Memberi Makan Jiwa

Jadi, aku mau menulis lagi. Susah memang rasanya percaya karena entah sudah berapa kali aku tulis tentang hal ini di sini. Namun, pada kenyataannya aku hanya kembali sejenak dan menghilang lagi entah kemana. Tanpa kabar. Tanpa sua.

Akhir-akhir ini aku merasa ada yang tidak pas. Hidup rasanya membosankan dan aku kehilangan gairah untuk melakukan apapun. Semuanya abu-abu. Tidak ada yang berwarna dan terasa mati rasa. Cinta ya begitulah. Kerja ya beginilah. Hidup hanya rutinitas. Aku hidup bagai robot. 

Lalu tadi pagi, tepat pukul enam, aku mulai berpikir bahwa ini tidak boleh berlanjut. Aku masih hidup. Aku seharusnya menikmati hidup itu sendiri. Aku seharusnya merayakan hidup itu. Bukan malah menjadi manusia mesin secara perlahan. Kemudian kuputuskan beranjak, mencari dalam diriku tentang apa yang salah sejauh ini, atau apa yang mungkin bisa ku perbaiki agar semuanya menjadi normal menurut standarku.

Hidupku sepertinya baik-baik saja. Aku punya pekerjaan tetap, tempat tinggal dan semua asuransi yang akan melindungiku jika terjadi apa-apa. Aku bisa pergi liburan, makan di restoran atau bahkan membeli sesuatu yang aku suka di Amazon, atau aplikasi belanja lainnya. Aku punya pacar, yang bisa kuajak berbagi masalah dan cerita. Lalu apa yang membuat hidupku sebelumnya terasa membosankan dan hanya itu-itu saja?

Aku lama berpikir, sampai akhirnya aku menyadari bahwa masalahnya ada pada energi di dalam diriku, pada jiwaku. Aku memberi makan fisikku, tapi membiarkan jiwaku kelaparan hingga busung lapar. Aku belanja banyak hal untuk memenuhi kebutuhan jasmaniku tapi rohaniku seperti rakyat terlantar. Ah, Ria, sungguh bodoh.

Kemudian, pelan-pelan kucari apa yang bisa membantuku dalam hal ini. Kutelusuri ke belakang ketika aku bisa merasa jiwaku penuh dan bahagia. Dan, akhirnya aku sadar bahwa aku sudah lama tidak membaca, aku sudah lama tidak berkomunikasi dengan diriku sendiri. Aku sibuk main telepon, nonton Netflix, Hahahihi keluyuran, tapi kubiarkan sepi pada diriku sendiri hidup subur.

Dulu aku menulis untuk berkomunikasi dengan jiwaku. Dulu aku menulis untuk membiarkan sesak patah hatiku sembuh lewat kata. Dulu aku menulis, untuk tahu dan mengenal aku sendiri. Menjabat batinku lewat tulisan agar aku sendiri bisa membacanya, membaca diriku sendiri. 

Jadi disinilah aku sekarang, mulai menulis. Tapi kemudian aku tidak tahu apa yang harus kutulis. Aku butuh sesuatu untuk bisa membuatku tetap menulis. Aku butuh sesuatu agar aku bisa tetap pada jalurku dan tidak tiba-tiba lenyap seperti yang dulu-dulu. Kemudian kutemukan tentang the 30-Day Writing Challenge. Mungkin ini bisa jadi semacam draft, semacam acuan, semacam peta jalan agar aku tetap berprinsip. 

Aku menemukan banyak draft yang bisa diambil di internet dan digunakan dengan bebas. Aku mengamati satu persatu dan mencari apa yang mungkin bisa menjadi pertolongan pertama bagiku dan akhirnya aku memilih ini ;

 

Semoga aku bisa menyelesaikan semuanya. Tidak boleh skip supaya aku bisa tahu seperti apa efeknya pada jiwaku. Jika benar berhasil dan aku bahagia, mungkin akhirnya aku bisa kembali menulis dengan bebas seperti aku yang dulu. Karena ketika aku akhirnya bisa kembali pada posisi itu, aku bisa membebaskan imajinasiku dan kembali menjadi si Amouraxexa, nama pena yang kugunakan untuk menamai dia yang berhasil menuang kegilaan isi kepadaku dalam cerita-cerita di sini.

Terima kasih, jiwa. Lihat ini aku berusaha. Semoga semesta melindungimu dan membahagiakanmu. 

Love,

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.