Sampai Kapan Pun

“R, lo gak apa-apa?”

Aku bisa merasakan cengkraman tangan di kedua lenganku dan suara samar-samar di dekatku. Aku mencoba mengangkat kepalaku namun rasanya berat sekali.

“R, lo bisa denger gue?”

Cengkraman di lenganku menguat dan aku merasa tubuhku bergoyang. Apa ada gempa bumi? Aku berusaha sekuat tenaga untuk mendongak, dan samar, wajah kalut penuh khawatir yang kukenali sebagai milik D memenuhi pandanganku.

Bagaimana dia bisa ada di apartemenku?

Aku terkikik pelan, Bodoh, aku menelponnya tadi.

Lalu bagaimana dia bisa masuk ke sini?

Ah, sial. Aku lupa lagi. D tahu kode kunci apartemenku. Hanya D dan Leon yang ta–

Leon?

“D..” panggilku serak tiba-tiba sebab rasa sakit yang ada sebelum gelas keempat belas wine merah kutenggak habis, menghantamku kembali. Melihat D membuatku ingin kembali menangis.

“D..” suara parauku memanggilnya kembali. Lalu kurasakan cengkraman di lenganku melonggar, ketika kulihat kedua tangan D bergerak ke wajahku dan menghapus tetes demi tetes air mataku

“D..” panggilku semakin tenggelam dalam isakan yang semakin keras. Lebih keras daripada suara musik yang kuputar sejak awal aku masuk ke apartemen ini dengan berbotol-botol wine di pelukanku–yang kuduga sekarang sudah kosong.

D tidak bertanya apapun dan hanya memelukku. Membiarkanku membasahi kemejanya dan menebar aroma alkohol di tubuhnya yang berbau segar musk khasnya. Aku bisa merasakan hangat tangannya melingkari punggungku erat-erat.

Ada jeda bermenit-menit dalam pelukan D yang rasanya lebih menenangkan daripada menenggelamkan diriku dalam ketidaksadaran dan keheningan semu oleh alkohol sebelum D melepaskan pelukannya dan menangkup kedua pipiku yang lembab basah.

“Lo gak perlu nangis cuma buat cowok brengsek seperti Leon. Lo punya gue, R.”

“Lo gak akan ninggalin gue?”

D menggeleng tegas, “Gue gak akan pernah ninggalin lo. Gue akan selalu ada buat lo sampai kapan pun selama hidup gue.”

Aku menatap iris gelap D dan melihat betapa dalam kejujuran yang ada di sana. Mengejutkan, jika selama ini aku bahkan tidak menyadari seperti apa perasaan D untukku.

“Sampai kapan pun, D?” lirihku. Seluruh diriku kehilangan keseimbangan, seolah tenggelam dalam mata D yang semakin merapatkan jaraknya padaku.

“Sampai kapan pun.” Suara D serak saat bibirnya sudah mencapai bibirku. Aku memejamkan mata ketika D merasakanku. Sentuhan D lembut dan aku mengernyit terkejut pada betapa manisnya bibir D. Tidak ada aroma rokok di sana, tidak seperti bibir Leon. Tidak ada aroma bibir perempuan lain di sana, tidak seperti bibir Leon.

Tidak seperti bibir Leon?

Aku mendorong D kuat-kuat dengan mendadak dan mengabaikannya yang terjatuh terduduk tak jauh dariku. Aku tidak bisa sepenuhnya melihat ekspresi D karena pandanganku menggelap dan kepalaku semakin berat.

Aku merangkak menggapai D yang langsung meraih tanganku. Aku bahkan tidak tahu kenapa aku tadi mendorong D menjauh.

“Sorry, R.. gue–gue tadi gak bermak–“

Tapi tak ada suara selanjutnya keluar dari bibir D karena aku sudah membungkamnya dengan milikku. Aku mengecup D dalam sebab aku ingin menghilang selamanya bersama D. Aku bisa merasakan keterkejutan D, namun dengan cepat dia menguasai dirinya karena aku bisa merasakan hangat balasan D, bibir D.

D dan bukan Leon. Jika Leon saja bisa mencium dan tidur dengan siapa saja tanpa peduli padaku, kenapa aku tidak bisa melakukan itu juga padanya? Mulai sekarang, persetan dengannya.

“D, lo mau tidur sama gue?” bisikku tersesat diantara gerakan D dan panas tubuhku

Dan tak ada jawaban apapun setelahnya. Kami berdua tenggelam bersama.

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.