Aku benci mengakui bahwa aku telah mencintaimu dengan kadar yang terlalu banyak. Aku benci mengakui bahwa aku cemburu pada perempuan-perempuan yang dekat denganmu. Aku benci mengakui bahwa aku merasa kalah dari mereka. Aku kalah dari mereka dalam hal mendapatkan perhatianmu. Aku kalah..
***
August End
Aku sangat berterima kasih pada Jack Dorsey karena sudah membuat situs jejaring sosial sekeren Twitter. Karena dengan begitu aku bisa menemukannya. Ya, menemukannya. Lalu mengenalnya dan menjadi dekat. Aku dan dia. Kemudian kebahagiaan.
Aku memang mengenalnya melalui twitter,saling follow. Kemudian obrolan tidak jelas melalui retweet dan berakhir pada konspirasi lugu di direct message. Dan kemudian sebuah kisah. Kisah main-main. Begitu judul awal yang kulekatkan sembarangan di hubungan ini. Sebuah jeda yang kuambil agar aku tidak terlalu tertekan dengan segala tugas ospek mahasiswa baru. Kuanggap dia penawar. Lelagu yang didendangkan agar aku bebas dari lelah.
Namun waktu mempermainkanku. Entah bagaimana jadinya aku malah larut. Aku masuk terlalu dalam ke arah yang sebelumnya sama sekali belum pernah ku sentuh. Cinta? Aku menggeleng dan memaksa berkata tidak ketika otakku berspekulasi demikian. Mana mungkin aku jatuh cinta pada sosok yang kukenal secara maya melalui twitter. Mana mungkin aku jatuh cinta pada sosok yang membuatku tertawa lepas hanya karena ceritanya melalui telepon. Mana mungkin aku jatuh cinta pada orang yang keberadaannya berada dalam jarak tempuh delapan jam lebih dari tempatku berdiri. Mana mungkin..
Ini bukan cinta. Bukan. Ya, bukan.
***
14 Oktober 2011
Tuhan, ini apa?? Kenapa aku merasa gugup duduk di dekatnya? Aku tak tahu harus bagaimana. Lidahku pun terasa kelu. Aku tak tahu harus bicara apa ketika raga kami duduk diam bersebelahan dalam sebuah bus ekonomi AC tujuan Jogjakarta. Aku mati beku di sampingnya. Meredam gugupku.
Tuhan, bagaimana bisa aku kehilangan sifat cerewetku di depannya. Kenapa aku jadi sok diam dan pemalu begini? Tuhan, Engkau sembunyikan dimana pribadiku yang sebenarnya??
Tuhan, dalam kuasakukah ketika jantungku berdetak begini kencang ketika dia mengenggam jemari tangan kananku dan menatapku dengan matanya yang hitam tajam?
Tuhan, aku.. Belum siap jatuh cinta..
***
Aku mengenalnya. Mencoba benar-benar mengenalnya ketika aku tahu aku sudah keluar jalur. Aku, bukan lagi berada dalam jejak yang main-main dengannya. Aku, mungkin telah benar punya perasaan yang tulus untuknya. Aku. Ya aku.. jatuh cinta padanya. Tapi, bisakah terus jatuh cinta dalam jarak keberadaan kami yang begini jauh. Jogja. Surabaya.
Long Distance Relationship.
Aku mengeja kata-kata itu berulang kali. Terus menerus dan mendadak aku jadi benci. Aku tidak suka LDR. Aku tidak suka. Aku benci harus menahan perasaan ingin bertemu ini. Aku benci merasa dipermainkan oleh hatiku sendiri. Sebab kerapkali aku benar-benar ingin di dekatnya. Tertawa, berbicara lalu tersenyum. Aku suka mendengar dia bercerita tentang kecintaannya pada satwa liar. Aku suka mengomelinya untuk kemalasannya mengerjakan skripsi. Aku suka itu semua. Aku suka di dekatnya. Dan ingin terus begitu.
Lagipula ini pertama kali bagiku. Pertama kalinya bagiku jatuh cinta. Terdengar konyol memang, tapi sebelumnya memang belum pernah. Dia sosok pertama yang membuatku merasakan makna mencintai yang sebenarnya. Sebab kisah-kisahku sebelumnya tidak ada yang dimaknai begini. Hanya sebuah status. Perasaan dimemiliki, dilindungi, dan sudah, selesai. Tidak benar-benar, hanya suka. Menyukai. Bukan mencintai, seperti yang kulakukan kini untuknya.
Dan ini membuatku haus perasaan dibahagiakan. Aku butuh peduli dan perhatiaannya agar aku merasa aku berharga dan juga dicintai. Aku merasa perlu tahu apa yang dikerjakannya disana. Aku merasa ingin tahu dengan siapa dia disana. Aku merasa selalu membutuhkan informasi dan hal-hal tentangnya. Aku butuh dia. Tapi dia? Sepertinya tidak.
Kami menjauh. Perlahan-lahan kurasakan aku dan dia semakin jauh. Ini bukan tentang jarak. Bukan! Ini tentang yang ada disini, di hati. Perhatiannya berkurang. Sikap pedulinya lenyap, hilang tanpa bekas. Dan aku merasa ini salah. Seharusnya bukan seperti ini. Kami harusnya baik-baik saja. Menjaga perasaan ini ketika jarak masih terbentang diantara kami. Saling merindukan dan mengatakan aku mencintaimu. Meski cuma lewat telepon atau pesan singkat. Ya, harusnya seperti itu. Tapi.. kenapa jadinya begini..
Dia membentangkan jarak lain. Jarak tak terlihat yang membuatku sukar menjangkau kesungguhan hatinya. Dia menutup celah-celah yang kupergunakan untuk belajar membacanya. Dia menjauh. Menjadi angkuh dan menyebalkan.
Aku mengeluh. Memaki segala yang terjadi kini. Haruskah kuikhlaskan ketika dia tidak membiarkanku sedetik saja berada dalam dua puluh empat jam miliknya. Haruskah kubiarkan ketika kutau, aku tak lagi terasa penting untuknya.
Menangis. Diam-diam. Aku menekan kuat-kuat dadaku agar rasa sakit ini hilang. Tapi bukannya hilang, denyutnya malah semakin kuat dan membuatku meradang, mengeluh kesakitan. Aku mencari bentuk lukanya. Tapi tidak ada, tidak ada sebentuk luka yang dapat dilihat oleh indra penglihatanku. Lalu dimana? Dimana hatiku agar aku bisa melekatkan plester luka ini di atasnya. Supaya sembuh segala rasa sakitnya. Supaya aku tidak lagi sering menangis dan mengeluh tentang semua ini.
Aku butuh penyembuh. Penyembuh luka dan sakitku. Tapi tidak ada siapapun dan apapun yang bisa melakukan. Dia pun diam. Entah sadar atau tidak bahwa sikap tak pedulinya menyakitiku. Dia diam. Seolah-olah segalanya baik-baik saja sementara aku disini nyaris tak bisa berpikir baik karena berimajinasi macam-macam tentangnya.
Disana banyak perempuan lain. Disana banyak kebahagiaan lain. Lebih mudah. Lebih cepat. Lebih efisien daripada harus seperti kami. Hubungan jarak jauh yang seringkali kuanggap tidak masuk akal ini memang sulit. Terlalu sulit. Apalagi dengan segala sikapnya yang semakin hari semakin membuatku ingin meletakkan saja perasaan cinta ini dan membiarkannya hilang dibawa keadaan.
Mengeluh. Mengeluh. Aku hanya ingin mengeluh. Aku ingin merasa lega. Membiarkan kejengkelan, amarah dan kekesalanku berkurang dengan mengeluh. Coba saja pikir, apa normal jika LDR tanpa komunikasi? Rasanya sms dibalas empat berkali berturut-turut itu sudah berkah. Sibuk? Tak punya waktu? Itu bukan alasan.
Maka wajar. Wajar bagiku mengeluh tentang keadaan ini. Tentang betapa tidak dilihatnya aku. Tentang rinduku yang tidak terbalas. Tentang dijauhkannya aku dari lingkaran waktu miliknya. Tapi dia marah. Dia marah. Pertengkaran. Nyaris berakhir.
Mengalah. Kupilih mengalah. Aku mencintainya. Mencintainya. Sekarang sudah demikian besar. Dan aku tak ingin selesai. Aku bertahan. Mengalah dan minta maaf sementara dia tidak. Menyabarkan diri. Aku mencintainya.
***
26 Januari 2012
Senyumnya. Nafasnya. Suaranya. Bau tubuhnya. Aku menemukan dia yang dulu. Perhatian dan cinta. Aku tertawa lepas bersamanya. Entah bagaimana. Hanya jarak yang membuat kami bertengkar. Tapi ketika dekat, tidak ada. Hanya kebahagiaan, hanya itu.
Pertemuan kali ini, pertemuan yang paling membuatku bahagia. Dia mengenalkanku pada orang-orang terdekatnya. Dan dia bilang aku pacarnya. Aku.. Pacarnya.
Tuhan, Engkau pasti tahu betapa hatiku dipenuhi kebahagiaan ketika itu. Aku tahu itu sederhana. Aku tahu. Tapi ternyata, kesederhanaan itu merupakan sebuah kebahagiaan besar yang awet bagiku. Aku merasa dihargai. Merasa diakui. Satu hal yang dulu demikian kuharapkan. Aku seperti mau menangis karena senangnya. Terima kasih. Terima kasih banyak untuk kebahagiaan ini.
“De, kenapa diam? Dede’ ngga nyaman ya disini?” Tanyamu ketika itu. Aku menoleh. Mengalihkan pandanganku dari keindahan lampu Jogja di malam hari.
Apa dia tidak melihat? Seharusnya tanpa kujawab pun dia tahu. Aku hanya sedang menikmati semua kebersamaan ini dalam diam. Aku ingin menghayati aroma kebersamaan kami. Menghafalnya. Aroma ini.
Disini, dia memberiku sebentuk kebahagiaan yang tidak akan habis ditelan waktu. Dia memberiku itu. Tapi, apa aku sudah memberikannya kebahagiaan juga? Atau, aku hanya merepotkannya saja disini? Entah kenapa pertanyaan itu mendadak menyergapku. Astaga, apa selama ini aku terlalu memikirkan kebahagiaanku sendiri?
Dan sisa hari bersamanya aku banyak diam. Aku merasa bersalah. Aku merasa menjadi perempuan yang tidak baik untuknya. Tapi, kurasa kadang dia juga keterlaluan. Tapi, mungkin aku yang keterlaluan. Atau.. Entah. Yang kutahu hanya aku ingin terus bersamanya. Menjadi kekasihnya. Memilikinya.
***
February 2012
Tuhan, bolehkah aku menyesali ini?
Tuhan, bolehkah aku mengeluh lagi?Bolehkah aku menangis lagi, lagi dan lagi?Dan bolehkah aku berharap tidak mengenalnya?
Aku tersedu di sudut. Menangis. Mengeluh. Lagi. Aku berharap ini hanya ilusiku. Tapi tidak, ini nyata. Ini nyata. Dan semua karenanya, karena sikapnya. Dia kembali. Kembali menjadi sosok jahat yang terus menerus menyakitiku. Kupikir, setelah pertemuan paling manis itu dia bisa menjadi perhatian dan peduli padaku sama seperti ketika kita dekat. Tapi nyatanya dia malah menjadi lebih parah dari yang dulu.
Tiga hari tanpa sms. Tak pernah ada telepon. Tak ada komunikasi. Satu hari pertanyaan basa-basi. Empat hari kemudian kembali tanpa cerita. Nyaris gila rasanya aku berusaha mengais-ais perhatiannya. Menahan malu, kukatakan aku butuh dia.
Pedulilah. Lihatlah. Sadarilah disini dia masih punya aku. Punya aku yang mencintainya dengan sangat besar. Punya aku yang mencemburuinya. Punya aku yang masih kekasihnya. Aku masih kekasihnya. Iyakan?
Tak ada detik-detiknya yang berlalu untukku. Dia lenyap bersama kesibukannya. Lenyap bersama kedekatannya dengan orang lain. Perempuan lain? Entah. Kusabarkan diri. Sekali lagi. Sekali lagi. Dan terus begitu. Aku akan bertahan. Aku bisa. Aku mencintainya. Aku hanya perlu tetap setia dan tersenyum untuknya. Ya, aku akan seperti itu. Sebab aku tak ingin kehilangannya.
Tapi..
Jangan begini. Dia semakin menguji batasku ketika dia terus tak acuh dan bersikap masa bodoh terhadapku. Dia semakin keras berusaha membuatku gagal mempertahankan keinginanku untuk terus disampingnya. Apa dia memang tidak menginginkanku? Memasang foto perempuan lain di display picture bbmnya. Aku diam. “Maaf sedang tidak ingin berpacaran. Biarkan aku sendiri.” Kubaca tulisan itu di display bbmnya di hari yang lain. Aku diam. Dan kemudian, semakin lama. Berhari-hari kembali tanpa komunikasi. Dianggap tidak ada sementara dia ada dan terus hidup dalam dunianya yang menyingkirkanku.
Aku ini perempuan biasa. Tidak cukupkah selama ini aku diam, bersabar, dan tetap mencintainya ketika dia memperlakukanku seperti itu. Aku menarik nafas panjang.
Tuhan, tolong buat aku mati rasa.
***
23 Februari 2012
“Mending kita pisah dulu. Soalnya aku gak mau terus-terusan nyakitin dan ngecewain dede’. Selama ini dede’ tau sendiri aku gak pernah ngabarin dede’. Aku cuek. Dan jangan bohong kalau gak kecewa. Makanya, aku gak mau bikin dede’ ngerasa kecewa terus. Aku udah sering ngomong kaya gini. Itu karena aku sayang sama dede’. Aku ngga mau dede’ sakit hati terus. Aku juga gak sanggup rasain perasaan kamu de’. Maaf aku gak bisa untuk selalu ada buat dede’.”
Sayang? Tidak ingin menyakitiku? Tidak ingin mengecewakanku? Omong kosong macam apa itu. Tidak tahukah dia kalau dia sudah menyakitiku sejak awal. Dia sudah mengecewakanku sejak awal. Awal ketika dia mulai mengabaikanku. Dan ini, kejam. Tidak adil. Kenapa jahat begini? Kenapa semudah ini aku diselesaikan? Serendah inikah artiku untuknya.
Jadi begini ya. Begini akhirnya. Aku selesai. Dilepas. Dibuang dengan mudah. Hanya serangkaian kalimat dan aku selesai. Sesederhana ini baginya. Tapi, tidakkah dia pikirkan bagaimana perasaanku. Tidakkah dia sadar ini terlalu mengejutkanku. Dipikirnya aku ini apa?
Aku diam. Kuiyakan. Menangis pun dia tak akan kembali. Mungkin dia yang tak mencintaiku. Mungkin aku yang terlalu berharap. Mungkin aku yang terlalu mudah memilih mencintainya dengan begini tulus. Padahal segalanya tanpa syarat. Padahal tak banyak mauku. Bukan hadiah. Bukan materi. Hanya sebentuk kepedulian dan perhatian. Tapi dia tak bisa. Tak ingin bisa dan malah pergi.
Lalu sekarang bagaimana? Sesakit apapun aku tahu perasaanku padanya masih sama besar. Masih utuh. Masih mencintainya. Meski sepertinya hatiku sudah patah. Dan patahannya menjadi serpihan-serpihan kecil yang diterbangkan angin.
Aku menunduk. Tak pernah berani memandang ke depan. Aku tersisih. Dibuangkah lebih tepatnya? Apa aku ini memang demikian buruknya? Kususuri setiap kenangan bersamanya. Aku tidak rela begini akhirnya. Aku tidak mau pergi. Tapi dia sudah meninggalkanku. Meninggalkanku sendirian.
Tidak ada airmata ketika kukemasi perasaanku. Terlalu sakit. Aku, sampah. Tapi kenapa masih begini. Kenapa aku.. Masih saja mencintainya.
***
Maret 2012
Tuhan, aku masih merindukannya.
Tuhan, aku masih membutuhkannya.
Tuhan, aku masih menyayanginya.
Tuhan, boleh kuintip takdir jodohku?
Adakah dia pemilik sejatiku?
Tuhan, boleh kuminta waktu lagi bersamanya.
Memperbaiki segalanya.
Tuhan, kumohon.. Izinkanlah.
***
Dia menolakku. Ketika kumohon padanya untuk kembali padaku, dia hanya tertawa. Tanpa jawaban jelas tapi aku paham. Aku mengerti bahwa dia hanya tak ingin menerimaku sebagai perempuannya. Dia hanya tidak ingin itu. Ya, dia memang tidak menginginkanku.
Aku mematut tubuhku di depan cermin. Terpaku, aku menyadari alasan yang mungkin ada. Apa aku tidak membanggakan? Apa aku tidak bisa membuat dia bahagia hanya dengan apa adanya aku? Seperti itukah? Lalu bisu menjawab dan aku termenung makin jauh.
Tuhan.. Tolong aku..
***
April membawa suasana muram. Minggu-minggu penuh tugas dan ujian membuat kepalaku terasa penuh. Tapi entah kenapa selalu ada tempat untuk memikirkannya. Aku tertawa dan menyadari betapa bodohnya cinta membentukku.
Aku masih merindukannya. Sering malah. Diantara jam-jam belajarku terkadang aku termangu. Memandang foto-fotonya yang kusimpan di handphoneku. Senyumnya. Aku merindukannya. Matanya. Aku merindukannya. Seandainya jarak tak membentang sejauh itu, mungkin aku bisa melihatnya. Meski tanpa bercakap dan meski harus dari sudut tak terlihat. Setidaknya aku bisa melihatnya sebab hanya dengan melihatnya aku bisa merasa damai. Merasa sedikit rinduku bisa terbayar, meski tidak lunas.
Aku menyambut pagi dengan malas. Fajar menyingsing membuyarkan mimpi-mimpiku. Kukemasi rinduku padanya dan menggantikannya dengan tumpukan-tumpukan materi ujianku. Hari ini ujian tengah semester Bahasa Inggris 1 ya? Aku menarik modulku dengan malas. Membaca sekelebat dan aku bosan. Kuraih handphoneku dan mulai bermain-main di dunia maya. Membuka twitter, melihat tab mention, kemudian pasti berakhir dengan melihat profil twitternya. Aku seperti stalker ya? Aku menertawai diriku sendiri.
Tapi mau bagaimana lagi, aku haus informasi akan dirinya. Aku butuh penawar agar aku tidak habis oleh rasa penasaranku pada kehidupannya. Aku hanya belum mampu jika tanpa dia. Namun hari ini dan hari-hari sebelumnya membuatku kecewa. Sama sekali tak ada tweet baru. Dia seperti menghilang. Sejak terakhir kali kutahu dia pergi menonton konser band favoritnya di ibukota, aku tak lagi tahu apa-apa tentangnya. Aku hanya mengandalkan dunia maya untuk mendengar kabarnya. Dan ketika dunia maya bahkan tak bisa menjawab gelisahku, aku merasa aku sungguh tak berguna. Apa ini yang disebut mencintainya? Aku bahkan tak bisa tahu apa-apa tentangnya sekarang.
Aku menghembuskan nafas panjang, merasa lelah. Kuputuskan beralih ke akun facebook-ku. Ketika tak sengaja aku tahu seorang temanku berulang tahun tepat hari ini, aku beralih ke akunnya. Menulis ucapan selamat dan doa untuk kebahagiaannya. Selesai. Lalu apa lagi sekarang? Ketika kutolehkan kepalaku, modul bahasa Inggris-ku yang sangat tebal memenuhi pandangku.
Tidak. Aku sedang tidak ingin belajar lagi. Kemudian iseng-iseng aku melihat ucapan-ucapan selamat ulang tahun yang diucapkan banyak orang ke wall facebook temanku tersebut. Aku tersenyum-senyum kecil. Banyak doa terhaturkan disana. Semoga terkabul, lirihku. Dan kemudian, ketika tanpa sadar satu ucapan selamat ulang tahun dari seseorang yang sangat kukenal mengunci pandanganku. Ini..
Happy birthday, my lady…
Deg.
Tuhan, nyatakah apa yang ditangkap kedua bola mataku.
Dia.
Dengan gugup aku mencari kiriman-kiriman wall-lainnya. Kumohon, semoga sangkaanku keliru. Kumohon.. aku hanya tidak ingin berburuk sangka. Aku tidak ingin.
Kamu hati-hati di Malang ya, sayang..
Jangan boros-boros. I miss u
Sayang?
Apakah dia dan temanku. Tidak. Ini pasti salah. Tapi semua ini. Ap-apa yang sebenarnya terjadi selama ini. Apakah semua ini benar? Inikah fakta yang harus kuterima? Tidak, tidak bisa. Dia temanku bukan? Lalu bagaimana bisa dia melakukan ini di belakangku. Bagaimana bisa? Dia temanku. Ya, dia temanku. Teman yang kubiarkan menginap di tempatku selama seminggu lebih ketika dia ke kotaku. Teman yang kubiarkan melakukan apapun di tempatku. Teman yang padanya kukisahkan betapa aku mencintai dia, dia yang di Jogja. Dia yang memenuhi isi kepalaku sejak 14 Oktober 2011. Dia yang dengan tulus kucintai. Dia.. temanku harusnya tahu itu. Temanku tahu. Tapi, tapi kenapa begini. Kenapa seperti ini. Temanku? Masih bisakah ku sebut teman ketika dia melakukan ini di belakangku?
Kubiarkan hari ini berlalu dengan nanar. Aku tidak ingin pergi. Aku ingin menyendiri. Tapi tidak bisa kutinggalkan ujianku. Maka kupenuhi kewajibanku menyelesaikan soal demi soal tanpa berpikir dengan jernih. Tidak, bahkan mungkin aku tidak berpikir ketika itu.
Kuselesaikan ujianku dengan cepat. Lalu diam, jeda panjang. Kosong. Ketika teman-temanku saling berbincang, tertawa. Aku hanya melihat celah kosong. Ada rasa sakit yang membuatku tidak bisa tersenyum meski hanya senyum palsu. Ada rasa sakit yang lebih sakit dari 23 Februari 2012. Ada rasa sakit yang bahkan tidak bisa kujabarkan lewat kata-kata.
Sepertinya aku tidak bisa menanggung rasa sakit ini sendirian. Ini melampaui batasku. Aku tidak bisa. Rasanya dadaku sesak. Aku tidak bisa bernafas dengan benar. Ada sesuatu yang sepertinya hidup disini, di dalam tubuhku, meremas-remas ulu hatiku dan membuatku merasa sakit. Aku tidak bisa.
Nyaris melebihi senja ketika aku masih terpekur sendirian di lorong lantai satu fakultasku. Memandang kosong ke arah lalu lalang orang yang mulai beranjak meninggalkan gedung ini. Tapi aku bahkan tidak tahu kenapa dan mau apa aku disini. Aku hanya ingin duduk. Memberi kesempatan pada diriku sendiri untuk menghentikan rasa sakit yang semakin bertambah tiap detiknya.
Happy birthday, my lady…
Dia bahkan tak pernah membalas kiriman dindingku pada facebooknya ketika kami masih bersama dulu. Dia bahkan tak pernah seperhatian itu padaku dulu. Tak pernah. Sekalipun tak pernah ada. Tapi kenapa ini sangat berbeda. Kenapa aku seperti melihat dua ekspresi yang sangat bertolak belakang. Kenapa?
Kemudian yang aku tahu, tiba-tiba saja aku menangis. Menangis sampai terisak-isak di depan seorang sahabatku. Aku menangis, dengan terisak dan terbata kuceritakan apa yang terjadi. Kata demi kata kususun dengan berantakan. Aku menangis. Sekali ini kubiarkan aku menangis di depan orang lain. Ini kali pertama kubiarkan orang lain melihatku terisak-isak separah ini. Ini kali pertama kubiarkan airmataku membanjir di depan orang lain. Meskipun aku lemah, meskipun aku sangat mudah menangis, tapi sebelumnya sama sekali belum pernah kubiarkan aku menangis seperti ini di depan orang lain. Belum pernah.
Ini karena semua yang terjadi sudah melampui batasku. Setiap orang punya batasnya masing-masing. Dan apa yang mereka berdua lakukan dibelakangku sudah keterlaluan. Tidakkah cukup dulu kubiarkan cemburu diam-diam merasuk ke dalam jiwaku ketika dia membalas sms temanku itu dan bukannya membalas smsku. Aku kekasihnyakan ketika itu? Aku kekasihnya.
Temanku itu ada di urutan pertama orang yang dulu kecemburui. Tapi dulu aku diam. Dia temanku dan aku tidak mungkin berburuk sangkan. Dia temanku, setidaknya kupikir begitu. Dia dan dia. Apa yang sejauh ini terjadi di belakangku? Ini bahkan belum ada enam puluh hari sejak dia memutuskan mengakhiri hubungannya denganku. Ini bahkan belum enam puluh hari. Belum.
Ketika aku bahkan sama sekali belum beralih darinya, dia sudah beralih sangat jauh dariku. Ketika sedikitpun aku belum bisa berhenti merindukannya, dia sudah merindukan perempuan lain. Perempuan lain yang kupikir adalah temanku. Perempuan lain yang kupikir tahu makna dari “orang yang sangat dicintai oleh temanku”.
Sudah lamakah? Sudah lamakah ada kisah lain itu? Sudah lamakah ada hubungan itu? Sejak kapan? Ini belum ada enam puluh hari, belum. Ini masih lima puluh enam hari sejak 23 Februari 2012. Ini.
Mungkinkah benar jika mereka sudah lama dekat? Mungkin benar jika selama ini dia tidak pernah menyukaiku tapi malah menyukai temanku itu? Mungkinkah begitu? Lalu selama bersamaku itu apa? Permainankah? Jahat. Jahat sekali.
Dosa apa yang kuperbuat hingga mereka melakukan ini padaku. Salah apa sehingga setega ini mereka membuatku menangis sehebat ini. Apa? Apa yang sebenarnya menjadi kesalahanku sampai rasa sakit ini mereka buat dengan demikian dalamnya di satu-satunya tempat kusinggahkan kepercayaan pada makna cinta dan teman. Lalu sekarang, tertawakah mereka?
Sebodoh itukah kiranya aku selama ini, sehingga kubiarkan aku buta pada apa yang terjadi di belakangku. Jika dia jujur dan berkata dia tidak menyukaiku mungkin aku bisa berhenti. Jika dia jujur padaku jika dia lebih menyukai temanku mungkin aku bisa mengalah. Meski awalnya juga sakit, mungkin aku bisa menerima semua itu. Dan jangan seperti ini. kenapa sejahat ini.
Jika ada salahku pada mereka, kuhaturkan maaf sedalam-dalamnya. Tapi tolong, tolong jangan seperti ini. tolong jangan sekejam ini memperlakukanku. Aku ini manusia biasa, bukan dewa yang kebal pada rasa sakit. Aku punya batas dan mereka keterlaluan. Ini..entah tidak bisa dimaafkan atau tidak.
Seandainya aku tahu seperti ini, aku akan menghentikan waktuku di Agustus 2011. Seandainya aku tahu seperti ini, aku akan memilih tidak merasakan apa itu cinta pertama. Aku akan memilih jadi perempuan yang tidak mencintai.
***
18 April 2012
Tuhan, bukankah orang-orang bilang cinta itu baik
Tuhan, bukankah orang-orang bilang cinta itu baik
Cinta itu baik
Tapi kenapa cinta yang Kau biarkan menyapaku sama sekali tidak seperti itu
Tuhan, apakah mungkin ada kesalahan?
Mungkinkah aku yang salah menerjemahkan rasa
Tapi kenapa rasa sakit pada cintaku ini begitu nyata
Kenapa Tuhan?
Jika aku tahu akhir dari cinta sesakit ini
Maka Tuhan..
Tolong..
Tolong buat aku tidak jatuh cinta lagi