Ngga kerasa hampir dua tahun sudah aku tinggal di Eropa, setahun di Jerman, lalu pulang ke Indonesia demi ngejar ijasah sarjana, lalu balik Eropa dan tinggal hampir setahun di Austria. Ngga sedikit teman dan kenalan yang berkomentar, “Enak ya tinggal di Eropa.”. Tanggapan paling normal yang aku berikan biasanya seperti ini, “Ada enak dan ngga enaknya juga.”. Lalu seperti apa sebenarnya rasanya tinggal di Eropa, benua yang jaraknya belasan ribu kilometer dari rumah?
Tentunya rasanya lebih nano-nano dari permen nano-nano yang cuma anak 90-an yang paham. Banyak suka duka yang dirasakan dan kebanyakan dirasakan sendirian. Well, karena peribahasa di Indonesia mengatakan bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian, maka aku bakal bahas yang ngenes-ngenes lebih dulu sebelum kita masuk ke bagian hura-huranya. So, apa sih dukanya tinggal di Eropa?
Pertama, jelas kendala bahasa. Karena kebetulan aku tinggal di Jerman dan Austria yang kebetulan sama-sama menggunakan bahasa Jerman, tantangan pertama ketika tinggal di sini jelas mempelajari bahasa Jerman. Jangan dikira bahasa Jerman ini gampang dikuasai, karena buatku gramatikal bahasa Jerman ini susahnya lebih parah daripada ngapalin huruf kanji Jepang dengan belasan cara penulisan. Selain itu, orang Jerman juga banyak yang ngga terlalu suka menggunakan bahasa Inggris meskipun mereka bisa. Aku pernah punya pengalaman tentang hal ini, dulu ketika baru seminggu tinggal di Jerman, aku pernah nanya ke orang di stasiun pakai bahasa Inggris. Eh malah di balas dengan kalimat bahasa Jerman yang kurang lebihnya seperti ini, “Kamukan di Jerman, kamu harus bisa berbahasa Jerman. Salah tidak apa-apa, kami juga mengerti.”. Akhirnya setelah itu aku nanya pakai bahasa Jermanku yang masih dasar banget dan dia menjawabnya dengan tersenyum dan menyemangatiku setelahnya untuk bisa lebih semangat belajar bahasa Jerman. Selain itu, kecuali di kota-kota besar, banyak informasi-informasi dan rambu-rambu penting yang hanya disampaikan atau ditulis dalam bahasa Jerman. Well, karena tinggal di negara berbahasa Jerman, aku jelas harus bisa (dan berupaya) memahami dan mengerti bahasa Jerman untuk bisa survive hidup di sini.
Kedua, perbedaan budaya dan adat istiadat. Ini sudah jelas, seperti kata pepatah dimana bumi dipijak di situ langit dijunjung. Meskipun aku berasal dari negara dengan budaya timur yang kental, tapi aku juga harus belajar dan menghargai budaya di sini, tempat dimana aku tinggal sekarang. Hal pertama yang aku pelajari di sini tentunya tentang The Do’s and Don’ts in Germany and Austria alias apa yang boleh dan tidak boleh aku lakuin selama tinggal di Jerman dan Austria. Sebagai pendatang, aku jelas harus menghargai dan menghormati budaya mereka meskipun kadang terasa asing dan aneh bagiku. Toleransi, tenggang rasa, eh tapi ngomong-ngomong kayaknya dua sifat yang aku sebutin tadi, lagi perlu banget buat semakin diperkuat di Indonesia ya? Sedih banget kalau lagi baca berita tentang banyak kasus soal budaya dan SARA di Indonesia. Oh astaga, maaf curcol.
Nah yang ketiga adalah masalah hukum. Secara beda negara, beda pula hukum yang berlaku. Tinggal jauh dari negara kelahiran, jangan sampai bikin malu karena terkena kasus hukum di negara tinggal. Aku sendiri kadang gedeg sendiri sama hukum di Jerman dan Austria. Saking ribet dan kerennya, kadang banyak hal yang bagi aku, orang Indonesia, terlihat aneh bin ajaib yang sayangnya kalau dinalar kitanya bakal bilang, oh iya ya bener juga. Kayak misalnya peraturan soal keramaian, jangan harap kamu bisa setel stereo kenceng-kenceng di Jerman macam orang lagi punya hajatan karena kalau tetanggamu merasa terganggu dan dia lapor polisi, kamu bisa dipenjara. Atau mungkin hati-hati kalau sepedaan sambil makan pisang, nanti kamu ditilang (btw orang mana mau sepedaan sambil makan pisang?). Jangan harap juga bisa bawa mobil kenceng-kenceng meskipun lagi di jalan tol, karena di Austria, di jalan tol juga ada batas kecepatan, kalau melebihi 130 km/jam, siap-siap saja menerima surat tilang plus dendanya yang bisa sampai 300€ di kotak pos rumahmu. Kalau mau ngebut, di Jerman saja. LoL.
Yang keempat, kehidupan bersosialisasi. Sebagai makhluk sosial, jelas sosialisasi sangat diperlukan. Lalu apakah kehidupan bersosialisasi orang Jerman dan Austria sama dengan kehidupan bersosialisasi orang Indonesia? Jelas saja enggak. Kebanyakan orang Jerman dan Austria yang kukenal, jarang yang bisa diajak ngerumpi atau ngobrol receh. Kalau sama mereka, obrolannya berat-berat. Jelas beda banget sama orang Indonesia, yang hobi banget sama obrolan dan humor receh. Bahkan seringnya waktu buat ngerumpi ngga penting dan curhat-curhat manja bisa lebih panjang dari waktu produktif tiap harinya. Kita, orang Indonesia, terbiasa hidup di lingkungan sosial yang bisa diajak haha hihi dengan senang hati, ngalor ngidul kongkow-kongkow kemana-mana (yang penting hati senang). Nah di Jerman dan Austria, boro-boro bisa begitu, nemu teman yang sepikiran aja susah. Mau ngajak ke sana kemari juga gak bisa tiba-tiba datang dan pasang senyum cengengesan di depan rumah orang, yang ada kamu bisa dimarahi dan diusir. Ngajak jalan musti dari jauh-jauh hari. Serasa bikin Termin alias janji gitu. Kita juga ngga bisa curhat receh sama mereka, yang ada malah dipandang aneh. Nanti bukannya hilang stress, kita malah tambah stress.
Lalu yang kelima bagiku adalah cuaca dan musim. Temen-temenku paling banyak bilang ke aku, “Wah enak ya, bisa lihat dan main salju.”. Aku versi fake biasanya cuma haha hihi sambil iya iyain aja. Aku versi sarkastik dan sinis ngedumel dalam hati, “Gundulmu ta enak?” Uppss! Serius deh, salju itu cuma enak dilihat. Dirasain? Sepurane, engga banget. Belum lagi ribetnya kalau mau pergi pas musim dingin. Lima belas menit sendiri buat make baju dan tetek bengek macam sarung tangan, syal, tutup kepala, atau bahkan longjohn kalau dinginnya ekstrem banget. Nah begitu keluar, salju tinggi banget sampai buat jalan aja, kamu butuh energi super. Soalnya kadang-kadang ada jalanan buat pejalan kaki yang ngga dibersihin dan malah dijadikan tempat tumpukan kerukan salju dari jalan utama. Ini kampret banget sumpah. Belum lagi winter depresi dan perubahan mood yang adugile di musim dingin karena tubuh kurang cahaya matahari. Tapi selain salju dan dinginnya yang bisa sampai MINUS 23°C, ada juga musim gugur yang membuat aku merasa teraniaya tinggal di Eropa. Sebenarnya, kalau diantara empat musim, musim gugur selalu jadi favorit aku. Bayangin aja daun-daun memerah dan daun-daun yang berwarna kuning jatuh berguguran tertiup angin. Lalu kita gandengan jalan di taman sama pacar dengan romantisme musim gugur yang aduhai. Duh, serius deh, di tampilan tv ataupun di gambar, musim gugur itu seromantis-romantisnya musim yang ada. Eittss, tapi tunggu dulu sampai kamu ngerasain angin musim gugur. Bagiku, angin musim gugur itu racun. Sekali kena, langsung kepalaku pusing dan bisa kena migrain sampai rasanya nangis aja udah gak sanggup. Aku sendiri selama tinggal di Indonesia jarang banget sakit kepala, tapi sejak di sini, ngga ada satu hari pun di musim gugur yang aku ngga nangis-nangis karena sakit kepala. Angin musim gugur itu serius dingin banget, lebih dingin daripada salju di MINUS 23°C.
Nah, sementara ini, lima hal di atas yang menjadi duka prioritas selama tinggal di Eropa, khususnya Jerman dan Austria. Aku yakin masih banyak yang lainnya, tapi recehan lain di simpan saja untuk diceritakan ke Tuhan. Tapi jangan takut buat tinggal di Eropa, karena kepuasan, pembelajaran dan pengalaman hidup yang didapat di sana juga bakal seimbang dengan sedih-sedihnya tinggal jauh dari tanah lahir, tinggal jauh dari keluarga dan sahabat.
Last but not least, jangan jadikanlah jarak dan kata jauh menjadikan alasan untuk berhenti bermimpi. Pergilah sejauh mungkin untuk meraih cita-citamu jika itu memang yang kamu yakini, dan nanti ketika kamu kembali, kamu mungkin juga tahu seberapa dalam arti kata pulang.
Ciao!
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.