Neuschwanstein Di Suatu Senja

"Aku bosan di München. Jalan-jalan yuk.” ucapku di suatu senja pada pacarku yang akhirnya membawa kami berdua di salah satu destinasi pilihan para wisatawan luar negeri yang datang ke München. Apalagi kalau bukan si cantik nan menawan, kastil Neuschwanstein.

Kastil cantik ini memang terletak tak jauh dari München, ibukota Bundesland Bayern di Jerman. Kami hanya perlu naik kereta regional dari stasiun utama kota München dengan tujuan kota Füssen selama kira-kira dua jam.
Nah, sayangnya tidak ada kereta regional dari München dengan tujuan langsung ke Füssen ketika itu, jadi kami harus pindah kereta satu kali. Ada dua pilihan transit, yaitu stasiun Buchloe atau stasiun Kaufbeuren. Untuk kepastian tempat transit, kalian harus cek dulu di website Deutsche Bahn (Perusahaan Kereta Api Jerman) atau di mesin pembelian tiket di stasiun atau bisa juga di loket informasi yang ada di stasiun utama kota München.

KOTA FÜSSEN 

Langit mendung ketika kami sampai di Füssen kala itu. Pacarku ingin kami naik bus saja menuju kastil, tapi aku tidak mau. Sebenarnya memang lebih praktis naik bus. Dari stasiun Füssen, kamu bisa ke jalan kaki beberapa menit ke terminal Füssen dan mengambil bus nomer 73 atau 78 dengan tujuan halte bus Schwangau, Schloss Neuschwanstein (Alpseestraße). Tapi, seperti sudah kukatakan sebelumnya, aku tidak mau. Dulu, sekitar tahun 2015, aku pernah mengunjungi kastil Neuschwanstein seorang diri dan aku memilih berjalan dari Füssen sampai ke kastil Neuschwanstein. Dan bagiku, apa yang bisa kunikmati ketika aku berjalan menuju kastil Neuschwanstein sungguh indah sekali dibanding melihatnya dari kaca bus.

Kemudian, mesti enggan, dia pun setuju dengan rencanaku. Langit sayangnya semakin pekat oleh mendung tebal ketika kami sudah berada di perjalanan. Dia melirikku sebal dan aku hanya menahan tawa kecilku ketika akhirnya hujan rintik-rintik jatuh membasahi tubuh kami. Kami terpaksa berhenti, mengambil jaket hujan dari tas ransel kami dan memakainya cepat sebab hujan turun semakin deras. Dari yang awalnya hanya rintik-rintik kecil menjadi semacam badai.

Pacarku mengomel, masih sebal ketika kami berlarian di bawah hujan. Aku sendiri malah tertawa. Aku suka hujan. Selalu seperti itu sejak lama. Hujan mengingatkanku pada rindu dan kebahagiaan. Hujan membasuhku dengan hangat sapaan alam bahwa dia juga sedang riang. Aku suka hujan, dan sayangnya pacarku tidak. Aku ingin kami tetap berjalan melanjutkan perjalanan, tapi dia menahan tanganku dan menatapku dalam, “Tidak.” katanya tegas, tak mau dibantah.

Bibirku mengerucut, tapi menurut. Jadi kami berjalan cepat ke bawah jembatan dan berteduh di sana bersama beberapa orang lain, ada yang sedang bersama anjingnya, dan ada juga yang memegang erat sepedanya yang sudah basah. Aku melirik pacarku dan dia hanya mengangkat alisnya sebelum memalingkan wajahnya dan mengambil rokok dari kantung jaket hujannya.

Aku mendengus dan mengambil jarak. Aku benci rokok tapi sialnya, dia perokok aktif. Dia tahu aku tak suka itu, tapi dia belum bisa berhenti, begitu akunya. Menurutku sih, dia hanya tidak mau. Sejauh ini tidak ada keinginan. Aku beralih darinya ke sungai yang tepat di depan kami. Kubik air di aliran sungai itu bertambah sangat banyak karena hujan deras tak kunjung reda. Namun anehnya, tak satu pun orang-orang yang berteduh di bawah jembatan ini takut jika hujan deras seperti itu terus, maka bisa saja banjir dan langsung menghanyutkan kami yang berdiri tepat di samping sungai yang cuma dibatasi teralis pagar. Sepertinya pikiran itu hanya milikku, sebab mereka semua terlihat tenang saja.

 

Mereka kenal tanah mereka tinggal jelas lebih baik dari aku. Sebab tak lama kemudian hujan berhenti, hanya meninggalkan rintik kecil yang menemani langkah kami menuju kastil Neuschwanstein. Aku tak pernah berhenti mengagumi alam di sekitarku ketika kulihat warna air sungai yang hijau menawan lengkap dengan latar hutan dan pegunungan hijau lebat. Dulu, yang seperti ini kupikir hanya akan kulihat di buku dongeng. Namun nyatanya, tanah Eropa menyimpan banyak latar dongeng yang kerap kufantasikan.

Aku puas. Meski rasanya kaki sakit karena berjalan lumayan jauh. Aku tidak menyesal. Tapi yang di sebelahku ketika itu kadang masih mengomel.

“Harusnya cuma naik bus dua belas menit dan kita udah sampai.”

Aku pura-pura tak mendengar.

Aku tahu dia sebal, tapi aku tak begitu peduli. Seharusnya dia sebagai orang dari negara ini yang lebih terbiasa berjalan tidak mengeluhkan tentang jalan kaki yang tak seberapa ini. Tapi kupikir, hujan dan berjalan kaki baginya bukan kombinasi bagus, jadi aku diam saja.

Kami sempat makan siang (setengah sore) di salah satu restoran khas Bayern di dekat loket pembelian karcis masuk ke kastil, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Di sana, kami juga melewati halte bus tempat pemberentian terakhir bagi mereka yang ingin menuju kastil Neuschwanstein. Dari sini, semua harus berjalan kaki menaiki perbukitan sampai akhirnya bisa benar-benar sampai ke depan kastil Neuschwanstein. Sebenarnya masih ada pilihan lain kalau ada yang terlalu malas berjalan kaki, yaitu naik Pferdekutschen, dokar khas negara ini yang ditarik kuda super besar. Aku bilang super besar karena memang besar sekali ukuran kuda di sini dibanding dengan yang ada di Indonesia. Tapi aku sarankan, lebih baik jalan kaki saja. Kasihan kudanya.

Perjalanan menuju kastil kali ini lumayan menguras tenaga. Sebab kali ini, semua jalannya adalah tanjakan beraspal yang membuat aku bernafas satu-satu. Kali ini pacarku tertawa melihat wajahku yang memerah karena kecapekan.

“Ayo jalan,” ucapnya bercanda sambil mengandeng tanganku dan mengodaku yang sudah nampak menyerah karena tanjakan yang tak habis-habis.

Kali ini aku yang memberengut, dan dia masih tertawa kecil.

“Sudah hampir sampai. Tinggal di depan sana dan kamu ngga perlu jalan lama lagi.”

Kuanggukan kepalaku pelan dan meraih erat tangannya. Dia merangkulku dan kami berjalan berdampingan. Meski tak disadarinya, dia membuatku menghangat dan aku kembali penuh semangat berjalan. Dan tepat seperti yang dikatakannya, aku sudah bisa melihat bangunan besar si kastil. Aku melepas tangannya dan berlari bersemangat seperti bocah mengejar layang-layang.

“Wah, fotoin. Fotoin.” seruku bersemangat.

Dia mengeleng-gelengkan kepalanya, “Dasar orang Asia.”

Aku menjulurkan lidahku tak peduli. Yang penting aku bahagia. Dan hari ini aku bahagia. Meski di sana terlalu penuh dengan wisatawan dari China dan Jepang, aku dan pacarku masih bisa menikmati keindahan kastil Neuschwanstein. Setelah puas dengan kastil Neuschwanstein, kami berdua masih sempat duduk menikmati keindahan danau Alpsee yang terletak tak jauh dari halte bus menuju kota Füssen.

 

Senja yang basah setelah hujan, tangan yang hangat memelukku dari belakang, dan alam yang memesona. Hariku hari ini setidaknya terasa sempurna. Aku tidak membantah setelahnya ketika pacarku meminta kami naik bus menuju terminal bus Füssen. Begitu pula ketika kereta api regional yang harusnya sudah datang  dan membawa kami kembali ke München, terlambat datang beberapa menit, aku tidak mengeluh. Aku merasa bahagia. Sudah cukup kadarnya untuk hari ini.

Aku menyandarkan kepalaku ke bahu pacarku dan berusaha memejamkan mata ketika kereta api yang kami berdua tumpangi berjalan pelan meninggalkan kota Füssen dan kastil Neuschwanstein di belakang kami. Selamat tinggal untuk sekarang dan sampai jumpa lain waktu lagi, kastil Neuschwanstein.

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.