Hei, kamu… Suami. Apa kabar?Apakah disana—dimanapun kamu berada—kamu baik-baik saja? Aku selalu berdoa agar kamu baik-baik dan selalu seperti itu. Sebab aku berharap, ketika Tuhan akhirnya mempertemukan kita dalam tegas suaramu di akad kita, kamu menjadi yang terbaik yang selalu Tuhan janjikan untukku. Dan sampai saat itu tiba. Aku akan menunggu dengan (sedikit) sabar di sini.Sejujurnya malah, aku sama sekali tidak sabar. Aku ingin kita bertemu. Aku ingin kita jatuh cinta. Dan aku.. ingin kita menikah. Sehingga bisa kusebut kamu, suamiku. Laki-laki yang dihalalkan untukku. Ah, halal. Pasti sangat membahagikan jika seperti itu, bukan?Tapi sekarang aku masih belum tahu. Aku tidak tahu dimana kamu atau—siapa kamu. Hanya keyakinan yang membuatku tegar menunggu hingga saat ini. Aku ingin menyebutmu jodoh. Tapi jodoh belum tentu suami. Dan suami sudah pasti jodoh. Jadi kupanggil saja kamu begitu.Suami..Aku berharap kita segera bisa dipertemukan. Semoga benang merah yang dilukis Tuhan segera jelas untukku. Aku sudah lelah bermain-main. Aku sudah lelah berdosa. Aku ingin punya bahumu, suami. Agar aku bisa bersandar dan merasa aman di sana. Dunia ini kadang kejam. Aku takut di dalamnya sendirian. Jadi kehadiranmu, keberadaann nyatamu. Akan menenangkanku dan membuat dunia terasa baik.Aku tahu aku bukan perempuan sempurna. Tidak ada paras cantik seperti dewi-dewi Yunani, Mesir atau Romawi. Tidak ada tubuh sesintal perempuan-perempuan yang biasanya ada di majalah yang dibeli kaummu. Tapi aku punya hati. Ini masih baru. Aku punya hati yang baru yang akan kupersembahkan untukmu. Satu, sepenuhnya, sampai Tuhan membimbingku kembali kepadaNya. Hati baru ini milikmu, suami. Yang lama sudah berserak, hancur dan entah—mungkin luluh. Jadi ini yang baru. Punyamu.Segala yang terbaik juga akan kuberikan padamu, dan pada keluarga kecil kita nanti. Aku sudah belajar memasak. Kamu pasti akan menyukai masakanku. Kuharap kamu suka pedas, karena nyaris semua masakanku tak lepas dari cabe. Selain itu aku juga sudah punya metode-metode yang akan kugunakan untuk mengasuh dan membesarkan anak-anak kita. Kamu tahu, aku ingin punya tiga anak. Bahkan yang satu—untuk yang tercantik—aku sudah punya nama untuknya.Ahh, membayangkan anak-anak kita membuatku ingin menangis. Sepupuku baru melahirkan anak pertamanya kemarin. Dia seumuran denganku, teman sepermainanku dulu, dan bayi kecilnya adalah bayi perempuan yang cantik. Membayangkan betapa bahagianya dia membuatku menyusutkan air mata. Aku juga ingin segera punya bayi. Pasti sangat menyenangkan mengetahui ada kehidupan mungil yang demikian rapuh berasal dari rahimku. Aku harus menyelesaikan topik ini sekarang. Aku sudah menangis.Suami, kamu tahu tidak? Aku punya metode belajar yang unik untuk mereka nanti. Semua yang terbaik yang sanggup kuberikan untuk malaikat-malaikat kecil yang akan menjadi cahaya di rumah kita. Aku akan membuat mereka tahu dunia dengan lebih baik. Pengetahuan akademik, bakat, agama, seni dan apapun yang akan membawa mereka hidup dengan baik dan berakhir dengan baik dalam surga bersama Rasullullah. Aku mau yang terbaik untuk mereka.Jadi suami, kelak kita harus jadi orangtua yang baik, ya. Jangan hanya aku. Jangan hanya kamu. Tapi kita. Karena mereka kelak akan menjadi surga, penyelamat dan sumber kebahagiaan tak terbatas.Ah, aku masih menangis.Sudah. Sudah. Ini hampir tengah malam. Aku tidak akan menganggumu lagi. Tidurlah nyenyak, sayangku. Tidurlah dan semoga Tuhan memberikanmu mimpi yang indah. Semoga Tuhan selalu melindungimu dan membimbingmu mendekat padaku. Suami.. ketahuilah. Aku akan belajar bersabar dan menunggu. Kamu juga. Sampai pada waktu yang tepat, dimana Tuhan menjalin kita berdua. Aku akan di sini dalam doaku tentangmu.Semoga esokmu indah. Selamat malam, kekasihku.Aku menyayangimu.Istrimu
Hallo semuanya..
Saya balik lagi. Sayangnya kali ini bukan untuk posting cerita baru Remember Us atau Xexa, tapi pengen kasih tahu sesuatu. Berhubung saya kurang waktu untuk menyelesaikan RU maupun Xexa bersamaan, saya putuskan untuk menunda Xexa sampai saya selesai menulis RU.
Well, kali ini saya pengen fokus dengan RU. Akhir-akhir ini banyak banget yang nanyain kabar Rena Reven dan sayanya ngga bisa kasih jawaban pasti. Sedih juga, soalnya rasanya hampa. Saya seneng nulis dan sekarang saya bahkan ngga punya waktu buat banyak menulis lagi. Kerjaan di Eropa menyedot habis inspirasi saya dalam berfantasi. Astaga astaga, sepertinya ngga sepenuhnya salah perbedaan prioritas. Hanya saja, saya sedang dalam usaha untuk menyelesaikan satu kewajiban saya pada orangtua. Dan itu membuat saya sepenuhnya harus sibuk dengan pekerjaan dan sekolah.
Tapi saya janji, saya akan tetap menulis. Saya akan melanjutkan Remember Us Dan Xexa sampai selesai meskipun itu akan memakan waktu yang lama. Dan saya juga ingin berbagi dengan kalian tentang apa yang saya kerjakan atau apa yang saya nikmati di Eropa melalui tulisan. Saya berdoa semoga saya ngga tenggelam dalam kesibukan saya yang sudah melelahkan hati dan fisik saya sehingga imajinasi saya jadi tumpul.
Nah, mungkin masalah aslinya ini, imajinasi saya menua dan tumpul, dan saya menyalahkan waktu.
Ah, manusia.
Kasten, 19 Juli 2017
Ps. Tetap sabar dan jangan berpaling dari abang Reven ya, guys.
Pss. Tema Blogku Baruuu!!! I do love it. ❤
Hallo,
Gue nih, tapi sorry ya postingan kali ini bukan tentang chapter baru Remember Us atau Xexa. Btw, serius guys, saking lamanya draft dua cerita ini ngendap di Fire HD gue, gue sampe lupa gimana jalan ceritanya. Ah, sial sial, ngomongin soal nulis malah bikin makin down.
Ngomong-ngomong gue lagi pengen curhat dikit tentang betapa ribetnya apply visa Jerman. Serius duarius, selalu banyak makan ati, banyak-banyak ngehela dan narik nafas dalam-dalam dan bad-mood kalau udah urusan sama dokumen-dokumen melelahkan ini.
Jadi ceritanyakan gue mau apply visa Bundesfreiwilligendienst di kedutaan Jerman di Wina. Semua dokumen asyiknya uda beres. Kontrak kerja, segala macam sampai SKCK dari kepolisian Austria juga uda diurus, tinggal bikin janji dan apply visa. Masalahnya… Bikin janji buat apply di sini itu…. Masya Allah, susah. Lebih susah daripada bikin janji apply visa di kedutaan Jerman di Jakarta. Dari minggu kemarin ngecek dan semua sudah full-booked (macem tiket pesawat dan hotel di musim mudik) sampai bulan Agustus. Astaga astaga.. terus apa kabar sama kontrak kerja gue? Sadis, dari Juni, Juli, Agustus, ngga ada yang kosong.
Nangis-nangis gue hari ini sambil ngirim email ke kedutaan Jerman di Wina. Ngga ada beberapa jam akhirnya dapat balasan dari mereka yang intinya mereka bilang emang ngga ada janji kosong sampai Agustus. Tapi gue disuruh cek web mereka sering-sering, siapa tahu ada yang batalin janji mereka dan gue bisa ambil tempatnya. Masalahnya ngga ada yang bisa jamin, iya kalau emang ada yang batalin, kalau engga? Balik ke Indonesia dong???
Aaaarrggg!! Serius jangan dulu. Gue emang ngga pengen menetap selamanya di Eropa, tapi gue punya banyak kewajiban dan tujuan yang belum tercapai di sini. Gue gak bisa balik dan gak boleh balik ke Indonesia dulu.
Tapi kalau gue ngga apply visa dekat-dekat ini, gue ngga bisa ambil kerjaan gue di Jerman yang mulai per tanggal 4 September di salah satu Kindergarten (Taman Kanak-Kanak) di München. Proses dari apply visa sampai jadi, bisa sampe 2 bulan. Dan notabene sekarang (atau besok) udah bulan Juli.
*nangis di pojokan*
Oke skip, nangis ngga menyelesaikan masalah. Jadi gue musti punya plan B buat cadangan kalau (jangan sampe, Ya Allah, gue mohon) ngga dapat janji buat bikin visa di kedutaan Jerman di Wina. Well, akhirnya memutuskan kalau gue harus ngeaupair lagi (lain kali gue jelasin tentang bagian ini, oke?).
Tapi dimana?
Tapi dimana?
……
Netherlands dan Belgia? Oke fix. Ambil yang paling gampang. Setengah tahun aupair di salah satu negara itu, lalu apply langsung visa buat Ausbildung di Jerman (tujuan utama Jerman).
Oke. Plan B : FIX.
Sejujurnya, ngenes ngebikin plan B kayak gini. Tapi gue gak bisa stuck sama satu rencana yang gamang. Gue gak bisa. Sejak dulu kayak gitu. Kayak awal apply visa aupair ke Austria, gue juga punya plan B soalnya gue juga ragu apa gue bisa lolos bikin visa atau enggak. Notabene bulan-bulan itu gue lagi dikejar sama deadline skripsi. Antara gue bisa lulus dari Unair ngga atau gue bisa bikin visa ke Austria ngga?
Dan sekarang, terulang lagi.. sama kaya dulu. Gue juga berharap kali ini gue gak perlu pakai plan B gue. Gue udah terlanjur jatuh cinta sama (calon) tempat kerja gue di München dan sama rencana-rencana gue selama di München entar (oke fix, gue emang orangnya seneng bikin rencana). Minta doanya ya, guys.
Serius deh, kalau nanti gue bisa bikin visa Bundesfreiwilligendienst gue, dan dapat itu visa tepat waktu, gue bakal lebih hati-hati sama urusan visa. Dan mungkin gue bakal kirim-kirim kartu pos dari München ke beberapa dari kalian secara acak. Gue tahu kalian mampir ke blog gue buat ngecek apa RU uda ada chapter barunya apa belom, tapi please, ngga ada salahnya kan lo juga ngedoain gue (desperate). Serius, guys, gue selalu percaya keajaiban doa. Gue tadi udah SMS ke orangtua gue, ngga nelpon karena di Indonesia sekarang masih pagi buta, buat minta doa sama mereka biar gue bisa dapat janji buat bikin visa di kedutaan Jerman di Wina. Orangtua gue, keluarga gue, sahabat-sahabat gue, dan lo semua, semua doa kalian. Terima kasih. Apalah gue tanpa kalian (sedaaap).
Serius deh, kalau nanti gue bisa bikin visa Bundesfreiwilligendienst gue, dan dapat itu visa tepat waktu, gue bakal lebih hati-hati sama urusan visa. Dan mungkin gue bakal kirim-kirim kartu pos dari München ke beberapa dari kalian secara acak. Gue tahu kalian mampir ke blog gue buat ngecek apa RU uda ada chapter barunya apa belom, tapi please, ngga ada salahnya kan lo juga ngedoain gue (desperate). Serius, guys, gue selalu percaya keajaiban doa. Gue tadi udah SMS ke orangtua gue, ngga nelpon karena di Indonesia sekarang masih pagi buta, buat minta doa sama mereka biar gue bisa dapat janji buat bikin visa di kedutaan Jerman di Wina. Orangtua gue, keluarga gue, sahabat-sahabat gue, dan lo semua, semua doa kalian. Terima kasih. Apalah gue tanpa kalian (sedaaap).
Ketjup,
Dear all,
Untuk kalian semua pembaca cerita-ceritaku. Maafkan ketidakkonsistenanku untuk memposting semua lanjutan ceritaku di sini. Serius deh, aku aslinya pengen banget bisa posting, tapi apa yang mau diposting kalau aku bahkan belum nulis lanjutannya sama sekali, cuma ada draft-draft mentah yang belum diolah sama sekali.
Aku sibuk sekali bulan-bulan ini. Target sidang skripsi di bulan Juni, sementara aku masih masuk bab dua dari jumlah total lima bab. Kalian yang uda ngerjain skripsi dan lolos dari jerat kejam ini pasti paham gimana susah dan keteterannya aku. Belum lagi aku ngga punya banyak waktu sisa karena aku juga harus kerja. Buat kalian yang mikir kenapa juga harus kerja kalau lagi repot bikin skripsi? Well, jawabannya karena aku gak punya pilihan. Titik. Selesai dan habis perkara.
Jadi aku mohon kesabaran dan kebesaran hati kalian yang udah nunggu-nunggu RU maupun XEXA. Aku tidak tahu kapan bisa posting chapter baru mereka. Jika memang ada waktu, aku pasti ngelanjutin nulis. Tapi jika uda terlalu capek buat mikir, aku paling cuma nulis-nulis gak jelas dan posting di blog sebelah yang isinya keluhan dan random pikiran aku. Jadi, maafkanlah.
Terima kasih buat selama ini. Terima kasih dukungannya. Kalian adalah semangatku.
Selamat ulang tahun..
Selamat ulang tahun..
Hari ini, tepat hari ini.. di hari Rabu juga, dua puluh tiga tahun lalu, seorang bayi perempuan dengan berat melebihi lima kilogram terlahir ke dunia ini. Dan dalam jerit tangis pertamanya di dunia ini, tersemat nama RIA HAPSARI DEWI. Yang menurut kedua orangtuanya, nama itu berarti dewi-dewi kebahagiaan. Dan bayi itu sekarang telah menjadi sosok di balik tulisan-tulisan ini, saya.. bayi overweight itu, telah tumbuh menjadi perempuan yang menuju kata dewasa.. pada akhirnya. Semoga..
Dua puluh tiga. Dua puluh tiga. Aku mengeja dua angka yang dijajarkan itu berulang-ulang dan tetap tidak percaya bahwa aku sudah mencapai usia ini. Rasanya seperti baru kemarin, seragam putih abu-abu kulepaskan dengan bangga. Tapi sekarang, dua puluh tiga.. aku sudah berusia dua puluh tiga tahun. Bagiku, dua puluh tiga tahun bukanlah usia yang biasa. Pada umur inilah, dulu kusematkan tujuan hidup terbesarku.. menikah. Namun, waktu pada akhirnya mengatakan kepadaku bahwa segala hal di dunia ini, tidak pernah ada yang konsisten. Begitu pula tujuan seseorang. Dan akupun tahu, bahwa TARGET 23, begitu aku menyebutnya, sudah lama kuhapus dari daftar tujuan hidupku.
Lambaikan tangan perpisahan pada Target 23 dan aku ingin melihat ke belakang, ke arah lain yang bukan ke sisi Target 23. Sudut yang ada jauh di belakang.. melihat seperti apa kaleidoskop hidupku sejauh ini. Dan melalui tulisan ini, akan kuceritakan.. akan kulukiskan.. seperti apa dua puluh tiga tahun itu berlalu sejauh ini.
Masa kecilku, bisa kusebut sebagai masa-masa bahagia. Aku masih hidup di era dimana anak kecilnya sibuk main lompat tali, petak umpet dan gobak sodor. Masa sekolah dasar, centang aman. Pindah ke sekolah menengah pertama, centang aman juga. Aku masih anak perempuan baik-baik yang menurut apa kata kedua orangtuaku. Soal masalah cowok, semasa sekolah menengah pertama, sepertinya aku tidak pacaran. Hanya memendam suka pada temanku selama tiga tahun itu. Hey, ingat cerita tentang suka pertamaku, bukan?
Well, masa sekolah menengah pertama kuhabiskan dengan sepenuhnya jadi anak rajin. Juara kelas, tak banyak membantah, dan tak terlalu sering keluyuran tidak jelas. Malah mungkin sebagian besar waktuku kuhabiskan untuk membantu ayahku yang berjualan bakso di depan sekolah. Aku sama sekali tidak malu pada pekerjaan ayahku. Aku justru bangga. Ayahku segalanya. Tapi di masa ini, ada satu nilai gelap. Ayahku mengalami tabrak lari ketika aku masih duduk di kelas tujuh. Ayah adalah satu-satunya orang yang menghidupi keluarga kami, dan beliau tidak bisa berjualan bakso selama tiga bulan sejak kejadian itu. Karena kejadian itu, sesuatu berubah dan aku tak bisa menulisnya di sini. Tapi masih bisa kukatakan bahwa centang aman masih bisa kusematkan di masa ini, meski jungkir balik masa ini sanggup kulalui dengan benar.
Masa sekolah menengah atas, di awal hingga menuju akhir, masih centang aman juga. Aku masih anak perempuan tak banyak tingkah dan masuk kategori cukup bagus dalam pelajaran akademikku. Dalam urusan laki-laki, aku juga memulainya di masa ini. Aku kenal abang juga dalam rentang waktu ini. Tuhan, terima kasih sudah membawa malaikat baik hati itu untuk selalu ada dan melindungiku. Abang, terima kasih dan sini peluk aku.
Di masa sekolah menengah atas, aku benar-benar masih terobsesi pada peran anak perempuan baik. Meskipun kebanyakan teman-teman dekatku sering terlibat dalam beberapa kasus pelanggaran di sekolah dan harus bolak-balik ke ruang bimbingan konseling, aku masih bisa mengontrol diriku dengan baik dan tak melibatkan diriku di dalamnya. Tidak selalu memang, karena godaan masa muda memang kerap datang.
Jelas sekali masih terbayang di ingatanku, bagaimana dulu waktu ada kegiatan menginap di sekolah dalam acara pesantren kilat kuhabiskan bersama teman-teman dekatku. Aku dan ketiga teman baikku, tidak ada yang berpuasa dan kami dengan gilanya malah nongkrong di warung sebelah sekolah bareng anak-anak cowok lainnya. Lalu diam-diam kabur saat ceramah di aula dilakukan dan kami berempat (dan beberapa anak lain) mengendap-endap masuk ke ruang unit kesehatan sekolah, bersembunyi disana dengan sekantong besar jajanan ringan seperti chips, cokelat.
Aku masih sering tertawa jika mengingat masa itu. Segalanya masih dalam centang aman. Aku masih siswi sekolah menengah atas dengan peringkat akademik memuaskan. Terang, aku menjaga semuanya. Meskipun kadang, aku dan teman sekelasku bolos pelajaran bersama (Iya, sekelas bolos bareng. Anak bahasa emang kompak, kan? Dihukum juga barengan sekelas), tapi aku masih bisa mengontrol semua nilai mata pelajaranku dan predikat yang kumiliki masih sebagai siswi baik-baik.
Sampai suatu ketika, hanya sebulan sebelum ujian nasional, sebuah insiden terjadi dan itu menghancurkan segalanya. Semua jerih payahku tiga tahun lenyap. Semua hal positif dalam tiga tahunku itu dirobohkan seketika. Hanya karena sebuah tuduhan gila yang sampai sekarang bahkan tak bisa kupercaya bisa diarahkan padaku. Seorang temanku kehilangan mobile phone-nya di kelas dan dia menuduhku melakukannya. Sebenarnya bukan cuma aku yang dituduh, tapi dari caranya melihatku, caranya berbicara, dia percaya sepenuhnya bahwa aku yang melakukannya.
Hanya karena nila setitik, rusak susu sebelanga.
Kiranya itu cocok. Sebuah image yang kubangun, dihancurkannya dengan sekali tebas. Tak ada bukti. Tak ada apapun. Tapi semua mata memandangku, seolah akulah yang melakukannya. Padahal, demi Allah, demi rasulku, Muhammad dan demi kitab suciku Al-Qur’an, aku tidak melakukannya. Tapi pengakuan jujurku dan sumpah tak akan bisa memperbaiki apa yang sudah jadi kepingan busuk. Terlebih, premisnya dikuatkan dengan pernyataan seorang dukun (iya, dukun) yang bilang kalo maling mobile phone-nya itu adalah teman yang sangat dekat dengannya. Dan menurut dia, dari semua kandidat tersangka, akulah yang paling dekat dengannya. Konyol.
Aku masih ingat dengan jelas. Hari itu, setelah hari yang sangat panjang itu, aku pulang dengan mata memerah, yang kutuju hanya kamarku dan aku menangis. Aku mengambil mukenaku dan aku menangis setelah melakukan sholat. Aku bukan muslimah yang baik, namun aku tahu bahwa aku membutuhkan Tuhanku. Aku menangis. Tangis terpanjang dan isakan paling menyakitkan sepanjang umur hidupku ketika itu. Aku tidak ikhlas diperlakukan seperti itu. Tidak ridho sedikitpun.
Sialnya, ibuku mendengar suara tangisanku dan masuk ke kamarku. Awalnya aku ingin berbohong, aku tidak ingin mengatakan apa yang terjadi. Namun pada akhirnya, dalam isakan dan airmata yang tak berhenti mengalir, aku bercerita pada wanita yang telah melahirkanku itu. Aku menyeritakan pada beliau segalanya.
Reaksi pertama ibuku adalah marah. Bukan padaku. Tapi dengan temanku itu. Saat beliau bercerita pada ayahku, itu adalah dimana waktu terasa berhenti bagiku. Seluruh kebahagiaanku disedot lenyap ketika aku melihat bagaimana wajah ayahku memerah murka dan ada kilau airmata di matanya. Aku masih ingat bagaimana ayahku membelaku. Beliau, dengan suara bergetar, berkata bahwa teman-temanku tak berhak memperlakukan itu padaku, meskipun aku bukan orang kaya, meski aku tak punya mobile phone sebagus itu, mereka tak berhak melakukan ini padaku. Sama sepertiku, ayahku tak ikhlas.
Hari itu, kudengar bagaimana sumpah kedua orangtuaku terucap. Bahwa tak akan pernah ada keikhlasan, tak ada maaf dan tak ada kebaikan yang akan datang pada mereka yang melakukan itu padaku. Detik itu, aku juga mengucapkan sumpah yang sama. Ketidakikhlasan yang sama.
Aku mengangkat kepalaku dan menguatkan diriku. Aku akan sanggup menghadapinya. Percayalah, aku bahkan menangis sekarang, ketika aku menuliskan ini semua. Sebab aku masih ingat satu kejadian lain, suatu waktu, aku harus menghadap guruku dan memberikan laporan tentang suatu hal. Mobile phoneguruku itu terletak di atas meja, dan dia langsung menarik benda itu cepat dari atas meja ketika aku duduk di depannya. Dia memasukkan benda itu cepat ke sakunya dan detik itu aku tahu, mereka semua masih percaya bahwa aku yang melakukannya. Sejujurnya, aku bahkan ingin menangis ketika itu. Beliau adalah salah satu guru yang kuhormati, dan aku tidak percaya beliau mempercayai apa yang dikatakan temanku itu. Sebenarnya sejak saat itu, aku tak terlalu percaya pada apa makna teman.
Baiklah, centang buruk di masa sekolah menengah atas. Reputasi baik yang kubangun hancur. Persahabatanku hancur. Tapi prestasiku tidak (maafkan jika aku terlihat sombong ya). Sebuah prestasi lain membawaku berpindah dari kota angin ke kota apel setelah aku lulus dari sekolah menengah atas tersebut. Aku bisa kuliah gratis di jurusan Sastra Jerman, prodi pendidikan bahasa Jerman, Universitas Negeri Malang. Oh, sudahkah kukatakan kalau aku juga anak bahasa ketika masih di sekolah menengah atas? Aku cinta sekali pada bahasa (ketawa sombong).
Kok aku sama sekali tidak menyebut kehidupan percintaanku, ya? Kalau aku tidak salah ingat, sepertinya sampai aku jadi mahasiswa Sastra Jerman, aku belum pernah benar-benar serius melakukannya. Aku pacaran untuk senang-senang bukan untuk dibuat serius. Jadi, tiada kesan. Centang aman.
Kehidupan di Malang, adalah awal dari bagaimana pencarian jati diriku dimulai. Sebut saja aku sudah bosan dan muak jadi anak perempuan baik-baik setelah peristiwa masa sekolah menengah atasku itu. Sebab lihat saja, aku jadi malaikat tiga tahun itu. Mengambil peran jadi perempuan baik dan lugu. Namun dengan sekali tebas, sayapku dipatahkan dan aku dijatuhkan sampai tersuruk habis. Dia menghancurkan semua hal baik yang ada di diriku.
Di Malang, aku mulai ikut sebuah komunitas penyuka sebuah band punk-rock asal Bali, Superman is Dead. Sebut saja, aku jadi ladyrose sejak di Malang. Aku mulai nonton SID secara live dan belajar menikmati hentakan liar musik mereka dengan moshing di arena konser. Jujur saja, aku terlalu malu menyeritakan tingkahku karena aku bisa sangat gila ketika itu. Tapi sangat mengesankan. Sungguh. Dan aku tidak menyesal.
Segalanya menyenangkan, aku merasakan kebebasan dan orangtuaku masih punya kontrol penuh padaku. Itu jenis kebebasan yang bertanggung jawab, dimana aku belajar mandiri dengan tetap mempertimbangkan segala resiko yang ada.
Kota Malang menjadi satu batu loncatan bagiku. Di kota ini pula, aku belajar memaafkan kejadian di masa sekolah menengah atasku. Ada satu titik yang akhirnya membuatku tahu kebenaran di balik peristiwa itu. Tapi aku memilih diam tak berkoar terlalu banyak. Susu yang sudah basi, tetap tidak akan bisa diminum, entah bagaimanapun caranya. Yang kusayangkan, adalah persahabatan yang hilang. Aku sungguh menyukai temanku yang mobile phone-nya hilang itu. Dia anak baik, sesungguhnya. Aku berharap bisa berteman lagi dengannya. Aku juga berharap, orangtuaku sudah memaafkannya. Mungkin ketika itu, semesta sedang mengujiku.
Di sisi lain, Malang menjadi petanda silang. Dari menjadi mahasiswa Sastra Jerman, akhirnya aku menjadi mahasiswa Sastra Jepang. Hanya satu tahun di Malang dan aku akhirnya memilih hijrah ke kota pahlawan. Mengadu nasib di jurusan yang kuimpi-impikan sejak aku masih di sekolah menengah atas. Universitas Airlangga, sebuah beasiswa lain dan aku memulai apa itu yang disebut dengan mandiri yang sebenarnya.
Aku mulai belajar bagaimana menghidupi diriku sendiri. Aku belajar bertahan hidup. Aku tegak menatap dunia, dan aku mempercayai diriku lebih dari yang sebelumnya kulakukan. Tak pernah ada bantuan finansial dari orangtua sejak aku di Surabaya. Tapi itu bukan hal penting, sebab aku tahu, aku seharusnya memang harus bisa menyelesaikan ini semua dengan baik.
Manusia berproses dan aku menghadapi semua fase centang rawan ini dengan tertatih namun fasih sampai finish. Tak bisa kukatakan aku tetap mengambil peran malaikatku, aku sudah melepas sebagian sisi malaikatku. Manusia tak selalu jadi baik, bukan?
Dan aku juga melakukan kesalahan itu. Terlibat dalam sebuah peristiwa dan aku bersama yang lainnya, menyudutkan satu temanku dalam tempat yang sulit. Aku tidak tahu kenapa aku bisa sekejam itu? Kenapa ketika itu aku tidak menyukainya dan berteriak di belakangnya bersama yang lainnya?
Sampai suatu ketika, aku mendapat satu kertas kecil bertulis (kalau aku tidak salah ingat), “COBA KAMU JADI PUBDOK. MEMANG KAMU BISA?”. Sejak itu, aku merenung. Aku tahu aku keterlaluan padanya. Dia temanku juga dan sering memang aku berpikir kenapa aku sempat tidak menyukainya. Aku bukan tipe seseorang yang bisa membenci seseorang tanpa alasan jelas.
Waktu berjalan dan temanku itu juga berubah seratus delapan puluh derajat. Dia tidak lagi menyebalkan dan menjadi sangat lembut. Kadang aku malu ketika aku harus menatapnya atau entahlah. Aku ingin mengucapkan maafkan secara langsung padanya, mungkin ketika aku nanti pulang ke Indonesia. Sebenarnya hubungan kami juga sudah tidak bermasalah. Itu terjadi di semester-semester awal kuliah di kota pahlawan. Sekarang aku sudah jadi mahasiswa bangkotan (ketawa kecut). Tapi aku tetap tahu kalau aku masih merasa bersalah padanya. Kadang aku bisa jadi sangat jahat. Sungguh..
Well, aku minta maaf ya, po..
Masa kuliah di Surabaya, belum bisa ada kata centang aman atau tidak. Aku masih belum lulus kuliah. Tapi bisa kukatakan itu masa yang menyenangkan, jika mengesampingkan kisah cintaku. Aku tak akan menyeritakannya di sini. Aku sudah bosan. Mari fokus pada momentum lain, kuliah sudah, kisah cinta skip.. ah ya. Jerman.
Berada di Jerman sesungguhnya sama sekali tidak bisa dikatakan masuk dalam daftar tujuan hidupku. Tapi, aku harus melakukannya. Demi sesuatu lain, sesuatu lain yang jadi tujuan utamaku sekarang: keluargaku. Jika aku jadi orang jahat dan egois, percayalah, aku hanya akan menyelesaikan empat tahun kuliahku, lulus dan selesai. Tapi tidak bisa. Banyak sebab, dan aku tahu aku tak akan bisa egois.
Ah Jerman..
Aku kehilangan kata-kata mengambarkan kehidupanku di sini. Sejujurnya aku tidak terlalu tertarik. Menyenangkan, iya. Menakjubkan, tidak. Biasa saja. Aku lebih mencintai kehidupanku di Surabaya. Ironis, bukan? Tapi ya sudahlah.. dan kaleidoskop 23 berakhir di sini. Aku masih di Jerman sekarang. Merayakan hari kelahiranku, jauh dari orangtua, sahabat-sahabatku, abang, dan keluargaku lainnya.
Kaleidoskop 23 menyentuh finish di sini dan aku masih terus memainkan peranku. Sejujurnya aku tidak tahu benar, bagaimana bisa aku menyebut sifatku dan watak asliku sejak masa sekolah menengah atas. Kejadian itu merubah seluruh diriku. Aku punya banyak peran berbeda yang kuperankan di tiap-tiap tempat.
Teman kampusku pasti akan menyebutku perempuan cerewet, aneh, atraktif, tomboy, apalagi ya. Yang jelas ngga ada baik-baiknya (ketawa super keras). Tapi, teman Kuliah Kerja Nyata-ku akan mengatakan bahwa aku introvert dan anti sosial (aku ngakak setan nulis bagian ini). Yakin deh, tak satupun anak kampusku bakal percaya aku ini introvert dan a-sosial. Mereka palingan bakal ngelempar aku dengan botol air mineral kosong atau tertawa gila mendengar ini. Tapi hey, teman-teman KKN-ku mengatakan itu di belakangku meski aku sejujurnya mendengarnya tanpa sengaja.
Lalu ada lagi, beberapa orang di Jogja yang pernah mengenalku atau sempat melihatku akan berkata aku pendiam, tak akan bicara kecuali ditanya, dan bukan perempuan baik-baik. Sementara di lingkungan rumahku, aku adalah anak perempuan baik hati, lugu, tidak banyak tingkah, calon menantu idaman dan pintar (pokoknya yang tipe malaikat sejati). Aku tidak percaya hal ini. Ada bahkan tetanggaku yang hobi sekali menjodohkanku dengan anaknya. Padahal aku tidak suka. Konyol.
Nah, dua puluh tiga.. maka aku akan memulai menemukan siapa diriku sebenarnya. Belajar membentuk kembali satu image, yang akan diketahui semua. Berhenti bermain peran dan tidak lagi banyak main-main. Aku sudah harus mulai menata semua langkah untuk meraih semua impianku. Membenahi target lama yang tak terselesaikan. Menjadi lebih tegar dan hidup hanya untuk keluargaku. Ayahku, ibuku, anakku, keponakanku, kakakku dan adik-adikku. Orang-orang yang akan menjadi satu-satunya bagian penting dalam kehidupanku.
Lalu untukmu, laki-laki yang kucintai, laki-laki yang sejak tahun dua ribu sebelas menjadi satu-satunya sosok yang memenuhi ruang kalbuku, maafkan aku. Pada titik ini, aku menyerah. Selamat tinggal.. Jika suatu saat kita bertemu, mari berkenalan lagi dan kita memulai segalanya dari awal. Sebagai teman. Aku mengerti segalamu dan titik ini adalah batasku.
Aku mencintaimu..
Dan untuk orantuaku; ayahku dan ibuku. Mari kita lebih kuat. Dunia memang kejam dan kita harus jauh lebih kejam dari dari dunia agar kita tetap bisa hidup bahagia. Ayah, yang kuat.. sehat selalu. Jangan biarkan jantungmu menunda kebahagiaanmu. Bersinar selalu dan tetap tabah. Aku memujamu, ayah
Astaga.. apa saja yang sudah kutulis. Sudahlah.. sebelum lilinnya habis, aku harus meniupnya. Selamat ulang tahun, mbak Ria. Selamat ulang tahun, Ree. Selamat ulang tahun, Mipo. Selamat menjadi sosok baru.
Selamaaaatttt….
Keep CALM. It’s my 23rd Birthday!!!!
Semalam, aku memimpikan seseorang yang sudah bertahun-tahun tidak pernah aku lihat. Seseorang yang menjadi pujaan hatiku ketika aku masih sangat belia. Aku tidak tahu kenapa aku mendadak memimpikannya. Tapi kupikir itu tidak masalah karena dengan mendapat mimpi itu, hari ini aku mengingat banyak hal indah yang membuatku tersenyum. Sebuah kisah tentang suka pertama. Kali pertama aku menyukai seorang cowok. Dan aku ingin membagi kisah ini di sini.
Dalam mimpiku, aku melihat dia dan aku berteriak, “Ya ampun, sudah lama banget ngga ketemu!” lalu aku peluk dia dan dengan iseng mencium bibirnya selintas. Astaga, serius.. cuma selintas dan dia bengong lalu aku tertawa terbahak. Setelahnya berbisik dengan teman di sampingku, “Mumpung ada kesempatan.”. Sungguh, aku tidak tahu aku bisa seliar itu. 🙂
Dia, sebut saja D—bukan Mr.D seperti yang di Percy Jackson ya—adalah teman sekelasku ketika aku berada di tingkat pertama sekolah menengah pertama. D ganteng dengan rambutnya yang lucu. Aku punya julukan untuknya dulu. Landak Jawa Jambul Hitam Hahahha, aku suka sekali julukan itu. Cocok untuknya dengan rambutnya yang hitam dan sedikit jabrik.
D adalah tipe anak yang sekali kau lihat, kau akan langsung tahu kalau dia adalah bagian dari geng anak-anak nakal. Well, tidak menyalahkan. Sebab itu memang benar. Sementara aku, si nerd, juara kelas—hahaha sombong—gendut, ngga populer dan pokoknya tipe yang ngga banget deh. Tapi karena aku pinter, aku jadi bisa deket dengan D. Selain karena D butuh aku buat nyontek pe-er atau tugas, D juga naksir teman sebangkuku dulu. Sadis ngga? Aslinya, bagiku dulu ngga. Aku ngga peduli D naksir siapa. Soalnya waktu itu rasa suka yang kumiliki buat D, bukan rasa suka yang menuntut. Aku cuma suka melihat D setiap hari. D yang tertawa, D yang mengisengi teman-teman sekelas. D yang ini, D yang itu. Intinya aku suka D. Semua yang ada di D. Tidak peduli itu baik atau jelek. Aku suka.
Cara D tertawa adalah sesuatu yang bisa kuingat sampai sekarang. Ketika D tertawa, D akan terlihat sangat-sangat-sangat-sangat tampan di mataku. Menurutku, di angkatanku dulu, D yang paling tampan. Hahahha. Semoga D ngga baca postingan ini deh, bisa-bisa D besar kepala. Gambar Hati di kertas itu digambar oleh D di buku tulisku yang dipinjamnya. Aku masih simpan sampai sekarang.
Kalian yang mengenalku, yang membaca cerita non-fantasiku pasti tahukan kalau banyak ceritaku berhubungan dengan hujan. Sebab aku suka hujan. Dan aku suka hujan karena D. Pernah suatu ketika, karena hujan turun sangat lebat—dan mungkin guru kami sedang malas mengajar—kami punya jam kosong yang panjang. Beberapa anak berdiri di teras depan kelas kami. Salah satunya D. Dan karena D itu isengnya setengah mampus, dengan tangkupan tangan yang terpenuhi air dari tetesan hujan yang jatuh dari genteng kelas, D menyiprat-cipratkan semua air itu kepada anak-anak lain—salah satunya aku—dan D terlihat sangat bahagia ketika melakukannya.
Kalau kuingat, mungkin ketika itu aku ngomel-ngomel tidak karuan karena D membuat seragamku basah. Tapi ada sebuah momen yang membuat aku menatapnya tak berkedip ketika itu. D yang berlarian seperti orang kesurupan, dengan backgroundhujan dan tawanya yang berdera-derai karena dia sukses mengisengi banyak anak. Ketika itu, aku terpaku. Aku ingin melukis momentum ini selamanya. Dan hujan adalah bagian yang paling tepat untuk membuat ingatan itu selaksa prasasti di kepalaku. D serupa malaikat. Well, jika kau tanya teman seangkatanku dulu tentang D, dan apakah D memang punya tampang malaikat jawabannya jelas engga. D itu iblis, buat mereka.
Ada masa juga dimana aku punya kenangan lima belas menit—mungkin kurang—yang tak pernah bisa kuhapus sampai sekarang. Suatu sore, entah kenapa ketika itu aku masih ada di sekolah, begitu juga D. Kami bisa berakhir dengan bermain basket berdua. Berdua. Sungguh. Jika ada yang bertanya, selama tiga tahun masa-masa sekolahku di sana, momen apa yang paling berkesan. Jelas momen ini. Kalau tidak salah, dulu menjelang acara perpisahan. Detail lebihnya aku tidak ingat. Hanya tahu, aku dan D bermain basket berdua. Hanya itu dan sudah cukup. Lagipula, aku bahkan tak yakin D ingat semua yang kutulis sekarang ini. Aku tak pernah tahu kabarnya sejak aku lulus dari sekolah menengah pertama. Mungkin saja, D bahkan sudah menikah dan punya anak sekarang.
Tapi seperti yang kubilang sebelumnya, tak apa. Rasa sukaku pada D bukan rasa suka seperti yang dikeluhkan MCR : Love is so demanding. Aku tulus dan aku tidak pernah berharap bahkan untuk sekedar membuatnya tahu bahwa aku menyukainya. Tiga tahun dan aku bertahan dengan hanya memiliki dia sebagai satu-satunya cowok yang membuatku tertarik. Aku juga tidak merasa sakit hati ketika tahu dia punya pacar atau naksir perempuan lain. Lagipula, nyaris semua temanku—kecuali tiga sahabatku di kelas delapan—mengira bahwa aku naksir cowok lain. Anak OSIS, pinter, punya obsesi di bidang Pramuka dkk. Tapi sebenarnya aku sama sekali ngga naksir cowok itu. Aku suka D. Aku naksir dia setengah mati. Tapi aku juga ngga pernah berusaha mengenyahkan pendapat teman-temanku yang lain, toh itu menguntungkanku. Jadi aku tetap bisa jatuh suka diam-diam dengan D.
Lagipula, apa yang kuharapkan? D yang ganteng dan badboy itu naksir aku juga? Well, aku tahu diri ketika itu. Kelebihanku cuma pinter dan anak es-em-pe zaman dulu lebih memilih apa yang bisa dilihat pakai mata daripada apa yang ada di dalam otak. Fisikku jelas langsung masuk daftar coret cewek idaman. Aku item, gendut, ngga modis, rambut ikal—sebagian besar masih sama sampai sekarang. Hahhaha—anak sepu-sepu (sekolah pulang sekolah pulang). Tongkrongan paling banterku ketika itu cuma warung bakso bapakku di depan sekolah. Lengkap sudah.
Ah D. Tapi aku ngga pernah menyesal. Sungguh. Menyukai D mengajariku banyak hal. Banyak sekali. D mungkin ngga menyadarinya tapi aku sungguh beruntung bisa jatuh suka dengannya. Tiga tahun. Tak satu hari pun aku berpaling darinya. Tiga tahun, dan hanya dengan menyukainya dalam diam. Aku puas.
Seringkali sekarang, aku berpikir kenapa aku ngga bisa seperti itu lagi. Berpikir sederhana dan menikmati setiap hari yang ada. Jika bisa, aku pasti jauh lebih bahagia. Itulah negatifnya menjadi dewasa. Seperti tumbuhan yang bertumbuh. Semakin berakar banyak, semakin punya cabang-cabang dan daun-daun yang berebutan tumbuh anyar. Seringkali, menjadi satu tunas kecil terasa jauh jauh jauh dan jauh lebih baik. Dan aku rindu itu.
Ah ya sudahlah, inilah siklus hidup. Mau tidak mau kita harus menjalaninya. Hanya saja, mengingat ke belakang bisa menjadi penawar yang baik. Sepertinya itu saja kali ini pikiran tak beraturan yang ingin kubagi denganmu. Tentang suka pertamaku. Jika aku punya sesuatu yang membuatku mengingat lagi, mungkin saja aku akan membagi kisahku tentang sayang pertamaku dan cinta pertamaku. Semoga kau tidak bosan membacanya.
Astaga iya.. dan kau.. bagaimana suka pertamamu? Apa kau masih ingat??
Kau tahu rasanya merindukan seseorang tapi tidak bisa melakukan sesuatu untuk menghilangkan perasaan itu? Apa kau juga tahu bagaimana rasanya disiksa oleh perasaan itu detik demi detik dan kau masih saja tidak bisa melakukan apapun? Jika kau tahu, mari kita bicara. Sebab aku ingin membagi perasaan sesak ini. Aku ingin membaginya agar aku tidak perlu terus menerus berdiam dalam luka yang mengikisku habis dari dalam. Aku merindukan banyak orang. Aku merindukan banyak hal. Dan rindu itu membunuhku perlahan. Aku menangis, tapi tidak pernah tahu kapan airmataku bisa habis. Aku ingin berhenti menangis, tapi setiap kali aku diam. Aku akan menangis lagi dan lagi. Sampai kebas dan bosan rasanya pada rasa sakit ini. Rasa sakit karena rindu yang tak pernah terbayar.
Aku rindu berada dalam dekap ibuku. Aku rindu berbicara macam hal dengan ayahku. Aku rindu mengoda adik laki-lakiku. Aku rindu anakku. Aku rindu kakak perempuanku yang suka sekali membuat masalah. Aku rindu adik perempuanku yang ego dan kekakuannya melebihi aku. Aku rindu semua orang di dalam rumah kecil kami yang nyaris roboh itu. Aku rindu bau masakan ibu yang lebih sering keasinan daripada enak. Kalau kata orang Jawa, memasak keasinan menjadi petanda bahwa orang tersebut ingin menikah. Aku curiga ibuku akan menjadi duta poliandri di bumi ini. Tapi aku tidak khawatir, sebab aku tahu ibuku hanya punya satu laki-laki di dalam kehidupannya, hanya satu, ayahku. Laki-laki pertamanya dan yang akan menjadi yang terakhir pula untuknya.
Aku merindukan setiap hembusan nafas yang kumiliki di dekat mereka. Aku merindukan semua tawa, semua canda, semua omelan, semua kesah amarah, semuanya.. Aku rindu sampai rasanya aku sulit bernafas dengan baik. Aku merindu sampai ringkih rasanya. Aku rindu dan aku menangis. Membenci diriku sendiri karena aku tidak bisa melakukan apapun untuk mencicil rindu ini. Tak akan lunas, namun setidaknya mungkin aku berusaha menguranginya. Bukannya diam dalam guaku dan tidak melakukan apa-apa. Aku benci situasi ini. Aku benci sekali dan amarahku seperti sudah sampai pada angka tertinggi yang bisa ditolerir tubuh dan jiwaku. Dan amarah itu kembali membawaku pada satu titik, airmata.
Oh, aku benci menjadi lemah dan tidak berdaya seperti ini. Sebab aku tahu ini jalan yang kupilih. Berada jauh dari mereka, jantung hidupku. Setidaknya aku tahu, tujuanku demi mereka. Demi mengenyahkan semua masalah yang mengendapkan kebahagiaan kami menjadi detak takut dan khawatir. Aku mencintai mereka dan aku akan rela mengorbankan apapun demi mereka, keluargaku. Aku menyerah pada kisah cintaku yang tidak ramah. Aku menyerah pada keinginku untuk menjadi gadis lugu tukang jaga rumah. Aku menyerah pada beberapa hal yang sebelumnya kuinginkan, target 23 mungkin salah satunya. Tapi percayalah, tak ada penyesalan. Tak ada. Sedikitpun. Jika demi mereka, apalah artinya sedikit mengunyah pahitnya hidup. Aku akan berjuang, mengatasi rinduku dan selipan putus asa untuk menyerah. Aku akan berjuang dan kupikir, aku pasti bisa mengatasi ini. Aku percaya.
Jika sekali, dua kali atau seringkali menangis dan dihujani rindu yang tak pernah terbayar, aku maklum. Sedikit mengomel dengan bumbu putus asa juga tidak apa-apa. Sebab aku masih manusia dan aku yakin itu yang namanya manusiawi. Logikaku untungnya berperan cukup bagus di sini. Mungkin itu salah satu keuntungan dari menyerah pada kisah cintaku. Kurasa, sebab jika aku masih tidak menyerah, perasaan dan kebodohanku yang akan ambil kendali untuk keputusan apapun. Bahkan di luar yang berbau romansa sekalipun.
Andai saja Poseidon ada, aku mau menitip rindu pada air laut. Biar dibawanya pesanku. Biar dibawanya cintaku. Biar diberikannya semua pada keluargaku. Begitu aku bisa lega. Sedikit membahagiakan diri sendiri, bolehkan?
Wahai Poseidon, bisakah kau berhenti sejenak di dekat pulauku.
Wahai Poseidon, lewat angin yang berhembus, menarilah sampai ke dekat gunung kecil itu.
Wahai Poseidon, jika sudah, berhentilah dan peluk keluargaku untukku.
Wahai Poseidon, bau lautmu mungkin asing bagi orang gunung seperti mereka.
Wahai Poseidon, jangan jadi Neptunus sebab kau harus ramah pada mereka.
Wahai Poseidon, lunaskan rinduku dan kembali padaku setelahnya.
Wahai Poseidon, terima kasihku padamu.
THE LADY OF MIRKWOOD
The dream catcher who belong to The Lord of Mirkwood. Don't hesitate to come for say a small "hello!"
Formulir Kontak
POPULAR POSTS
Categories
- 30-Day Writing Challenge 4
- AUPAIR 2
- Cerpen 25
- Impian 6
- Ini Curhat 11
- Jejak R & D 2
- Kisah di Austria 7
- Kisah di Jerman 7
- Kisah Tak Sempurna 8
- Kumpulan Twitt 19
- Malaikat Hujan 7
- Puisi 18
- Random Thoughts 23
- Reading Link 2
- Untaian Kata 32
- Untuk Senpai 52
- Untuk SID 7
- Visa Jerman 3
- WritingChallenge 4
Blog Archive
-
2023
(17)
-
Mei
(17)
- Prioritasmu
- Untukmu
- Salju di Bulan April
- Nadamu
- Ketika
- Jangan Jatuh Cinta Lagi
- Movin' On
- Aku
- Pembencimu
- Yang Diingatkan Oleh Rindu
- How to Have a Long and Happy Relationship?
- Cerita Tentang Anggarra
- I Ever Met A Man
- Dia Suka Perempuan Berambut Panjang
- Berdamai Dengan Masa Lalu
- Sleep Paralysis
- Sang Pemimpi
-
Mei
(17)
-
2013
(25)
- Desember (3)
- November (3)
- Oktober (2)
- September (1)
- Juli (1)
- Juni (2)
- Mei (1)
- April (7)
- Maret (5)