Random Thougt : Memory Leaves Scars That Do Not Heal

Jadi.. ini semacem pikiran super random yang nyantol di kepalaku tengah malem ini. mendadak kepikiran aja dan aku pengen nulis ini di sini. Well, jangan nanya tentang Remember Us, Xexa, Another Story atau yang lainnya dulu. Tidak, aku sedang tidak punya semangat dan tidak punya inspirasi untuk menulis cerita. Kepalaku sedang penuh dengan hal-hal lain. Antara lainnya Au pair. Ah sial, melenceng lagikan. Oke Ree.. fokus.

                *tarik nafas panjang*

           Nah, baiklah.. sejujurnya aku tadi ingin menulis tentang sebuah hal yang sangat menganjal di pikiranku. Sebuah pertanyaan yang beranak cucukan banyak pertanyaan lainnya dan membuatku gila.

                  Bagaimana jika selama ini ternyata dia salah?

source : Google Image

Oke garis besarnya, anggap saja aku ini remaja labil patah hati. Meskipun patah hatinya sudah hampir setahun kemaren, tapi sakitnya masih sampe sekarang. Astaga aku mulai drama. Hashh.. inilah menyebalkannya punya kemampuan menulis lebih baik daripada kemampuan membaca. Aku cenderung menuliskan apa yang ingin kukatakan sementara aku mengatakan apa yang seharusnya hanya aku pikirkan. Bingung? Oke aku juga. *abaikan*

            Entah kenapa aku marah detik ini. Super marah untuk sesuatu yang sudah terjadi berbulan-bulan-bulan-bulan lalu. Aku baru memikirkannya sekarang ketika otakku dengan super acaknya membuatku terpikirkan ini lagi.

              Jadi…

          Bagaimana jika seharusnya aku yang marah? Seharusnya aku yang merasa bahwa dia belum bisa move on dari mantannya? Bukannya aku. Kenapa aku?? Assshh, dia menjadikan ketidakmampuanku untuk menjauh dari mantanku sebagai alasan untuk putus?? Sial! Harusnya aku yang melakukannya, bukan dia.

            Err..

           Sorry jika harus membaca ocehan remaja labil tentang putus atau patah atau kegilaan absurd lainnya. Hanya saja.. hanya saja aku butuh tempat untuk menuangkannya. Jadi tidak dibaca juga tidak apa-apa. Tulisan ini super absurd dan membuatmu cuma jadi frustasi karenanya.

            Kembali ke awal…

       Jadi, pernah ada suatu masa dimana aku diputuskan karena dia bilang, “percuma bertahan sama seseorang yang ngga bisa move on dari mantannya”

          Sigh... sudah berapa aku bilang. Mantanku itu bukan musuhku. Bukan seseorang yang akan kujauhi hanya karena kami sudah bukan pacar lagi. Mantanku itu sahabatku. Tempat sampah terbaikku untuk semua masalah bahkan jika itu masalah bersamanya. Dia tidak seharusnya merepotkan tentang hal itu. Sudah kutegaskan berulang kali, hubungan ini bukan hubungan yang seharusnya dicemaskannya. Dia sudah seperti kakakku sendiri.

          Tapi.. ini selalu jadi alasan untuk sebuah pertengkaran tidak resmi yang artinya perang dingin paling menyebalkan sepanjang masa. Namun jika memang semua tuduhan tentang eks-boyfriend itu benar, setidaknya aku jujur atau membuatnya terlihat. Bukannya seperti dia.

       Aku tahu.. aku tahu banyak hal yang dia tidak tahu bahwa aku tahu. Aku tahu dia memikirkan mantannya bahkan ebih parah dari tuduhannya kepadaku. Mencemaskan mantan?? Harusnya aku yang bilang begitu. Hanya saja aku sudah malas berdebat dan diam. Melihat, mendengarkan, merasakan. Tidak protes meski makianku sudah di ujung lidah.

          Aku tahu dia ke Bandung ke pernikahan siapa, aku tahu lagu yang diciptakannya itu untuk siapa, aku tahu ada siapa di dalam isi kepala batunya itu. Dan aku tahu pasti bahwa tidak ada aku di dalam sana. Hanya saja aku terlalu bodoh untuk melakukan sesuatu.

           Jadi ketika dia memutuskanku dengan alasan super konyol tentang mantan. Aku jadi marah sekarang. Oke aku tahu marahku super terlambat karena itu sudah berbulan-bulan-bulan-bulan lalu. Hanya saja.. Astaga, siapa suruh aku baru sempet kepikiran itu sekarang??

           Aku jadi mengomel tidak karuan dengan isi kepala super berantakan sekarang.

           But, inside.. I knew.. Memory leaves scars that do not heal.

           Setidaknya aku tahu kenapa sekarang aku merasa seperti ini. Aku menyesal. Bukan tentang apa yang terjadi di antara kami dulu. Aku menyesal. Bukan untuk setiap kesabaran yang ada dulu. Aku menyesal karena dia tidak pernah bisa jujur padaku. Setidaknya jika dia jujur, aku tidak akan marah.

Aku akan lebih suka dia jujur meskipun itu menyakitkan. Itu terasa lebih baik. Setidaknya, rasanya lebih dihargai sebagai seseorang. Bukan cuma sesuatu yang menemaninya di waktu senggang.

           Ahh.. sial. Aku jadi mengeluarkan banyak kata-kata makian di kepalaku sekarang. Dulu, pernah ada waktu dimana aku ingin sekali meneriakkan ini di depannya. Tapi memangnya aku bisa? Tentu saja tidak. Tapi jika suatu saat aku bertemu lagi dengannya, mungkin akan terasa melegakan jika aku bisa memakinya untuk semua sakit hati di masa lalu.

           Hahahahha. Bodoh!

       Oke oke. Kurasa ini semakin parah. Tengah malam yang heboh di dalam kepalaku dan aku mulai capek. Jadi.. meskipun sangat tidak mungkin, aku berharap tidak pernah ada pikiran serandom ini lagi di tengah malam kapanpun. Aku ingin tidur nyentak.

          Well, goodnight. Sleep tight, all.

Surabaya, 7 April 2014
00.12 AM

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.