senang bukan untuk dibuat serius. Jadi, tiada kesan. Centang aman.
Kehidupan di Malang, adalah awal dari bagaimana pencarian jati diriku dimulai. Sebut saja aku sudah bosan dan muak jadi anak perempuan baik-baik setelah peristiwa masa sekolah menengah atasku itu. Sebab lihat saja, aku jadi malaikat tiga tahun itu. Mengambil peran jadi perempuan baik dan lugu. Namun dengan sekali tebas, sayapku dipatahkan dan aku dijatuhkan sampai tersuruk habis. Dia menghancurkan semua hal baik yang ada di diriku.
Di Malang, aku mulai ikut sebuah komunitas penyuka sebuah band punk-rock asal Bali, Superman is Dead. Sebut saja, aku jadi ladyrose sejak di Malang. Aku mulai nonton SID secara live dan belajar menikmati hentakan liar musik mereka dengan moshing di arena konser. Jujur saja, aku terlalu malu menyeritakan tingkahku karena aku bisa sangat gila ketika itu. Tapi sangat mengesankan. Sungguh. Dan aku tidak menyesal.
Segalanya menyenangkan, aku merasakan kebebasan dan orangtuaku masih punya kontrol penuh padaku. Itu jenis kebebasan yang bertanggung jawab, dimana aku belajar mandiri dengan tetap mempertimbangkan segala resiko yang ada.
Kota Malang menjadi satu batu loncatan bagiku. Di kota ini pula, aku belajar memaafkan kejadian di masa sekolah menengah atasku. Ada satu titik yang akhirnya membuatku tahu kebenaran di balik peristiwa itu. Tapi aku memilih diam tak berkoar terlalu banyak. Susu yang sudah basi, tetap tidak akan bisa diminum, entah bagaimanapun caranya. Yang kusayangkan, adalah persahabatan yang hilang. Aku sungguh menyukai temanku yang mobile phone-nya hilang itu. Dia anak baik, sesungguhnya. Aku berharap bisa berteman lagi dengannya. Aku juga berharap, orangtuaku sudah memaafkannya. Mungkin ketika itu, semesta sedang mengujiku.
Di sisi lain, Malang menjadi petanda silang. Dari menjadi mahasiswa Sastra Jerman, akhirnya aku menjadi mahasiswa Sastra Jepang. Hanya satu tahun di Malang dan aku akhirnya memilih hijrah ke kota pahlawan. Mengadu nasib di jurusan yang kuimpi-impikan sejak aku masih di sekolah menengah atas. Universitas Airlangga, sebuah beasiswa lain dan aku memulai apa itu yang disebut dengan mandiri yang sebenarnya.
Aku mulai belajar bagaimana menghidupi diriku sendiri. Aku belajar bertahan hidup. Aku tegak menatap dunia, dan aku mempercayai diriku lebih dari yang sebelumnya kulakukan. Tak pernah ada bantuan finansial dari orangtua sejak aku di Surabaya. Tapi itu bukan hal penting, sebab aku tahu, aku seharusnya memang harus bisa menyelesaikan ini semua dengan baik.
Manusia berproses dan aku menghadapi semua fase centang rawan ini dengan tertatih namun fasih sampai finish. Tak bisa kukatakan aku tetap mengambil peran malaikatku, aku sudah melepas sebagian sisi malaikatku. Manusia tak selalu jadi baik, bukan?
Dan aku juga melakukan kesalahan itu. Terlibat dalam sebuah peristiwa dan aku bersama yang lainnya, menyudutkan satu temanku dalam tempat yang sulit. Aku tidak tahu kenapa aku bisa sekejam itu? Kenapa ketika itu aku tidak menyukainya dan berteriak di belakangnya bersama yang lainnya?
Sampai suatu ketika, aku mendapat satu kertas kecil bertulis (kalau aku tidak salah ingat), “COBA KAMU JADI PUBDOK. MEMANG KAMU BISA?”. Sejak itu, aku merenung. Aku tahu aku keterlaluan padanya. Dia temanku juga dan sering memang aku berpikir kenapa aku sempat tidak menyukainya. Aku bukan tipe seseorang yang bisa membenci seseorang tanpa alasan jelas.
Waktu berjalan dan temanku itu juga berubah seratus delapan puluh derajat. Dia tidak lagi menyebalkan dan menjadi sangat lembut. Kadang aku malu ketika aku harus menatapnya atau entahlah. Aku ingin mengucapkan maafkan secara langsung padanya, mungkin ketika aku nanti pulang ke Indonesia. Sebenarnya hubungan kami juga sudah tidak bermasalah. Itu terjadi di semester-semester awal kuliah di kota pahlawan. Sekarang aku sudah jadi mahasiswa bangkotan (ketawa kecut). Tapi aku tetap tahu kalau aku masih merasa bersalah padanya. Kadang aku bisa jadi sangat jahat. Sungguh..
Well, aku minta maaf ya, po..
Masa kuliah di Surabaya, belum bisa ada kata centang aman atau tidak. Aku masih belum lulus kuliah. Tapi bisa kukatakan itu masa yang menyenangkan, jika mengesampingkan kisah cintaku. Aku tak akan menyeritakannya di sini. Aku sudah bosan. Mari fokus pada momentum lain, kuliah sudah, kisah cinta skip.. ah ya. Jerman.
Berada di Jerman sesungguhnya sama sekali tidak bisa dikatakan masuk dalam daftar tujuan hidupku. Tapi, aku harus melakukannya. Demi sesuatu lain, sesuatu lain yang jadi tujuan utamaku sekarang: keluargaku. Jika aku jadi orang jahat dan egois, percayalah, aku hanya akan menyelesaikan empat tahun kuliahku, lulus dan selesai. Tapi tidak bisa. Banyak sebab, dan aku tahu aku tak akan bisa egois.
Ah Jerman..
Aku kehilangan kata-kata mengambarkan kehidupanku di sini. Sejujurnya aku tidak terlalu tertarik. Menyenangkan, iya. Menakjubkan, tidak. Biasa saja. Aku lebih mencintai kehidupanku di Surabaya. Ironis, bukan? Tapi ya sudahlah.. dan kaleidoskop 23 berakhir di sini. Aku masih di Jerman sekarang. Merayakan hari kelahiranku, jauh dari orangtua, sahabat-sahabatku, abang, dan keluargaku lainnya.
Kaleidoskop 23 menyentuh finish di sini dan aku masih terus memainkan peranku. Sejujurnya aku tidak tahu benar, bagaimana bisa aku menyebut sifatku dan watak asliku sejak masa sekolah menengah atas. Kejadian itu merubah seluruh diriku. Aku punya banyak peran berbeda yang kuperankan di tiap-tiap tempat.
Teman kampusku pasti akan menyebutku perempuan cerewet, aneh, atraktif, tomboy, apalagi ya. Yang jelas ngga ada baik-baiknya (ketawa super keras). Tapi, teman Kuliah Kerja Nyata-ku akan mengatakan bahwa aku introvert dan anti sosial (aku ngakak setan nulis bagian ini). Yakin deh, tak satupun anak kampusku bakal percaya aku ini introvert dan a-sosial. Mereka palingan bakal ngelempar aku dengan botol air mineral kosong atau tertawa gila mendengar ini. Tapi hey, teman-teman KKN-ku mengatakan itu di belakangku meski aku sejujurnya mendengarnya tanpa sengaja.
Lalu ada lagi, beberapa orang di Jogja yang pernah mengenalku atau sempat melihatku akan berkata aku pendiam, tak akan bicara kecuali ditanya, dan bukan perempuan baik-baik. Sementara di lingkungan rumahku, aku adalah anak perempuan baik hati, lugu, tidak banyak tingkah, calon menantu idaman dan pintar (pokoknya yang tipe malaikat sejati). Aku tidak percaya hal ini. Ada bahkan tetanggaku yang hobi sekali menjodohkanku dengan anaknya. Padahal aku tidak suka. Konyol.
Nah, dua puluh tiga.. maka aku akan memulai menemukan siapa diriku sebenarnya. Belajar membentuk kembali satu image, yang akan diketahui semua. Berhenti bermain peran dan tidak lagi banyak main-main. Aku sudah harus mulai menata semua langkah untuk meraih semua impianku. Membenahi target lama yang tak terselesaikan. Menjadi lebih tegar dan hidup hanya untuk keluargaku. Ayahku, ibuku, anakku, keponakanku, kakakku dan adik-adikku. Orang-orang yang akan menjadi satu-satunya bagian penting dalam kehidupanku.
Lalu untukmu, laki-laki yang kucintai, laki-laki yang sejak tahun dua ribu sebelas menjadi satu-satunya sosok yang memenuhi ruang kalbuku, maafkan aku. Pada titik ini, aku menyerah. Selamat tinggal.. Jika suatu saat kita bertemu, mari berkenalan lagi dan kita memulai segalanya dari awal. Sebagai teman. Aku mengerti segalamu dan titik ini adalah batasku.
Aku mencintaimu..
Dan untuk orantuaku; ayahku dan ibuku. Mari kita lebih kuat. Dunia memang kejam dan kita harus jauh lebih kejam dari dari dunia agar kita tetap bisa hidup bahagia. Ayah, yang kuat.. sehat selalu. Jangan biarkan jantungmu menunda kebahagiaanmu. Bersinar selalu dan tetap tabah. Aku memujamu, ayah
Astaga.. apa saja yang sudah kutulis. Sudahlah.. sebelum lilinnya habis, aku harus meniupnya. Selamat ulang tahun, mbak Ria. Selamat ulang tahun, Ree. Selamat ulang tahun, Mipo. Selamat menjadi sosok baru.
Selamaaaatttt….
Keep CALM. It’s my 23rd Birthday!!!!