Aku menepi pada detik ini, menghayati setiap kenangan yang terangkai murni pada kisah kita. Akankah bisa kuulangi semua itu? Kadangkala egoku begitu mengetuai semua labil rasaku. Tapi lebih sering lagi aku dikuasai sikap dimana aku benar-benar berharap bisa bersamamu lagi. Kekasihku, bisakah kupanggil kamu begitu? Sayangku, bolehkah kusapa kamu begitu? Entahlah, aku benar-benar tidak tahu. Aku tidak tahu. Aku hanya tidak bisa melupakanmu. Itu saja. Tidak bisa benar-benar menghapusmu dari semua kegiatan-kegiatanku yang menuntut begitu banyak waktuku. Tapi dari semua itu selalu saja ada detik detik berlebih yang kugunakan untuk merindukanmu. Inikah cinta? Inikah cintaku yang pertama?? Inikah semua keikhlasan cinta dimana aku akan merelakan kebahagiaanku untuk kebahagiaanmu. Apa pun yang akan kamu putuskan, apapun yang kamu tentukan. Aku akan menerima. Sekarang aku akan mencintaimu saja. Seperti apa responmu, itu adalah kehendakmu sendiri dan aku akan menjadi penurut. Ada lelahku sebenarnya, aku tidak ingin dipermainkan lagi. Perasaan ini sudah terlalu menguras emosiku dan aku tidak mau diminta bertindak lebih untuk suatu harapan tentang kita yang mungkin saja hanya sekedar fatamorgana. Harapan yang dengan sekeras usaha ku coba untuk kutekan jauh-jauh, jangan.. jangan terlalu berharap. Kamu mungkin tidak punya perasaan yang sama. Jadi biar saja begini biar usah aku menangis lagi. Setidaknya aku bisa tetap menjaga semua cinta dan hati ini setia sepenuhnya untukmu. Hanya untukmu, cinta pertamaku. Kamu. Satu hanya kamu.
Aku berada dalam batas garis ketidakberdayaan. Nanar! Dalam pelukan bisu yang menyakiti. Tersia-sia diantara gemuruh teriakan kepedulian yang semu. Akhirnya pun kalah. Kalah telak dengan nilai kehormatan yang luntur.
Masa egoisme dan individualisme meluluhlantahkan kebersamaan yang sejak dulu diagung-agungkan. Terjebak di celah-celah era baru yang dianggap sang nomor satu. Terinjak-injak hanya karena perbedaan jumlah nilai di kartu simpananmu.
Darah mengalir dari celah-celah lubang kehidupan dan kenikmatan, dikoyak-koyak hanya dengan alasan yang naluri pun tak mengetahui letak benarnya.
Aku telah musnah. Jatuh mahkota itu. Pecah berantakan dan meninggalkan bekas. Terlihat tapi tak terlihat dan menimbulkan cela berkepanjangan.
Matikah?
Tidak!! Masih bertahan. Masih hidup meski berat untuk terus hidup. Dengan sebotol kecil asa yang kupadatkan, yang kuramu menjadi sekuali kekuatan, yang kuaduk menjadi lumuran kepercayaan. Kepercayaan yang ternoda oleh dendam.
Aku bertahan dengan itu.
Entahlah
Bisu
Sejauh yang ku tahu, akhirnya hanya ketidaktahuan yang ada. Tahukah apa yang membuatku hidup? Hidup yang terkutuk. Hidup yang penuh dengan titik-titik noda hitam.
Bisu lagi..
Mengingat masa dulu ketika mahkota itu masih bersemayam rapi di tempatnya. Ketika masih ada keangkuhan bertahta hebat karena kebesaran, kesuksesan yang telah berhasil diraih.
Aku buta dengan segala besar yang memelukku. Dua nyawa yang menyertaiku, melindungiku dan membantuku meraih semua itu. Mereka ucapkan janji dan memintaku memilih untuk hidup dengan satu dari mereka. Tapi tawa, tawa penghinaan yang justru keluar dari mulutku.
Dendam dan penerimaan tulus. Akhirnya satu-satu memilih itu. Dan tahukah bahwa aku tak tahu. Tak tahu apa-apa dan masih nyenyak dengan kebesaran yang ada. Terlalu pongah.
Akhirnya…
Saat bisu malamamendekati kesempurnaan bulan. Satu nyawa berjalan. Pelan-pelan dengan lumuran dendam miliknya dan sakit luka yang ku tebas tiada ampun tepat di ruang utama jiwanya. Menjadikan ketulusan miliknya dulu pecah berantakan. Hancur. Musnah. Tak tersisa. Menjadi abu dan pupuk bagi dendam yang bertunas. Tumbuh menjadi lebat dan mematikan.
Tak pernah sadar dan masih dalam buaian mimpi. Aku terlelap dalam surgaku sendiri. Tempat kuletakkan letih dan lelah.
Dia mengendap-endap
Menapaki tiap-tiap tangga istana yang kami bangun bersama tapi kutetapkan menjadi milikku seorang. Rupanya dulu aku begitu silau pada kemewahan dan keindahan surge duniawi.
Maka saat dentang waktu berbunyi dua belas kali. Satu nyawa itu telah laekat menatapku yang masih berpelukan erat dengan sang mimpi.
Dia menatapku tajam.
Entah perasaan apa yang dirasakannya tapi kekuatan cinta dan kesucian jiwa miliknya dulu telah membusuk menjadi dendam yang menuntut pembalasan.
Dan dia masih terus menatapku seakan masih tersisa kasih di sudut hatinya yang penuh luka, yang bernanah dan berbau. Tapi rupanya kalah, karena dendam dan rasa sakit pada hatinya telah menjadi semacam wabah yang telah menyerang nalurinya, yang kini telah mengalir dalam merah darahnya dan terserap dalam tiap hembus nafasnya.
Aku terjaga dengan segala keterkejutan begitu mengetahui sang pemilik raga itu ada disini dan tengah menatapku dengan tatapan yang mengerikan.
Tatapan cinta yang sarat luka, yang sepertinya begitu menderita. Sengsara, teraniaya dan terbuang. Dia memeluk ragaku tiba-tiba dengan paksa dan sia-sia semua suara yang keluar dari mulutku, hanya menjadi teriakan bisu di istanaku yang sunyi.
Dia meregutku dalam rasa yang hanya dapat dinikmatinya sendiri. Airmataku… sia-sia saja. Sebab dia telah berubah menjadi daging tubuh tanpa rasa. Tak acuh. Tak pedulikan semua.
Dia sepertinya menyukai tiap kesia-siaan tenaga yang ku gunakan untuk melawan dan meronta. Dia tersenyum untuk setiap bulir air mata yang membasahi mata, pipi dan nyaris wajahku. Dia begitu menikmatinya.
Tak ada yang bisa ku pikirkan lebih buruk dari ini ketika sutra itu terkoyak dan terlepas. Tak membalut ragaku lagi. Dingin. Tanpa suara. Dan tatapan memohonku seolah hanya tatapan anak kucing yang tak bernilai di mata miliknya.
Aku tak kuasa. Aku benar-benar tak sanggup. Saat tempat dimana dia mengecap dan merasakan manis dan pahit telah menjelajahi jasmaniku. Aku kembali mengingat Tuhan setelah sekian lama aku melupakanNya dan terfoya dalam dunia, aku memohon agar ini jangan sampai benar terjadi. Agar ini hanya merupakan mimpi terburuk yang pernah aku alami dan semuanya akan baik-baik saja saat aku terbangun dan membuka mata nanti.
Tapi semuanya tak terbukti. Ini nyata dan sedang terjadi. Aku memejamkan mataku dalam nafas yang kuharapkan saat ini lebih baik tak ada saja. Dan ketidakmampuanku menerima ini akhirnya menghilangkan titik kesadaranku. Masih sempat kulihat tatapan itu.
Nanar penuh luka.
Ketika kudapati lagi warna dan rasa. Aku telah berada dalam keadaan ketika pertama kali aku datang ke dunia ini. Aku menangis tergugu. Aku meraung, menjerit.
Akhiarnya keputusasaan.
Waktu yang bergulir selanjutnya hanya kehampaan bagiku. Aku menatap semua dengan kosong. Tetap berada di tempat semua kehormatanku direnggut. Hanya saja tanpa rasa. Nyaris hilang semua alur hidupku.
Dan yang tertinggal, akhirnya aku tahu mana yang sejati. Dialah nyawa yang mengabaikan dendam dan memilih penerimaan tulus.
Dia merawatku, menemaniku. Meembacakan kisah-kisah untukku. Terus bicara meski aku hanya diam. Dia akan terus bicara. Tentang banyak hal. Tentang hal yang paling sepele, seperti cuaca hari ini, menu sarapan sampai hal yang paling besar seperti proyek yang tengah di tanganinya. Dia akan tertawa, cemberut, marah, berekspresi untuk semua kisah yang dia ceritakan untukku. Dia terus seperti itu sementara aku mematung, tanpa ekspresi dan seperti mati.
Kesabaran, ketulusan yang berlandaskan cinta yang sesungguhnya.
Aku tahu tapi aku diam. Aku bicara dengan kebisuan. Aku tenggelam dalam bayang-bayang ketakutan. Aku tidur dalam tidur yang tak pernah lepas dari mimpi tentang malam terkutuk itu. Terjaga dengan segala teriakan dan air mata yang deras mengalir.
Dan akan selalu kudapati dia di sampingku. Penuh dengan wajah kekhawatiran dan akan langsung memelukku. Menyalurkan ketenangan dan rasa hangat yang kucari. Dia lalu akan memintaku memejamkan mataku lagi. Dia juga tak akan beranjak. Tetap di sampingku sepanjang malam sampai aku benar-benar bisa terlelap lagi.
Masih hidup dalam duniaku sendiri hingga tiba di satu titik dimana aku merasa semuanya seperti berputar lagi ke malam itu. Dimana semua tempat rasanya penuh dengan hawa ketakutan yang merasukiku dengan hebat. Aku seperti kembali melihat tatapan mata penuh dendam dan luka itu.
Aku menjerit, menangis. Begitu ketakutan. Aku berlari sekuat aku bisa. Berharap semua akan tertinggal di belakang ketika aku berlari menjauh tanpa melihat apapun.
Berlari terus tanpa memperdulikan apapun. Berlari keluar dari istanaku untuk pertamakalinya sejak peristiwa itu.
Dan ternyata.. penuh darah dan nyaris mati. Tersentuh oleh besi kemodernan yang berjalan dengan kecepatan begitu tinggi.
Saat ku sadari mungkin kini tiba waktuku, tiba-tiba aku begitu ingin melihat dia yang tulus itu.
Berkilo-kilometer jauhnya dari tempatku terbujur dengan separuh nyawa bersimbah amis darah, dia mendadak menjatuhkan fotoku di atas meja kantornya. Membuat bingkai dan kacanya pecah berantakan bersamaan dengan dering suara telefonnya.
Berpacu bersama takdir dan nasib.
Ternyata Tuhan memberiku waktu lebih dan begitu baik padaku. Setelah entah berapa lama aku melayang dan mengelana dalam alam bawah sadarku, Tuhan maembuatku terjaga.
Tahukah??
Dia yang memiliki ketulusan yang pertama kulihat. Dia tersenyum. Senyum yang benar-benar membuatku merasa aman. Tapi.. entahlah, tiba-tiba keraguan menyeruak. Aku tak tahu siapa dia. Siapa dia? Dan… siapa aku??? Tiba-tiba arsip ingatanku seperti hilang, tak berbekas dan tak bersisa.
Tapi dia masih tersenyum meski sepertinya tahu kalau aku tak tak tau apa-apa.
“Luna…”panggilnya lembut, ”jika Tuhan ingin kau hidup dengan normal lagi seperti dulu dengan menghilangkan semua kenanganmu. Maka aku akan dengan senang hati menorehkan kisah baru yang indah untukmu.”
Meski aku tak tahu apa arti dari ucapannya itu, aku merasa begitu tenang mendengarnya. Dan ada rasa aneh yang menelusup ke dalam hatiku ketika dia memelukku dalam ketidaktahuan yang indah.
Dan entah bagaiman awalnya, tanganku bergerak. Memeluknya juga.
Secarik kertas kecil yang tak pernah tersampaikan.
Luna….maafkan kau. Aku tak pernah benar-benar melakukan itu. Aku bahkan tak pernah berfikir untuk setega itu padamu. Aku cuma belum sanggup menerima semua keputusanmu. Aku benar-benar minta maaf, Luna. Aku tak pernah ingin menyakitimu. Aku mencintaimu, Luna. Aku tak pernah bisa membayangkan untuk bisa hidup tanpa kamu ada di sampingku. Luna, maafkan aku yang telah membuatmu berfikir aku telah merebut kesucian itu. Sungguh Luna, aku belum melakukan itu. Aku tersadar saat aku melihatmu begitu ketakutan melihat apa yang kulakukan. Luna…aku tak akan sanggup melakukan itu padamu. Tapi aku tak punya keberanian untuk mengatakan itu padamu. Aku tak punya keberanian untuk menampakkan wajahku di depanmu.Luna sekali lagi maafkan aku…
Dan hay, sebelah sayap disana! Sudahkah kau sapa sebelah sayapmu disini yg tengah jengah terendam formalin?Dan hay, sebelah sayap! Bawalah aku melangkah, meski pelan ke arahnya. Ke arah malaikat yg menyayangiku sebagai "setannya".
Apa bisa?Dan satu kertas undangan dr teman ini membuatku berpikir lama.Larut pada banyak prtanyaan tentang kenapa.Mereka selama enam tahun dan akhirnya memilih lanjut dan tersenyum bersama. Lalu aku, kenapa rasanya cuma sejenak??Apa dalam rentan waktu ini memang bukan kuasaku. Segalanya terlepas dan memudar sementara aku berusaha mengenggam makin erat.Kenapa harus tidak dan selesai. Kenapa ada "dan"?Padahal baru sekali ini, baru sekali ini aku merasa benar-benar ingin.
Km tau knp aku selalu nampak lebih menginginknmu drpd km mnginginknku? Hnya ada 1 alasan disini, aku terlanjur bertaruh besar pd drku sndri.Bertaruh dengan hujan, dengan pelangi, dengan senja, dengan pohon, dengan embun pagi dan dengan kuncup mawar.Bahwa hanya denganmulah akan kutemukan tujuan keberadaanku yang sebenarnya.Bahwa hanya denganmulah akan kupahami makna tentang bagaimana tulusnya menerima dan memberi.Nah, bukankah itu taruhan yg cukup besar? Jd tidak apa-apakn kalau aku yg trlihat lebih mnginginkanmu, lebih mmbutuhkanmu drpd dirimu sndri.
Seperti bintang, km adalah satu cahaya pribadi milikmu sendiri dan bukan pantulan dr cahaya lain. Kuasa pribadimu, cahayamu. Menyilaukanku.Seperti bintang, aku menikmatimu dalam diam. Dalam dekap kebisuan aku mengamatimu. Memujamu lekat-lekat.Seperti bintang, konstan, angkuh dan tanpa irama. Sulit bagiku mendengar dendang aslimu. Hanya binar cahaya. Tak lebih.Seperti bintang, satu titik. Tinggi. Jauh. Apa bisa ku jangkau kamu?Seperti bintang, satu kenangan. Mencederai malam.Seperti itupula..Seperti bintang yang sempat kita nikmati berdua. Seperti bintang yang menyebar di bawah pandangan kita.Seperti kita..
Wanita yang sedang jatuh cinta adalah wanita dengan segala rasa dalam satu bentuk. Semuanya ada. Perasaan bahagia, perasaan sedih, perasaan kecewa, dan entah perasaan apa lagi. Tapi ada satu perasaan yang paling nyata dan paling sering di alami ketika seorang wanita sedang jatuh cinta. Itulah sebuah perasaan yang membuat kita sulit menerjamahkan apa dan bagaimana. Cemburu, seperti itulah kerap kali orang lain menyebutnya. Cem-bu-ru , aku mengeja kata itu dan mengecap rasa pahit yang berbaur dalam lelagu kata itu. Mantrakah? tapi aku tahu dengan pasti bahwa aku tidak menyukai perasaan ini. Wanita yang sedang jatuh cinta. Aku. Aku seorang wanita yang sedang jatuh cinta. Dan perasaan ini, cemburu, aku benci. Cobalah bayangkan bagaimana tidak enaknya melihat orang yang kau sukai dekat dengan orang lain. Seringkali, meski aku tahu mereka mungkin tidak ada apa-apa. Aku tetap merasa benci melihatnya. Aku tetap tidak suka. Menyakiti diri sendiri saja jika begitu sering memikirkannya. Kadang tulisan bahkan bisa dengan sangat kuat menyiksaku dengan kecemburuan yang berlebihan. Apakah kiranya ini?? Apa karena perasaan cintaku juga demikian besar sehingga resiko yang kuhadapi juga begini besar. Ah, aku tidak suka jatuh cinta kalau begitu. Sudah cukup sulit dengan semua ini dan aku masih harus dipaksa mengecap cemburu. Betapa tidak beruntungnya aku karena perasaan cinta ini. Sulit sekali rasanya bernafas dalam lingkup perasaan cemburu. Kadang aku merasa kalau oksigen di sekelilingku mendadak berkurang begitu banyak sampai aku terengah-engah mencari oksigen yang tersisa. Perasaan cemburu itu amarah. Amarah karena suatu bentuk ketidakrelaan yang nyata. ketidakrelaan melihat orang yang kau cintai bersama orang lain.
THE LADY OF MIRKWOOD
The dream catcher who belong to The Lord of Mirkwood. Don't hesitate to come for say a small "hello!"
Formulir Kontak
POPULAR POSTS
Categories
- 30-Day Writing Challenge 4
- AUPAIR 2
- Cerpen 25
- Impian 6
- Ini Curhat 11
- Jejak R & D 2
- Kisah di Austria 7
- Kisah di Jerman 7
- Kisah Tak Sempurna 8
- Kumpulan Twitt 19
- Malaikat Hujan 7
- Puisi 18
- Random Thoughts 23
- Reading Link 2
- Untaian Kata 32
- Untuk Senpai 52
- Untuk SID 7
- Visa Jerman 3
- WritingChallenge 4
Blog Archive
-
2023
(17)
-
Mei
(17)
- Prioritasmu
- Untukmu
- Salju di Bulan April
- Nadamu
- Ketika
- Jangan Jatuh Cinta Lagi
- Movin' On
- Aku
- Pembencimu
- Yang Diingatkan Oleh Rindu
- How to Have a Long and Happy Relationship?
- Cerita Tentang Anggarra
- I Ever Met A Man
- Dia Suka Perempuan Berambut Panjang
- Berdamai Dengan Masa Lalu
- Sleep Paralysis
- Sang Pemimpi
-
Mei
(17)
-
2013
(25)
- Desember (3)
- November (3)
- Oktober (2)
- September (1)
- Juli (1)
- Juni (2)
- Mei (1)
- April (7)
- Maret (5)