Hanya 326 hari saja akan ku ikatkan dg erat kesabaran dan ketulusan ini. Setelah itu,aku akan pergi. Benar-benar menentukan arah dan serius.Semua terjadi karna banyak kadar berlebih di dalamnya. Dipengaruhi kenaifan dan ketidaktahuan saya. Saya kira dunia tidak benar sejahat itu.Yang Pertama, soalnya judulnya itu.Sedikit menyesal tp tidak banyak. Tidak menyalahkan tp banyak kecewa. Ya sudahlah, toh saya jg ambil peran. Banyak salahnya jg saya.Saya tidak pernah menjadi seseorang di mata kamu karena bagimu, saya hanya sesuatu.Sesuatu itu, selesai dan di buang. Setelah itu nothing. Game is over.Saya tahu, pura-pura tidak tahu, diam dan berpikir positif. It's the power of love.This growing love only brings me pain. But i always keep loving u like this. U won't know that feeling.Perempuan itu sulit. Bahkan dy tetap brdiri di tempat yg sama meski dsana dy tidak pernah "dilihat".I'll just smile by ur side. Although i wont be happy. And although i cant turn back. U're the one that i choose. U're the only one.Mereka blg saya bodoh. Sangat bodoh. Saya cm senyum. Mereka belum pernah benar2 mencintai. Dan saya maklum.Kembali ke kesimpulannya, saya hanya sesuatu buat km. Jd wajar diperlakukan begini. Karna yg dicintai tdk akan prnh diprtaruhkn bukan? :)houd je van me?Lalu hening lama, sama seperti ketika aku berkata, "jangan tinggalin aku ya".Ik begrijp het. :)Sama ketika itu pula aku jg tahu. Cepat atau lambat km jg akan meninggalkanku. Dan benar bukan? Kekuatan perempuan untuk membaca itu jujur."Knp hrus pgen pny kakak. Kan ada aku, yg bisa jd kakak, sahabat dan kekasihmu." Sederhana dan bikin kebahagiaan yg awet. :)Ingat itu? Mungkin km tidak, tp saya selalu. Ada bnyk hal sederhana yg saya hargai lebih.Kesederhanaan yang bertransformasi menjadi kebahagiaan. :) :)Dan ttg janji saya, are u remember it?Saya mengusahakanny, dr awal smpai kini. Serius. Tp sprtiny tdk prnh mau ditunggu. Hanya dipinggirkn, dicela. Saya jd takut.270811 - 141011 - 260112 - 230212Ah iya, ini ketinggalan 180412 :)I'm here to love you, i'm here to stay. No matter what the world may say. There will be no more goodbyes. No more..Hey, I'm taking back the life you stole. :)Senyum senyum senyum. Hampir jatuh ke bulannya. Waktu :) :)Mari beberes, sprti pegawai yg akan keluar dr pekerjaanny. Dy harus membersihkn meja kantorny sblum prgi. Tidak boleh ada yg tertinggal.Harapan ini, sampai tiba ketika itu akan tetap saya genggam. Tapi setelahny, saya akan meletakkannya. Saya lelah. Takut.Saya akan serius belajar rela. Pelukan dr jauh. Doa untukmu. Semoga selalu ada banyak cinta yg dianugrahkan untukmu.Semoga, entah kapan, km bisa sadar. Bisa jujur. Bisa melihatku dg benar. Bisa membacaku. Bisa paham harapanku. Keinginanku, berlari dgnmu.
“Kiss?”
“Iya, kiss. Kamu dan kak Ivankan sudah hampir tujuh bulan jadian, masa sa-ma se-ka-li be-lum per-nah kiss?”tanya Nita dengan wajah tidak percaya saat kami sedang istirahat latihan basket di tepi lapangan. Wajahnya penuh tanda tanya dan penekanan ucapannya pada kalimat “SAMA SEKALI BELUM PERNAH KISS” membuatku merasa seperti menjadi manusia abad lalu.
Aku memantul-mantulkan bola basket di tanganku dengan lemah sementara sahabatku itu masih ngoceh tentang kiss. Bla….bla..blaa…… aku jadi pusing, ku biarkan saja dia terus bicara tanpa ingin menyelanya sama sekali. Tapi bukannya karena aku tidak ingin mendengarkannya, atau karena aku tidak menganggap penting ucapannya, aku diam justru karena aku sedang memikirkan semua yang telah Nita katakan. Semua ucapannya menganggu pikiranku.
“….kalau pacaran itu ibarat masakan, kiss itu bumbu penyedapnya. Bumbu paling penting. Yang bikin masakan jadi terasa, hmmm.. yummy”
“Kiss ya…?”
Tapi apa perlu.
“…jangan-jangan kak Ivan gak beneran sayang sama kamu lagi, makanya dia gak pernah nyium kamu…”
Astaga!! Apa benar begitu.
“..coba deh kamu inget moment paling romantis diantara kalian berdua. Pelukan? Ciuman? Paling-paling cuma gandengan tangan. Iya kan? Aku sih maklum, kak Ivan kan pacar pertama kamu. Tapi bagi kak Ivan? Ayo, hati-hati lo,dyn. Bisa-bisa kak Ivan ntar jadi bosen dan mulai nyari cewek baru lagi.”
Nggak!! Mana sanggup aku ngelihat kak Ivan jalan bareng cewek lain. Mana sanggup aku lihat kak Ivan pacaran ama cewek lain. Ini nggak boleh sampai terjadi.
“…makanya,dyn. Kamu donk yang harus punya inisiatif sendiri. Kamu cium aja kak Ivan duluan, biar dia gak lari..”
Aku..???
Cium kak Ivan..???
Jemariku bergerak menyentuh bibirku sendiri.
Apa aku bisa..?? Apa aku bisa nyium kak Ivan duluan. Bayangin itu aja aku gak sanggup apalagi nglakuinnya. Tapi.. ..
Bayangan kak Ivan menggandeng cewek lain berkelebatan di benakku
“Enggak.. enggak. Itu gak boleh terjadi.” Aku menggelengkan kepalaku
“Dyn..”
“Ardyn”
Aku tersentak, menyadari seseorang memanggilku,
Deg
“Kak Ivan” gumamku pelan. Aku berhenti berjalan dan menunggu sosok yang sering mampir ke mimpiku itu mendekat, menghampiriku.
“Aku manggil dari tadi gak noleh-noleh. Ngelamunin siapa sih?”gerutunya setengah menggodaku.
Dia tersenyum begitu ada di depanku. Ah, senyum kak Ivan adalah salah satu hal dari banyak alasan kenapa aku menyukainya.
“Tadi aku ke lapangan basket tapi kata Nita kamu baru aja balik. Untung ketemu disini, aku mau ngajak kamu balik bareng. Mau kan?”ajaknya penuh semangat dan tanpa menunggu jawabanku lagi dia menggandeng tanganku,”Ayo!”katanya sambil membimbingku berjalan di sampingnya.
Aku menatap tangannya yang menggengam tanganku dengan erat. Mendadak saja aku begitu ketakutan. Takut kalau suatu saat nanti aku tidak akan merasakan hangat genggaman tangannya lagi.
“..nah kamu cium aja Kak Ivan duluan. Biar dia gak lari.”
Apa harus? Tapi,entahlah. Yang pasti aku tidak akan kehilangan dia.
Aku mendongak cepat saat kurasakan kak Ivan melepas genggaman tangannya.
“Dynaku pengen kasih tahu kamu sesuatu” katanya sambil mengajakku duduk di undakan pendek yang menghubungkan halaman sekolahku dengan tempat parkir sekolah. Aku ikut duduk di sampingnya, mencoba mendengarkan apapun yang akan dikatakannya. Tapi entah kenapa jantungku berdetak tak karuan. Semua yang ada di pikiranku membuatku tidak tenang. Apalagi semua ucapan Nita terus terngiang di kepalaku.
Aku mengangguk.
Yaaku harus melakukannya.
Aku mendekatkan wajahku ke wajah kak Ivan yang tengah diam memandang langit yang mulai memerah karena senja. Pelan.
Just kiss. Just kiss.
“Dyn” dia menoleh dengan tiba-tiba
Nyaris terlonjak, aku buru-buru memalingkan wajahku dan pura-pura menyisir rambutku dengan jari-jari tanganku. Jantungku berdetak sangat cepat. Wajahku memerah karena malu. Ya ampun apa yang tadi hampir kulakukan.
“Dyn tau gak?” kak Ivan bicara dengan ekspresi yang biasa, sepertinya dia tidak menyadari apa yang baru saja ingin kulakukan padanya.
Aku membuang nafas lega tapi hanya sebentar sebelum dia membuatku tak mengerti dengan mengulurkan sepucuk surat dalam amplop biru cantik. Baunya harum, seperti bau aromaterapi yang lembut dan memberi sensasi menenangkan.
“Baca saja.”ucapnya singkat.
Aku membuka amplop itu perlahan, mengeluarkan isinya dan membaca pelan.
Rasanya hari ini adalah hari yang sangat buruk untuk jantungku. Masih belum berkurang kecepatan jantungku gara-gara usaha pertamaku untuk mencium kak Ivan gagal, jantungku sudah harus berpacu melebihi kecepatan normalnya ketika satu demi satu isi surat itu ku cerna dengan baik. Kepalaku jadi terasa berat, bau harum aromaterapi yang tadi menenangkanku, kini justru membuat perutku mual. Rasa ketakutan yang dulu menyapaku kini hadir makin kuat lagi. Semakin kuat.
“Ini maksudnya apa?”tanyaku lebih kepada diriku sendiri.
Tapi kak Ivan malah tersenyum, “Ngga tau tuh Fia. Udah tau aku sama kamu tapi malah ngasih surat kaya gitu. Mending isinya apa gitu nah ini.”
Fia? Kak Fia? Kakak kelas yang cantik itu. Yang ketua tim cheers sekolahku itu. Kak Fia yang biarpun semenarik itu tapi tidak pernah Nampak sombong itu. Yang, yang.. jadi surat ini dari kak Fia. Aku membaca nama yang tertera di akhir barisan surat itu. Arlenata Fiarana
Kak Fia?? Nembak kak Ivan??
“Udah. Nggak usah kamu pikirin.”ucap kak Ivan yang melihatku terdiam. “Akukan udah ada kamu, Dyn. Lagipula aku nganggap Fia juga Cuma sebatas temen kok. Aku sudah bilang kaya gitu kedia. Aku Cuma pengen ngasih tau kamu itu aja, biar ntar kalau kamu denger gosip apa-apa. Kamu gak usah kepikiran macem-macem.”
“Nah ayo pulang, Dyn. Bentar lagi gelap.”
Dia meraih tanganku lagi. Kami berjalan dalam diam. Tak ada perasaan tenang dalam genggaman itu. Tak ada perasaan nyaman dalam boncengan motor sport hitam yang biasanya selalu dengan gugup kutunggu derumnya tiap pagi dan sabtu malam di depan rumahku. Aku diam sepanjang sisa hari ini dan dia sama sekali tak merasakan kegalauanku ini.
Aku gelisah, sangat gelisah dan bertambah gelisah. Minta saran Nita nyaris seperti tak ada gunanya, karena dia sama sekali tak membantu tapi justru seperti minyak tanah yang menyulut kobaran api ketakutanku makin besar. Dia terus mengomel dan menyalahkanku yang tak segera ambil tindakan.
“Rivalmu itu kak Fia, Dyn. Kak Fia!!!”
Ya ampun. Tak pelu diingatkan pun aku juga tak akan pernah lupa barang sedetikpun. Apalagi sekarang intesitas ketemuanku dengan kak Ivan semakin berkurang. Dia sibuk dengan semua les dan tambahan pelajarannya. Dia nyaris tak punya cukup banyak waktu untuk dirinya sendiri apalagi untukku. Dan aku pun makin sibuk dengan segala urusan dengan basket. Maka lengkap sudah semuanya, aku dan kak Ivan makin terasa jauh.
Sebenarnya aku tak perlu sekhawatir ini jika saja tidak ada insiden pernyataan cinta dari kak Fia
Yah, kak Fia. Aku sedih dan khawatir mengingat semua itu. Apalagi sekarang aku sering melihat kak Ivan bersama dengan kak Fia. Sebenarnya mungkin bagi kebanyakan orang, itu adalah hal yang wajar karena mereka teman sekelas. Tapi bagiku, itu sudah cukup menjadi alasan yang kuat bagiku untuk takut dan semakin takut.
Aku tidak mau kehilangan kak IvanKU.
Aku jadi tidak konsentrasi dan malah melamun ketika pelatih basketku memanggilku dan entah bicara apa. Aku tak tahu, pikiranku tidak ada disini meskipun secara fisik aku ada disini, di lapangan basket tempatku biasa menghabiskan banyak waktuku.
Aku menggelengkan kepalaku, tidak bisa. Ini tidak boleh berlanjut. Aku tidak bisa dihantui perasaan takut dan khawatir seperti ini. Percuma juga bagiku terus memaksakan diri latihan dalam kondisi hati seperti ini. Aku meninggalkan sesi latihanku dengan alasan tidak enak badan. Mungkin pelatihku pun tahu, seandainya aku hanya mengarang cerita, dia tak akan menahanku di tempat ini. Pelatihku cukup mengenalku, dan aku yakin dia tahu aku sedang tak dalam kondisi yang cukup baik untuk berlatih basket.
Aku tidak ingin pulang. Jadi kuputuskan berjalan-jalan mengelilingi komplek sekolahku yang luas sebelum menghempaskan tubuhku di salah satu kursi panjang di taman sekolah. Aku memandang ke depan dan melihat gedung sekolahku berdiri dengan kokohnya. Di salah satu kelas di lantai dua gedung itu ada kak Ivan, ada kak Ivanku yang mungkin sekarang sedang tekun menyimak semua pelajaran yang diberikan oleh guru. Mendadak aku tahu apa yang akan kulakukan selanjutnya. Aku akan menunggu kak Ivan pulang. Aku kan bicara dengannya. Aku akan mengatakan semua kegelisahan yang mengusikku selama ini.
Ya, aku akan duduk disini untu menunggunya. Kusandarkan punggungku dengan lelah. Aku memejamkan mataku, dan serangkaian kejadian sabtu malam lalu mendadak menyergap ingatanku, mengusikku.
Aku menoleh saat kurasakan hangat jaket menyentuh pundakku
“Hangatkan?” ucap kak Ivan
Hujan turun dengan deras di depan kami yang duduk memandang Hujan di undakan di depan gedung bioskop yang sudah tutup. Awalnya kami berniat melihat salah satu film drama romantis yang kuinginkan, jujur saja aku sedikit kaget saat kak Ivan meluluskan permintaanku untuk melihat film itu karena aku tahu dia sama sekali tidak menyukai film-film seperi itu. Roman picisan, begitu katanya. Dan aku tahu hari ini dia ingin menyenangkanku karena sudah lama kami tidak keluar bersama. Hari-hari kami sibuk dengan urusan kami masing-masing. Tapi menyebalkan, gedung bioskop ini malah tutup karena sedang direnovasi. Dan ketika kami baru saja akan pergi, hujan menyambut kami dengan cerianya. Aku ingin memaksa pulang, tapi kak Ivan menolak. Dia tidak ingin aku sakit karena kehujanan.
Dan akhirnyapun kami disini, duduk memandangi hujan.
Aku mengangguk sambil merapatkan jaket kak Ivan ke tubuhku.
“Tau hujan tadi aku bawa mobil,Dyn. Jadi tidak usah repot begini kalau hujan.” kata kak Ivan sambil memandangku dengan tatapan minta maaf.
Aku tersenyum tulus, “ngga apa-apa kok, kak. Aku malah seneng. Jadikan kita punya waktu berdua lebih banyak lagi.” Celutukku yang entah mengapa justru membuatnya tertawa.
“Aku juga, mana ada sih orang yang nggak suka melewatkan waktu lebih banyak bareng pacarnya.” Godanya membuatku tertawa malu dengan pipi yang memerah. Kami tergelak bersama dan..
Deg
Kurasakan detak jantungku. Satu Satu. Agak gugup saat tiba-tiba kedua mata kami bertemu. Mata kak Ivan menatapku lekat-lekat. Kurasakan wajahnya mendekat ke wajahku. Dapat kucium bau harum parfumnya yang lembut namun khas cowok. Dapat kurasakan bagaimana gugup dan gemetarnya aku ketika kak Ivan makin dekat.
Tapi..
Dia memalingkan wajahnya di saat-saat terakhir dimana aku bahkan sudah membayangkan ciuman kami yang (akan) terjadi. Aku terpaku. Ada apa? Kenapa?
“.. jangan-jangan kak Ivan gak beneran sayang sama kamu. Makanya dia gak mau cium kamu..”
Apa benar??
“.. nah kamu cium aja kak Ivan duluan. Biar dia gak lari.”
Enggak, aku kan cewek. Mana boleh begitu. Lagipula percobaan pertama mencium kak Ivan waktu itu malah gagal total. Cium dia atau dia bakal lari darimu. Enggak. Aku gak mau kak Ivan lari dariku.
“Kak..!” aku menatapnya penuh harap, dia menoleh. Wajahnya, sama sekali tak mampu kuterjemahkan. Dia menatapku tapi hanya sebentar sebelum akhirnya dia berdiri. Memandang ke depan, entah apa yang ada di pikirannya.
“Dyn, kita nekat pulang saja ya. Basah sedikit. Gak apa-apakan?”
“Kak..” aku ikut berdiri, meraih lengannya. Memintanya memandangku. Tapi dia justru melepaskan lengannya dari tanganku ketika dia menoleh.
“Ayo!”katanya singkat sebelum melesat pergi, berlari ke arah otornya di parkir tanpa menunggu reaksiku. Aku tertegun nyaris seperti patung menyedihkan menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Apa yang salah? Pikirku menerawang mencari jawaban yang tak kunjung kudapatkan. Aku menarik nafas dalam-dalam dan membuka mataku. Memandang kosong ke arah gedung sekolah di depanku. Samar-samar aku melihar murid- murid kelas XII berhamburan keluar dari pintu gedung. Tertawa dan masih mengobrol dengan wajah lelah mereka.
Aku bangkit dan mendekat ke arah sana. Menunggu sambil bersandar di dinding dekat tangga ke lantai dua. Sepuluh menit. Lima belas menit. Kemudian hening dan tak terdengar lagi langkah kaki begrgegas menuruni tangga.
Dan aku pun juga tak melihat tubuh itu.
Kak Ivan mana?
Lama sebelum akhirnya kuputuskan untuk naik ke atas. Menyusuri undakan tangga, satu demi satu. Apa tadi aku yang tidak melihat kak Ivan keluar ya? Atau mungkin.. kak Ivan melihatku menunggunya dan memutuskan untuk menghindar dariku? Tapi kenapa?
Aku memandang lorong panjang di depanku yang sudah sepi, di ujung lorong ini, di sebelah kiri, adalah ruang kelas kak Ivan. Apa mungkin dia masih disitu? Tapi untuk apa? Aku memandang tanpa tahu akan kesana apa tidak. Namun tanpa kusadari, kakiku sudah melankah maju. Berjalan pelan ke arah ruang kelas itu.
Aku mendengar suara-suara ketika langkahku semakin mendekat ke ruangan itu. Samar aku mengenali suara itu, kupercepat langkahku untuk maju.
“...tapi aku tetap gak bisa.”
Deg
Itu.. suara kak Ivan.
Aku memeluk bola basketku makin erat. Tanpa mereka sadari, aku mendengarkan dan melihat dari balik pintu. Diam.
“...tapi apa salahnya Van?”
Pikiranku memebentuk aneka kesimpulan yang aku sendiri bahkan tak bisa mengontrolnya. Tubuhku gemetar pelan.
“Áku serius sayang kamu, van. Aku nggak apa-apa jadi yang kedua. Aku rela. Aku mau kalau memang kamu ingin hubungan ini disembunyikan dari semua orang. Aku nggak apa-apa. Sungguh. Meski aku harus kalah dengan anak itu tapi demi bersamamu, aku rela. Aku mau, van”
“Fia, aku nggak...”
“Ivan, please. Aku sayang kamu. Sejak kita masih baru masuk sekolah ini aku sudah suka sama kamu, van. Aku kalahkan harga diriku untuk bicara seperti sama kamu, aku kalahkan gengsiku dengan memohon-mohon seperti ini sama kamu, Van. “ samar, tapi aku tahu air mata kak Fia mengalir turun dari sudut matanya. Dia menangis.
Entah kenapa dadaku sesak melihat ini semua. Sebagai perempuan, aku tahu itu bukan air mata palsu. Aku tahu ekspresi di wajah cantik kak Fia itu bukan ekspresi ketulusan yang dibuat-buat. Aku tahu dia benar-benar jujur. Tubuhku lemas ketika melihat lengan kak Ivan menarik tubuh kak Fia ke dalam pelukannya.
Dug dug dug
Sepasang mata itu menoleh bersamaan ke arah pintu kelas ini.
Bola basket itu masih memantul sebelum menggelinding masuk ke dalam kelas. Suara pantulannya seperti gendam yang memalu hatiku. Rasanya sakit. Aku merasa pipiku basah. Aku berbalik cepat dan mengusap air mata itu dengan punggung tanganku secara kasar sambil berlari secepat aku bisa.
Sakit. Rasanya disini sakit. Sekujur tubuhku sakit. Aku tidak mau melihat apa-apa lagi.
”Ardyn!!!”
Dia sudah lari, Nita. Dia sudah lari dan aku tak mampu melakukan apapun untuk menjaganya tetap menjadi milikku. Aku tak dapat mencegahnya pergi. Kau benar, Nita. Kau benar, dia kini sudah lari dariku.
“Ardyn!!!!”
Aku nyaris mencapai anak tangga terakhir saat kurasakan tangannya menjangkau lenganku. Dia menghentikanku, menarikku untuk berbalik menatapnya. Aku malu. Aku malu memperlihatkan wajahku di depannya sebab air mataku mengalir deras nyaris membasahi wajahku. Aku tak mampu menatapnya, kujatuhkan tubuhku dan duduk di undakan. Menangis sambil menyembunyikan wajahku. Menangis sekeras apa pun, kak Ivan hanya diam dan mengambil tempat disampingku. Duduk diam, aku bahkan bisa merasakan kalau dia juga sama sekali tidak menatapku.
“Dyn..” kurasaka telapak tangan kak Ivan menyentuh pundakku.
“Sudahlah, kak. A-aku tak butuh penjelasan apa-apa lagi. Aku tahu. Mana bisa aku dibandingkan dengan kak Fia. Seujung kukunya pun aku sudah kalah telak. Dia rela memohon seperti itu. Kalau aku jadi dia, aku nggak akan pernah mau merendahkan harga diriku seperti itu. Dari situ saja aku tahu kalau kak Fia benar-benar menyayangimu,kak.” Kataku cukup keras sambil menyentakkan tangannya dari pundakku.
Namun yang kudapati justru sorot matanya yang menatapku lembut, “jangan menangis lagi.”ujarnya singkat, menyentuhkan kedua telapak tangannya di pipiku dan mengusap air mataku dengan gerakan lembut. Dia tersenyum, masih memandangku dengan tangannya di pipiku.
“Bukankah dulu, ketika kuminta kamu jadi pacarku, kamu sudah tahu kalau aku udah nyerahin semua perasaank. Aku sayang kamu dan pengen kamu jadi milikku. Aku Cuma punya satu hati, dan itu udah aku kasih ke kamu. Ardynna Mayangsari, harusnya kamu tahu kalau kamu akan selalu jadi satu-satunya perempuan yang memiliki hatiku. Nggak ada yang lainnya, bahkan Fia sekalipun.”
Mataku memandang kak Ivan tanpa kedip. Kata-katanya bergaung di telingaku, memantul dan menggema menjadi irama surga di hatiku.
“Kakak..”
Wajah kak Ivan mendekat ke arahku, aku memejamkan mataku. Dia akan menciumku. Jantungku berdetak cepat. Akhir..
Gelak tawa kak Ivan dan sentuhan tangannya yang mengacak-acak rambutku membuatku membuka mataku dengan cepat. Ada apa?
“Aku belum akan menciummu, Ardyn sayang.”katanya disela-sela tawanya yang terkekeh. Dahiku mengerut, menatapnya penuh tanya dengan mataku yang menyipit.
“Mana bisa aku mencium gadis yang baru saja berhenti menangis seperti anak kecil. Mana bisa aku mencium gadis yang baru saja aku dekati sudah gemetar ketakutan seperti sabtu malam lalu. Mana bisa..”dia diam dan menatapku dengan fokus, “..mana bisa Dyn, aku mencium gadis yang memanggilku kakak dengan nada manja dan merajuk seperti tadi.”
Aku masih menatapnya, kali ini jelas merasa sebal. Aku cemberut, dan dia malah tergelak lagi begitu selesai mengamati ekspresiku. Kedua alisku naik, kak Ivan benar-benar membuatku malu. Aku bangkit dan berjalan pergi dengan cepat, meninggalkannya yang masih duduk di undakan tangga.
“Hey, bola basketmu ketinggalan loh!!!”teriaknya dengan nada menggoda yang sangat menyebalkan.
Kedua sudut bibirku naik ke atas. Aku tahu wajahku tersipu. Entah kenapa, semua yang tadi dikatakan kak Ivan membuatku sadar kalau dia benar-benar tulus menyayangiku dan ingin menjagaku.
“Hey, ARDYN!!!!”
“Biarin!! Terserah!! Mau ketinggalan, mau hilang, terserah.”balasku tanpa berbalik untuk menatapnya.
“Dasar pemarah. Jangan pergi dulu, kita pulang bareng!!”
“TER-SE-RAH!!!!”
“Ardyn sayaaang!!!!”panggilnya manja. Dan aku mendengar derap langkahnya berlari mengejarku yang sudah agak jauh di depan.
Aku tersenyum.
Ternyata dia tidak akan lari dariku, Nit.
Namanya Jingga, aku mengenalnya di tepi pantai di kala senja. Seperti namanya, warna langit kala itu juga jingga. Dan seperti langit yang cantik, pesona jingga di senja itu pun setara cantiknya.
Rambut sepinggangnya tergerai berantakan dipermainkan angin pantai. Tubuh semampainya berdiri tegak menatap laut lepas. Dari sudut tempatku mencuri-curi pandang, dia terlihat begitu menawan. Meski langit semakin gelap karena terbenamnya matahari, pesona jingga di mataku justru semakin terang. Siluetnya pun bagiku terlihat seperti siluet bidadari yang tersesat di bumi. Jingga, sepertinya dia telah berhasil menawan hatiku bahkan disaat aku sama sekali tidak tahu apa-apa tentangnya kecuali bahwa dia mungkin adalah perempuan yang menyukai senja.
Ekor mataku terus mengikutinya ketika dia mulai beranjak menjauh dari tempatnya berdiri. Hanya pandanganku yang mampu mengikutinya karena aku tak cukup punya keberanian untuk melangkahkan kakiku mengikutinya. Aku menghela nafas panjang ketika sosok jingga akhirnya benar-benar menghilang dari pandanganku. Entah mengapa, aku menyukai ini. Mengamati perempuan itu. Memandangnya tanpa bosan. Aku merasa lega dan tentram ketika melihatnya. Ada perasaan nyaman.
Esoknya lagi aku kembali ke pantai ini. Berharap jingga ada disana. Dan aku nyaris berteriak kegirangan ketika ku dapati sosoknya berada di tempat yang persis sama seperti yang ku lihat kemarin. Jingga juga berdiri tegak sama seperti kemarin. Memandang laut lepas. Diam. Tak bergerak sama sekali. Lagi-lagi sama seperti kemarin.
Jingga memandang senja. Aku memandang jingga. Seperti itulah terus menerus selama lima hari ini. Setiap menjelang senja aku akan bergegas ke pantai. Dan disana pasti sudah kudapati jingga yang berdiri menikmati senja. Aku menikmati keadaan ini. Memang tak cuma sekali, perasaanku menantangku untuk bergerak mengajaknya berkenalan. Setidaknya hanya menyapanya. Satu kata saja, sesederhana hay. Tapi aku jadi batu. Aku gugup. Kikuk. Tahu bahwa aku tak berani. Dan akhirnya aku mengalah. Cukup bagiku menjadi orang yang mengaguminya dari jauh begini. Meski kerap kuharapkan aku bisa memeluk tubuh jenjangnya, mengenggam jemarinya dan membisikkan rangkaian kata tentang seberapa besar aku mengaguminya, tapi tak pernah benar-benar kulakukan sesuatu agar aku bisa mendapatkan harapan itu. Jadi disini, aku berdiri sebagai laki-laki yang tak pernah berhenti dipesonakan olehnya.
Aku berlari seperti orang kesurupan. Luruh emosiku bercampur dengan keringat. Jingga, jingga, ceracauku sepanjang jalan. Kumohon, kumohon. Kupanjatkan serangkaian harap dan doa, biar Tuhan membantuku. Jingga, jingga. Entah kenapa aku begitu khawatir.
Langkahku berhenti tepat di tempatku biasa memandang jingga ketika warna langit di atas kepalaku mulai luruh menghitam. Jingga, jingga. Tersengal-sengal kuitari seluruh tempat dalam jangkauan mataku. Jingga, tidak ada jingga. Tidak ada. Dimana? Jingga, dimana?
Peluhku mengalir dari dahi ke pipi. Membasahi wajahku yang memerah, kelelahan. Jingga. Tidak ada hentinya ku panggil namanya dalam gumamanku. Jingga, tidakkah dia ada disini? Tidakkah dia memandang senja seperti biasanya. Jingga. Entah kenapa dia sudah seperti penyempurna hariku. Apa bisa baik-baik saja jika hari ini tanpa Jingga. Aku gemetar ketakutan. Aku sangat takut kehilangan jingga.
"Perempuan itu tidak datang lagi?"
Aku menoleh tanpa sengaja, menatap dua laki-laki, penjual cinderamata yang biasa berkeliling di sepanjang pantai ini.
"Perempuan yang mana?"
"Perempuan yang menjelang petang selalu datang dan berdiri di sebelah situ. Memandangi laut."
Jinggakah? Apa mereka membicarakan jinggaku?
"Oh, perempuan itu. Tadi sih kesitu, tapi cuma sebentar. Kelihatannya seperti orang kebingungan. Sayang yah, padahal kelihatannya wajahnya cantik. Tapi agak gila."
"Hush, Jangan ngawur. Perempuan itu tidak gila. Kudengar calon suaminya mati tenggelam di pantai inii. Padahal harusnya minggu depan mereka akan menikah.. Sejak itu perempuan itu selalu kesini setiap sore."
"Beruntung sekali dia tidak benar-benar gila. Tapi tingkahnya tetap saja aneh."
"Hah, coba saja kau yang mengalami itu. Bagaimana kalo istrimu mati tenggelam disini."
"Nah, aku akan cari istri baru"
Lalu gelak tawa mereka menggema di telingaku sebelum akhirnya hilang sama sekali, seiring langkah mereka yang semakin menjauh dari tempatku berdiri.
Jingga? Calon suami? Meninggal? Tenggelam?
Mendadak kepalaku seperti dijatuhi beban berat. Jingga. Jingga. Aku menceracau sambil menekan kepalaku dengan kedua tanganku. Kenapa? Ada apa ini. Aku merasa sakit. Kepalaku berdenyut-denyut menyakitkan. Kilasan-kilasan itu. Rasa sakit ini menyiksaku. Tapi di baliknya, entah apa. Aku merasa ada kelegaan yang sangat besar menyeruak di dalam dadaku. Kepalaku terus berdenyut-denyut seperti mau pecah. Aku terjatuh. Menggerang. Mendadak aku seperti melihat senyuman Jingga. Tanganku mengapai-gapai meraihnya. Dia menyentuhku, dan semua rasa sakit itu hilang, digantikan rasa lega dan bahagia yang membuncah memenuhi dadaku.
Jinggaku.
“Cuma sekali saja. Aku janji. Setelah itu aku tidak akan melakukan hal-hal berbahaya yang membuatmu mengkhawatirkanku. Serius. Aku janji, setelah menikah aku akan bertobat dari segala hal yang berhubungan dengan berselancar, menyelam, mendaki gunung, panjat tebing, paralayang. Pokoknya semua yang membuatku mengkhawatirkanku, tidak akan pernah ku lakukan lagi. Janji. Tapi kumohon, sekali ini saja yah, Jingga..”
Aku merasa kakiku kram. Bagian bawah tubuhku mendadak melawan semua perintahku. Kakiku tidak bergerak ketika aku berusaha untuk bergerak. Tanganku mengapai-gapai permukaan dengan gugup. Air laut yang masuk ke mulutku memerangkap semua teriakan minta tolong yang dengan putus asa terus ku teriakkan.
Air laut membuat mataku perih. Sinar matahari menyilaukan mataku.
Tolong. Aku putus asa.
Jingga. Jingga. Jingga. Maafkan aku. Jingga.
Dan ombak, bau asin air laut, suara-suara asing. Pandanganku mengabur. Paru-paruku dipenuhi air laut.
Jingga.
“Jangan melakukan hal-hal yang bisa membuatku mengkhawatirkanmu dengan berlebihan begini. Ini yang terakhir. Janji ya, Ryan. Ah iya, satu janji lagi, setelah ini kamu harus menemaniku melihat senja beberapa kali. Benar-benar menemani, bukannya meninggalkanku dan malah asyik berenang sendirian di pantai. Bagaimana, setuju?”
Aku tergelak, “Setuju.”
“Aku mencintaimu, Ryan”
“Aku juga mencintaimu, Jingga.”
***
Angin pantai kembali memainkan helai-helai rambutnya. Sementara rok putihnya berkibar pelan. Anggun. Cantik. Tubuh jenjangnya berdiri tegak, menghadap ke lepas pantai. Tangannya memeluk sebuket besar bunga mawar putih. Dengan pelan, dilangkahkannya kakinya maju. Mendekati bibir pantai. Ombak yang pasang surut berlomba membasahi betis dan telapak kakinya yang telanjang.
Mata coklatnya bersorot lembut, memandang lurus ke depan, ke lautan luas, “Ryan. Aku tahu kamu sudah bahagia di tempatmu saat ini. Aku tahu aku harus belajar menerima takdir ini, agar kita bisa bahagia suatu hari nanti ketika kita bertemu lagi. Ryan, terima kasih banyak. Terima kasih telah hadir lagi di mimpiku dengan wajah riangmu yang biasa ku kenali.”
“Aku akan menjadi wanita yang tegar untukmu. Aku tidak akan pernah melupakanmu. Demi kamu, aku akan hidup sekali lagi dan terus berusaha hidup sekali lagi. Aku tahu kamu akan selalu melihatku dan melindungiku.”
Dia membungkuk, melepaskan pelukannya pada buket mawar putih itu dan menyajikannya pada ombak yang datang padanya. Larungan mawar putih itu mengambang, bergerak tak beraturan dipermainkan ombak. Tak butuh waktu lama baginya untuk menjauh, mengarah ke laut lepas meninggalkan tubuh yang sebelumnya mendekapnya erat.
Tegak. Perempuan itu masih berdiri di tempatnya. Ombak sudah membasahi ujung roknya yang panjangnya hanya selutut. Cahaya matahari perlahan-lahan memudar. Berkas-berkas memerah pucat dan mendekati gelap. Senja hampir berakhir. Suara debur ombak memainkan harmoni lagu yang membuatnya memejamkan mata. Menikmati belaian angin pantai yang lembut. Sisa-sisa senja mendekap tubuhnya yang pasrah dilimpahi indahnya keserasian alam.
Matanya terbuka perlahan saat cahaya terakhir beranjak pergi dan hanya akan menyisakan malam yang ditaburi kilau bintang. Dia memandang laut yang menghitam kehilangan pantulan sinar matahari.
“Terima kasih sudah menemaniku melihat senja seperti janjimu, Ryan. Aku mencintaimu. Sangat.” Bisiknya kepada angin laut.
Kemudian dengan gerakan lembut, dia berbalik. Melangkah pergi meninggalkan pantai. Meninggalkan senja. Dan kepada lautan, dia menitipkan rasa cintanya. Rasa cinta yang hidup dalam dirinya sepanjang usianya. Dia melangkah lagi, tersenyum kepada penjual cinderamata keliling yang terbengong-bengong mendengar sapaan ramahnya ketika mereka tak sengaja berpapasan. Penjual cinderamata itu nyaris membuka mulutnya dengan lebar ketika melihat dari dekat dan menyadari betapa cantiknya gadis yang dilihatnya sering datang ke pantai ini ketika menjelang matahari terbenam. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya sebelum kembali meneruskan langkahnya menjajakan cinderamata khas tempat ini kepada wisatawan-wisatawan yang masih berada di sekitar pantai. Dalam hati dia berjanji akan memberikan gelang cantik dari kerang-kerang kecil kepada perempuan itu kalau dia bertemu dengannya lagi esok hari. Dia tak tahu, tak pernah tahu kalau itulah untuk terakhir kalinya dia melihat perempuan itu di pantai ini. Senja esok hari, perempuan itu tak muncul. Tidak pula pada senja esoknya lagi dan senja-senja berikutnya. Perempuan itu tak pernah datang lagi ke pantai ini untuk melihat keindahan semburat wana-warni senja yang memukau. Perempuan itu tak pernah datang lagi untuk membiarkan jingga senja membias melukis tubuhnya.
Jingga, dia cantik. Secantik senja yang berwarna jingga. Dia adalah wujud nyata dari biasan dari lukisan Tuhan. Jingga. Aku juga mencintai Jingga. Selalu.
THE LADY OF MIRKWOOD
The dream catcher who belong to The Lord of Mirkwood. Don't hesitate to come for say a small "hello!"
Formulir Kontak
POPULAR POSTS
Categories
- 30-Day Writing Challenge 4
- AUPAIR 2
- Cerpen 25
- Impian 6
- Ini Curhat 11
- Jejak R & D 2
- Kisah di Austria 7
- Kisah di Jerman 7
- Kisah Tak Sempurna 8
- Kumpulan Twitt 19
- Malaikat Hujan 7
- Puisi 18
- Random Thoughts 23
- Reading Link 2
- Untaian Kata 32
- Untuk Senpai 52
- Untuk SID 7
- Visa Jerman 3
- WritingChallenge 4
Blog Archive
-
2023
(17)
-
Mei
(17)
- Prioritasmu
- Untukmu
- Salju di Bulan April
- Nadamu
- Ketika
- Jangan Jatuh Cinta Lagi
- Movin' On
- Aku
- Pembencimu
- Yang Diingatkan Oleh Rindu
- How to Have a Long and Happy Relationship?
- Cerita Tentang Anggarra
- I Ever Met A Man
- Dia Suka Perempuan Berambut Panjang
- Berdamai Dengan Masa Lalu
- Sleep Paralysis
- Sang Pemimpi
-
Mei
(17)
-
2013
(25)
- Desember (3)
- November (3)
- Oktober (2)
- September (1)
- Juli (1)
- Juni (2)
- Mei (1)
- April (7)
- Maret (5)