Untukmu,
Tak bisa lagi kukatakan aku mencintaimu, seperti ketika aku di dekatmu dulu. Tak bisa lagi kutatap dalam hening dua kelopak matamu yang terpejam itu. Tak bisa lagi..
Kita berjanji dalam bisu bahwa kita akan saling meninggalkan. Kita lelah, kau dan aku menyerah. Kita berdarah dalam luka yang tersembunyi dalam diam.
Aku mencintaimu, cukup dalam hingga mampu membuatku melarikan diri hingga sejauh ini. Aku mencintaimu, terlalu dalam hingga sampai sekarang aku bisa diam-diam menangisi semua tentang kita.
Dulu kupikir hanya aku yang terluka. Dulu kusangka, kau hanya antagonis yang kejamnya tak terbatas. Tapi sangkaku mungkin keliru. Kau jahat, memang. Tapi kau juga sama terluka. Kau diam dalam jutaan pikiran dalam sorak kepalamu. Kau hanya diam, memendam semua, sementara aku berteriak, meraung, meratapi rasa sakitku karenamu.
Kau membiarkanku menyalahkanmu. Kau membiarkanku tersesat dalam lukaku sendiri. Kau membiarkanku berpikir kau yang terburuk dari tumpukan dosa yang kuperbuat.
Kau membiarkanku..
Selama ini aku tak tahu bahwa itu caramu memperlakukan dunia. Kau diam. Kau bungkam. Kau pengecut. Tak sekalipun kau biarkan aku dan dunia tahu apa yang benar ada di hati dan kepalamu. Kau menyayangiku. Kau mencintaiku. Meski tak sebesar milikku, kau jelas memilikinya. Tapi tetap saja kau biarkan aku memakimu dalam ratap kesakitanku.
Ah, kau..
Tidakkah caramu mencintaiku terlalu kejam? Tak bisakah kita bercinta secara normal? Saling mencintai seperti yang biasa dilakukan yang lainnya.
Aku dulu juga ingin kau gandeng ketika kita berjalan bersama. Aku dulu juga ingin mengobrol banyak di luang kita. Aku dulu..
Ah sial, maaf. Terlalu banyak ya?
Maafkan aku.
Kau, baik-baik di sana, kan?
Mitterfeld, 31 Mei 2017
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.