Ini pertama kalinya aku melihat Adrian terlihat serapuh ini. Aku biasa melihat sosok Adrian yang dingin, mandiri dan tenang meskipun kadang agak pemarah. Namun sekarang, hanya berjarak beberapa meter, aku bisa melihatnya yang duduk dengan wajah kosong menatap ke dinding kaca kantornya yang mengarah ke luar. Wajahnya kuyu, dengan rambut yang tidak disisir rapi dan jenggot dan kumis yang mulai tumbuh di sana. Padahal aku tahu pasti bahwa Adrian sama sekali tidak suka memelihara kumis dan jenggot.
Aku menghela nafas. Sekretaris Adrian menghentikan langkahku untuk mendekat ketika dia berkata dengan sangat pelan, “Pak Adrian sedang tidak ingin diganggu, Bu Dilla. Lebih baik anda kembali lain waktu saja. Sepertinya ini bukan waktu yang tepat untuk menemui Pak Adrian.”
“Biarkan aku menemuinya sebentar, Afrin. Aku tahu dia tidak akan marah padamu karena ini.” aku menatap Afrin penuh keyakinan. Dia menatapku ragu sebelum akhirnya melangkah menyingkir, memberiku jalan dan mengangguk.
Aku berjalan masuk dan menutup pintu kantor Adrian dengan pelan. Dia bahkan tidak menoleh, aku malah curiga kalau dia tidak menyadari keberadaanku di sini. Aku mendekat, memutari separuh meja dan berdiri di samping Adrian.
“Adrian.” Aku menyentuh bahunya dan dia nyaris terlonjak karena kaget.
Matanya menyipit menatapku dengan sinis, “Apa yang kau lakukan di sini, Dilla?” ucapnya seraya menyingkirkan tanganku dari bahunya.
Aku mengerutkan keningku melihat sikapnya. Tidak cukupkah dengan mengusirku dari apartemennya beberapa hari lalu? Dia sudah tidak pernah mengangkar teleponku dan membiarkan semua pesan yang kukirimkan padanya. Dia benar-benar tidak mengacuhkanku. Lalu sekarang, ketika aku mendatanginya dia malah bersikap seperti ini padaku.
“Kau ini kenapa sih Adrian?” rengutku jengkel.
Dia bangkit dari duduknya, menjauh dariku dan berdiri membelakangiku, “Pulanglah.”
Hanya satu kata itu dan tidak ada lainnya. Aku tidak hanya melihat punggung tegaknya, tapi juga ribuan kepedihan dan rasa sakit di sana. Amarahku memudar. Jika saja bukan seperti ini situasinya, aku akan berlari dan memeluk punggung itu. Menenggelamkan diriku di sana dan berbisik semuanya baik-baik saja.
Tapi sekarang itu mustahil, mustahil sebab dia seperti ini mungkin juga karena diriku. Karena ulah yang kulakukan, perempuan itu meninggalkanku. Perempuan sainganku. Perempuan yang mengalahkanku. Perempuan yang membuatku tersingkir. Satu-satunya perempuan yang sekarang ada di hati dan pikiran laki-laki yang kupuja setengah mati ini.
Aku berjalan mendekat. Hanya tinggal tak kurang dari dua langkah, Adrian terasa sedekat udara, namun juga terasa sejauh angkasa. Aku menguatkan diriku. Benar-benar berdiri sangat dekat di sampingnya. Mengecup pipinya selembut kecupan pertama kami, “Kau memilikiku. Dan akan selalu begitu. Ingatlah itu.”
Tapi Adrian sedingin kaca di dekatnya. Tidak ada reaksi. Dia bahkan tidak menoleh ke arahku. Lalu aku bisa mendengarnya, suara sekaku tombak, “Pergilah.”
Aku memutar tubuhku secepat yang kubisa dan berjalan meninggalkan ruangan ini dengan sisa-sisa suara sepatu hak tinggiku. Aku nyaris berlari, mengabaikan tatapan ingin tahu Afrin, aku terus melanjutkan langkahku. Berbelok ke arah tangga darurat dan menuruninya seperti orang gila. Ada yang terasa hancur di dalam diriku. Aku berhenti dengan nafas tak beraturan dan betis yang terasa mau pecah. Menjatuhkan tubuhku ke anak tangga, tangisku pecah. Ada yang benar-benar hancur di dalam sini. Aku bisa merasakannya dan sakitnya luar biasa. Aku memeluk lututku dan membiarkan air mataku terus mengalir. Aku butuh air mata. Aku butuh penghapus luka ini.
***
Aku melangkah tak tahu arah. Berjalan sembarangan di trotoar dengan lirikan banyak laki-laki ke arahku yang hanya mengenakan gaun berpotongan dada rendah dan panjangnya tak sampai lututku. Bahkan mungkin nyaris tujuh senti di atas lutut. Masa bodoh. Aku tak mau peduli pada mereka. Masa bodoh.
Langkahku terhenti, aku menatap ke arah papan iklan besar yang menampilkan sepasang laki-laki dan perempuan yang saling mencintai. Tatapan yang memancarkan ribuan perasaan cinta,namun sayangnya palsu. Semua itu hanya untuk tujan komersil. Sama seperti Adrian. Semua ciuman dan ungkapan cintanya padaku dulu seolah hanya sebuah bayaran untuk apa yang kulakukan dan kuberikan untuknya.
Adrian..
Aku mendesah. Sejauh apapun aku mencoba menghindar. Nama itu yang hanya akan ada di dalam kepalaku. Apapun yang kulihat, apapun yang kurasakan, segalanya akan selalu berakhir dengan namanya. Apakah aku benar-benar sudah mencintainya begitu dalam? Bagaimana bisa kubiarkan diriku melakukannya? Perempuan bodoh!
Kupejamkan mataku sejenak dan kembali melangkah. Mengingat Adrian. Mengingat setiap kebahagiaan yang ada ketika kami bersama. Tawa kami, pertengkaran kami, bahkan gurauan tak masuk akal yang kadang merasuk dalam perbincangan kami.
***
“Menurutmu bagaimana kalau kita kabur ke Mars?”
Aku menatap Adrian dengan kedua alis terangkat, menuangkan wine lagi ke dalam gelasnya yang telah kosong, “Oh itu terlalu jauh. Kenapa tidak ke California atau Spanyol saja?”
Adrian meneguk winenya, terlihat berpikir. Dan aku tertawa. Melihat wajahnya yang sok serius dan gerutan-gerutan di dahinya membuatku tergelak, “Ayolah, sayang. Dua kota itu lebih mungkin dijangkau kantongmu.”
Jari telunjuknya bergoyang, “Hush! Bahkan jika aku mau, sebenarnya Mars itu masuk akal. Hanya menemukan supir yang bisa mengantar kita ke sana yang agak merepotkan. Aku tidak bisa membawa mobilku sendiri kesana dan menyetir. Itu terlalu meguras tenaga.”
Aku mengangkat kedua alisku, “Kupikir kau bisa melakukannya.” aku mengedip manja dan berjalan ke arah Adrian, menyurukkan tubuhku mendekat ke arahnya. Adrian mengalungkan lengannya ke leherku dan mencium pipiku singkat.
“Kau pikir begitu?” bisiknya.
“Tanpa keraguan sedikitpun.” Jawabku cepat. Aku melirik ke awahnya, melihat wajahnya dan tersenyum, “Kau bisa melakukan apapun. Kau bisa pergi ke Mars, kau bisa pergi bahkan ke Pluto jika kau mau. Kudengar sekarang Pluto sudah diakui lagi sebagai planet, atau whatever. Kemanapun.”
Aku bisa mendengar Adrian tertawa, terlalu keras bahkan dadanya berguncang, “Apa kau mabuk?” katanya kemudian.
Aku tersenyum penuh rahasia, “Aku selalu mabuk jika denganmu.” Bisikku merayunya, mengecup bibirnya pelan, “Kau adalah canduku.”
Adrian memelukku semakin erat, “Terima kasih.”
“Hanya itu?” aku menjauh protes.
Adrian tersenyum, menarik tanganku mendekat kepadanya lagi dan memelukku penuh perlindungan, “I love you.” Ucapnya penuh kejujuran dan aku tenggelam di dalamnya.
***
“Tolong satu gelas lagi, Mike.”
Aku melihat wajah protes Mike. Dia menyilangkan kedua tanganya, “Kau sudah minum cukup banyak malam ini, Dilla. Itu tadi yang terakhir, tidak ada lagi alkohol untukmu. Minum ini.” dia mengangsurkan gelas lain ke arahku.
Keningku berkerut, meraih gelas itu dan meminumnya, “Urgg..” aku nyaris memuntahkannya dan mengembalikannya ke arah Mike.
“Tidak!” kataku tegas, “Aku tidak mau minuman ini.”
Mike menggeleng, “Sorry, honey. No more alcohol for you. Go home. I will call taxi for you.”
“NO!!” aku menjerit. “I need alcohols so bad, Mike. Please..”
Mike menyorongkan kepalanya ke arahku, “Kau ada masalah dengan Adrian?”
Mataku menatap kedua bola mata biru milik Mike dan berpaling dalam beberapa detik.
“Jangan sebut namanya lagi.” ucapku tak bertenaga. Aku memandang ke sudut lain. Mendesah. Bahkan tempat seramai ini terasa seperti kuburan bagiku. Aku tak bisa mendengar suara percakapan, aku tak bisa mendengar suara musik yang menghentak di sekitarku. Aku tak bisa mendengar apapun kecuali suara Adrian yang menyuruhku pergi dari kehidupannya.
“Sejak awal aku sudah tahu dia laki-laki brengsek. Kau saja yang tidak pernah mendengarkan nasehatku. Jadi jangan salahkan aku kalau kau sekarang patah hati.”
“Dia tidak brengsek, Mike.” Aku berteriak marah, sampai beberapa kepala menatap ke arah kami.
“Lalu?” mata Mike menelanjangiku, tidak mau kalah, “Apa yang telah dilakukannya sekarang sampai kau berakhir di sini dengan tampang seperti itu?”
Aku membuang nafas panjang. Meletakkan kepalaku ke atas meja. Menunduk. Tak berminat berkata apapun pada Mike. Meski aku tahu, entah kapan, aku jelas akan bercerita padanya. Mike teman baikku. Bartender tampan asal Sidney itu tidak pernah mengecewakanku sejak awal kami berkenalan. Jika saja dia bukan gay, mungkin kami sudah pacaran dan tinggal bersama, atau mungkin malah punya anak.
“Aku selalu berpikir bahwa kau tidak pernah mendapatkan laki-laki baik sejak meninggalkan Erel. Mungkin saja kau kena kutukan.”
Kepalaku terangkat, dan mataku membulat, “Kau bicara apa sih? Kutukan? Kenapa tidak sekalian bilang aku harus ikut ruwat nasib. Sepertinya kau terlalu banyak bergaul dengan orang Indonesia sampai kau percaya hal seperti itu.”
Mike mencibirku, “Kalau begitu sebut saja nasib baikmu cuma ada pada Erel. Tidak pada yang lainnya.”
Aku mengangkat kedua bahuku, meraih tasku dan meninggalkan tempat ini tanpa mengatakan apa-apa lagi pada Mike begitu aku selesai dengan semua tagihan minumanku. Aku melangkah pelan menelusuri lorong club. Memikirkan apa yang dikatakan Mike. Bahkan ketika taxi yang dipesankan Mike untukku datang, dan aku berada di dalamnya. Kata-kata Mike masih berputar-putar di dalam kepalaku.
“Erel.” Aku menyebut nama itu lagi setelah hampir tiga tahun lebih melupakannya.
Apakah mungkin Mike benar?
***
“Erel, kupikir aku mau kita selesai sekarang.”
Bisa kulihat keningnya berkerut dalam. Matanya menatapku, penuh kebingungan. Aku kehilangan kesabaranku dan menatapnya lurus-lurus.
“Kupikir lebih baik kita putus.”
“Putus?”
Aku mengangguk tanpa keraguan.
“Aku tidak bisa bertahan dengan hubungan yang seperti ini.”
“Apa aku melakukan kesalahan?”
“Tidak.” Jawabku cepat, “Masalahnya adalah.. “aku berhenti, menatap Erel dan merasa sedikit bersalah, “Aku bosan padamu.” Aku tidak bisa melihat ekspresi di wajah Erel, namun aku harus. Jika tidak, ini tidak akan bisa berakhir dengan baik. Aku menghela nafas dalam, “Erel, kau terlalu baik untukku.” Paparku mulai dengan kalimat menyebalkan ini, aku tahu aku harusnya tidak mengatakan omong kosong ini. Tapi untuk Erel. Ini bukan omong kosong.
“Aku tidak bisa menjalani hubungan sedatar ini. Kau selalu mengalah untukku. Kau selalu melakukan apapun yang kuminta. Bukannya aku mau kita bertengkar atau apa, hanya saja Erel. Aku ingin hidupku lebih berwarna. Bersamamu, segalanya terasa terlalu mudah dan hello.. aku tidak berada di dalam dunia peri yang serba sempurna. Aku butuh beberapa hal yang sepertinya tidak bisa kudapat darimu.”
Aku membenarkan letak dudukku, mengamati horor yang ada di wajah Erel mendengar perkataanku, “Dengar, Erel. Aku minta maaf, sungguh. Kurasa aku bukan perempuan baik yang cocok berdampingan denganmu. Aku benar-benar minta maaf.”
Tanpa menunggu jawabannya, aku berdiri. Berjalan ke arahnya dan mengecup pipinya untuk terakhir kalinya, “Selamat tinggal.” Kataku sebelum melangkah pergi tanpa pernah menoleh ke belakang sekalipun.
***
Lalu inilah karmaku. Aku tidak bisa melihat ke belakang lagi. Apa yang telah kulakukan pada Erel tak bisa kubatalkan. Dan inilah yang memang harus kuterima. Mataku memandang ke arah pintu apartemen yang tertutup rapat ini. Aku tahu dia di dalam. Meskipun aku sudah menekan bel apartemennya beberapa kali, dia bergeming.
Adrian sudah menganti password masuk apartemennya sejak terakhir kali aku datang dan merajuk padanya untuk memaafkanku dan menerima kenyataan bahwa Nuna sudah melupakannya. Dia marah, benar-benar sangat marah ketika itu. Nyaris menyeretku ketika dia memaksaku keluar dari dalam apartemennya.
Tapi kemudian aku di sini lagi. Seolah kehilangan urat maluku namun aku tahu tak ada yang bisa kulakukan untuk ini. Aku tidak bisa menyerah pada Adrian. Tidak. Aku mencintainya. Terlanjur mencintainya dan aku tidak akan rela menyerahkannya pada perempuan yang bahkan sekarang meninggalkannya.
Perempuan sialan itulah sumber petakanya. Aku bersumpah dia akan membayar semua yang terjadi padaku ini jika aku punya kesempatan untuk bertemu dengannya. Sayangnya aku dengar perempuan itu hilang seolah ditelan bumi sejak terakhir kali aku melihatnya. Itu bagus. Dan lebih baik jangan kembali lagi.
Aku menghembuskan nafas panjang. Menekan bel apartemen Adrian sekali lagi. Sekali ini aku berdoa. Untuk pertama kalinya sejak entah kapan, aku berharap Tuhan mau sedikit berbaik hati padaku dan menyentuh hati Adrian untukku lagi.
“Hai.” Aku nyaris terlonjak saking bahagianya dan kehilangan semua kata-kata yang sudah aku susun dari rumah begitu aku melihat pintu apartemen Adrian terbuka dan dia di sana. Menatapku dengan bosan.
“Apa lagi sekarang?”
Suara itu demikian dingin. Namun aku menahan semua emosiku untuk marah padanya. Aku harus bersabar. Aku harus.
Aku tersenyum, “Apa kabar?”
“Pulanglah.” Dan dia sudah nyaris menutup pintunya lagi jika saja aku tidak lebih cepat menahannya dengan tanganku. Matanya menatapku kesal.
“Aku ingin kita bicara. Kumohon.”
Dia menyentuh tanganku dan menyingkirkannya dari pintunya. Meski itu bukan sentuhan yang biasa dia lakukan padaku, aku tetap saja merindukannya. Aku benar-benar membutuhkan Adrian.
“Kita sudah bicara. Dan kurasa itu cukup. Dilla dengar. Aku sudah punya cukup banyak masalah di kepalaku dan kuharap kau tidak menambahnya lagi. Kita sudah selesai. Jadi mengertilah. Aku tidak punya waktu untukmu.”
Airmataku nyaris menetes mendengar kata-katanya. Tapi aku menahannya kuat-kuat dan tersenyum padanya, “Tapi aku—“
“Tidak Dilla.” Dia memotong ucapanku dengan cepat, “Pulanglah. Aku punya banyak urusan yang harus kukerjakan.”
“Tidak!” sahutku cepat, “Aku tetap ingin kita bicara. Aku akan menunggu di sini sampai urusanmu selesai jika kau tidak membiarkanku masuk. Aku akan menunggumu di sini.” Tegasku.
Mata Adrian memicing, “Terserah padamu.”
Dan aku menatap pintu yang menutup itu dnegan nanar. Dan dia benar-benar menolak bertemu denganku. Meski dua jam setelahnya aku menekan bel itu lagi. Tak ada pergerakan apapun. Dan dua jam setelah lagi,lagi dan lagi. Adrian benar-benar tidak menampakkan dirinya.
Aku berjalan meninggalkan tempat ini seperti orang yang kalah perang. Tidak aku tidak kalah perang. Aku kalah. Kalah untuk segalanya. Semuanya.
***
“Tolong bi. Kumohon, izinkan aku masuk. Aku harus bicara dengan papa.”
Tapi wanita paruh baya itu hanya menggeleng dan mengatakan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Adrian terlihat kecewa tapi masih memohon tanpa henti. Bahkan ketika wanita itu menyentuh bahunya, mengusapnya penuh simpati, Adrian masih saja merajuk.
“Bibi..”
Wanita itu menggeleng dan segera pergi ke balik gerbang tinggi itu dan menutupnya pelan. Meninggalkan Adrian yang masih berdiri di sana. Tetap berdiri di sana dengan semua pikirannya yang aku tidak tahu apa. Dia menatap gerbang tertutup itu. Tidak bergerak. Tidak berkata apapun.
Adrian..
Entah bagaimana tanganku bergetar. Dari sudut ini, di balik satu pohon yang melindungiku dari pandangannya, aku merasakan kepedihannya. Aku bisa merasakannya dari mata itu. Mata yang seolah mati dan tak memancarkan apapun selain kekosongan.
Dia berdiri di sana nyaris lebih dari lima belas menit. Sebelum aku bisa melihat bahunya terangkat, satu helaan nafas panjang dan dia berbalik. Berjalan gontai ke arah mobilnya dan meninggalkan tempat ini dalam hitungan detik yang begitu cepat.
Aku mendesah, berbalik dan—
“Dilla, apa yang kau lakukan di sini?”
Otakku memroses segalanya dengan lambat sebelum akhirnya mulutku terbuka, memanggil namanya.
“Erel..”
***
“Jadi bagaimana bisa kau berada di sana? Mengawasi Adrian? Kau jelas mengenalnya kalau begitu.”
Kepulan harum kopi di depan kami bahkan tak bisa menahannya menanyakan semua itu dalam hitungan detik. Dia tidak terlihat ingin tahu dengan diriku, namun lebih ke apa yang kulakukan di sana dan tentang Adrian. Aku memicing, meneliti. Bagaimana bisa Erel juga tahu tentang Adrian? Dan bagaimana dia bisa ada di sana?
“Aku kekasih Adrian.”
Mata Erel memancarkan sesuatu yang kutahu apa. Keraguan.
“Aku kekasih Adrian, Erel.” Aku mengulanginya karena dia terus menatapku dengan fokus, “Aku di sana untuk—“
“Kau tahu Adrian ada di depan rumah siapa tadi?” potongnya tajam.
Aku mengamati Erel, “Kau tahu tentang Nuna?”
Dia mengedip lambat, menghela nafas dan menyandarkan punggungnya yang tegang ke belakang, “Aku tidak menyangka akan berakhir serumit ini.” gumamnya tak jelas.
Rumit? Apa maksud ucapan Erel. Dan kenapa setelah tiga tahun tidak bertemu. Kami malah berakhir duduk di sini dan membicarakan tentang orang lain. Mengingat apa yang terjadi pada pertemuan terakhir kami, ini sedikit konyol.
“Apanya yang rumit?”
Erel mengawasiku, “Kau perempuannya Adrian? Yang dulu atau yang baru?”
Mataku membulat mendengar pertanyaannya yang blak-blakkan, “Apa maksudmu?”
“Kau jelas tahu apa maksudku, Dilla. Adrian tidak punya hanya satu perempuan. Dia punya banyak. Kau mungkin salah satunya. Tapi kau tahu pasti bahwa dia cuma dimiliki oleh satu perempuan. Nuna. Itulah sebabnya kau mengikutinya sampai ke depan rumah Nuna, bukan begitu? Kau ingin tahu lebih banyak tentang siapa sainganmu? Siapa yang membuatmu terdepak dari sisi Adr—“
“Tunggu.” Potongku cepat, “Kita harus meluruskan ini. Dengar, Erel. Aku tahu lebih banyak tentang Nuna daripada perempuan manapun. Jadi aku tidak butuh mencari tahu lebih lagi. Aku tahu pasti dengan siapa aku akan memperebutkan Adrian. Dan.. “ aku menatap kedua mata Erel, “Sekarang Adrian tak punya satupun perempuan di sisinya. Tidak Nuna, tidak pula aku. Meskipun aku berusaha keras membuatnya kembali padaku, dia menolak. Padahal perempuan sialan itu sudah meninggalkannya.”
“Nuna? Nuna meninggalkan Adrian.”
Aku mengangguk, meski begitu tatapanku sama sekali dia beralih dari Erel. Melihat perubahan ekspresinya, melihat bagaimana dia terkejut mendengar ini. Aku tahu. Aku tahu ada sesuatu.
“Aku tidak tahu apa hubungannya kau dengan semua ini. Tapi kurasa kau terlib—“
“Kau yakin benar bahwa Nuna meninggalkan Adrian?” potong Erel mengabaikan semua yang kukatakan. Meski jengkel, aku mengangguk.
“Aku ada di sana. Sedikit banyak kurasa akulah yang menyebabkan perempuan sialan itu mengambil keputusan itu. Tapi kurasa itu tidak penting. Fakta yang kubutuhkan adalah, Adrian tidak lagi punya ikatan apa-apa dengannya jadi aku bi—“
Aku diam, berhenti mengatakan apapun ketika aku menyadari bahwa Erel bahkan sama sekali tidak menatap atau mendengarkanku. Wajahnya keruh dan semua roman itu semakin membuatku ingin tahu.
“Apa hubunganmu dengan perempuan sialan itu?” kataku keras, nyaris membentak.
Erel mengangkat wajahnya, menatapku dengan marah, “Jangan. Pernah. Memanggil. Nuna. Dengan. Sebutan. Itu.”
Keningku berkerut, “Kau dan dia?”
Tapi Erel sudah tidak di sana. Dia berdiri dan pergi meninggalkanku tanpa mengatakan apapun dan hanya meninggalkan selembar ratusan ribu di dekat cangkir kopinya. Aku memandang punggungnya yang buru-buru. Ini semakin aneh.
***
Aku mencoba mencari tahu sebanyak mungkin tentang Erel dan Nuna. Tapi tak satupun hasil baik yang kudapatkan. Faktanya hanya, Erel bekerja di perusahaan milik Nuna. Karyawan biasa tanpa hubungan tidak biasa dengan bosnya. Tak ada sedikitpun gosip di sana tentang hal ini. Mereka sepenuhnya bersih. Bahkan banyak dari emreka yang kutanyai tak yakin jika Nuna mengenali Erel. Atau menyadari Erel sebagai salah satu dari ribuan orang yang bekerja di perusahaannya.
Kuusap wajahku dengan lelah. Aku harus menemukan sesuatu dan membawanya pada Adrian. Jika saja memang benar Erel dan Nuna terlibat sesuatu, mungkin saja Adrian akan berpikir ulang untuk mati-matian menemukan Nuna. Perempuan itu tidak sesuci yang ada di dalam otak Adrian.
“Tidak ada perubahan?” Mike menyorongkan segelas minuman tanpa alkohol ke arahku. Aku menggeleng dan meraih minuman itu tanpa protes.
“Kenapa tidak menyerah saja? Toh masih banyak laki-laki. Lihat di sekitarmu, honey. Satu kerlingan saja dan kau akan dapat laki-laki baru. Lupakan Adrian. Kau harus menikmati hidupmu.”
Aku diam, mengitarkan pandanganku. Beberapa laki-laki tersenyum padaku. Aku mengabaikan mereka dan kembali pada Mike. Kekosongan. Tidak ada gairah apapun. Aku kosong tanpa Adrian. Mike mengerti arti tatapanku dan dia mendekat ke depanku. Mengusap satu tetes bening yang nyaris jatuh dari sudut mataku.
“Come on, angel.” Dia meninggalkan meja barnya, berjalan berputar dan memelukku.
Sebuah pelukan dari sahabat terbaikku dan aku merasa sedikit nyaman.
“Kalau Erwin melihat ini. Dia bisa berpikir aku akan merebutmu darinya.” komentarku dalam pelukannya. Mike tertawa dan melepaskan pelukannya.
“Oh, big no, honey.” Dia menggelengkan kepalanya, “Erwin tahu siapa dirimu bagiku lebih dari yang lainnya.” Dia tertawa, “Merasa baikan?” tanyanya setelah mennyentuh tanganku.
Aku mengangguk, “Kau yang terhebat.”
Dia tersenyum dan berjalan kembali ke dalam meja bar. “Kau membuatku khawatir akhir-akhir ini. Kurasa kau butuh liburan. Aku dan Erwin sepakat tentang hal itu.”
“Kalian membicarakanku?? Di tempat tidur atau saat kalian sed—“
Tawa Mike pecah, “Shut up, honey.”
Aku tersenyum. Mike dan obrolan kami selanjutnya sanggup membuatku lari dari masalah Adrian untuk sementara. Tapi ketika aku kembali sendirian, menatap kosong ke langit-langit kamarku. Segalanya tidak berubah. Adrian merusak segalanya. Atau aku yang merusak segalanya.
Apakah aku akan tetap berada dalam kenyaman pelukan Adrian jika saja aku bersabar dan menunggu lebih lama lagi? Bersabar menjadi wanita kedua dalam hidup laki-laki yang demikian kucintai. Apakah aku salah jika aku ingin menjadi satu-satunya? Apakah tidak boleh jika aku berharap hanya aku dan Adrian, tanpa Nuna atau wanita-wanita lain?
***
Hari-hariku berlalu seperti siksaan baru. Aku melingkari kehidupan Adrian sementara dia seperti orang gila mencari perempuan itu. Tak menyadari kehadiranku. Bahkan jika aku nyata di depannya, dia menolakku. Menyingkirkanku dengan sadisnya.
Tak ada sapaan ramah. Hanya wajah tidak sabar dan kata-kata kasar yang membuatku menelan kepahitan lebih dalam dari sebelumnya. Tapi aku tidak bisa meninggalkannya begitu saja, meski dia sudah tidak menginginkanku. Aku tetap berharap aku masih punya kesempatan. Aku berharap dia akan bisa melihatku lagi. Melihatku dengan lebih baik dan akhirnya menyadari bahwa akulah satu-satunya yang menunggunya sekarang.
Jika memang diperlukan. Aku akan mencari Nuna juga. Hanya demi berlutut di depannya dan memohon agar dia mau menyerahkan Adrian kepadaku. Agar meskipun nanti Adrian menemukannya, dia tidak akan kembali lagi padanya. Aku akan melakukan itu jika dengan begitu aku bisa memiliki Adrian sepenuhnya. Aku akan menyerahkan harga diriku. Aku akan menyerahkan semua egoku. Aku akan memohon, jika itu memang bisa mengembalikan semua yang hilang dariku. Adrian. Satu-satunya sepanjang usiaku kini, yang sanggup membuatku melupakan dunia dan menganggapnya duniaku. Matahariku. Sumber kebahagiaanku.
Aku menyentuh kaca jendela apartemenku. Merasakan dingin yang tidak biasa. Bukan dari aura hujan di luar sana tapi lebih ke apa yang kurasakan sekarang. Aku menempelkan pipiku ke kaca. Memejamkan mataku dan merasakan semuanya.
“Adrian..” aku mendesah lelah. “Kumohon kembalilah.”
Dan tepat ketika itu, aku mendengar bunyi bel apartemenku. Aku menoleh ke belakang. Merasa enggan untuk beranjak. Aku membiarkannya. Beberapa menit senyap dan suara itu kembali. Aku menggeram kesal. Siapa yang akan menganggu hidupku lagi?
Aku bangkit, melangkahkan kakiku meski berat. Aku membuka pintu apartemenku dan—
“Adrian..” nama itu terucap tanpa suara mengiringinya. Aku tak bisa memikirkan hal lain selain memeluknya. Adrianku kembali. Adrian. Aku menciumnya. Aku memeluknya lagi. hanya demi memastikan bahwa segala ini nyata. Bahwa aku tidak berhalusinasi. Bahwa bibir ini, tubuh ini. ini nyata Adrian. Dia di sini. Datang padaku.
Aku langsung mengandengnya masuk ke dalam apartemenku. Aku tidak akan mengambil resiko berdiri di sini dan dia pergi ketika ingatan tentang Nuna datang padanya.
“Kenapa ngga bilang kalau mau datang? Aku bisa masak masakan kesukaan kamu. Suka sekali bikin kejutan. Tahu kau datang, aku bisa ke salon dulu, aku mung—”
“Dilla..” potongnya pelan, berhenti melangkah.
Tidak.
Aku berbalik. Tidak lagi Adrian. Kumohon. Tidak dengan nada suara seperti itu. Ada apa dengan semua ini? Kumohon.. mataku lurus menatapnya dan dia bergeming.
Tidak. Aku menggeleng. Melepaskan tangannya dan berjalan menjauh. Aku tidak bisa. Aku tidak sanggup. Kubiarkan tubuhku jatuh ke sofa. Ada apa dengan smeua tatapan dan nada suara seperti itu. Aku mengusap wajahku dengan lelah. Kukira aku baru saja mendapatkannya kembali. Kupikir dia datang karena dia menyerah pada perempuan sialan itu dan menyadari bahwa akulah satu-satunya yang akan menunggunya.
Aku diam. Bahkan ketika kurasakan kehadirannya di dekatku, aku merasa aroma perpisahan yang kentara. Bahkan dengan tangannya di atas tanganku dan mengenggamku, aku tidak bisa merasa tenang. Aku menatapnya, mengunci pandangannya, melepaskan tanganku darinya.
“Kau mengusirku dari apartemenmu. Kau menolak bertemu denganku di kantormu, kau bahkan tetap tak mau menemuiku meski aku sudah berdiri menunggu di depan pintu apartemenmu selama berjam-jam. Aku bersabar. Tak pernah menyerah. Hari demi hari hingga sekarang. Hampir tiga bulan dan aku tetap tidak pernah menyerah untuk mendapatkan hatimu kembali, Adrian. Lalu kau datang dan aku seolah merasa akan dihakimi. Apakah kau akhirnya akan membuangku untuk selamanya sekarang?”
“Dilla..”
Aku tidak bisa menerima ini. Aku bisa merasakannya. Dia akan pergi. Adrianku akan pergi dan aku tahu dia tidak akan kembali untukku. Aku tidak sanggup. Kenapa Adrian bisa melakukan semua ini padaku? Bagaimana dia bisa sekejam ini padaku?
Aku memutar tubuhku, menghadap padanya. Aku menyentuhnya, dan memeluknya, “Apakah aku saja tidak bisa membuatmu merasa puas, Adrian? Apa kurangku? Aku akan memperbaiki segalanya, aku akan mengalah. Aku tidak akan bertingkah menyebalkan lagi. Kumohon Adrian, tinggallah bersamaku dan kita bisa menjadi keluarga yang bahagia. Aku, kau, mamamu dan anak-anak yang mungkin akan kita miliki.”
Dengan jelas aku bisa mendengar helaan nafasnya dan dia melepaskanku. Melepaskan diri dari pelukanku dan bahkan melepaskan tanganku yang menahanny.
“Aku mencintaimu, Dilla. Aku menyayangi dan mengagumimu. Tapi bagiku, Nuna adalah segala cinta dan kebutuhanku. Setelah dia menghilang dari hidupku, aku baru memahami seberapa besar aku bergantung padanya. Dan aku tahu aku—“
“Jadi kalau aku yang menghilang dari hidupmu, itu bukan masalah bagimu.” Kemarahan membakar dadaku. Kenapa semua ini harus kembali ke masalah perempuan itu?
“Dilla.” Adrian menyentuh kedua bahuku. Membuatku menatap ke dalam kedua bola matanya dengan benar dan aku bisa melihatnya. Adrian menderita. Sama menderitanya seperti aku. Kami sama-sama tidak bahagia. Lalu kenapa dia tidak menyerah dan membiarkanku membuatnya bahagia. Dan disanalah aku melihat, kejujuran hatinya.
Hanya ada Nuna…
“Akan ada laki-laki lain yang—“
“Persetan dengan laki-laki lain, aku hanya menginginkanmu.”
“Dilla.”
Airmataku jatuh.
“Kumohon..” pintanya, “Entah Nuna mau menerimaku kembali atau tidak. Tapi aku sudah pasti tidak akan pernah bisa bersamamu lagi. Aku menyesal membuatmu terlibat dalam hidupku yang berantakan ini. Maafkan aku Dilla, hanya padamu aku pernah mengucapkan maaf. Dan kau harus tahu bahwa aku tulus. Aku memilih Nuna.”
Kali ini selesai sudah. Aku terisak. Dan air mataku jatuh sederas airmata di hatiku. Bahuku berguncang hebat. Selesai sudah. Aku kehilangan Adrian. Semuanya selesai dan aku berakhir sebagai yang kalah dan terbuang.
Adrian mendekat padaku, menyentuhkan dahinya pada dahiku, “Aku menyayangimu.” Bisiknya pelan, “Hiduplah dengan baik dan temukan laki-laki yang tepat. Jangan pernah menjalin hubungan dengan laki-laki brengsek seperti aku lagi.”
Lalu sebuah kecupan lembut mendarat di pipiku. Tak ada kata-kata lagi dan aku hanya menangis. Aku menangis. Aku menangis untuknya. Aku tak mengangkat wajahku ketika dia pergi. Aku masih menangis ketika suara pintu apartemenku menyadarkanku bahwa dia telah pergi.
Adrian pergi.. pergi dari kehidupanku demi perempuan lain dan aku tidak akan pernah melihatnya kembali lagi padaku. Aku menangis makin keras. Menjatuhkan tubuhku memeluk bantal sofaku. Aku kalah. Aku kehilangan semuanya sekarang. Dan aku menangis, semakin keras. Menyuarakan luka lebar yang sekarang menganga di dalam diriku.