Surat Untuk Suami

Hei, kamu… Suami. Apa kabar?
 
Apakah disana—dimanapun kamu berada—kamu baik-baik saja? Aku selalu berdoa agar kamu baik-baik dan selalu seperti itu. Sebab aku berharap, ketika Tuhan akhirnya mempertemukan kita dalam tegas suaramu di akad kita, kamu menjadi yang terbaik yang selalu Tuhan janjikan untukku. Dan sampai saat itu tiba. Aku akan menunggu dengan (sedikit) sabar di sini.
 
Sejujurnya malah, aku sama sekali tidak sabar. Aku ingin kita bertemu. Aku ingin kita jatuh cinta. Dan aku.. ingin kita menikah. Sehingga bisa kusebut kamu, suamiku. Laki-laki yang dihalalkan untukku. Ah, halal. Pasti sangat membahagikan jika seperti itu, bukan?

Tapi sekarang aku masih belum tahu. Aku tidak tahu dimana kamu atau—siapa kamu. Hanya keyakinan yang membuatku tegar menunggu hingga saat ini. Aku ingin menyebutmu jodoh. Tapi jodoh belum tentu suami. Dan suami sudah pasti jodoh. Jadi kupanggil saja kamu begitu. 
 
Suami..
 
Aku berharap kita segera bisa dipertemukan. Semoga benang merah yang dilukis Tuhan segera jelas untukku. Aku sudah lelah bermain-main. Aku sudah lelah berdosa. Aku ingin punya bahumu, suami. Agar aku bisa bersandar dan merasa aman di sana. Dunia ini kadang kejam. Aku takut di dalamnya sendirian. Jadi kehadiranmu, keberadaann nyatamu. Akan menenangkanku dan membuat dunia terasa baik.
 
Aku tahu aku bukan perempuan sempurna. Tidak ada paras cantik seperti dewi-dewi Yunani, Mesir atau Romawi. Tidak ada tubuh sesintal perempuan-perempuan yang biasanya ada di majalah yang dibeli kaummu. Tapi aku punya hati. Ini masih baru. Aku punya hati yang baru yang akan kupersembahkan untukmu. Satu, sepenuhnya, sampai Tuhan membimbingku kembali kepadaNya. Hati baru ini milikmu, suami. Yang lama sudah berserak, hancur dan entah—mungkin luluh. Jadi ini yang baru. Punyamu.
 
Segala yang terbaik juga akan kuberikan padamu, dan pada keluarga kecil kita nanti. Aku sudah belajar memasak. Kamu pasti akan menyukai masakanku. Kuharap kamu suka pedas, karena nyaris semua masakanku tak lepas dari cabe. Selain itu aku juga sudah punya metode-metode yang akan kugunakan untuk mengasuh dan membesarkan anak-anak kita. Kamu tahu, aku ingin punya tiga anak. Bahkan yang satu—untuk yang tercantik—aku sudah punya nama untuknya.
 
Ahh, membayangkan anak-anak kita membuatku ingin menangis. Sepupuku baru melahirkan anak pertamanya kemarin. Dia seumuran denganku, teman sepermainanku dulu, dan bayi kecilnya adalah bayi perempuan yang cantik. Membayangkan betapa bahagianya dia membuatku menyusutkan air mata. Aku juga ingin segera punya bayi. Pasti sangat menyenangkan mengetahui ada kehidupan mungil yang demikian rapuh berasal dari rahimku. Aku harus menyelesaikan topik ini sekarang. Aku sudah menangis.
 
Suami, kamu tahu tidak? Aku punya metode belajar yang unik untuk mereka nanti. Semua yang terbaik yang sanggup kuberikan untuk malaikat-malaikat kecil yang akan menjadi cahaya di rumah kita. Aku akan membuat mereka tahu dunia dengan lebih baik. Pengetahuan akademik, bakat, agama, seni dan apapun yang akan membawa mereka hidup dengan baik dan berakhir dengan baik dalam surga bersama Rasullullah. Aku mau yang terbaik untuk mereka.
 
Jadi suami, kelak kita harus jadi orangtua yang baik, ya. Jangan hanya aku. Jangan hanya kamu. Tapi kita. Karena mereka kelak akan menjadi surga, penyelamat dan sumber kebahagiaan tak terbatas.
 
Ah, aku masih menangis.
 
Sudah. Sudah. Ini hampir tengah malam. Aku tidak akan menganggumu lagi. Tidurlah nyenyak, sayangku. Tidurlah dan semoga Tuhan memberikanmu mimpi yang indah. Semoga Tuhan selalu melindungimu dan membimbingmu mendekat padaku. Suami.. ketahuilah. Aku akan belajar bersabar dan menunggu. Kamu juga. Sampai pada waktu yang tepat, dimana Tuhan menjalin kita berdua. Aku akan di sini dalam doaku tentangmu.
 
Semoga esokmu indah. Selamat malam, kekasihku.
 
Aku menyayangimu.

Istrimu

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.