Jika aku tahu akhir dari cinta sesakit ini
Maka Tuhan..
Tolong
Tolong buat aku tidak jatuh cinta lagi
Tolong buat aku tidak jatuh cinta lagi? Mungkin Tuhan benar mengabulkan permintaanku itu. Dia membuatku tidak jatuh cinta lagi.. pada laki-laki lain. Sebab sampai sekarang aku sama sekali tak bisa beralih darinya. Dari dia yang dulu membuatku jatuh cinta untuk pertama kalinya, dia yang membuatku patah hati dengan sangat buruk, dia.. dia yang sampai kini pun masih punya tempat paling istimewa di hatiku.
Aku tak tahu apa yang salah pada diriku sampai aku separah ini menyukainya. Aku tak tahu apa yang salah pada diriku sampai aku senekat ini tetap bertahan pada perasaan yang sama besar dan utuh untuknya, sementara aku tahu aku sudah kehilangan terlalu banyak air mata dan kebahagiaan ketika memilih mencintainya. Sementara aku telah sakit sampai aku tak tahu apa lagi yang harusnya kuperbuat agar aku menjadi baik-baik saja.
Hanya mencintainya. Itu saja. Mungkin sekarang itu pilihan terbaiknya. Aku sudah kalah untuk mencoba mempertahankan agar dia tetap menjadi kekasihku. Aku sudah gagal untuk membuatnya hanya mencintaiku dan bukannya perempuan lain. Jadi apa yang kupunya sekarang selain hanya mencintainya tanpa mengharapkan apapun lagi.
Ya, baiknya seperti itu karena memaksa membencinya pun sia-sia. Memaksa menghapuskan rasa cinta inipun lebih sia-sia lagi karena aku tahu, aku tahu kalau itu tak akan pernah terjadi.
Jadi aku disini. Disini sebagai perempuan bekasnya. Sebagai perempuan yang disia-siakannya, melihatnya, mengamatinya. Sebut saja aku bodoh ketika sudah separah itu dia menyakitiku, aku malah mendoakan kebahagiaannya bersama perempuan lain yang kini bersamanya. Aku mendoakan kebahagiaannya, mendoakan agar perempuan itu memang perempuan yang bisa membuat dia merasa cukup. Membuatnya bangga dan merasa puas.
Kulalui hari-hariku dengan tersenyum dan berpikir positif. Jika disana dia sudah bahagia, maka disinipun aku juga harus mencoba untuk bahagia. Jika dia disana sudah mendapatkan perempuan untuk menemani hari-harinya, akupun juga berusaha menemukan laki-laki lain yang mungkin bisa membantuku lebih benar-benar bahagia.
Namun aku berhenti berusaha. Menemukan laki-laki lain? Mencoba menemukan kebahagiaan lain? Tidak. Yang ada mungkin aku malah menyakiti mereka karena ketika bersama mereka pun yang ada di kepalaku justru dia. Yang ada di hatiku hanya dia. Aku tahu bagaimana rasanya dipermainkan. Aku paham benar rasanya disakiti. Jadi aku berhenti, berhenti berusaha karena aku tak ingin membuat mereka merasakan rasa sakit yang sama seperti yang dulu pernah menebasku sampai habis. Aku tak mau. Jadi aku mundur, mengalah. Sendiri mungkin lebih baik.
Hari demi hari berlalu dan satu kabar yang kudapat membuatku sekali lagi jadi pengamat sembunyi-sembunyi. Dia dan dia telah berpisah? Secepat itukah?? Hanya dengan alasan konyol yang benar-benar tidak bisa kupikirkan bisa dilakukannya. Cinta bukan untuk main-main dan mereka berdua bermain dengan cinta yang pada akhirnya akan menyakiti mereka.
Dia terluka. Parahkah rasa sakit dan benci yang dirasakannya sekarang? Ketika semua tweet yang kubaca pada akun twitternya membuatku berada dalam satu pemahaman yang justru membuatku diam. Jika dia semarah itu karena perpisahannya dengan perempuan itu, aku berhenti menyebut perempuan itu teman sejak pertengahan April mulai merambat pada akhir, maka perasaannya pada perempuan itu memang benar besar. Memang benar sungguh-sungguh. Dan sialnya, aku menangis. Aku cemburu.
Aku ingin dia mencintaiku seperti itu. Aku ingin.
Tapi sejenak pun rasanya tak pernah dia mencintaiku seperti yang dilakukannya dengan perempuan itu. Aku kecewa. Jujur kuharap dia bisa berpaling lagi padaku dan belajar memahami bahwa akulah perempuan yang harusnya dia terima. Bahwa akulah perempuan yang harusnya dia cintai.
Kubiarkan Mei berlalu saat Juni datang membawa sebungkus kado kecil untuknya. Kado kecil yang kusiapkan untuk hari ulang tahunya. Tertawalah, aku memang dengan bodohnya malah sibuk dengan hal itu. Memperdebatkan apa yang harusnya kubeli di hari ulang tahunnya. Meski aku tahu aku tidak akan pernah bisa memberikan bingkisan kecil penuh kasih itu untuknya.
Kumasukkan hadiah itu dalam kotak yang selanjutnya kubungkus dengan rapi. Kuamati setiap sudutnya. Kado ini mungkin tak akan pernah tersampaikan. Kutarik nafas panjang sambil menyorongkan kotak itu ke dalam lemariku. Menyembunyikan benda itu dari dunia.
Entah memang selalu seperti ini atau bagaimana, aku merindukannya. Aku rindu obrolan singkat kami. Aku rindu memeluknya. Aku rindu berada dekat dengannya. Kadang kusesali perasaan ini. Perasaan yang membuatku menjadi pribadi yang bodoh. Seringkali cinta membuatku melakukan hal-hal yang tidak ingin kulakukan.
Kemudian, tepat di hari ulang tahunnya kuputuskan untuk invite kembali kontak bbmnya yang dulu pernah kuhapus ketika kami berpisah. Labikah kelihatannya? Aku tak bisa membela diriku karena kenyataannya memang seperti itu.
Aku menunggu dengan nafas tertahan sampai ketika dia mengkonfirmasinya. Sekarang kontak bbmnya kembali ada di kontak bbmku. Aku memandangi display picturenya. Kujauhkan handphoneku ketika aku nyaris saja memulai untuk mengiriminya pesan.
Tidak. Kenapa selalu saja bodoh seperti ini. Kenapa tak bisa kukendalikan perasaanku sendiri. Kenapa tak bisa kuhargai egoku sendiri dengan lebih baik. Aku memejamkan mata. Ini tak boleh terjadi seperti ini. Aku, harusnya bisa lebih menjaga harga diriku di depannya. Harusnya aku memberinya visualisasi bahwa aku bisa tanpa dia.
Bisa tanpa dia?
Ini konyol. Harga diri apa? Harga diri apa ketika nyatanya aku masih sebesar ini mengharapkannya kembali padaku ketika kutahu dia akhirnya berpisah dengan perempuan itu. Namun, akhirnya aku kalah pada usahaku mempertahankan apa yang kusebut ego dan harga diri karena aku yang memulai percakapan pesan dengannya di bbm. Aku yang memulai.
Lalu waktu kembali merambati jalinan yang kucoba untuk kumulai kembali. Waktu memberi kesempatan padaku untuk lebih berbenah. Dan benar saja, bersama kisah-kisah dan lelagu yang dilantunkan musim baru, kami kembali dekat. Kurasakan perbedaan sikapnya.
Dia menjadi lebih baik padaku. Dia menjadi lebih perhatian kepadaku. Banyak chat yang diawali dengan pesan darinya. Padahal dulu biasanya selalu aku. Banyak ungkapan aku mencintaimu. Padahal dulu, yang kutahu biasanya hanya aku juga mencintaimu. Dia berubah. Semoga selalu seperti ini. karena pelan-pelan lukaku karena sikapnya dulu mengering. Meski tidak sembuh, rasa sakitnya tergantikan dengan semua perubahan sikapnya.
Terima kasih. Terima kasih Tuhan..
Terima kasih untuk kebahagiaan yang Engkau berikan padaku melalui kehadirannya.
***
Agustus menyapa dan aku tersenyum lebar. Hubungan kami semakin baik. Seandainya saja tak banyak masalah dan petengkaran yang ada, penghujung bulan ini akan menjadi tahun pertama kami menjalin hubungan indah ini. Tapi tak apa-apa. Aku tahu Agustus akan selalu baik padaku.
***
Mungkin dia memang berubah. Tapi sepertinya tak sepenuhnya, karena entah bagaimana kadanga aku masih menemukan sifat-sifatnya yang sama sekali tak bisa aku mengerti. Ketika sempat kuputuskan untuk menghabiskan hari ulang tahunku bersamanya di Jogja, dia malah memasang foto perempuan lain yang sama sekali tak kutahu siapa di display picture bbmnya.
Siapa lagi sekarang?
***
2 September 2012Selamat ulang tahun..
Selamat ulang tahun..
Selamat ulang tahun untuk diriku sendiri. Kutiup lilin berangka dua puluh itu dengan menahan air mata. Kapan bisa kuhabiskan satu hari istimewa mengenang kelahiranku di dunia ini dengan orang yang istimewa bagiku. Kapan bisa kudapat satu kecupan manis di dahiku ketika umurku semakin bertambah dari tahun ke tahun.
Kapan bisa..??
***
Sekali ini akhirnya aku mengalah. Memulai percakapan dan kuucapkan maaf karena kubatalkan rencanaku ke Jogja. Meski tak kuberitahu dia alasannya, aku bersikap seakan semuanya baik-baik saja. Seakan aku tak pernah merasa cemburu pada apa yang pernah dilakukannya.
Kukatakan aku akan datang lagi. Kukatakan Jumat ini aku akan benar berada di kotanya. Menghabiskan waktu dan menebus semua rindu yang sudah bertumpuk di diriku. Kami sepakat. Dan aku mulai mempersiapkan segalanya. Tiket kereta. Baju. Uang. Segalanya.
Aku siap kembali mencium aroma kota Jogjakarta. Kota tempat kutitipkan cinta pertamaku. Kota tempat kusisipkan kenangan-kenangan terindahku. Jogja..tunggulah aku akan datang.
***
Karena segalanya berawal dari Direct Message, begitu tulismu di akun twittermu. Aku tersenyum. Mungkinkah untukku? Sekali lagi aku tersenyum kecil dan merasa sangat bahagia karena kau sentuh aku di dunia mayamu yang biasanya tidak mengakui keberadaanku.
Tapi kenapa sepertinya kebahagiaan tidak mau menyapaku dalam jangka waktu yang lebih lama lagi ketika seorang sahabatku yang mengerti kisah yang tengah kujalani kini, mengirimkan satu capture gambar dari akun twitter perempuan itu.
Karena segalanya berawal dari Direct Message
Ketawa sendiri gara-gara baca DM dari kamu.
Deg
Lagi? Kenapa perempuan ini lagi? Dan kenapa dua tweet ini seperti saling bersinergi satu sama lain. Apa memang bukan aku tapi dia yang menjadi nyawa tweetmu. Apa memang aku yang terlalu mudah menerka-nerka. Kali ini..entah.
Jogjakarta.. maaf ya.
***
Jika perempuan lain, mungkin aku bisa terima.
Jika perempuan lain, aku mungkin bisa memahami.
Tapi kenapa dia lagi.
Kenapa dia lagi??
***
Kali ini aku mengeluh langsung padanya. Kuungkap betapa aku tidak suka dengan semua yang ada. Kukirimkan padanya capture yang kudapat dari sahabatku. Tapi balasan yang kudapat darinya justru membuatku diam lebih lama.
Bahkan dede’ juga gak tahukan maksud aku ngetwit itu. Percuma juga dijelasin kalau sudah dianggap salah. Sebenarnya dede’ anggap aku apa....harusnya udah bisa tahu aku orangnya gimana. Bedain dunia mayaku dengan dunia nyataku. Dede’ udah pernah sama akukan di dunia nyata? Dan sekarang masalahnya adalah kita terlalu lama bertemu di dunia maya. Jadi semua kelakuan dunia mayaku yang kamu ambil. Sudahlah, aku juga gak punya hak atas semuanya. Seandainya aku ngasih pertanyaan sama dede’, apa yang kamu ketahui tentang aku? Pasti jawabannya atas semua pembelajaranmu tentang aku di dunia maya. Iyakan?
Aku mati beku. Dia bicara tepat pada apa yang selama ini ada di kepalaku. Aku..lidahku kelu seketika.
Maaf..
Dan masalahnya adalah kita terlalu lama bertemu di dunia maya.
Maaf..
Apa yang kamu ketahui tentang aku?
Maaf.. maaf. Aku sama sekali tidak bermaksud seperti itu. Semua hal yang kulakukan dan kupikirkan hanya karena aku takut kehilangannya lagi. Aku takut kehilangan dia lagi karena perempuan itu. Aku takut. Sangat takut.
Maka aku berhenti berprasangka dan mulai belajar kembali mempercayainya secara benar-benar. Aku akan mempercayainya. Aku mencintainya bukan? Maka aku harus mempercayainya. Dan pertanyaannya tentang apa yang kuketahui tentangnya menohok perasaanku secara langsung
Apa yang kutahu tentangnya? Tidak ada. Aku tidak tahu apa-apa tentangnya kecuali bahwa dia adalah orang yang kucintai dan aku ingin bersamanya. Tidak ada selain itu.
Egoiskah aku?
Mungkinkah semua masalah yang melilit kami selama ini karena egoisnya aku. Karena sikap kekanak-kanakkanku padanya. Tapi aku begitu karena aku mencintainya. Aku begitu karena aku mencintainya. Aku mencintainya. Salahkah jika aku seperti itu? Aku cuma ingin bersamanya. Aku cuma ingin selalu bersamanya.
Lalu bagaimana bisa aku selalu bersamanya jika aku sama sekali tak tahu apa-apa tentangnya? Bagaimana bisa?
Aku memejam mataku dengan frustasi. Perdebatan-perdebatan dalam kepalaku justru membuatku semakin tak tahu harus bagaimana. Semakin tak tahu harus seperti apa. Seperti apa baiknya?
***
Dia sedikit menjauh. Aku tahu itu. Tapi aku berusaha keras memperbaiki segalanya. Aku mengalah lagi karena kali ini aku tahu aku salah. Aku mendekat. Mencoba memahaminya lebih baik lagi meski Jogja kembali menjauh. Aku bersabar. Aku pasti ke kota itu. Aku pasti akan menemuinya. Pasti.
***
Desember datang dengan senyum lemah. Meski tak terlalu baik aku memeluk Desember dengan hangat. Semoga Desember mau berbaik hati mendekatkan kembali kami yang merenggang. Mengembalikan kembali kepeduliannya akanku disini.
Aku tahu dia baik. Aku tahu dia mungkin saja memiliki sedikit cinta untukku. Tapi meskipun sedikit, aku akan menerimanya. Aku akan menerimanya dan menyambutnya dengan semua cinta yang kumiliki. Sikapnya membaik dan aku belajar terbuka padanya.
Kuceritakan masalah-masalah dalam keluargaku dengannya. Berbagi apa yang kurasakan di Surabaya. Aku berbagi kepadanya. Aku berbagi padanya semua kisahku agar kami bisa belajar memahami satu sama lain. Aku akan bersabar, meski tak ada cerita darinya, aku tahu ini setidaknya sudah sedikit berkembang. Hubungan ini akan menjadi baik dan kuat. Aku tahu. Aku percaya itu.
Tak apa-apa aku yang sering terluka. Tak apa-apa aku yang sering mengalah. Tak apa-apa asalkan dia mau tetap bersamaku dan belajar mencintaiku dengan benar. Aku mau melakukan usaha apapun agar dia bisa benar-benar menerimaku sebagai wanitanya. Aku mau belajar memasak. Aku mau belajar jadi perempuan yang dia inginkan. Aku mau..
Tapi aku tidak mau..
Aku tidak mau jika ada perempuan itu. Aku tidak mau ada perempuan itu sedetik saja dalam kehidupannya. Perempuan itu, perempuan yang dulu pernah kuanggap teman itu, aku tidak mau. Sama sekali tidak mau.
Ada aku maka tidak ada perempuan itu. Ada perempuan itu maka tidak ada aku. Mengertilah itu.. aku hanya ingin menjaga perasaanku sendiri. Aku hanya ingin melindungiku sendiri dari rasa sakit yang selalu menghampiriku ketika aku melihat, mendengar ataupun mengetahui apapun tentang perempuan itu.
Aku tidak tahu kenapa rasa sakit itu selalu mencul dan ada ketika segala hal tentang perempuan itu mampir di mata dan otakku. Mungkinkah aku hanya belum bisa memaafkan 18 April 2012? Entah, aku tak tahu dan aku hanya mau tahu jika aku lelah merasakan rasa sakit itu. Aku sangat lelah.
Jadi kumohon agar dia mengerti itu.
Aku sudah menghindar dari perempuan itu sebaik yang bisa kulakukan. Memblokir akun facebooknya, akun twitternya. Mengganti nomer handphoneku dan sama sekali melarang teman-temanku yang mengenalnya untuk memberitahu nomerku yang baru. Aku menghindari acara apapun yang mungkin saja membawaku pada pertemuanku secara tak sengaja dengannya. Aku tidak lagi pernah datang ke konser band favoritku. Tak pernah lagi sekarang. Aku juga tak membalas sms darinya. Tak juga menanggapi tutur penjelasan tentang segala alasan dibalik terjalinnya kisah yang dulu pernah membuatku mati rasa karena sakit hati.
Aku bukan mendendam. Bukan. Aku hanya ingin melindungi diriku sendiri. Aku hanya ingin membuatku tidak merasakan rasa sakit itu lagi. Sebab jika kau tahu seperti apa rasanya? Kau akan melakukan sama seperti yang kulakukan, bahkan mungkin lebih.
Tapi sepertinya dia tidak memahamiku. Dia sama sekali tak bisa mengerti apa mauku. Sekali saja kuminta dia memilih tapi dia tidak bisa. Ketika sekali lagi kutahu ada interaksi antara dia dan perempuan itu di twitter, aku menangis. Rupanya tahun-tahun terakhir ini aku banyak menangis. Aku memeluk lututku dengan gemetar.
Sulitkah baginya membantuku agar tidak merasakan rasa sakit ini lagi?
***
Nyaris berada di matinya bulan terakhir di tahun ini ketika dengan tak ada persiapan apapun, aku malah berada di bus ekonomi tujuan Jogjakarta. Awal liburan semester gasalku, dan aku malah terdampar di Jogja tanpa ada rencana apapun.
Apa aku begitu merindukan kota ini?
Apa aku begitu merindukan kota ini sampai alam bawah sadarku pun membawaku ke kota ini. Kota ini dan dia. Aku menunduk. Dia? Tidak akan dia di Jogjaku kali ini. Tidak ada dia.
Aku menelusuri tempat-tempat kenanganku dengannya. Sebuah tempat di Malioboro, tempat kami duduk dan hanya memandangi jalanan tanpa tahu mau apa lagi. Aku melangkahkan kakiku mengenang betapa ramah dan baiknya Jogjakarta. Sendirian, kunikmati Jogjakarta dengan hati penuh oleh kenangan akannya.
Tapi sekarang tanpa dia.
Padahal aku kini berada dalam kota yang sama. Tapi aku tanpa dia. Bukan karena dia yang tak ingin tapi aku. Aku hanya belum siap melihatnya lagi. Aku hanya belum siap bicara dengannya lagi. Aku tahu akan ada rasa sakit ketika bertemu dia nantinya karena ingatanku padanya dan perempuan itu. Maka aku memilih menikmati Jogja tanpa dia kali ini. menghindari telepon-telepon darinya. Berusaha sekeras mungkin untuk mengendalikan diriku sendiri agar tidak menemuinya.
Aku ingin sendiri menikmati kota ini. Ya, sendiri saja kali ini.
Bukit Bintang, sayangnya aku tak bisa kesana. Padahal di tempat itulah kenangan indah yang paling membuatku tersenyum sangat manis. Bukit Bintang dan semua bintang yang menyebar dibawah kami ketika dulu. Bukit Bintang dan semua percakapan yang ada ketika itu. Aku mengingat semua dengan sangat baik. Aku mengingat semua kenanganku di Jogja dengan sangat baik.
Aku ingat setiap detail percakapanku dan dia dulu. Aku ingat bagaimana dulu aku menahan diri agar tak protes ketika dulu dia menyamakan beberapa hal tentangku dengan perempuan itu. Itu dulu, ketika aku tak tahu apa-apa tentang perasaannya pada perempuan itu. Itu dulu, ketika aku belum tahu bahwa pada akhirnya akan ada jalinan antara dia dan perempuan itu. Itu dulu.. ketika aku sebagai perempuan merasakan kecemburuan pada perempuan lain atas kekasihku.
Meskipun begitu, Jogjakarta.. terima kasih telah membiarkanku mengenang semua anugerah keindahan bersama dengannya disini.
***
Kubiarkan dua ribu dua belas berlalu dan mengubur rasa sakit yang bisa kukubur. Seperti apapun aku berusaha menghindar, aku akan kembali padanya. Sekuat apapun aku berhenti menghubunginya, aku akan kalah pada keinginanku sendiri untuk tahu segala tentangnya. Jadi aku disini, kembali memperbaiki apa yang mungkin salah dalam hubungan kami. Aku mencintainya. Aku mencintainya dengan sangat tulus dan besar. Itulah satu-satunya alasanku bertahan meski seburuk apapun kondisi hubungan ini sebenarnya. Aku akan bertahan.
***
23 Januari 2013Ini benar-benar pelukannya.
Ini benar-benar mata hitam tajamnya.Ini benar-benar Jogjakarta.Lagi..
Kali ini Jogja lagi. Tapi kali ini menjadi seperti Jogja-Jogja sebelumnya sebab ada dia. Ada senyumnya. Ada suaranya, dan benar-benar ada dia yang bisa kusentuh dan kupeluk. Ini dia. Benar-benar dia. Dan aku merasa aku sangat bahagia.
Selalu kebahagiaan sebesar ini ketika bersama dia. Selalu rasa syukur sepenuh ini ketika pada akhirnya aku bisa benar-benar secara nyata ada di dekatnya. Lihat. Aku disampingnya. Benar-benar di sampingnya. Dan tak lagi ada jarak ratusan kilometer diantara kami. Kali ini tak ada Surabaya-Jogja. Kali ini hanya ada aku dan dia. Tanpa jarak. Tanpa tuntutan. Hanya rindu yang minta untuk dibayar lunas.
Kedekatan tanpa jarak ini membuatku sangat ingin berada di kota ini selamanya. Karena ketika dekat seperti ini, aku akan merasakan bahwa dia memang memiliki perasaan kepadaku. Karena dekat begini, dia akan menjadi lebih terbuka kepadaku. Kami akan seperti pasangan normal pada umumnya. Keluar makan bersama, berbincang, bercanda, menonton film Batman berdua, berbagi cerita dan menikmati Jogja bersama.
Dia selalu mengenalkanku kepada orang-orang baru ketika aku ke Jogja. Membuatku mengenal dirinya, lingkungannya, sahabat-sahabatnya, dengan lebih baik. Mengetahui kesehariannya. Mengetahui dunia nyatanya. Dan bukan hanya dunia mayanya.
Aku menikmati waktu ketika mengamatinya yang sedang serius mengerjakan skripsinya. Aku menikmati waktu ketika mengamatinya belajar untuk tes ELPT-nya. Aku menikmati waktu bersamanya. Marah ketika dia mengabaikanku hanya karena game online kesukaannya. Manja, tertawa, kebahagiaan multak sebelum mendadak ada sedih menyelip ketika nama perempuan itu secara tak sengaja disebutnya.
Sekuat itukah perasaannya pada perempuan itu?
Gagalkah aku selama ini dalam usahaku membuatnya melihatku.
Ada setitik air mata menyisip dalam Jogjaku kali ini. Kecewa? Ya, aku sangat kecewa. Ada aku disini. Tapi kenapa malah mengatakan nama itu dan membuat perbedaan dan persamaan antara perempuan itu denganku. Aku adalah aku dan tak akan pernah menjadi perempuan itu. Dia membawa rasa sakit 18 April 2012 di Jogjaku kali ini. Dan dadaku sesak. Ada banyak rangkaian kata yang ingin kujelaskan padanya. Ada ribuan alasan kenapa aku tak mau sedikit saja ada nama perempuan itu, tapi aku tak bisa. Tak sedikitpun kata terucap tentang alasan sebenarnya dan aku diam.
Mengalah.
Jogjaku harusnya tanpa air mata bukan?
***
Aku merasa aku tidak baik-baik saja. Ada yang salah dengan tubuhku. Aku merasa demam dan rasa nyeri di ulu hati dan lambungku. Ini bukan rasa sakit yang sama karena perempuan itu. Ini, rasa sakit yang sering kurasakan ketika pada akhirnya aku harus berujung pada berkaplet-kaplet obat-obatan.
Kenapa harus sekarang? Kenapa disini? Kenapa ketika aku sedang menikmati waktuku bersamanya? Aku menahan rasa sakit itu sebisaku. Tapi tubuhku menolak semua usahaku dan aku menyerah.
Aku tahu aku akan menjadi orang yang menyebalkan ketika aku sakit. Aku akan banyak meminta, menjadi sangat manja dan mudah marah. Semua sifat-sifat itu selalu muncul ketika aku tidak dalam keadaan baik. Dan aku tidak mau membuatnya muak padaku karena sikap manjaku. Karena kata-kata yang mungkin keluar ketika aku tidak bisa menahan rasa sakitnya. Aku kesini untuk membuatnya mengenalku lebih baik. Aku kesini untuk mengenalnya juga dengan lebih baik. Lalu kalau seperti ini, aku akan merusak semua usahaku.
Sekeras apapun dia mencoba menahanku untuk tidak meninggalkan Jogja, aku harus pergi. Aku butuh obatku. Aku butuh obatku agar aku tidak meracau karena rasa sakit ini. Aku pulang, lebih cepat dari jadwal yang kurencanakan bukan karena aku tidak suka berada disini. Aku hanya tidak ingin semakin membebaninya. Seandainya dia tahu bahwa jauh di dalam hatiku, aku ingin selalu bersamanya. Aku ingin selalu berada di Jogjakarta. Tak pernah ingin pergi. Tapi semua rasa sakit ini membuatku memilih.
Jadi sekarang aku disini, meninggalkan Jogjakarta untuk kesekian kalinya. Pulang ke rumahku dengan demam tinggi yang membuat orangtuaku kalang kabut karena khawatirnya. Semalaman membuat ibuku tak memejamkan matanya untuk menjagaku yang berbaring di sampingnya. Aku yang menggigil dan terus menggigau kedinginan padahal suhu tubuhku begitu tinggi. Membuat bapakku dengan tergopohnya menyiapkan kendaraannya, meski malam itu hujan turun, untuk membawaku ke tempat dokter terdekat karena rumah sakit berjarak sangat jauh dari kediaman kami. Maaf ibu, maaf bapak, maaf terus menerus membuat kalian mengkhawatirkanku dan berkorban demi aku. Maaf..
***
Rasa sakit ini, seandainya boleh memilih, aku akan memilih rasa sakit yang kualami ini daripada rasa sakit yang ada karena dia dan perempuan itu. Sebab, hanya dengan jarum infus dan tablet-tablet obat, aku akan sembuh. Aku akan sembuh. Tapi jika rasa sakit yang itu, aku bahkan tak tahu bagaimana mengobatinya.
***
Pertengahan Februari, aku menatap mentari yang bersinar hangat di depanku. Sesekali kulempar pandanganku pada handphone di sampingku. Tak pernah ada pesan masuk darinya. Terakhir hanya ucapan selamat hari kasih sayang darinya. Sudah. Tak ada lagi. Bbm-pun sama sepinya. Dia seperti kembali lenyap.
Kenapa selalu seperti ini? Tahun kemarin juga seperti ini, lalu kenapa sekarang seperti ini lagi. Apa harus selalu aku yang memulai percakapan kami? Tidakkah ada inisiatif darinya untuk menyapaku lebih dahulu, sekadar berbasa-basi. Menanyakan kabarku mungkin atau entah apa.
Sudah kubilang sekarang aku tak pernah menuntut lebih darinya selain sedikit saja dipikirkannya aku disini. Bukan berjam-jam, bukan. Hanya sedetik dua detik darinya untuk menyapaku. Hanya itu. Apa sulitnya? Menyapaku tidak akan memakan banyak waktunya bukan?
Ketika seseorang merasa orang lain berharga bagi kehidupannya. Dia akan selalu merindukan orang itu bukan? Dia akan selalu membawa orang itu dalam lingkar dua puluh empat jam miliknya bukan?
Tapi dia tidak seperti itu. Tidak pernah. Apakah itu berarti aku juga tidak berarti untuk kehidupannya?
Aku menghela nafas panjang.
Tidak. Aku harus selalu berpikir positif. Mungkin dia sangat sibuk. Mungkin segala urusan tentang skripsinya menyita waktunya. Dua puluh empat jamnya? Kau yakin. Atau malah mungkin karena dia malas menghubungimu.
Aku menangkup tempurung kepalaku dan mencoba menghentikan perdebatan yang ada di dalam sana. Tolong, jangan membuatku semakin bingung dan tak tahu harus bagaimana. Aku sudah cukup punya banyak masalah saat ini.
Akhirnyapun aku memutuskan untuk tetap mempercayainya. Ya, bukankah dia sudah berubah. Jogja kemarin buktinya. Dia sudah berubah. Sudah berubah. Aku percaya padanya. Jadi aku tersenyum. Berusaha tetap ada untuknya, menyemangatinya dalam menyelesaikan skripsi dan mengejar skor tes ELPT yang disyaratkan universitasnya.
Aku mencari bahan-bahan untuk membantunya segera lulus tes ELPT. Meminta dari teman-teman sejurusanku. Mencoba bertanya pada temanku di jurusan Sastra Inggris, dan ketika akhirnya kudapatkan contoh-contoh soal ELPT dan jawabannya, aku mengirimkan semua materi itu ke emailnya. Juga mengirimkan doa untuk kesuksesannya.
Tetaplah berusaha sayangku, aku tahu kamu bisa.
***
Tidak ada perubahan. Sama. Hanya jika aku yang mulai menyapanya, dia akan membalas. Lalu sebuah percakapan pendek yang selalu dia tinggalkan tanpa kelanjutan. Aku menghela nafas. Sabar.
Tidak ada ungkapan-ungkapan sayang darinya. Tidak ada i love you, tidak ada i miss you. Tidak ada. Hanya “iya de’..” ketika kutuliskan semua ungkapan itu. Iya? Iya apa? Iya mencintaiku? Iya merindukanku? Atau iya sudah bosan membalas percakapan di bbm ini. Astaga, aku ini kenapa? Apa aku mulai kembali lelah dengan segala yang sama persis seperti tahun-tahun sebelumnya ini.
***
28 Februari 2013
Aku merasa hari ini berlalu dengan sangat buruk. Aku merindukannya dan ingin membagi semua keluhku dengannya tentang kehidupanku disini. Aku ingin mencurahkan semua yang ada. Aku ingin mengurangi semua bebanku dengan bercerita padanya, tapi dia malah malas dan diam. Tak ada tanggapan dan benar-benar tak peduli.
Kupejamkan mataku dan menekan dadaku. Tidak apa-apa. Aku bisa tahan, aku bisa sabar. Aku mencintainya. Aku mencintainya, maka kutulis satu pesan untuknya. Agar dia tahu aku bisa terima semuanya.
Kamu ngga sms, ngga bbm, ngga nyapa, ngga apa-apa. Aku udah bisa ngerti kok. Aku emang manja karena kebiasaan seperti itu. Tapi wajar, ngga keterlaluan juga. Kalau ngga boleh ganggu ya gak apa-apa. Tapi masa’ kangen aja juga gak boleh dan ga ditanggepin. Perempuan memang punya siklus menyebalkan kok. Benci aja gak apa-apa. Tapi aku kadang juga pengen didengerin. Aku juga pengen sharing banyak hal ke kamu. Curhat, cerita-cerita, berbagi masalah supaya aku ngga ngerasa sendiri. Tapi..ya sudahlah. Kembali ke kalimat itu. Ya sudahlah.
Aku masih menekan dadaku kuat-kuat. Aku tidak apa-apa. Benar-benar tidak apa-apakan? Ini sudah biasa. Dia sudah biasa seperti ini. Aku sudah hafal sikapnya ini. tidak apa-apa. Aku baik-baik saja. Ya, aku baik-baik saja.
***
Kini tak ada terdengar kabar dari dirimu. Kini kau telah menghilang jauh dari diriku. Semua tinggal cerita antara kau dan aku. Namun satu yang perlu engkau tahu. Api cintaku padamu tak pernah padam..
Everything’s extinguished
***
Tanpa ada kontak berhari-hari. Nyaris sebulan, sama sekali tak ada kabar. Hubungan apa yang sedang kujalani ini sebenarnya. Apakah memang sudah tak ada lagi kesempatan mengubah segalanya. Apakah semakin sedikit kemungkinan untuk membuat aku dan dia selalu bersama tanpa ada masalah-masalah seperti ini. Jika hanya dari aku yang mencoba mempertahankannya, ini akan sangat sulit.
***
I miss you
Ciyee
***
Aku ini siapanya? Kenapa aku nampak begini buruk. Kurang sabar apa aku padanya. Tapi kenapa dia terus menerus memperlakukanku seperti ini dan membuatku merasa ingin menyerah, berhenti. Selalu seperti ini yang terjadi. Entah bagaimana, aku selalu merasa dia seperti dua orang yang sangat sangat berbeda. Ketika kami dekat dan ketika kami sedang berjauhan begini. Kenapa sikapnya selalu begini?
Aku merasa sangat lelah.
Sangat..
***
Kamu ngga ingin ngomong apa-apa gitu sama aku? Ngga pengen nyapa juga?
Haloo..
Halo? Halo?? Tuhan.. tolong. Tolong hapus saja semua ingatanku sekarang. Tolong hapus semua perasaan ini. Tolong hapus saja semua kisah antara aku dan dia. Tolong..aku sudah tidak sanggup. Aku tidak bisa. Dia keterlaluan. Dia sangat keterlaluan. Apa tak bisa dia pikirkan bagaimana perasaanku. Aku sudah sejauh ini melangkah, sudah sejauh ini sanggup bertahan dalam hubungan gila semacam ini. Aku disakiti, aku memaafkan, aku kembali, AKU MENCINTAINYA. Tapi apa? Apa yang aku dapat dengan terus bersabar dan berusaha tetap bersamanya. Halo? Hanya itu.
Tolong, tolong lenyapkan saja semua ingatanku tentangnya.
***
28 Maret 2013
Aku lelah. Mungkin kita, atau baiklah aku, harus mengakhiri ini semua. Aku tahu aku bukan perempuan yang cukup baik di matamu. Kamu ngga akan pernah bangga dicintai perempuan sepertiku. Banyak kurangku. Tapi jangan sejahat ini. Aku juga punya perasaan. Ini sudah terlalu jauh. Kamu menyebalkan. Jahat sekali. Aku tahu aku ngga bermanfaat buat kamu. Ngga bermanfaat selama aku jauh disini..
..aku selalu berusaha jujur padamu. Aku.. ah ya sudahlah. Jadi begini saja. Anggap saja kita tak pernah kenal. Mari kita menjalani hidup masing-masing. Saling melupakan. Ini akan mudah bagimu bukan? Aku tahu. Kita lupakan saja semua yang pernah terjadi. Maaf sudah merepotkanmu sejauh ini. Terima kasih. Akan sangat menyenangkan jika aku bisa mendengar kamu wisuda dalam waktu dekat ini. Doaku untukmu selalu. Terima kasih. Jangan balas apapun, baca saja ini. setelah itu kita mungkin bisa saling menghapus kontak. Mungkin akan lebih mudah bagiku nantinya. Jadi sekali lagi terima kasih telah mengajariku banyak hal selama bersamamu. Itu saat-saat terindah yang pernah kumiliki.
Sungguh.
***
Akhirnya dia menyentuh batasku. Akhirnya dia mencapai batas kemampuanku. Batas kemampuanku untuk bersabar, untuk bertahan, untuk menahan rasa lelahku. Dia menyentuh batasku hanya dengan lima hurufnya dan dua tanda titiknya. Dia akhirnya melakukannya. Aku kira aku perempuan yang cukup kuat untuk bisa terus tersenyum dan berdiri di sampingnya. Aku kira aku bisa selalu diperlakukannya seperti itu tanpa bisa mengambil sikap.
Tapi ternyata aku punya batas juga. Aku punya batas juga.
Memilih mengalah dan pergi bukan berarti aku berhenti mencintainya. Mencapai batasku bukan berarti rasa cintaku ikut habis. Tapi aku hanya ingin menyelamatkan diriku sendiri. Mungkin batinku bisa busuk jika aku terus menerus egois dan mengabaikan keadaanku sendiri hanya untuk tetap memahami sikap-sikap tak pedulinya yang jahat.
Jika dia tak bisa menghargaiku, maka aku yang akan menghargai diriku sendiri. Jika dia memang sudah bosan menerima cinta dan perhatianku, aku tidak akan memaksa lagi seperti yang dulu selalu kulakukan. Aku akan berkemas dalam bisu, membungkus semua cinta dan perhatianku.
Mungkin, aku memang tak punya tempat di dalam hatinya. Mungkin di matanya, aku hanya perempuan bodoh yang bisa dipermainkan karena cintaku padanya. Mungkin baginya, aku menangis, tak apa-apa.
Seandainya dia tahu seberapa besar sesungguhnya aku mencintainya. Seandainya dia mau memahami bahwa aku tak pernah menuntut lebih banyak dari yang perempuan lain lakukan. Tak ada materi, tak ada kewajban-kewajiban bahkan perintah yang kuminta atau kuberikan. Aku hanya mau dia berbelas kasih melihatku secara nyata. Melihatku dengan baik.
Tapi dia tak pernah mau. Tak pernah. Dua ribu sebelas. Dua ribu dua belas. Dan awal dua ribu tiga belas. Tidakkah dia sadar seberapa kuat aku mencoba bertahan pada semua tingkah dan ucapannya. Aku tidak tahu apa yang aku kejar. Aku hanya merasa aku harus membuatnya bahagia karena aku mencintainya.
Dan sekarang sudah habis. Dia sudah menyentuh batas yang kumiliki. Aku mundur. Mungkin memang bukan aku perempuan yang diinginkannya. Mungkin perempuan-perempuan lain atau bahkan perempuan itu. Perempuan itu..
Aku diam saat aku kembali membaca itu.
Selamat ulang tahun, sayang.
Sepertinya 18 April akan selalu menyakitiku. Februari, Maret dan April. Mereka bertiga selalu bersekongkol untuk menjatuhkan aku sampai ke titik terdasarku. Aku diam. Aku mundur. Aku mencintainya. Tapi aku sudah sampai di batasku. Dia sudah mencapai titik batas kesabaranku. Aku lelah, sangat lelah terus menerus diperlakukan seperti itu tanpa ada perubahan dari waktu ke waktu. Aku lelah..
***
21 April 2013Aku patah hati dengan sederhana
Haloo..Dan aku patah hatiAku patah hatiSekali ini benar-benar patahDan Haloo.Aku habisSelesaiHaloo..Maka aku patah hati dengan sederhana