Ketika kau memilih seseorang yang mencintaimu untuk melangkah bersamamu.Artinya kau sudah mempercayainya bukan?Mempercayainya, dimana kau pun juga akan belajar mencintainya sebab dia telah begitu sabar dan tulus bersamamu.Lalu ketika ada orang lain datang, akankah kau tetap tegak di sampingnya?Tidak melangkah pergi?Dan bagaimana pula jika orang lain itu adalah orang yang dulu kau cintai.Akankah kau meninggalkan dia yang selalu mencintaimu, ada untukmu, untuk seseorang yang dulu selalu kau puja?Padahal dia yang dulu kau cintai itu melukaimu.Sementara berpikir, kau kemudian melihat dia yang dulu kau cintai sedang menangis dan luka.Akankah juga kau ulurkan tanganmu padanya hingga akhirnya terjebak lagi dalam perasaan masa lalumu dan pergi meninggalkan seseorang yang begitu mencintaimu.Bukan hanya dulu, tapi sekarang dan nanti.Kau meninggalkan dia?Hanya untuk dia yang lain, yang dulu kau cintai.
Jangan mendustaiku lagi Anggra.
Jangan mengatakan dan melakukan apa pun lagi. Bagiku sudah cukup penjelasan
yang ditampilkan oleh sikap dan keputusanmu ketika itu. Kita terlalu berbeda.
Berbeda dalam bentuk yang dikoar-koarkan mereka yang membesarkanmu. Tahta itu
kau harapkan. Jangan dustai aku lagi. Aku tahu, aku tahu apa yang telah kau
berat sebelahkan.
Kujejakkan langkahku menelusuri
jalan-jalan panjang di kota yang mulai lelap. Ditemani riuh redam suara-suara
malam, aku mendekap tas tangan merah di depan dadaku, mendekap langsung ke
hatiku. Menganjal sedikit sakit yang ingin ku lenyapkan.
Angin malam meraba bahuku yang
terbuka, membelai jenjang kakiku yang telanjang sampai beberapa senti di atas
lutut. Aku merasa dingin yang tak ada hubungannya dengan itu dan kubiarkan
nyeri menjamahi betisku karena terus
dipaksa berjalan dengan sepatu berhak tinggi sejauh ini.
Kuputuskan berhenti menyiksa
tubuhku, terduduk sembarangan, aku bersimpuh di trotoar jalan. Memandang kosong
ke arah kegelapan total langit di atasku. Tidak ada bintang. Tidak ada Anggra.
Aku menepis bayangan laki-laki itu dari benakku. Jangan Anggra lagi, ku mohon.
Masih bernanah rasanya luka ini dan mengingat laki-laki yang telah menelanjangi
habis kepercayaanku itu malah membuat tubuhku meremang menahan sakit hati.
Mataku menyipit, memandang mobil
yang terhenti mendadak di depanku. Kaca gelap mobil mewah itu bergerak turun
perlahan, memperlihatkan separuh badan orang yang duduk di balik kemudi yang
dilapisi kulit ular asli.
Ah dia. Cepat sekali dia menanggapi
pesan singkatku. Aku tersenyum, merapikan rambut panjangku yang bergelombang.
Aku bangkit dengan anggun, menghampiri pintu mobil itu. Jemari jemari lentikku
yang dihiasi kuteks berwarna merah terang menelusuri lekuk pinggiran pintu
mobil. Aku menatap sepasang mata yang tengah mengamatiku. Perlahan ku biarkan
tubuhku bergerak masuk ke dalam mobil yang kutahu harganya memiliki nominal
dengan jumlah angka nol yang mencapai sembilan. Duduk di sebelah laki-laki itu,
aku menyandarkan punggungku. Melepas lelahku.
Kepalaku menoleh ke arah sosok yang
akrab denganku sejak dua tahun lalu itu ketika kurasakan tangannya menyentuh
lenganku, "kau baik-baik saja?"
Aku hanya mengangguk.
"Aku sangat terkejut membaca
pesanmu, tapi aku juga sangat bahagia sebab ku sangka aku tak akan pernah
melihatmu lagi sejak kau katakan bahwa kau akan berhenti dan memulai hidup baru
yang kau pilih."
Kali ini aku memandang laki-laki
itu dengan hangat, "Bisakah kau tidak membicarakan hal itu sekarang. Aku
tau kau mungkin telah mendengar semua yang terjadi pada kami. Jadi biarkan
malam ini berlalu seperti biasanya. Seperti yang biasa kita lakukan."
Dia mengusap lembut pipiku,
"Ya, tentu saja Luna."
***
Maafkan aku Anggra. Maafkan aku.
Kuseka setetes air mata yang menyelinap turun dari sudut mataku. Kudekatkan
tubuhku ke dalam pelukan lengan kokoh laki-laki yang tengah terlelap dengan
wajah kelelahannya. Laki-laki ini, laki-laki ini bukan Anggraku. Dia hanya
salah satu dari sekian banyak orang. Sekian banyak orang yang peduli padaku.
Sekian banyak orang yang akrab denganku. Tapi dia bukan laki-laki yang
menyentuh hatiku, dia hanya laki-laki yang menyentuh jasmaniku, sama seperti
sekian banyak lainnya. Namun aku tau dia baik, dia yang paling baik diantara
semuanya. Dia seperti teman yang kerapkali mengajakku berbincang, berdebat atau
sekedar diam hanya untuk mendengarkan. Aku tahu dia menghargaiku lebuh baik
dari sekian banyak lainnya.
Perlahan sepasang mata yang
terlelap itu terbuka, memergokiku yang tengah memandangnya. Tangannya mengusap
kepalaku dengan penuh keramahan, "Tidur Luna."Katanya pelan.
Aku mengangguk dan dia menarikku
semakin erat ke dalam pelukkannya. Aku tahu, harusnya memang seperti inilah
aku. Tidak boleh keluar jalur karena memang inilah aku. Sementara begini saja.
Begini saja, semoga cukup. Dia mengusap punggungku dengan telapak tangannya
yang besar. Aku menyusupkan kepalaku ke dadanya, mencari keamanan dan rasa
hangat. Iya, begini saja.
***
Jangan
memandangku dengan tatapan seperti itu Luna. Jangan menghakimiku dengan sorot
mata nanar seperti itu. Sungguh aku tak sanggup ditelanjangi oleh pandangan
seperti itu. Aku terbiasa dengan sepasang mata coklatmu yang menatapku dengan
penuh cinta, bukan yang seperti itu. Ku mohon mengertilah aku Luna. Mengertilah
kebenaran yang berusaha kudendangkan padamu.
Aku
memandang cangkir kopi dalam genggaman tanganku. Tidak ada asap atau hawa panas
kopi yang harum dan biasa menyapa pagiku. Dengan malas, kuletakkan kembali
cangkir kopi sisa tadi malam ke meja kecil di dekat tempat tidurku. Samar, aku
merasakan pelukan lembut sepasang tangan yang melingkari perutku dari belakang.
Aku menoleh, menemukan sebingkai wajah cantik bangun tidur yang tengah
mengamatiku dengan pandangan lembut menggoda. Aku memaksakan sudut bibirku
tertarik ke atas. Terfokus, kuamati sepasang mata hitam di depanku ini.
Pemilik
sepasang mata inikah yang akan menghabiskan seluruh hidupnya denganku? Diakah
dan bukan Luna? Bukan Luna. Aku merasa kehampaan yang mencekik ketika kudapati
kenyataan itu. Ada satu lubang dalam yang terus melebar di dalam tubuhku yang
membuatku kesakitan ketika kurindukan tubuh jenjang Luna. Ketika kurindukan
tawa Luna, kecupan di pipi dan secangkir kopi panas sebagai sapaan pagi dari Luna.
Aku
merindukan dan membutuhkan Luna. Aku mencintainya, apa pun yang ada dan melekat
pada Luna aku suka. Aku memandangnya sebagai wanita sempurna. Wanita yang
sanggup membuatku berdebar tiap kali jemari-jemari indahnya menelusuri
tengkukku. Wanita yang menguasai setiap mimpi masa depanku. Wanita yang
berjanji akan setia dan hidup hanya untukku. Ah Lunaku, betapa dia sangat
memasrahkan hatinya untukku. Tapi aku? Lihat betapa pengecutnya aku. Aku
mempecundanginya, menyakitinya. Padahal aku tahu Luna telah memenuhi semua
mauku. Ditanggalkannya kebiasaan dan dunianya hanya untuk tinggal di hatiku.
Berdua. Bersamaku.
Bagaimana
bisa aku begini lemah? Bagaimana mungkin aku berani menampakkan wajahku didepan
Luna setelah semua yang kulakukan padanya? Lemah dan ketegasan prinsipku goyah
ketika mereka memberiku pilihan. Kuasaku untuk menolak kusingkirkan. Takutkah
aku? Takutkah aku kehilangan semua ini? Takutkah??
Sepasang
mata hitam itu, entah bagaimana semakin lekat memandangiku. Aku merindukan Lunaku.
Luna. Tapi ini bukan mata luna, keluhku meski tetap saja kuarahkan mata itu
semakin mendekat. Aku mendengar setiap hembusan nafas penuh makna yang semakin
jelas ketika kami semakin merapat. Bukan kebiasaan Luna, keluhku meski aku juga
membalas setiap gerakan yang ditampilkannya. Bukan Luna, bukan Luna. Tapi aku
tetap memanas dalam setiap detik yang kembali memaksaku terlarut dalam ego dan
naluriku sebagai laki-laki. Sebagai laki-laki yang tunduk pada paradigma.
***
Aku tahu, aku tahu dengan benar
segala aturannya. Permainan ini melarangku turut serta sebagai tokoh utama. Aku
tahu aku tidak boleh menjamah tempat lain selain tempatku ini. Tempat yang
memakukanku sebagai wanita yang bukan wanita utama. Disini atau dimanapun, aku
hanya akan menjadi wanita yang berada di tepian. Aku hanya dan selalu menjadi
wanita yang boleh dijamah tapi terlarang untuk dimiliki. Terlarang. Apa lagi
bagi kelompokmu yang meminta segala kesempurnaan latar belakang dan masa lalu.
Aku tahu jejakku saja akan dibaui busuk.
Tapi tuturmu membangkitkan
semangatku. Rangkaian mimpi-mimpi masa depanmu membuatku memandang segalanya
dengan arah yang berlawanan. Aku menegakkan kepalaku meski serumpun khawatir
kerap menghantuiku. Aku akan berdiri tegap menantang semuanya. Aku akan melewati
semua cemoohan dan tatapan sinis mereka yang menilaiku rendah. Aku akan menjadi
apa pun, bertahan dan selalu hidup denganmu. Asal denganmu. Asal denganmu akan
kuat.
***
"Aku ingin membalikkan
semuanya. Jika memungkinkan, aku ingin melepaskan diriku dari semua ini.
Menghapuskannya juga. Tapi aku tahu itu mustahil. Semua ini melekat padaku
sampai ke tulang-tulangku. Mereka akan tahu. Pasti. Cepat atau lambat. Dan
mereka tidak akan pernah mengizinkan ini. Tidak akan pernah."
Matamu bersorot tenang menjamahi
wajahku, tersenyum kau permainkan rambutku dengan jemari-jemarimu, "Aku
tidak peduli."katamu singkat.
"Tapi.."
Satu detik kecupanmu menghentikan
bantahanku. Separuh terkejut, aku memandangmu. "Bisakah kau diam dan
mempercayaiku saja. Ku katakan aku tak peduli dan itu berarti satu. Bahwa aku
memang tidak peduli. Percayalah Luna. Aku memilihmu."Terangmu dengan
tatapan meyakinkan, "Kau adalah segalanya bagiku." Bisikmu membuatku
gemetar karena bahagia dan lega. Kurasakan tarikan pelan tanganmu membawa tubuhku
merapat ke tubuhmu. "Kau kehidupanku Luna"
Dan aku menenggalamkan wajahku di
dadamu, terisak. Kalimat sederhana seperti itulah yang membuatku terus hidup
penuh senyum bersamamu. Andai kau tahu betapa bahagianya aku. Untuk pertama
kalinya aku merasa kalau diriku berharga. Kau membuatku memiliki alasan yang
sangat kuat untuk bertahan denganmu. Denganmu, hanya denganmu. Asal denganmu Anggra.
***
"Maaf
Luna"
Kau kehilangan karismamu. Kau
kehilangan nilaimu. Kau kehilangan kepercayaanku ketika kau mengatakan hal itu.
Maaf? Bisakah maaf mengembalikanku ke keadaan awal. Bisakah maaf menghapus
perasaan terbuang ini. Bisakah maaf menepis kenyataan bahwa aku dikhianati.
Bahwa aku dibawa terbang tinggi hanya untuk dilempar lagi ke bawah. Jatuh,
tersuruk pada dasar yang paling rendah.
"Luna.."Suaramu menggema.
Menggema lalu hilang. Aku kosong. Dekapanmu pun tak membawaku pada perasaan
nyaman dan hangat seperti biasanya. Aku membeku. Otakku berhenti bekerja.
Jantungku berhenti memompa aliran darahku. Paru-paruku kehabisan oksigennya.
Kau menyentuh lembut wajahku,
memindaiku.
Sudah, sudahkah kau temukan
seonggok luka basah bernanah di tubuhku. Sudahkah kau lihat serpihan hatiku
yang bertebaran mengenaskan. Aku tak bisa membantah. Aku tak bisa berkata apa
pun. Hanya memandangmu, mendengarkanmu. Sebab aku kehilangan kemampuanku, aku
kehilangan seluruh tenagaku yang luruh ketika kau menuntaskan semua kata-kata
dalam kepalamu menjadi serangkaian kalimat yang berputar-putar di benakku.
"Luna, kau boleh mencaciku.
Tampar aku. Maki aku Luna. Lakukan apapun, jangan diam begini."
Dengarkan, dengarkan saja hatiku
seperti biasanya Anggra. Dengarkan dengan kemampuanmu mencintaiku jika memang
itu masih ada. Usah kurangkai segala fonem dan kuucapkan itu sehingga terangkai
distorsi yang bisa kau tangkap. Andai sama besar rasamu mencintaiku seperti
rasaku mencintaimu, kau akan tahu segala hal yang tidak kuucapkan. Akan ada
banyak auditoris yang bisa kau kumpulkan.
"Beri aku waktu, Luna. Aku
mohon. Mengertilah. Izinkan sekali ini saja kuikatkan diriku dengan wanita yang
dipilihkan oleh mereka. Tapi kemudian, sungguh Luna. Aku akan menyandingmu
sebagai wanitaku. Seperti janjiku ketika kuminta kau melepas dirimu dari
duniamu yang sebelumnya."
Aku hanya menatapmu. Mengabur,
segalanya menguap. Harapanku, kebahagiaanku dan kepercayaanku. Kemudian. Pahamkah kau, pahamkah makna
kata kemudian. Aku tahu, aku tahu aku tidak akan bisa lari dari takdirku.
Takdirku sebagai wanita tepian. Bukan wanita utama. Dan kau telah membuatku
menyadari satu fakta yang tidak akan pernah bisa kuingkari itu.
Kulangkahkan kakiku pergi. Membawa
hancurnya kalbuku. Tak mengacuhkan pelukanmu, tanganmu yang mengenggam lenganku
dan menahanku pergi. Aku tetap berlalu. Kosong. Aku kehilangan semuanya. Detik
ketika semua rangkaian tuturmu membawaku pada satu kesimpulan. Tahta dan
hartamu. Kehormatanmu di mata mereka dan lingkunganmu. Kau sama saja. Mana
sanggup kau tenggelam pergi dari semua itu. Aku tahu, aku tahu Anggra. Rasa cinta yang membakar
kita dulu adalah gejolakmu, nalurimu dan egomu. Laki-laki? Begitukah kau dan
kalian semua yang pernah bertutur mencintaiku dan mengagumiku bertampang? Aku
tahu.
Kutepiskan dengan kasar hatiku yang
sudah busuk. Wujudku dikagumi tapi harga diriku dipandang dengan tipis. Nyaris
tanpa harga mungkin. Sebab mereka yang menilai tahu, tahu bahwa dengan sejumlah
nominal dan benda aku boleh disentuh. Astaga, harusnya sudah kupahami dengan
tegas hal itu. Kenapa bodoh sekali. Harusnya aku tahu, tidak ada cinta yang
benar untuk wanita sepertiku.
Aku melangkah. Aku tahu aku tidak
bisa berbalik. Meskipun pergi, meskipun kabur dan keluar dari lingkup ini. Aku
tetap punya tanda di mata mereka semua. Seperti tatto permanen, tak kan pernah
hilang meski aku mengubah segalanya. Tanda itu akan menjadi totem abadi yang
melabeliku.
***
Aku duduk di depan cermin sambil
merapikan polesan bedak di wajahku. Ku amati wajahku dengan teliti. Cantik.
Baru kali ini aku benar-benar memperhatikan wajah yang sering di puji laki-laki
ini. Aku menyapukan lipstik merah merona ke bibirku.
"Luna, sudah bangun? Mau
kemana?"
Aku menoleh, melihat tubuh
tengkurapnya yang menatapku dengan mata mengantuk. Aku tersenyum manis,
berjalan mendekat dan mengecup pipi laki-laki itu. Dia memandangku manja dan
memelukku. Ku tarik tubuhku menjauh dan melepaskan pelukannya, "Aku harus
pulang." Ujarku pelan.
Dia bangkit, duduk dengan dada
telanjang dan memandangiku dengan tatapan memohon. "Nanti saja. Biar aku
yang mengantarmu." Rajuknya.
Aku mengambil tas tangan merahku dari
atas meja, "Lain kali saja." Aku melambaikan tanganku sambil
melangkah ke arah pintu keluar hotel bintang enam ini.
"Luna. Kita masih bisa sering
bertemukan?"
Kepalaku mengangguk dan aku
berbalik dengan anggun, "Asal kau masih menyimpan nomor rekeningku
saja" Dia tersenyum kecil. Dan aku sudah tahu jawabannya.
Pintu hotel ini menutup dan
melenyapkan bunyi hak sepatuku yang beradu dengan lantai. Aku melangkah pergi.
Berjalan dengan langkah seperti model-model profesional, membiarkan laki-laki
yang berpapasan denganku berdecak kagum memandangku. Aku hanya akan menikmati
kekaguman itu tanpa mau peduli pada bisikan wanita-wanita di samping mereka.
Aku tahu, inilah aku.
Surabaya, Juli 2012
Setelah lama aku pikir, mungkin tulisan-tulisanku
tentang kamu sebelumnya agak berlebihan. Mungkin aku menulis dengan perasaan
sedih , kecewa dan marah. Sehingga seakan-akan kamu begitu jahat. Tapi setelah
kupikir ulang dan dengan pikiran yang lebih jernih, mungkin memang sifatmu yang
seperti itu. Ketidakpedulian itu mungkin ciri khasmu. Tapi aku mau percaya kamu
mencintaiku. Positive thinking tidak
apa-apakan dalam hal ini. Aku sedang tidak ingin sedih gara-gara kamu sekarang.
Senpai, aku ingin tetap menjadi perempuanmu, jika memang boleh, aku ingin
selamanya. Mendampingi hari-harimu. Memasak untukmu, dan selalu menjadi
perempuan pertama yang kamu liat ketika kamu membuka mata, terbangun dalam
tidur malammu. Aku ingin menelusuri lekuk-lekuk wajahmu dengan ujung jariku ketika
kamu tidur. Tersenyum memandangmu yang sedang terlelap. Itu hal-hal kecil yang
sangat menyenangkan untuk dilakukan. Dan aku suka. Kadang tak perlu hal-hal
besar untuk membuatmu bahagia, tak selalu barang-barang, uang, harta.
Semua tulisan dalam label Untuk Senpai adalah cerita tentang bagaimana sebuah romansa memainkan jejaknya. Beberapa menganggapnya fiksi, beberapa menganggapnya riil kisahku. Aku tersenyum. Cerita itu, romansa itu tergantung dari bagaimana kamu memandangnya. Aku hanya ingin jadi narator yang menarasikan cerita yang telah tertulis dalam naskah. Aku hanya dalang yang menjadi wewayang dalam lakonnya. Aku bukan pemegang kendali. Kalau itu ceritaku, maka aku akan mengambil alih jalan ceritanya, menjadi author yang baik dan menghapus semua kata tentang luka dan sedih. Aku akan menjadi author yang baik, aku hanya ingin setiap yang membaca bahagia. Maka tinta yang kugoreskan hanya akan bercerita tentang kebahagiaan dan senyum bukan air mata. Nah, jadi aku bukan si pemegang kendali. Untuk Senpai, aku menyebutnya begitu. agar yang tahu menjadi semakin mengerti. Dan agar yang tidak tahu belajar untuk mengerti. Ini bukan kisahku, bukan ceritaku. sebab aku bukan si pemegang kendali.
Akhirnya selesai juga. Apa yang aku perjuangkan sejauh ini akhirnya selesai juga. Rasanya sakit. Dadaku sesak. Mataku perih. Tapi aku tidak menangis. Tidak. Untunglah. Mungkin aku sudah cukup tegar. Aku memang tak akan pernah rela melepaskanmu, tapi tetap mengikatmu bersamamu ketika kamu sudah tidak mau adalah satu keegoisan yang kejam. Mungkin ini memang bukan waktuku. Bukan tempatku. Meski sudah demikian jauh aku berusaha untuk membuatmu nyaman bersamaku. Tapi nyatanya aku gagal. Gagal dengan telak. Padahal sudah kupertaruhkan segalanya. Tapi aku tetap jadi pecundang. Pecundang yang menyedihkan. Tapi aku tidak akan menyerah. Tidak akan kuhentikan disini. Sungguh, aku janji akan jadi lebih baik hingga aku cukup pantas menjadi wanitamu. Bukan sekedar perempuan sementara. Aku akan menjadi seperti itu hingga akhirnya hatimu bisa benar-benar menjadi milikku. Tapi kumohon, tunggulah sampai masa itu. Kujanjikan tak akan lama. aku akan bangkit secepat aku mampu. Jadi menunggulah. Tak apa sementara menunggu ada perempuan-perempuan yang lain, menemanimu. Tidak apa-apa. Sungguh. Tapi jadikan aku wanita terakhirmu. Aku akan berusaha sampai aku cukup mampu dan pantas di matamu. Aku akan berusaha. Untukmu. Aku janji.23 Februari 201211.12 PM
Sahabatku bilang, “Laki-laki yang meninggalkanmu itu bukan laki-laki yang baik”. Lalu dia juga mengatakan sambil menepuk pundakku, “Jangan menyesal karena ditinggalkan olehnya. Buatlah dia menyesal karena meninggalkanmu”. Aku terpaku mendengarkannya bicara seperti itu. sebentar kemudian, tetes demi tetes air mata berjatuhan dari mataku. Kemudia aku tergugu. Aku menangis sampai dadaku rasanya sesak. Aku terus menangis dan sahabatku itu tidak melakukan apa pun.
Dia diam saja membiarkanku menangis karena ucapannya yang penuh makna itu. Tak lama, dia menyentuh bahuku dan berkata pelan, “Menangislah. Tidak apa-apa kalau itu bisa membuatmu merasa lega”. Aku memang tak bicara apa pun setelah itu. tapi kubiarkan semua ucapannya merasuk ke jiwaku, menyatu ke darahku dan bergolak bersama amarahku.
Ku pendam semua sakit yang bisa kugunakan sebagai obat untuk bangkit. Yah, sahabatku benar. Bukan aku yang harus menyesal, tapi kamu. Bukan aku yang seharusnya merasa sakit dan seperti sampah begini. Aku akan bangkit, setiap luka yang kamu tambahkan dalam perjalananku untuk bangkit akan kugunakan sebagai alasan, sebagai tameng yang membantuku hidup dengan benar. Terus saja kamu dengan santai dan mudahnya menyakiti aku. Menghancurkanku sampai benar-benar hancur tanpa sisa. Tapi tidak akan pernah ada balas dendam. Tidak. Aku bukan manusia serendah itu. aku mencintaimu, sangat mencintaimu dengan sepenuh jiwa dan ragaku. Tanpa syarat ketulusan itu kupersembahkan untukmu satu-satunya. Tapi kamu membuangnya. Membuangnya, menghinanya dan membuatnya luruh.
Sayang.. aku meragukanmu. Aku meragukan keseriusanmu akanku. Aku meragukan semua perasaanmu terhadapku. Aku tidak tahu kenapa. Hanya saja, aku merasa ada yang salah. Ada yang tidak benar diantara kita. Sayangku, ketahuilah.. baru kali ini kusadari kalau ternyata jalan kita begitu berbeda. Baru kusadari akan sangat sulit nantinya ketika akan kupaksakan kehendakku akanmu. Sayang, tak bisakah kau buat aku mempercayakan semuanya padamu. Sayang, aku takut kita tak bisa terus bersama. Padahal aku telah terlalu jauh bertindak.
Ada beberapa hal yang sepertinya menjadi semacam sebab aku harus tetap bersamamu. Andai aku tak bertaruh begitu besar, mungkin aku sudah akan mundur di detik pertama kau mulai mengabaikanku. Tapi nyatanya aku masih tetap disini. Masih disini dan menyatakan bahwa aku akan selalu memilih sabar menghadapimu. Mengherankan sungguh, rasanya seperti bukan aku. Seperti bukan aku saja. Aku mendadak merindukan sosok arogan dan egoisku yang dulu. Aku merindukan sosok tangguhku yang dulu. Tapi, aku mencintaimu. Tanpa kata dalam syarat. Tidak ada apa pun dan aku mencintaimu.
Mungkin memang sangat sulit membaca hati. Terlebih hati ini sendiri. Semua mendadak terbagi-bagi. Satu memilih pergi. Satu menarikku erat dan memohon, bertahanlah. Oleh sebab itu aku kadang sama sekali tidak konsisten. Aku mengeluh, merasa lelah dan ingin mundur. Lalu di suatu ketika lainnya, aku merasa kuat, merasa tangguh dan berkeras akan selalu menjadi perempuan yang tulus padamu. Kalau sudah begini aku bisa apa selain menuruti apa maunya hatiku. Sepertinya kau telah menjadi satu bagian penting dalam kehidupanku. Dan aku tahu aku tak bisa tanpa bagian penting itu. Maka sekarang aku akan mengamati bagaimana nantinya, karena ini masih sangat awal. Masih sangat awal bagiku untuk sekedar menebak akan seperti apa aku dan kamu nantinya. Namun harapku, sejauh apa pun dan sesulit apa pun kenyataan di depan sana nantinya. Aku ingin tetap bersamamu. Semoga. Amin.
23 Desember 2011
10.27 PM
THE LADY OF MIRKWOOD
The dream catcher who belong to The Lord of Mirkwood. Don't hesitate to come for say a small "hello!"
Formulir Kontak
POPULAR POSTS
Categories
- 30-Day Writing Challenge 4
- AUPAIR 2
- Cerpen 25
- Impian 6
- Ini Curhat 11
- Jejak R & D 2
- Kisah di Austria 7
- Kisah di Jerman 7
- Kisah Tak Sempurna 8
- Kumpulan Twitt 19
- Malaikat Hujan 7
- Puisi 18
- Random Thoughts 23
- Reading Link 2
- Untaian Kata 32
- Untuk Senpai 52
- Untuk SID 7
- Visa Jerman 3
- WritingChallenge 4
Blog Archive
-
2023
(17)
-
Mei
(17)
- Prioritasmu
- Untukmu
- Salju di Bulan April
- Nadamu
- Ketika
- Jangan Jatuh Cinta Lagi
- Movin' On
- Aku
- Pembencimu
- Yang Diingatkan Oleh Rindu
- How to Have a Long and Happy Relationship?
- Cerita Tentang Anggarra
- I Ever Met A Man
- Dia Suka Perempuan Berambut Panjang
- Berdamai Dengan Masa Lalu
- Sleep Paralysis
- Sang Pemimpi
-
Mei
(17)
-
2013
(25)
- Desember (3)
- November (3)
- Oktober (2)
- September (1)
- Juli (1)
- Juni (2)
- Mei (1)
- April (7)
- Maret (5)