Jangan mendustaiku lagi Anggra.
Jangan mengatakan dan melakukan apa pun lagi. Bagiku sudah cukup penjelasan
yang ditampilkan oleh sikap dan keputusanmu ketika itu. Kita terlalu berbeda.
Berbeda dalam bentuk yang dikoar-koarkan mereka yang membesarkanmu. Tahta itu
kau harapkan. Jangan dustai aku lagi. Aku tahu, aku tahu apa yang telah kau
berat sebelahkan.
Kujejakkan langkahku menelusuri
jalan-jalan panjang di kota yang mulai lelap. Ditemani riuh redam suara-suara
malam, aku mendekap tas tangan merah di depan dadaku, mendekap langsung ke
hatiku. Menganjal sedikit sakit yang ingin ku lenyapkan.
Angin malam meraba bahuku yang
terbuka, membelai jenjang kakiku yang telanjang sampai beberapa senti di atas
lutut. Aku merasa dingin yang tak ada hubungannya dengan itu dan kubiarkan
nyeri menjamahi betisku karena terus
dipaksa berjalan dengan sepatu berhak tinggi sejauh ini.
Kuputuskan berhenti menyiksa
tubuhku, terduduk sembarangan, aku bersimpuh di trotoar jalan. Memandang kosong
ke arah kegelapan total langit di atasku. Tidak ada bintang. Tidak ada Anggra.
Aku menepis bayangan laki-laki itu dari benakku. Jangan Anggra lagi, ku mohon.
Masih bernanah rasanya luka ini dan mengingat laki-laki yang telah menelanjangi
habis kepercayaanku itu malah membuat tubuhku meremang menahan sakit hati.
Mataku menyipit, memandang mobil
yang terhenti mendadak di depanku. Kaca gelap mobil mewah itu bergerak turun
perlahan, memperlihatkan separuh badan orang yang duduk di balik kemudi yang
dilapisi kulit ular asli.
Ah dia. Cepat sekali dia menanggapi
pesan singkatku. Aku tersenyum, merapikan rambut panjangku yang bergelombang.
Aku bangkit dengan anggun, menghampiri pintu mobil itu. Jemari jemari lentikku
yang dihiasi kuteks berwarna merah terang menelusuri lekuk pinggiran pintu
mobil. Aku menatap sepasang mata yang tengah mengamatiku. Perlahan ku biarkan
tubuhku bergerak masuk ke dalam mobil yang kutahu harganya memiliki nominal
dengan jumlah angka nol yang mencapai sembilan. Duduk di sebelah laki-laki itu,
aku menyandarkan punggungku. Melepas lelahku.
Kepalaku menoleh ke arah sosok yang
akrab denganku sejak dua tahun lalu itu ketika kurasakan tangannya menyentuh
lenganku, "kau baik-baik saja?"
Aku hanya mengangguk.
"Aku sangat terkejut membaca
pesanmu, tapi aku juga sangat bahagia sebab ku sangka aku tak akan pernah
melihatmu lagi sejak kau katakan bahwa kau akan berhenti dan memulai hidup baru
yang kau pilih."
Kali ini aku memandang laki-laki
itu dengan hangat, "Bisakah kau tidak membicarakan hal itu sekarang. Aku
tau kau mungkin telah mendengar semua yang terjadi pada kami. Jadi biarkan
malam ini berlalu seperti biasanya. Seperti yang biasa kita lakukan."
Dia mengusap lembut pipiku,
"Ya, tentu saja Luna."
***
Maafkan aku Anggra. Maafkan aku.
Kuseka setetes air mata yang menyelinap turun dari sudut mataku. Kudekatkan
tubuhku ke dalam pelukan lengan kokoh laki-laki yang tengah terlelap dengan
wajah kelelahannya. Laki-laki ini, laki-laki ini bukan Anggraku. Dia hanya
salah satu dari sekian banyak orang. Sekian banyak orang yang peduli padaku.
Sekian banyak orang yang akrab denganku. Tapi dia bukan laki-laki yang
menyentuh hatiku, dia hanya laki-laki yang menyentuh jasmaniku, sama seperti
sekian banyak lainnya. Namun aku tau dia baik, dia yang paling baik diantara
semuanya. Dia seperti teman yang kerapkali mengajakku berbincang, berdebat atau
sekedar diam hanya untuk mendengarkan. Aku tahu dia menghargaiku lebuh baik
dari sekian banyak lainnya.
Perlahan sepasang mata yang
terlelap itu terbuka, memergokiku yang tengah memandangnya. Tangannya mengusap
kepalaku dengan penuh keramahan, "Tidur Luna."Katanya pelan.
Aku mengangguk dan dia menarikku
semakin erat ke dalam pelukkannya. Aku tahu, harusnya memang seperti inilah
aku. Tidak boleh keluar jalur karena memang inilah aku. Sementara begini saja.
Begini saja, semoga cukup. Dia mengusap punggungku dengan telapak tangannya
yang besar. Aku menyusupkan kepalaku ke dadanya, mencari keamanan dan rasa
hangat. Iya, begini saja.
***
Jangan
memandangku dengan tatapan seperti itu Luna. Jangan menghakimiku dengan sorot
mata nanar seperti itu. Sungguh aku tak sanggup ditelanjangi oleh pandangan
seperti itu. Aku terbiasa dengan sepasang mata coklatmu yang menatapku dengan
penuh cinta, bukan yang seperti itu. Ku mohon mengertilah aku Luna. Mengertilah
kebenaran yang berusaha kudendangkan padamu.
Aku
memandang cangkir kopi dalam genggaman tanganku. Tidak ada asap atau hawa panas
kopi yang harum dan biasa menyapa pagiku. Dengan malas, kuletakkan kembali
cangkir kopi sisa tadi malam ke meja kecil di dekat tempat tidurku. Samar, aku
merasakan pelukan lembut sepasang tangan yang melingkari perutku dari belakang.
Aku menoleh, menemukan sebingkai wajah cantik bangun tidur yang tengah
mengamatiku dengan pandangan lembut menggoda. Aku memaksakan sudut bibirku
tertarik ke atas. Terfokus, kuamati sepasang mata hitam di depanku ini.
Pemilik
sepasang mata inikah yang akan menghabiskan seluruh hidupnya denganku? Diakah
dan bukan Luna? Bukan Luna. Aku merasa kehampaan yang mencekik ketika kudapati
kenyataan itu. Ada satu lubang dalam yang terus melebar di dalam tubuhku yang
membuatku kesakitan ketika kurindukan tubuh jenjang Luna. Ketika kurindukan
tawa Luna, kecupan di pipi dan secangkir kopi panas sebagai sapaan pagi dari Luna.
Aku
merindukan dan membutuhkan Luna. Aku mencintainya, apa pun yang ada dan melekat
pada Luna aku suka. Aku memandangnya sebagai wanita sempurna. Wanita yang
sanggup membuatku berdebar tiap kali jemari-jemari indahnya menelusuri
tengkukku. Wanita yang menguasai setiap mimpi masa depanku. Wanita yang
berjanji akan setia dan hidup hanya untukku. Ah Lunaku, betapa dia sangat
memasrahkan hatinya untukku. Tapi aku? Lihat betapa pengecutnya aku. Aku
mempecundanginya, menyakitinya. Padahal aku tahu Luna telah memenuhi semua
mauku. Ditanggalkannya kebiasaan dan dunianya hanya untuk tinggal di hatiku.
Berdua. Bersamaku.
Bagaimana
bisa aku begini lemah? Bagaimana mungkin aku berani menampakkan wajahku didepan
Luna setelah semua yang kulakukan padanya? Lemah dan ketegasan prinsipku goyah
ketika mereka memberiku pilihan. Kuasaku untuk menolak kusingkirkan. Takutkah
aku? Takutkah aku kehilangan semua ini? Takutkah??
Sepasang
mata hitam itu, entah bagaimana semakin lekat memandangiku. Aku merindukan Lunaku.
Luna. Tapi ini bukan mata luna, keluhku meski tetap saja kuarahkan mata itu
semakin mendekat. Aku mendengar setiap hembusan nafas penuh makna yang semakin
jelas ketika kami semakin merapat. Bukan kebiasaan Luna, keluhku meski aku juga
membalas setiap gerakan yang ditampilkannya. Bukan Luna, bukan Luna. Tapi aku
tetap memanas dalam setiap detik yang kembali memaksaku terlarut dalam ego dan
naluriku sebagai laki-laki. Sebagai laki-laki yang tunduk pada paradigma.
***
Aku tahu, aku tahu dengan benar
segala aturannya. Permainan ini melarangku turut serta sebagai tokoh utama. Aku
tahu aku tidak boleh menjamah tempat lain selain tempatku ini. Tempat yang
memakukanku sebagai wanita yang bukan wanita utama. Disini atau dimanapun, aku
hanya akan menjadi wanita yang berada di tepian. Aku hanya dan selalu menjadi
wanita yang boleh dijamah tapi terlarang untuk dimiliki. Terlarang. Apa lagi
bagi kelompokmu yang meminta segala kesempurnaan latar belakang dan masa lalu.
Aku tahu jejakku saja akan dibaui busuk.
Tapi tuturmu membangkitkan
semangatku. Rangkaian mimpi-mimpi masa depanmu membuatku memandang segalanya
dengan arah yang berlawanan. Aku menegakkan kepalaku meski serumpun khawatir
kerap menghantuiku. Aku akan berdiri tegap menantang semuanya. Aku akan melewati
semua cemoohan dan tatapan sinis mereka yang menilaiku rendah. Aku akan menjadi
apa pun, bertahan dan selalu hidup denganmu. Asal denganmu. Asal denganmu akan
kuat.
***
"Aku ingin membalikkan
semuanya. Jika memungkinkan, aku ingin melepaskan diriku dari semua ini.
Menghapuskannya juga. Tapi aku tahu itu mustahil. Semua ini melekat padaku
sampai ke tulang-tulangku. Mereka akan tahu. Pasti. Cepat atau lambat. Dan
mereka tidak akan pernah mengizinkan ini. Tidak akan pernah."
Matamu bersorot tenang menjamahi
wajahku, tersenyum kau permainkan rambutku dengan jemari-jemarimu, "Aku
tidak peduli."katamu singkat.
"Tapi.."
Satu detik kecupanmu menghentikan
bantahanku. Separuh terkejut, aku memandangmu. "Bisakah kau diam dan
mempercayaiku saja. Ku katakan aku tak peduli dan itu berarti satu. Bahwa aku
memang tidak peduli. Percayalah Luna. Aku memilihmu."Terangmu dengan
tatapan meyakinkan, "Kau adalah segalanya bagiku." Bisikmu membuatku
gemetar karena bahagia dan lega. Kurasakan tarikan pelan tanganmu membawa tubuhku
merapat ke tubuhmu. "Kau kehidupanku Luna"
Dan aku menenggalamkan wajahku di
dadamu, terisak. Kalimat sederhana seperti itulah yang membuatku terus hidup
penuh senyum bersamamu. Andai kau tahu betapa bahagianya aku. Untuk pertama
kalinya aku merasa kalau diriku berharga. Kau membuatku memiliki alasan yang
sangat kuat untuk bertahan denganmu. Denganmu, hanya denganmu. Asal denganmu Anggra.
***
"Maaf
Luna"
Kau kehilangan karismamu. Kau
kehilangan nilaimu. Kau kehilangan kepercayaanku ketika kau mengatakan hal itu.
Maaf? Bisakah maaf mengembalikanku ke keadaan awal. Bisakah maaf menghapus
perasaan terbuang ini. Bisakah maaf menepis kenyataan bahwa aku dikhianati.
Bahwa aku dibawa terbang tinggi hanya untuk dilempar lagi ke bawah. Jatuh,
tersuruk pada dasar yang paling rendah.
"Luna.."Suaramu menggema.
Menggema lalu hilang. Aku kosong. Dekapanmu pun tak membawaku pada perasaan
nyaman dan hangat seperti biasanya. Aku membeku. Otakku berhenti bekerja.
Jantungku berhenti memompa aliran darahku. Paru-paruku kehabisan oksigennya.
Kau menyentuh lembut wajahku,
memindaiku.
Sudah, sudahkah kau temukan
seonggok luka basah bernanah di tubuhku. Sudahkah kau lihat serpihan hatiku
yang bertebaran mengenaskan. Aku tak bisa membantah. Aku tak bisa berkata apa
pun. Hanya memandangmu, mendengarkanmu. Sebab aku kehilangan kemampuanku, aku
kehilangan seluruh tenagaku yang luruh ketika kau menuntaskan semua kata-kata
dalam kepalamu menjadi serangkaian kalimat yang berputar-putar di benakku.
"Luna, kau boleh mencaciku.
Tampar aku. Maki aku Luna. Lakukan apapun, jangan diam begini."
Dengarkan, dengarkan saja hatiku
seperti biasanya Anggra. Dengarkan dengan kemampuanmu mencintaiku jika memang
itu masih ada. Usah kurangkai segala fonem dan kuucapkan itu sehingga terangkai
distorsi yang bisa kau tangkap. Andai sama besar rasamu mencintaiku seperti
rasaku mencintaimu, kau akan tahu segala hal yang tidak kuucapkan. Akan ada
banyak auditoris yang bisa kau kumpulkan.
"Beri aku waktu, Luna. Aku
mohon. Mengertilah. Izinkan sekali ini saja kuikatkan diriku dengan wanita yang
dipilihkan oleh mereka. Tapi kemudian, sungguh Luna. Aku akan menyandingmu
sebagai wanitaku. Seperti janjiku ketika kuminta kau melepas dirimu dari
duniamu yang sebelumnya."
Aku hanya menatapmu. Mengabur,
segalanya menguap. Harapanku, kebahagiaanku dan kepercayaanku. Kemudian. Pahamkah kau, pahamkah makna
kata kemudian. Aku tahu, aku tahu aku tidak akan bisa lari dari takdirku.
Takdirku sebagai wanita tepian. Bukan wanita utama. Dan kau telah membuatku
menyadari satu fakta yang tidak akan pernah bisa kuingkari itu.
Kulangkahkan kakiku pergi. Membawa
hancurnya kalbuku. Tak mengacuhkan pelukanmu, tanganmu yang mengenggam lenganku
dan menahanku pergi. Aku tetap berlalu. Kosong. Aku kehilangan semuanya. Detik
ketika semua rangkaian tuturmu membawaku pada satu kesimpulan. Tahta dan
hartamu. Kehormatanmu di mata mereka dan lingkunganmu. Kau sama saja. Mana
sanggup kau tenggelam pergi dari semua itu. Aku tahu, aku tahu Anggra. Rasa cinta yang membakar
kita dulu adalah gejolakmu, nalurimu dan egomu. Laki-laki? Begitukah kau dan
kalian semua yang pernah bertutur mencintaiku dan mengagumiku bertampang? Aku
tahu.
Kutepiskan dengan kasar hatiku yang
sudah busuk. Wujudku dikagumi tapi harga diriku dipandang dengan tipis. Nyaris
tanpa harga mungkin. Sebab mereka yang menilai tahu, tahu bahwa dengan sejumlah
nominal dan benda aku boleh disentuh. Astaga, harusnya sudah kupahami dengan
tegas hal itu. Kenapa bodoh sekali. Harusnya aku tahu, tidak ada cinta yang
benar untuk wanita sepertiku.
Aku melangkah. Aku tahu aku tidak
bisa berbalik. Meskipun pergi, meskipun kabur dan keluar dari lingkup ini. Aku
tetap punya tanda di mata mereka semua. Seperti tatto permanen, tak kan pernah
hilang meski aku mengubah segalanya. Tanda itu akan menjadi totem abadi yang
melabeliku.
***
Aku duduk di depan cermin sambil
merapikan polesan bedak di wajahku. Ku amati wajahku dengan teliti. Cantik.
Baru kali ini aku benar-benar memperhatikan wajah yang sering di puji laki-laki
ini. Aku menyapukan lipstik merah merona ke bibirku.
"Luna, sudah bangun? Mau
kemana?"
Aku menoleh, melihat tubuh
tengkurapnya yang menatapku dengan mata mengantuk. Aku tersenyum manis,
berjalan mendekat dan mengecup pipi laki-laki itu. Dia memandangku manja dan
memelukku. Ku tarik tubuhku menjauh dan melepaskan pelukannya, "Aku harus
pulang." Ujarku pelan.
Dia bangkit, duduk dengan dada
telanjang dan memandangiku dengan tatapan memohon. "Nanti saja. Biar aku
yang mengantarmu." Rajuknya.
Aku mengambil tas tangan merahku dari
atas meja, "Lain kali saja." Aku melambaikan tanganku sambil
melangkah ke arah pintu keluar hotel bintang enam ini.
"Luna. Kita masih bisa sering
bertemukan?"
Kepalaku mengangguk dan aku
berbalik dengan anggun, "Asal kau masih menyimpan nomor rekeningku
saja" Dia tersenyum kecil. Dan aku sudah tahu jawabannya.
Pintu hotel ini menutup dan
melenyapkan bunyi hak sepatuku yang beradu dengan lantai. Aku melangkah pergi.
Berjalan dengan langkah seperti model-model profesional, membiarkan laki-laki
yang berpapasan denganku berdecak kagum memandangku. Aku hanya akan menikmati
kekaguman itu tanpa mau peduli pada bisikan wanita-wanita di samping mereka.
Aku tahu, inilah aku.
Surabaya, Juli 2012