Aku menggeliat merasakan dingin di tubuhku. Melalui kedua bola mataku yang belum sepenuhnya terbuka, aku melihat hujan turun dengan deras di balik jendela kaca bening di kamarku, “Nuna, jam berapa ini?” tanyaku sambil menyingkirkan tangannya yang melingkari pinggangku. Tidak ada jawaban dan aku melihat Nuna masih meringkuk nyaman di sampingku. Aku tersenyum dan mengecup dahinya. Aku memang selalu bangun lebih awal darinya.
Aku memandang hujan dan diam selama beberapa saat. Mendadak aku teringat sesuatu dan dengan cepat aku melirik jam digital sekaligus kalender di atas meja kecil di samping tempat tidurku. 05.45 AM, 30-11-2013. Mulutku terbuka lebar menyadari hal tersebut. Dengan cepat aku berbalik, menatap Nuna dan menyentuh bahunya, “Nuna..Nuna.” panggilku bersemangat.
“Mmm.” Nuna hanya menggeliat dan makin merapatkan tubuhnya padaku. Aku tersenyum geli. Nuna selalu seperti ini. Tapi sekarang tidak boleh, aku harus membangunkannya, “Hi, sleeping princess. Wake up, please.” Aku menangkupkan kedua tanganku di pipinya yang chubby dan menggoyang-goyangkannya.
“Erel?” suaranya serak dan dia memprotes tindakanku, “Aku masih mengantuk. Jangan ganggu aku.” Katanya sebal seraya menyingkirkan tanganku dari wajahnya dan dia menjauhkan tubuhnya dariku. Kembali memejamkan mata. Aku menatapnya dengan tidak percaya, “Oh ayolah, Nuna. Bangun!” kataku sedikit keras.
Sepertinya Nuna mendengar bahwa aku benar-benar serius memintanya bangun karena sedetik kemudian, meskipun dengan enggan dia bangun dan menatapku, “Ada apa?” tanyanya sambil beringsut duduk dan menyandarkan punggungnya pada bantal-bantal tebal di dekatnya.
“Hujan.” Bisikku.
Dia melirik ke jendela besar di belakangku, “Yah?” Dia mendesah, “Hujan.” Katanya datar, “Kau mau kopi, Erel?” tanyanya singkat ketika dia bergerak turun dari tempat tidur. Aku menatapnya dengan kening berkerut.
“Hujan, Nuna. Hujan di akhir bulan November.” Ulangku.
Dia berjalan menggabaikanku dan berputar masuk ke arah dapur kecil yang menyatu dengan kamar ini. Aku mendengar kesibukkannya disana namun sama sekali tak mendengar jawabannya atas ucapanku. Aku menghela nafas panjang, mungkinkah Nuna lupa?
Aku melompat turun dari tempat tidurku dan berjalan menghampirinya. Aku melihat punggung Nuna, dan sepertinya dia sedang mengaduk kopi yang telah dibuatnya. Dengan lembut aku melingkarkan tanganku dipinggangnya dan memeluknya dari belakang, “Di luar hujan deras, Nuna.” Bisikku, “Hujan deras di akhir bulan November.”
Dari balik bahunya, aku tahu dia berhenti mengaduk kopinya. Dia mematung selama beberapa menit sebelum dia menyentuh tanganku yang melingkari tubuhnya dan melepaskannya dengan lembut, “Erel.” Katanya sambil berbalik, menatap lurus-lurus ke arahku. Aku bisa melihat kedua bola matanya yang coklat memandangku dengan sedih.
“Nuna?”
“Erel, aku minta maaf.” Katanya sambil meremas tanganku. Aku melihat air matanya jatuh dan aku tidak tahu kenapa, “Aku minta maaf. Maaf. A..aku.. aku tidak bisa.” Isaknya tertahan dan genggaman tangannya pada tanganku mengendur hingga terlepas ketika dia menjatuhkan tubuhnya ke lantai. Duduk bersimpuh dengan bahu yang berguncang. Kepalanya menunduk dan aku sama sekali tidak bisa melihat wajahnya.
“Nuna?” aku duduk di depannya dan menangkup wajahnya agar aku bisa melihatnya. Namun yang kulihat justru wajahnya yang menangis. Air mata mengalir deras dari dua sudut matanya. Dia menatapku dengan tatapan maaf yang kentara dan aku memeluknya untuk menenangkannya, “Tidak apa-apa, Nuna. Tidak apa-apa. Aku mengerti.” bisikku lembut di telinganya.
***
Tidak apa-apa, Nuna. Tidak apa-apa. Aku mengerti.
Kalimat itu, entah sudah berapa kali kukatakan untuk Nuna selama ini. Aku selalu mengatakan padanya tidak apa-apa padahal aku apa-apa. Ya, aku tidak baik-baik saja seperti yang selalu kutunjukkan di depannya. Aku hancur. Aku berdarah di dalam. Namun aku bisa apa? Aku tidak bisa melakukan apapun untuk membuat diriku sendiri merasa lebih baik. Sebab nyatanya, aku sendirilah yang memilih menjadi seperti ini, demi Nuna. Demi Nuna, aku rela berdarah. Demi Nuna, aku rela memendam sendiri kesakitan ini. Ya, tidak apa-apa. Jika demi Nuna, maka tidak apa-apa.
Aku mencintaimu, Erel.
Aku memejamkan mataku dan selalu mengingat saat dimana Nuna mengatakan hal itu kepadaku untuk pertama kalinya. Rasanya seperti ada ribuan kupu-kupu melayang di sekitarku dan angin membelai lembut kulitku. Kebahagiaan. Ya, aku akan selalu mengingat saat itu saja dan aku akan selalu bahagia. Melupakan bagian buruknya.
“Erel! Erel!!”
Aku mengerjap dan melihat Innova sudah berdiri di depan cubicleku dengan tumpukan map-map tebal di pelukannya, “Melamun saat kerja, heh?” dia melirikku sambil meletakkan tumpukan map-map tebal itu di atas meja kerjaku, “Apa yang sedang kau lamunkan?” bisiknya sambil menatapku dengan tatapan penuh rasa ingin tahu.
“Pekerjaan untukku?” aku menatap map-map itu. Innova berkacak pinggang di dekatku dan memukul lenganku, “Kau ini benar-benar ya.” katanya jengkel dan aku tertawa melihatnya. Innova hanya memanyunkan bibirnya dan aku menepuk lengannya pelan, “Kembalilah bekerja sebelum boss melihat kau disini. Dia bisa berpikir kita ngobrol selama jam kerja nanti.
Dia mendengus “Atau dia akan berpikir aku sedang menggoda karyawannya yang paling tampan tapi sayang sangat dingin.”
Aku tertawa, “Apa menurutmu bu Nuna akan berpikir seperti itu?”
“Tidak.” Jawab Innova cepat, “Dia tidak akan berpikir seperti itu. Menurutku dia bahkan tidak akan sempat berpikir dan hanya akan memberikan kita SP 1.”
Aku memandangnya dengan serius. Innova tertawa, “Kau tahu itu benar. Bu Nuna itu kejam sekali. Kurasa dia bahkan tidak akan menolerirmu meski kau sangat tampan dan handal dalam pekerjaanmu. Lagipula kupikir bu Nuna bahkan tidak sadar kalau kau sangat tampan, Erel.”
Keningku berkerut dalam, Innova menyadari perubahan ekspresiku dan dia menepuk pundakku dengan bersahabat, “Oh ayolah, Erel. Jangan terlalu dipikirkan, itu wajar saja. Kalau aku jadi dia, aku juga akan seperti itu. Lagipula apakah seorang wanita yang memiliki laki-laki sesempurna pak Adrian akan melirik pada laki-laki lain?” Innova menggelengkan kepalanya, “Tidak, Erel. Pak Adrian sudah mewakili jutaan laki-laki paling tampan di dunia ini dan yah, bu Nuna memilikinya. Sayangnya..”
Mata Innova menerawang membayangkan sosok sempurna pak Adrian dan aku merasa bisa membaca benaknya. Adrian?
“Kudengar mereka akan bertunangan bulan depan. Kau sudah dengar kabar itu?”
Deg
Jantungku seperti berhenti berdetak dan tubuhku kehilangan responnya. Aku sudah tidak bisa mendengar apa yang dikatakan oleh Innova lagi. Otakku rasanya berhenti bekerja dan ada sesuatu, ada sesuatu di dalam dadaku. Sesuatu yang meremas jantung dan hatiku. Sebab entah kenapa, aku merasakan sakit yang luar biasa.
“Erel? Erel? Kau mendengarku?”
Aku menatap ke arah Innova dengan kosong. Buru-buru menggeleng dan menarik salah satu map di depanku, “Aku harus menyelesaikan ini.” Kataku cepat. Aku memusatkan pikiranku pada semua laporan yang ada di depanku dan mengabaikan Innova yang memandangku kebingungan hingga akhirnya dia menyerah dan meninggalkan cubicleku dan kembali ke cubiclenya.
“Kudengar mereka akan bertunangan bulan depan. Kau sudah dengar kabar itu?”
Meski aku sudah menutup telingaku, memejamkan mataku kuat-kuat. Bayangan Innova yang mengatakan kata-kata menggerikan itu masih berputar di benakku. Bahkan, ketika aku berusaha semakin keras melupakannya, ingatan itu justru muncul makin pekat. Aku menenggelamkan diriku pada semua pekerjaanku. Berharap aku benar-benar bisa melupakan semua ini, meskipun sesaat.
Namun nyatanya, meski sampai jam kantor akhirnya berakhir, aku masih belum bisa melupakannya. Aku menyelesaikan semua pekerjaanku namun tetap saja, kata-kata itu masih beterbangan di dalam tempurung kepalaku. Aku turun ke basement dengan pikiran kacau. Bahkan perlu waktu bermenit-menit bagiku untuk mengingat dimana aku memarkir mobilku karena semua ingatan di otakku hanya diisi kata-kata itu.
Nuna..
Aku memanggil namanya ketika akhirnya aku sudah duduk di balik kemudi mobilku. Sebenarnya ada apa ini? Kenapa kau sama sekali tidak mengatakan apa-apa kepadaku? Kenapa sama sekali tidak ada penjelasan darimu tentang masalah ini sebelumnya? Kenapa kau biarkan aku mendengar ini semua dari bibir orang lain? Kenapa, Nuna??
Aku memutar kunci mobilku dan melajukan mobilku dengan kecepatan sedang, keluar dari area basement kantor dan segera bergabung ke kemacetan lalu lintas yang tak pernah absen setiap harinya. Dan akhirnya disinilah aku, terjebak di tengah-tengah kemacetan kota metropolitan ini tanpa bisa melarikan diri. Lalu ingatan itu merangkulku lagi, sial!
Kualihkan pandanganku keluar ketika aku melihat wiper mobilku bergerak. Hujan? Dan benar saja. Satu demi satu tetes air hujan jatuh dari langit. Awalnya hanya gerimis lalu hujan turun dengan deras. Kuturunkan kaca mobilku, membiarkan cipratan-cipratan hujan masuk ke mobilku dan beberapa membasahi wajah dan lenganku.
Hujan lagi, Nuna.
Hujan yang sepertinya sama seperti hujan di November tahun 2011. Hujan yang ketika itu akhirnya mendekatkan kami. Hujan yang ketika itu akhirnya membuatku mengenalnya. Di sebuah jalan sepi, ketika kutemukan dia berdiri basah kuyup di dekat mobilmu, tengah menatap ke ban mobilnya yang rupanya bocor. Di tengah hujan dan dia akhirnya sibuk menelepon entah siapa di seberang sana. Aku melihat Nuna. Dan aku mengenalinya.
Dia, bosku. Bosku yang terkenal galak dan sangat sombong. Awalnya aku tidak berniat menolongnya namun melihat wajah kebingungan di wajah cantik Nuna akhirnya aku kalah dan meminggirkan mobilku. Tanpa basa basi aku mengeluarkan dongkrak dari bagasi mobilku dan menolongnya tanpa peduli hujan ketika itu juga membuatku basah. Dia hanya menatapku selama beberapa detik sebelum kalimat pertama yang dia katakan padaku meluncur dari bibirnya, “Apa yang kau lakukan?” tanyanya waktu itu.
“Membantumu.” Jawabku singkat.
Sama singkatnya dengan perkenalan pertama kami. Namun rupanya Tuhan membuatku merasakan sesuatu yang lain kepadanya ketika untuk kedua kalinya kami bertemu. Di tengah hujan di suatu malam di bulan yang sama. Entah bagaimana bisa, Nuna berdiri di depan sebuah minimarket kecil, memegang botol air mineral dan menatap ke depan. Hujan sedang turun di depannya dan dia merapatkan punggungnya ke dinding kaca minimarket yang dingin untuk menghindari hujan menciprati gaunnya yang indah.
“Apa yang kau lakukan disini?” sapaku akhirnya ketika nampaknya dia tidak menyadari kehadiranku di sampingnya. Dia menoleh dan memandangiku dengan kebingungan. Nampaknya dia mencoba mengingatku. Aku menunggu dan akhirnya bisa bernafas lega sebab setelah hening yang lama, dia tersenyum padaku, “Kau, yang menolong menganti ban mobilku beberapa hari lalu itu bukan?” katanya sambil menunjukku.
Aku mengangguk, “Ya.”
Lalu aku mendengar suara tawa paling merdu yang pernah masuk ke gendang telingaku. Suara tawa Nuna. Dia menepuk bahuku pelan, “Kenapa aku selalu bertemu denganmu ketika hujan sedang turun dan aku sedang dalam kesusahan?” katanya diantara tawanya, “Apa kau malaikat hujan?”
Aku tertawa dan menggeleng, “Bukan. Aku manusia biasa. Kau lihat. Aku tidak punya sayap.” Jawabku sambil memutar tubuhku dan menunjukkan bagian belakang punggungku. Dia tertawa lagi, “Kau tahu, jika satu kali lagi kita bertemu seperti ini lagi, ketika hujan. Aku akan mentraktirmu makan. Aku janji.”
“Apa?”
Dia hanya tersenyum. Dan aku melihat malaikat, malaikat hujan tepat di depanku, sedang tersenyum. Angin yang memainkan rambut sebahu Nuna dan matanya yang menatap ke arah hujan. Aku seolah melihat sepasang sayap tumbuh di belakang punggungnya. Malaikat, malaikat hujan yang memegang botol mineral? Aku tertawa kecil dan dia menoleh, “Ada apa?”
“Tidak.” Jawabku buru-buru, “Apa yang kau lakukan disini?” tanyaku mengalihkan perhatiannya.
Lalu obrolan-obrolan pun muncul dan pertemuan kedua ini berlangsung dalam waktu yang lebih lama sampai sebuah taksi yang dia pesan berhenti tepat di depannya. Dia melambai ke arahku sambil masuk ke dalam taxi. Sampai sekarang pun aku bahkan tak tahu apa yang sebenarnya dia lakukan di tempat seperti itu.
Namun di samping semuanya, aku menemukan sisi lain di dirinya yang tak pernah dilihat semua orang selama ini. Aku tidak melihat bu Nuna yang galak, yang sombong, seperti yang dikatakan oleh semua teman sekantorku, namun aku melihat malaikat hujan yang begitu cantik. Dan aku, jatuh cinta. Nuna. Aku mengingat dirinya lebih daripada yang orang lain ingat sejak saat itu. Namun aku lupa bagian terpenting di pertemuan kedua itu karena ketika itu aku terlalu terpesona padanya.
“Kau tahu, jika satu kali lagi kita bertemu seperti ini lagi, ketika hujan. Aku akan mentraktirmu makan. Aku janji.”
Hujan turun dengan deras di akhir bulan November tahun itu. Tapi aku malah terjebak di kerja lembur yang melelahkan. Hampir pukul sebelas malam ketika aku akhirnya masuk ke dalam mobilku yang terparkir di basement kantor. Ada satu mobil putih mewah lain yang ada di dalam basement sepi ini selain mobilku. Aku menghela nafas panjang dan bersyukur bahwa bukan aku satu-satunya orang yang sedang lembur ketika itu.
Sayup-sayup aku mendengar hujan masih turun di luar sana. Kuhentikan mobilku tepat di depan garis hujan. Aku memandangi hujan yang turun tepat di depanku dan mendengarkan suara air hujan yang jatuh ke bumi. Kuturunkan kaca mobilku dan aku bisa melihat bayangan hujan yang jatuh melalui cahaya lampu di sekitar kantorku. Ketika aku mengamati hujan, aku menyadari ada sosok lain di depan sana. Duduk meringkuk memelut lutut tepat di bawah lampu jalan di halaman kantor.
Aku menyipitkan mataku dan memastikan kalau itu manusia. Ketika aku yakin itu benar-benar manusia, aku membuka pintu mobilku dan hujan tinggal beberapa jengkal dari tempatku berdiri.
“Hey.” Panggilku. Namun sosok itu tidak menjawab. Dia diam dan terus memeluk lututnya. Namun aku melihat gerakan lain, bahunya berguncang. Aku membuang nafas panjang sebelum kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya. “Kau tidak apa-apa?” teriakku menyaingi suara hujan ketika aku sudah di depannya. Bersamaan dengan itu, aku menyadari bahwa dia adalah perempuan. Hujan yang deras dan posisinya yang duduk memeluk lutut membuatku tidak tahu bahwa dia adalah perempuan tadinya.
Hujan membasahiku, tak sampai beberapa detik dan aku sudah basah kuyup. Aku mengamatinya, hingga kuputuskan berjongkok di depannya dan menyentuh bahunya, “Hey, kau tidak apa-apa, nona?”
Dia mengangkat wajahnya dan aku mendapati nafasku terhenti. Nuna?
Sama sepertiku yang terkejut, dia juga menatapku dengan tatapan yang sama, “Kau?” bisiknya dengan bibirnya yang gemetar.
“Apa yang kau lakukan disini?” aku melepaskan jasku dan menyampirkannya di bahunya. Aku tahu jasku juga sudah basah tapi setidaknya itu akan membuatnya sedikit nyaman. “Apa yang kau lakukan disini? Duduk seperti ini di depan kantormu dan.. hujan-hujan?” aku berteriak agar dia bisa mendengar suaraku dan dia hanya menatapku dengan tatapan mata malaikat patah hati.
“Nuna..” aku menyebut namanya dengan pelan, membantunya bangun dan dia tidak melawan. Aku merangkul tubuhnya dan membimbingnya berjalan, masuk ke mobilku. Dia juga tidak melawan. Aku menatapnya, tapi dia hanya memandang kosong ke arah lain.
Aku sama sekali tidak tahu apa yang ada di dalam pikirannya. Dia hanya diam ketika aku melajukan mobilku, membawanya bersamaku, meninggalkan gedung kantor kami. Dia tetap diam ketika aku membantunya turun dari mobilku dan membimbingnya berjalan menuju lift naik ke apartemenku. Dia terus diam selama kami di dalam lift. Terus seperti itu ketika aku mempersilakan dia masuk ke apartemen kecilku. Aku memberinya handuk baru, kaosku yang jelas kebesaran padanya, dan satu set peralatan mandi baru kepadanya. Dia hanya memandangku, tanpa mengucapkan apa-apa dan hanya masuk begitu saja ke dalam kamar mandi yang kutunjukkan padanya.
Dia menghabiskan hampir setengah jam lebih di kamar mandi dan aku sudah akan mendobrak kamar mandi itu karena kupikir terjadi sesuatu padanya, ketika dia akhirnya keluar dari sana dengan memakai kaosku yang panjangnya sampai hampir mencapai lututnya. Rambutnya basah dan handuk yang kuberikan padanya tadi menyampir indah di kedua bahunya.
Aku sadar aku terpaku menatapnya, “Mau teh?” tanyaku cepat-cepat untuk menghilangkan kecanggungan diantara kami. Dia menggeleng, “Kopi saja.” Katanya dan aku mengangguk, berbalik cepat ke dalam dapur kecil di apartemenku. Aku merasakan tangannya yang dingin menyentuh tanganku ketika aku mengambil dua cangkir gelas untuk kami, “Aku saja.” Ucapnya datar.
Aku hanya bisa mengangguk dan membiarkannya membuat kopi untuk kami berdua. Ini pertama kalinya ada perempuan yang berdiri di dapur apartemenku dan membuat kopi untukku. Aku tersenyum menatap punggung Nuna.
Secangkir kopi, suara hujan di luar sana dan November yang hampir selesai adalah tiga keajaiban tambahan bagiku malam ini. Sebab keajaiban utamanya sedang duduk di sampingku, memegang cangkir kopi dan menyesap kopi itu perlahan tanpa melepaskan pandangannya pada jendela besar di depan kami yang memperlihatkan bayangan hujan, kegelapan malam dan lampu-lampu kota yang sedang berpijar di bawah sana.
“Kau mengenalku?” katanya setelah itu, “Kau memanggil namaku tadi. Kau mengenalku?” ulangnya.
“Aku karyawanmu.” Jawabku singkat dan dia hanya mengangguk.
“Aku harus mentraktirmu makan besok.”
“Tidak. Tidak perlu.” Kataku cepat-cepat, “Kau tidak perlu mentraktirku makan untuk semua ini. Tidak apa-apa ini tidak merepotkan untukku.” Paparku lengkap dan dia malah tertawa kecil.
“Kau tahu, jika satu kali lagi kita bertemu seperti ini lagi, ketika hujan. Aku akan mentraktirmu makan. Aku janji.” Dia menatapku, “Kau lupa apa yang telah kukatakan padamu di depan minimarket itu?” tanpa menunggu jawabanku, dia melanjutkan, “Dan rupanya kita bertemu lagi, juga ketika hujan.” Dia diam, memandangku beberapa saat sebelum mengalihkan kembali tatapannya ke arah jendela, “Kau tahu, kau benar-benar seperti malaikat penolong yang dikirimkan Tuhan untukku.”
Ada nada sedih yang jelas muncul dalam suaranya. Aku mengamatinya, “Ada apa sesungguhnya? Apa yang kau lakukan di sana tadi? Duduk seperti itu di bawah hujan di depan kantormu sendiri? Apa ada masalah?”
“Haruskah kukatakan itu semua kepada seseorang yang bahkan namanya saja aku tidak tahu.”
“Erel. Itu namaku.” Sahutku cepat dan dia menatapku, “Erel.” Dia menyebut namaku untuk pertama kalinya dan aku tahu bahwa aku tidak akan pernah bosan mendengar dia menyebut namaku lagi nantinya. Tidak akan pernah. Sial, aku benar-benar sudah jatuh cinta padanya.
Lalu kemudian satu kalimat dan diikuti kalimat-kaliamat penjelas lain keluar dari bibirnya. Aku mendengarkannya menceritakan alasan kenapa aku bisa menemukannya di tengah hujan dan dalam keadaan seperti tadi. Aku mendengar darinya bahwa itu karena dia patah hati. Malaikat hujanku benar-benar sedang patah hati.
“Aku melihat Adrian bersama perempuan lain.. untuk kesekian kalinya.” satu butir air mata menetes dari matanya yang indah ketika dia mengatakan itu, “Maaf.” ucapnya sambil buru-buru menyeka air mata itu. Namun yang terjadi, air mata itu justru turun semakin banyak, “Maaf..maaf.” katanya berulang-ulang.
Tidak. Aku tidak bisa melihat Nuna seperti ini. Aku tidak tahu bagaimana cara kerjanya namun yang kutahu kemudian aku sudah memeluknya. Memeluknya dengan sangat erat. Memeluk Nuna dan memberinya kehangatan dan rasa aman dari semua masalah yang mengikatnya. Aku akan memeluk Nuna seperti ini. Selalu. Hanya agar dia tahu bahwa dia tidak sendirian dan dia dicintai.. olehku. Ketika itu aku hanya ingin membuatnya merasa nyaman, terlindungi.
Sinar matahari menyilaukan mataku dan aku membuka mataku dengan enggan. Aku mengerjap beberapa kali dan memaki pelan. Harusnya aku menutup gorden jendela itu. Aku bergerak pelan. Mendadak aku kembali diam ketika untuk pertama kalinya aku menyadari bahwa aku tidak sendirian. Aku menolehkan kepalaku pelan-pelan, dan satu tangan ramping tengah memeluk dada bidangku yang telanjang.
Nuna?
Aku memukul kepalaku sendiri karena melupakan hal itu. Semalam? Aku memandang wajah terlelap Nuna dan semua yang terjadi semalam merasuk ke dalam ingatanku. Nuna? Nuna dan aku? Ada gerakan di matanya ketika sinar matahari mengenai matanya. Dia bergerak menutupi wajahnya namun tidak bangun. Aku tersenyum dan beringsut dengan sangat pelan turun dari tempat tidur setelah menyingkirkan tangannya yang memelukku dengan lembut. Aku menutup gorden jendela besar itu dan kegelapan yang nyaman kembali melingkupi apartemenku.
Masih dengan tubuh yang tidak berbalut satu helai pakaianpun, aku duduk di samping tempat tidur dan menatap wajah tidur Nuna. Dia sangat cantik, bahkan ketika tertidur pun aku bisa melihat malaikat hujanku yang sangat cantik disana.
Bukan, bukan aku malaikat hujan itu, Nuna. Namun kaulah dia.
Aku mengecup dahinya dan beringsut kembali berbaring di sebelahnya. Memeluknya dengan posesif dan membiarkan waktu berlalu seperti ini untuk kami. Dan waktu memang benar-benar berlalu seperti itu untuk kami. Setelah hujan di malam di akhir bulan November itu, kami menjadi dekat meski kami sepakat jika di kantor kami akan menjaga jarak. Kami semakin dekat dan aku sendiri bahkan tidak bisa mendiskripsikan hubungan seperti apa itu. Tak pernah ada kata bahwa kami adalah sepasang kekasih namun yang terjadi, bagiku kami sudah lebih untuk menjadi seperti itu.
Tidak apa-apa. Aku menikmatinya. Aku menikmati waktu-waktu yang kumiliki ketika aku memiliki Nuna disini untuk kupeluk. Untuk berbincang bersamaku. Tertawa bersama. Menyeduh kopi, memasak di dapur kecilku. Meskipun aku harus menerima konsekuensi lain karena ketika berada di kantor, dia bersikap seolah tidak mengenalku. Nuna masih bersama Adrian meski dia mengaku bahwa dia sudah kehabisan cintanya untuk laki-laki itu. Laki-laki yang terlihat begitu sempurna namun ternyata begitu sering mematahkan hati Nunaku hingga berkeping-keping.
“Aku mencintaimu, Erel.” Dia berbisik di telingaku di suatu pagi di bulan November yang berembun. Aku mengerjap, memastikan bahwa apa yang aku dengar itu bukanlah mimpi. Dia tertawa kecil, “Sudah setahun kita bersama. Tidak terasa ya?”
“Apa yang kau katakan tadi?”
Dia menatapku dengan binggung, “Sudah setahun kita bersama?”
“Bukan. Sebelumnya.”
Dia tersenyum lembut, “Aku mencintaimu, Erel.” Bisiknya seraya memeluk tubuhku.
Aku membisu. Tidak menyangka akan mendengar kalimat itu meluncur dari bibirnya. Aku tidak pernah meminta lebih. Bagiku kebersamaan kami ini terasa sudah cukup, “Kau tidak mencintaiku?” Nuna bertanya manja, “Kenapa diam?”
Tanganku balas memeluknya dengan lebih erat, “Aku tidak hanya mencintaimu, Nuna. Aku tergila-gila padamu.” Kataku sambil mencium rambutnya yang harum. Dia menempelkan wajahnya di dadaku, “Erel.” Panggilnya lembut.
“Ya.” jawabku seraya membelai lembut bahunya.
“Jika hujan turun di akhir November tahun depan, apakah menurutmu yang akan terjadi?”
Aku menelengkan kepalaku. Menggeleng pelan, “Apa kau akan mentraktirku makan?”
Dia tertawa, “Tidak.” Katanya keras diantara tawanya, “Tapi aku akan mengumumkan pada semua orang bahwa kau adalah kekasihku. Bahwa kau adalah laki-laki yang akan aku nikahi.”
Aku melepaskan pelukanku dan menatapnya dengan tidak percaya, “Apa yang kau katakan, Nuna?” tanyaku tidak yakin pada apa yang aku dengar. Nuna tersenyum, dengan lembut dia menangkupkan kedua telapak tangannya di pipiku, “Jika hujan turun di akhir November tahun depan, aku janji, Erel. Aku janji akan mengumumkan pada semua orang bahwa kau adalah kekasihku. Bahwa kau adalah laki-laki yang akan aku nikahi. Bahwa kau adalah malaikat hujan yang selama ini melindungiku di belakang. Malaikat tak tampak seperti hujan namun jelas terasa kehadirannya. Kau adalah malaikat hujanku, Erel. Yang dikirim Tuhan untuk membuatku bahagia. Dan aku tidak akan pernah bisa melepaskanmu.”
“Aku mencintaimu, Erel.”
“Aku juga sangat mencintaimu, Nuna.” Mataku berkaca-kaca. Persetan dengan ego seorang laki-laki jika menangis di depan perempuan. Nyatanya kebahagiaan yang kurasakan ketika itu tidak bisa kubendung dan aku benar-benar merasa bersyukur memiliki Nuna di sampingku.
Dengan jemarinya yang lembut dia mengusap pipiku, “Ini janji hujan, Erel. Janjiku untukmu, malaikat hujanku.”
Ini janji hujan, Erel. Janjiku untukmu, malaikat hujanku.
Kalimat itu terngiang-ngiang di kepalaku dan dibuyarkan oleh bunyi klakson mobil di belakangku. Aku memaki pelan karena rupanya kemacetan sudah hampir terurai namun aku malah sama sekali tidak melajukan mobilku dan tenggelam bersama semua kenanganku bersama Nuna. Aku menginjak pedal gasku dan melaju cepat sebelum pengemudi mobil-mobil di belakangku memakiku.
***
“Kudengar mereka akan bertunangan bulan depan. Kau sudah dengar kabar itu?”
“Jika hujan turun di akhir November tahun depan, aku janji, Erel. Aku janji akan mengumumkan pada semua orang bahwa kau adalah kekasihku. Bahwa kau adalah laki-laki yang akan aku nikahi. Bahwa kau adalah malaikat hujan yang selama ini melindungiku di belakang. Malaikat tak tampak seperti hujan namun jelas teras kehadirannya. Kau adalah malaikat hujanku, Erel. Yang dikirim Tuhan untuk membuatku bahagia. Dan aku tidak akan pernah bisa melepaskanmu.”
“Ini janji hujan, Erel. Janjiku untukmu, malaikat hujanku.”
“Kudengar mereka akan bertunangan bulan depan. Kau sudah dengar kabar itu?”
Aku mengendorkan dasiku dan mendesah keras. Kenapa kalimat-kalimat sialan itu masih berputar di otakku. Aku mengesekkan kartu kunci apartemenku dengan kesal. Aku bahkan bersumpah bahwa tampangku sekarang sudah sangat menggerikan.
“Happy 2nd anniversary!”
Nuna melompat dan memelukku begitu aku masuk ke apartemenku. Aku menatapnya terkejut. Sial, aku bahkan lupa kalau dia juga punya kartu kunci apartemenku. Nuna mencium pipiku dan berakhir dengan kecupan singkat di bibirku. Namun aku sama sekali tidak merespon dan justru menatapnya dengan wajah datar.
“Ada apa?” tanyanya begitu menyadari ekspresiku, “Kau lelah ya? Terjebak macet tadi? Atau ada acara apa? Aku menunggumu sejak jam lima disini, kupikir kau akan pulang cepat karena ini akhir November.”
Aku menatapnya, tidak mengerti dengan jalan pikirannya, “Di luar hujan, Nuna.” Kataku datar.
Dia mengerjap, “Erel..” katanya menyadari apa maksud ucapanku.
“Di luar hujan.” Ulangku.
“Kupikir kita sudah menyelesaikan masalah ini tadi pagi.” Sahutnya.
Aku menggeleng. Berjalan melewatinya dan melemparkan tubuhku ke atas sofa empuk apartemenku. Aku melepaskan dasi yang melilit leherku seperti ular yang tidak membiarkanku bernafas, dan meletakannya sembarangan.
“Erel.” Nuna berjalan ke arahku, “Ada apa?”
“Sekarang hujan, Nuna. Hujan di akhir November. Janji hujan? Kau mengingatnya bukan?”
“Ta-tapi kau bilang tidak apa-apa. Kau bilang kau bisa mengerti. Bukankah itu yang kau katakan padaku tadi pagi.”
Aku menatapnya, menarik nafas panjang, “Aku selalu mengerti, Nuna. Aku selalu mengerti dirimu selama dua tahun ini. Tanpa jeda. Tanpa tuntutan. Tanpa permintaan. Aku mencintaimu. Aku tergila-gila padamu. Kau tahu itu. Dan aku selalu ada dan mengalah untukmu. Namun sekarang apa, Nuna? Apa yang kudapat?”
“Er-“
“Kau malah akan bertunangan dengan Adrian.”
Dia menatapku dengan ekspresi terkejut, “Erel, aku-“
“Tidak apa-apa, Nuna. Tidak apa-apa. Kau berharap aku mengatakan itu kepadamu kali ini?” aku menggeleng, kehabisan kesabaran, “Tidak kali ini. Untuk masalah ini, maaf. Maaf, Nuna. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa berkata aku tidak apa-apa padamu jika setelahnya aku harus melihatmu menikah dengan laki-laki lain. Tidak. Aku tidak bisa. Aku tidak akan bisa membiarkanmu melakukan itu.”
“Erel, maaf.” dia berlutut di depanku dan mengenggam tanganku. Aku memandangnya tepat di kedua bola matanya agar dia mengerti bagaimana perasaanku sesungguhnya. Agar dia tahu bahwa aku tidak baik-baik saja. Ini sudah di luar dari batas yang bisa aku tanggung. Menjadi kekasihnya dalam diam. Aku masih bisa. Menjadi sosok yang tak dikenalnya di kantor. Aku masih bisa. Melihatnya bersama Adrian meski aku tahu hatinya bersamaku. Aku masih bisa. Namun jika pertunangan yang berujung pada sebuah pernikahan..
Tidak, Nuna. Aku tidak bisa..
“Kenapa kau tidak pernah bisa meninggalkan Adrian padahal kau punya aku di sampingmu? Kau punya aku yang tidak akan pernah menyakitimu. Punya aku yang akan selalu melindungi dan mencintaimu sampai akhir. Apakah dengan aku saja tidak terasa cukup bagimu, Nuna?”
“Erel, aku-“
“Aku minta maaf, Nuna. Aku tidak bisa. Kau harus menentukan sikapmu. Akhirnya aku sadar bahwa kita tidak bisa berada dalam garis abu-abu seperti ini terus menerus. Ada saatnya dimana kita harus menentukan, dan kupikir inilah saatnya Nuna. Semua berada di tanganmu.”
“Jangan lakukan ini, Erel. Kumohon.”
Aku merasa tangan Nuna mengenggam jemari tanganku dengan lebih erat. Dia menggeleng dan matanya berkaca-kaca. Aku mengeraskan hatiku. Tidak apa-apa. Sekali ini aku akan membiarkan dia menangis. Namun bukan karena ingin membuatnya terluka, melainkan karena aku ingin membuatnya bisa menentukan apa yang sesungguhnya dia inginkan. Jikalah memang apa yang kuminta padanya ini mendatangkan keputusan yang akhirnya akan kusesali, aku akan berusaha untuk bisa menanggungnya.
“Tidak apa-apa, Nuna. Begini saja, aku akan membuat segalanya mudah untukmu. Jika kau memilihku, tetaplah tinggal disini bersamaku sampai November ini berakhir. Hanya tinggal beberapa jam, Nuna. Namun jika Andrian terasa lebih penting untukmu, kau bisa pergi dari sini. Dan itu artinya kita selesai.”
Nuna menatap mataku dan airmatanya jatuh perlahan. Dia menunduk dan aku menarik tubuhnya mendekat, memeluknya, “Tidak apa-apa, Nuna. Kau bisa menentukan pilihanmu. Apapun yang sesungguhnya hatimu mau. Aku tidak berada disini untuk menahan atau memaksamu bersamaku. Kebahagiaanmu adalah tujuanku. Jika kau bahagia bersama Adrian, aku akan merelakanmu bersamanya.”
“Erel..”
Aku melepaskan pelukanku dan menyentuh kedua bahunya, “Kau tahu, Nuna.. sesungguhnya selama ini, kaulah malaikat hujan itu, bukan aku. Kaulah yang memberiku kebahagiaan dan mengubah kehidupanku yang kosong menjadi berwarna. Kau adalah irama hujan yang selalu memberiku ketenangan. Kaulah malaikat hujan untukku, Nuna. Dan jika melepasmu akan membuat sayapmu terbentang, maka pergilah Nuna.”
Aku tahu, aku bisa melihat pilihan itu di mata Nuna. Entah firasat entah apa. Yang jelas aku mengerti bahwa ini benar adanya. Pertemuan ketigaku dengannya ada karena kesalahan Adrian, dan jika sekarang mungkin Adrian sudah berubah dan Nuna tidak bisa melepaskan laki-laki itu, aku akan mengalah. Aku tidak akan menahannya bersamaku jika bersamaku tidak memberinya kebahagiaan yang sesungguhnya. Jika Adrianlah laki-laki yang memang sanggup membuatnya merasa “cukup”, maka aku akan mundur.
“Maaf, Erel..”
Aku hanya bisa mengangguk, dia menatapku selama beberapa detik yang bagiku terasa menyakitkan, sebelum dia bangkit dan berbalik pergi. Aku melihat punggungnya menjauh dan menghilang di balik pintu apartemenku yang sekarang sudah menutup. Aku mematung, meskipun aku sudah bisa menebak apa yang akan dia pilih, tetap saja aku merasa sakit.
Suara hujan yang turun deras di luar sana terdengar keras dari sini. Hujan.. hujan di akhir November. Hujan yang sama seperti hujan dua tahun lalu yang membuatku bertemu dengan Nuna untuk ketiga kalinya. Hujan yang sama yang mendekatkanku padanya, dan juga hujan yang sama yang akhirnya menjadi saksi bahwa aku telah kehilangan malaikat hujanku. Aku menghela nafasku, menyandarkan punggungku ke belakang. Sepertinya aku harus menulis sesuatu sebelum aku tidur malam ini, menulis surat resignku. Kupejamkan mataku dan menikmati suara hujan. Hujan yang akan menutup hari terakhir di bulan November.
19.57
Sabtu, 30 November 2013