Semalam, aku memimpikan seseorang yang sudah bertahun-tahun tidak pernah aku lihat. Seseorang yang menjadi pujaan hatiku ketika aku masih sangat belia. Aku tidak tahu kenapa aku mendadak memimpikannya. Tapi kupikir itu tidak masalah karena dengan mendapat mimpi itu, hari ini aku mengingat banyak hal indah yang membuatku tersenyum. Sebuah kisah tentang suka pertama. Kali pertama aku menyukai seorang cowok. Dan aku ingin membagi kisah ini di sini.
Dalam mimpiku, aku melihat dia dan aku berteriak, “Ya ampun, sudah lama banget ngga ketemu!” lalu aku peluk dia dan dengan iseng mencium bibirnya selintas. Astaga, serius.. cuma selintas dan dia bengong lalu aku tertawa terbahak. Setelahnya berbisik dengan teman di sampingku, “Mumpung ada kesempatan.”. Sungguh, aku tidak tahu aku bisa seliar itu. 🙂
Dia, sebut saja D—bukan Mr.D seperti yang di Percy Jackson ya—adalah teman sekelasku ketika aku berada di tingkat pertama sekolah menengah pertama. D ganteng dengan rambutnya yang lucu. Aku punya julukan untuknya dulu. Landak Jawa Jambul Hitam Hahahha, aku suka sekali julukan itu. Cocok untuknya dengan rambutnya yang hitam dan sedikit jabrik.
D adalah tipe anak yang sekali kau lihat, kau akan langsung tahu kalau dia adalah bagian dari geng anak-anak nakal. Well, tidak menyalahkan. Sebab itu memang benar. Sementara aku, si nerd, juara kelas—hahaha sombong—gendut, ngga populer dan pokoknya tipe yang ngga banget deh. Tapi karena aku pinter, aku jadi bisa deket dengan D. Selain karena D butuh aku buat nyontek pe-er atau tugas, D juga naksir teman sebangkuku dulu. Sadis ngga? Aslinya, bagiku dulu ngga. Aku ngga peduli D naksir siapa. Soalnya waktu itu rasa suka yang kumiliki buat D, bukan rasa suka yang menuntut. Aku cuma suka melihat D setiap hari. D yang tertawa, D yang mengisengi teman-teman sekelas. D yang ini, D yang itu. Intinya aku suka D. Semua yang ada di D. Tidak peduli itu baik atau jelek. Aku suka.
Cara D tertawa adalah sesuatu yang bisa kuingat sampai sekarang. Ketika D tertawa, D akan terlihat sangat-sangat-sangat-sangat tampan di mataku. Menurutku, di angkatanku dulu, D yang paling tampan. Hahahha. Semoga D ngga baca postingan ini deh, bisa-bisa D besar kepala. Gambar Hati di kertas itu digambar oleh D di buku tulisku yang dipinjamnya. Aku masih simpan sampai sekarang.
Kalian yang mengenalku, yang membaca cerita non-fantasiku pasti tahukan kalau banyak ceritaku berhubungan dengan hujan. Sebab aku suka hujan. Dan aku suka hujan karena D. Pernah suatu ketika, karena hujan turun sangat lebat—dan mungkin guru kami sedang malas mengajar—kami punya jam kosong yang panjang. Beberapa anak berdiri di teras depan kelas kami. Salah satunya D. Dan karena D itu isengnya setengah mampus, dengan tangkupan tangan yang terpenuhi air dari tetesan hujan yang jatuh dari genteng kelas, D menyiprat-cipratkan semua air itu kepada anak-anak lain—salah satunya aku—dan D terlihat sangat bahagia ketika melakukannya.
Kalau kuingat, mungkin ketika itu aku ngomel-ngomel tidak karuan karena D membuat seragamku basah. Tapi ada sebuah momen yang membuat aku menatapnya tak berkedip ketika itu. D yang berlarian seperti orang kesurupan, dengan backgroundhujan dan tawanya yang berdera-derai karena dia sukses mengisengi banyak anak. Ketika itu, aku terpaku. Aku ingin melukis momentum ini selamanya. Dan hujan adalah bagian yang paling tepat untuk membuat ingatan itu selaksa prasasti di kepalaku. D serupa malaikat. Well, jika kau tanya teman seangkatanku dulu tentang D, dan apakah D memang punya tampang malaikat jawabannya jelas engga. D itu iblis, buat mereka.
Ada masa juga dimana aku punya kenangan lima belas menit—mungkin kurang—yang tak pernah bisa kuhapus sampai sekarang. Suatu sore, entah kenapa ketika itu aku masih ada di sekolah, begitu juga D. Kami bisa berakhir dengan bermain basket berdua. Berdua. Sungguh. Jika ada yang bertanya, selama tiga tahun masa-masa sekolahku di sana, momen apa yang paling berkesan. Jelas momen ini. Kalau tidak salah, dulu menjelang acara perpisahan. Detail lebihnya aku tidak ingat. Hanya tahu, aku dan D bermain basket berdua. Hanya itu dan sudah cukup. Lagipula, aku bahkan tak yakin D ingat semua yang kutulis sekarang ini. Aku tak pernah tahu kabarnya sejak aku lulus dari sekolah menengah pertama. Mungkin saja, D bahkan sudah menikah dan punya anak sekarang.
Tapi seperti yang kubilang sebelumnya, tak apa. Rasa sukaku pada D bukan rasa suka seperti yang dikeluhkan MCR : Love is so demanding. Aku tulus dan aku tidak pernah berharap bahkan untuk sekedar membuatnya tahu bahwa aku menyukainya. Tiga tahun dan aku bertahan dengan hanya memiliki dia sebagai satu-satunya cowok yang membuatku tertarik. Aku juga tidak merasa sakit hati ketika tahu dia punya pacar atau naksir perempuan lain. Lagipula, nyaris semua temanku—kecuali tiga sahabatku di kelas delapan—mengira bahwa aku naksir cowok lain. Anak OSIS, pinter, punya obsesi di bidang Pramuka dkk. Tapi sebenarnya aku sama sekali ngga naksir cowok itu. Aku suka D. Aku naksir dia setengah mati. Tapi aku juga ngga pernah berusaha mengenyahkan pendapat teman-temanku yang lain, toh itu menguntungkanku. Jadi aku tetap bisa jatuh suka diam-diam dengan D.
Lagipula, apa yang kuharapkan? D yang ganteng dan badboy itu naksir aku juga? Well, aku tahu diri ketika itu. Kelebihanku cuma pinter dan anak es-em-pe zaman dulu lebih memilih apa yang bisa dilihat pakai mata daripada apa yang ada di dalam otak. Fisikku jelas langsung masuk daftar coret cewek idaman. Aku item, gendut, ngga modis, rambut ikal—sebagian besar masih sama sampai sekarang. Hahhaha—anak sepu-sepu (sekolah pulang sekolah pulang). Tongkrongan paling banterku ketika itu cuma warung bakso bapakku di depan sekolah. Lengkap sudah.
Ah D. Tapi aku ngga pernah menyesal. Sungguh. Menyukai D mengajariku banyak hal. Banyak sekali. D mungkin ngga menyadarinya tapi aku sungguh beruntung bisa jatuh suka dengannya. Tiga tahun. Tak satu hari pun aku berpaling darinya. Tiga tahun, dan hanya dengan menyukainya dalam diam. Aku puas.
Seringkali sekarang, aku berpikir kenapa aku ngga bisa seperti itu lagi. Berpikir sederhana dan menikmati setiap hari yang ada. Jika bisa, aku pasti jauh lebih bahagia. Itulah negatifnya menjadi dewasa. Seperti tumbuhan yang bertumbuh. Semakin berakar banyak, semakin punya cabang-cabang dan daun-daun yang berebutan tumbuh anyar. Seringkali, menjadi satu tunas kecil terasa jauh jauh jauh dan jauh lebih baik. Dan aku rindu itu.
Ah ya sudahlah, inilah siklus hidup. Mau tidak mau kita harus menjalaninya. Hanya saja, mengingat ke belakang bisa menjadi penawar yang baik. Sepertinya itu saja kali ini pikiran tak beraturan yang ingin kubagi denganmu. Tentang suka pertamaku. Jika aku punya sesuatu yang membuatku mengingat lagi, mungkin saja aku akan membagi kisahku tentang sayang pertamaku dan cinta pertamaku. Semoga kau tidak bosan membacanya.
Astaga iya.. dan kau.. bagaimana suka pertamamu? Apa kau masih ingat??