Namanya Anggarra Yudha Pradytama Putra.
Aku tidak pernah ingat tepatnya kapan aku mengenalnya, yang kuingat hanya ketika itu hujan dan salah satu temanku akhirnya terpaksa mengenalkan dia padaku agar tidak ada suasana canggung diantara kami yang cuma duduk bertiga di halte, menunggu hujan reda.
Aku masih ingat bagaimana dia menjabat tanganku dengan dingin dan tidak ramah. Untungnya suasana hatiku sedang baik hari itu sehingga aku tidak sebal dengan tingkah soknya dan malah mencandainya dengan guyonan-guyonan garing yang membuat temanku yang lain terbahak karena menganggapku bodoh sekali. Sementara aku melirik Anggarra, dan melihat senyum tipisnya. Tawaku pecah, tidak tahu kenapa. Tapi aku senang saja. Dan begitulah, diantara cipratan hujan di halte di dekat sekolahku, aku pertama kali mengenalnya.
Pertemuan-pertemuan kami selanjutnya berjalan biasa. Dia teman teamanku. Tak punya banyak teman lain karena dia anak pindahan baru dari Bandung di sekolah temanku itu. Ketika itu, aku selalu bertanya-tanya tentang kenapa dia mau-maunya pindah ke kota kecil ini dari kota sebagus dan sebesar Bandung. Tapi pertanyaan itu pada akhirnya terjawab di masa nanti, dan aku tidak pernah penasaran lagi.
Aku tidak tahu apa yang menjadi sebab utamanya, namun aku dan Anggarra menjadi lebih dekat. Aku suka berbincang dengannya karena dia adalah pendengar yang baik, dan aku juga suka mendengar Anggarra bicara karena logat Bandungnya selalu enak masuk kupingku. Kami sering kemana-kemana berdua. Dia mengajakku ke tempat-tempat makan terpencil yang aku—sebagai orang asli kota ini—tidak tahu.
Minggu-minggu berjalan dan temannya makin banyak. Tapi aku dan dia juga menjadi lebih dekat. Aku tidak pernah menyeritakan kepada sahabat-sahabatku tentang dia karena kupikir tidak ada yang special diantara aku dan Anggarra. Kami teman. Itu saja pikiranku ketika itu.
Namun pada suatu hari, di halte yang sama ketika kami berkenalan—meski tanpa hujan—mendadak dia mengenggam satu tanganku erat. Aku menoleh sekilas, tapi dia malah asyik menatap lalu lintas ramai di depan kami dan aku hanya merasakan genggaman tangannya yang semakin erat.
Tidak pernah ada kalimat apakah kamu mau jadi pacarku atau kalimat-kalimat normal lain yang biasanya kudengar ketika sahabat-sahabatku bercerita tentang bagaimana awal mereka pacaran. Hanya sebuah genggaman tangan dan hening kami berdua diantara ramai suara knalpot kendaraan-kendaraan di jalan raya di depan kami. Butuh hampir sepuluh menit bagiku untuk menggenggam tangannya juga. Tapi ketika aku melakukannya, dia menoleh, menatapku lembut dan tersenyum. Senyum bahagia yang tulus dan aku sadar aku pasti nampak merona merah ketika itu.
Dan sejak saat itu, kami berdua bersama dan menjadi semakin dan semakin dekat. Aku menyayanginya dan dia tulus pada semua hal yang dikatakan dan dilakukannya untukku. Aku bercerita padanya semua hal yang ada di hidupku. Tapi aku tidak pernah bertanya apapun padanya. Mungkin ini bagian egoisnya aku, tapi karena Anggarra tidak pernah protes, kurasa semuanya baik-baik saja.
Tapi rupanya, aku yang tidak peka. Dia bukannya tidak pernah ingin mengatakan padaku semua tentang kehidupannya seperti yang selalu kulakukan selama ini, tapi dia menunggu. Anggarra menunggu dan melihat, memastikan bahwa aku adalah orang yang tepat yang pertama kali akan mendengar ini darinya. Bahwa aku orang yang tidak akan meninggalkannya begitu saja ketika dia selesai mengatakan semua itu padaku.
“Ree, aku pengen ngomong sesuatu..” ucapnya suatu sore. Ree adalah nama panggilannya untukku. Dan aku biasanya memanggilnya Garra, alih-alih Angga seperti yang diucapkan semua teman dan keluarganya.
“Ngomong apa, serius amat wajahnya?”
Dan kemudian, rangkai demi rangkai kalimat yang keluar dari mulutnya membuatku terdiam. Tapi beberapa saat setelah dia selesai, aku tersenyum, separuh tertawa sebenarnya.
“Itu aja?” tanyaku dengan wajah polos, “Kirain ngomong apa? Ternyata cuma itu.”
Keningnya berkerut dalam, “Kamu ngga komentar apapun?”
Aku menyatukan tangannya dan menepuknya pelan, “Yang pentingkan kamu yang sekarang. Bukan kamu yang dulu. Garra yang pacarku kan yang sekarang ada di depanku. Bukan yang dulu masuk rumah sakit dan hampir mati gara-gara overdosis narkoba, kan?”
Dia tidak mengucapkan apapun dan hanya meraihku cepat dalam pelukannya. Terima kasih, Ree adalah satu-satunya kalimatnya yang bisa kudengar setelah itu. Sejujurnya, aku juga bingung ketika itu. Tapi semua yang kukatakan padanya bukanlah kebohongan. Aku tidak pernah mempermasalahkan masa lalunya. Dan dari ceritanya di sore itu, terjawab sudah pertanyaan pertamaku tentang kenapa dia mau-maunya pindah ke kota kecil ini.
Narkoba. Overdosis. Panti Rehabilitasi. Dokter Psikologis.
Anggarraku ternyata sudah melewati banyak hal lebih daripada yang pernah kudengar dari semua temanku. Dan sejak sore itu, aku mendengar lebih dan lebih lagi. Segala alasan di balik semua sikapnya yang kadang arogan dan kasar pada teman-temannya. Segala sebab kenapa narkoba dulu menjadi sahabat karibnya lebih dari keluarganya sendiri. Segala tanyaku lenyap karena sejak sore itu, dia bicara dan bercerita lebih banyak daripada yang kuceritakannya padanya.
Dan respectku padanya semakin kental. Anggarraku adalah orang hebat dan sekaligus bodoh. Bodoh karena ya, entahlah, aku hanya suka saja menganggap dia bodoh karena kadang-kadang di sela-sela ceritanya, aku bisa memukul kepalanya dengan sebal dan berteriak, “Kamu ngapain coba kayak gitu?”
Kami berdua berjalan semakin rapat dan dia mencintaiku semakin banyak. Tapi hubungan kami bukannya hubungan ala negeri dongeng yang cuma bahagia saja. Kami bertengkar. Kami menggerutu. Tidak bicara. Saling memunggungi satu sama lain. Dan ya, kami pasangan normal.
Aku yang kekanak-kanakan dan Anggarra yang selalu mengalah untukku. Apapun masalah dan pertengkaran yang terjadi. Yang kadang bisa berakhir dengan tidak saling sapa, akan selalu berakhir dengan dia yang menungguku tak jauh dari gerbang sekolahku. Anggarra selalu yang mengucapkan maaf dan bukannya aku, meskipun seringnya akulah penyebab segala pertengkaran itu.
Kalian tahu kenapa? Karena aku menyayangi dia, tapi dia mencintaiku.
Nyaris semua teman-temannya bilang kalau kadang aku keterlaluan. Tapi aku tidak pernah mendengar mereka. Anggarra tidak pernah protes jadi kenapa mereka yang protes. Apakah kami pernah putus? Sering. Dan nyaris sembilan puluh persen aku yang meminta putus darinya, namun Anggarralah yang seratus persen meminta menjadi kami—aku dan dia—lagi, bukannya hanya aku atau hanya dia.
Dia laki-laki baik. Dan aku? Bisa kukatakan aku brengsek padanya. Aku menyayanginya, namun tidak sebesar dia mencintaiku. Aku menyayanginya, tapi tidak cukup kuat untuk membuatku selalu menomersatukan dia diantara semua kegiatan dan teman-temanku lainnya. Aku jujur menyayanginya, tapi aku tidak mau membiarkan kebahagiaan masa SMA-ku berakhir dengan hanya lingkaran dengannya saja. Aku menyayanginya, dan jujur selalu seperti itu meski tidak bisa membuatnya menjadi satu-satunya bagiku.
Tapi di luar itu semua, aku selalu bersyukur aku punya dia, dan juga keluarganya. Anggarra mengenalkanku pada keluarganya, tentu saja. Ibunya—yang dia dan adik laki-lakinya panggil dengan sebutan bu Eka—dan Doni, adik laki-laki semata wayangnya. Pertama bertemu bu Eka, aku malah mengira perempuan sunda ini adalah orang solo karena tingkah dan ucapan bu Eka yang terlampau lembut dan kalem. Aku tidak menyangka perempuan seperti itu akan punya dua begundal yang super duper aktif dalam dunia kenakalan remaja. Jika Anggarra selepas narkoba, masih tidak bisa keluar dari dunia balap motor liarnya, maka Doni sama saja.
Aku pernah menemukan tumpukan surat teguran dari sekolahnya dengan alasan rupa-rupa. Kebanyakan boloslah, ketahuan ngerokok di kantin sekolah, sampai teguran karena keseringan tertidur di jam pelajaran. Aku hanya geleng-geleng kepala. Tapi seberapa pun nakalnya Doni, dia akan mendengarkan apa yang diucapkan Anggarra lebih dari apa yang diucapkan bu Eka sendiri. Aku melihat itu secara nyata dan ketika kukatakan protes kepadanya, dia hanya menyipitkan matanya.
“Mama aja ngga protes, mbak Ree kok heboh sih.”
Aku mengumpat pelan dan berakhir dengan kikikan rendah ketika Anggarra melempar satu bantal kursi yang paling keras ke Doni yang mendarat tepat di mukanya.
“Kalau ngomong sama Ree yang sopan.”
Satu acungan jempolku teracung pada Anggarra yang berjalan lewat dekat Doni sebelum duduk merapat di sampingku. Bu Eka yang datang dengan senampan buah dan empat gelas jus jeruk tertawa melihat apa yang kami bertiga lakukan sementara Doni masih bersungut-sungut sambil mengusap wajahnya.
Aku masih tertawa, bersyukur berada dan diterima di sini.
Terima kasih ya, Ree. Karena kamu Angga bisa menjalani hidup normalnya lagi, adalah dua kalimat dari bu Eka yang selalu membuatku merasa bahagia dan berguna di lingakaran kecil mereka
Mantan abang itu cantik-cantik dan badannya bagus, cuma mbak Ree aja yang ngga cantik. Gendut lagi. Tapi kok ya abang demen banget, adalah komentar Doni yang paling kuingat dan membuatku dan Anggarra terpingkal-pingkal.
Ah, aku menyayangi keluarga kecil ini. Seburuk apapun sebenarnya masalah yang mereka hadapi—dan aku tahu itu—mereka tidak pernah menyerah dan selalu memiliki satu sama lain. Dulu, aku selalu berharap aku bisa benar-benar menjadi bagian dari keluarga ini. Dulu..
Ya dulu, kukatakan dulu karena pada akhirnya aku tidak bisa menjadi perempuan milik Anggarra. Aku tidak bisa membuatnya selalu menanggung semua sisi egoisku. Mungkin karena aku tahu dia mencintaiku dengan begitu banyak, aku jadi bersikap jahat dan semena-mena padanya. Tidak bisa kukatakan apa saja, tapi kata brengsek bahkan tidak akan bisa cukup mengantikan bagaimana buruknya sikapku pada Anggarra di masa depan.
Kelas dua, kelas tiga, setahun di Malang dan meskipun putus nyambung, aku masih bisa menjadi perempuannya. Ketika aku kuliah di salah satu universitas negeri di Malang dan Anggarra mengambil study di Surabaya, kami masih bisa dikatakan sebagai pasangan.
Long distance relationship?
Aku menggeleng pasti. Tidak. Sebab kapan pun kukatakan aku merindukannya. Kapan pun kukatakan, ayo ketemu. Kapan pun kukatakan, kamu ngga pengen ngajak aku jalan apa. Beberapa jam, dan si bapak kosan akan mengetuk pintu kamarku dan bilang, “Mbak, ada temennya nunggu di depan.”. Dan, begitu aku keluar, akan ada cengiran bodoh Anggarra di sana.
Tapi aku tidak pernah merasa apa yang dilakukannya cukup. Jarak Surabaya Malang ternyata mampu membuatku melirik sosok lain. Pertama kali dalam hidupku, aku memutuskan mengambil level yang lebih berani dalam hubunganku dengan Anggarra, perselingkuhan. Aku punya laki-laki lain.
Dan itu tak lama.
Sebab akibatnya adalah kemarahan Anggarra yang pertama dan terakhir yang pernah kulihat. Sudahkah kubilang dia punya temperamen yang buruk? Dulu kalau seandainya kami bertengkar, aku tidak akan pernah mau dibonceng motor olehnya. Karena itu sama aja nyari mati. Dia akan melajukan motornya seperti orang gila. Dan kecepatan tinggi untuk orang yang takut kecepatan seperti aku? Ngga, makasih.
Hanya saja. Malam itu berbeda. Dia tidak memintaku naik ke motornya. Dia hanya menatapku lama. Tidak mengatakan apapun dan hanya membanting keras helmnya hingga kaca helmnya pecah berantakan. Sebuah helaan nafas yang panjang dan aku tahu dia sedang berusaha menahan dirinya agak tidak membentakku.
Aku mengusap wajahku dengan lelah dan duduk berjongkok, “Kita sudahi saja, bang.” Sejak di Malang, aku selalu memanggilnya dengan panggilan abang. Seperti cara Doni dan bu Eka memanggilnya.
Dia masih diam. Lalu tanpa mengucapkan apapun lagi, langsung naik ke motornya dan melaju meninggalkanku bersama helm pecahnya yang tergeletak tak jauh dariku. Malam itu aku menangis, menangis untuk pertama kalinya ketika bersamanya. Meski aku tidak tahu kenapa, aku menangis sampai pagi datang.
Diam berhari-hari dan di hari kelima belas, dia muncul di depan kosanku dengan sebuah Teddy Bear warna biru terang.
“Buat Ree,” katanya cepat, “Maaf ya, malam itu ninggalin kamu sembarangan di jalan.”
Maaf ya, malam itu ninggalin kamu sembarangan di jalan.
Aku menghela nafas panjang. Terulang lagi bukan? Siapa yang bersalah dan siapa yang lebih dulu mengucapkan kata maaf. Lalu aku mendorong Teddy Bear biru yang diulurkannya padaku, “Aku ngga suka Teddy Bear biru, bang. Yang coklat saja. Ngga mau yang ini.”
Dia nampak mau protes, tapi akhirnya mengangguk, “Maaf aku lupa kamu ngga suka Teddy Bear warna biru. Ya udah biar aku tuker ke warna coklat kapan-kapan, ngga apa-apa, ya?”
Aku mengangguk, “Lapar ngga? Cari makan yuk.”
Lalu begitu saja, kami kembali bersama. Tak kurang ratusan cacian teman-temannya di belakangku yang kudengar secara langsung maupun tidak langsung. Tapi aku selalu tidak peduli. Tidak pernah peduli sejak dulu.
Tapi kebanyakan orang bilang, apa yang kamu tuai itulah yang kamu panen. Dan aku akan mengerti tentang makna kalimat ini suatu saat nanti. Suatu saat ketika karma sikapku pada Anggarra menyapaku pelan-pelan dalam bentuk yang orang sebut cinta. Nanti, ada waktunya sendiri aku akan menangis dan memohon maaf padanya.
Satu tahun kami di Malang berakhir dengan banyak sekali kejadian. Tak cukup sekali dua kali putus dan akhirnya nyambung lagi. Tak cukup sekali dua kali bertengkar hebat dan akhirnya keluar gandengan lagi. Lalu sebelum akhirnya aku pindah ke Surabaya, aku mengambil sebuah sikap.
Satu kejadian, satu cerita panjang dan kuputuskan aku tidak bisa seperti ini terus bersamanya. Aku menyerah. Jika bersamaku, dia hanya akan menjadi pecundang di balik perempuan egois dan tolol sepertiku. Jika terus bersamaku, aku hanya akan berkembang menjadi perempuan yang semakin dan semakin jahat padanya. Aku tidak boleh hanya bersenang-senang dan terus saja memanfaatkan perasaan tulusnya padaku.
Lalu di satu hari di penghujung musim penghujan ketika hujan sedang turun deras-derasnya di Malang, aku mengakhir hubungi percintaan kami. Diantara deras hujan, aku memeluknya erat sebelum meninggalkannya.
“Kita tidak akan pernah menemukan satu titik yang sama, abang.”
Dia protes. Dia menyangkal. Dan aku hanya bisa mengulang kata maaf dan gelenggan tertahan. Kami diam cukup lama. Lalu dia mengenggam tanganku dan memintaku menatapnya. Tepat di bola matanya yang berkaca-kaca, bisa kulihat seberapa dalam selama ini aku sudah merusak hatinya. Aku tahu aku sudah mengambil keputusan yang tepat.
Aku membiarkannya mengecupku. Aku membiarkannya mengecupku lama. Kecupan yang basah karena aku menangis. Karena dia menangis. Pertama kalinya. Pertama kalinya dan dia menangis. Kurasa dia tahu, dia tahu bahwa esok mungkin saja tidak akan pernah ada kata kami dalam konteks cinta lagi.
Aku meninggalkannya...
Tapi dia tidak pernah meninggalkanku. Anggarra selalu ada di kehidupanku. Aku meninggalkannya sebagai seorang perempuan. Bukan sebagai seorang adik dan sahabat. Bagiku dia adalah abang dan sahabat terbaikku sepanjang masa. Dia akan selalu punya aku jika dia ingin menyeritakan apapun padaku. Dia akan selalu punya aku kapan pun dia membutuhkanku sebagai adik dan sahabatnya.
Dia tahu, seberapa keras pun dia membuatku kembali padanya sebagai kekasihnya, aku tidak akan bisa. Ada dinding-dinding tinggi yang terlambat kusadari yang rupanya ada diantara kami berdua. Dinding-dinding lain di luar rumitnya hubungan percintaan kami sendiri.
Jika hubungan seperti yang kami punya adalah hubungan yang akhirnya berujung pada pernikahan. Sementara penikahan sendiri tidak hanya menyatukan kami berdua, tapi juga dua keluarga besar kami, maka aku semakin tahu bahwa keluarga besarnya tak akan pernah bisa menerimaku. Restu dan cinta bu Eka dan Doni saja tidak akan cukup untuk mendobrak dinding-dinding itu. Salahku yang terlambat mengetahui fakta ini.
Maka aku meninggalkannya.. aku telah meninggalkannya sebagai perempuannya.
Aku tidak pernah lagi melihat Anggarra sebagai laki-laki sejak kecupan terakhir kami. Seperti kukatakan sebelumnya, Anggarra akhirnya hanya punya dua tempat di depanku sekarang. Sebagai seorang abang dan sahabat terbaikku. Yang terbaik yang pernah ada dalam kehidupanku.
Surabaya, 23 April 2016
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.