3. Malaikat Hujan - Nuna II

Sudah lama sekali sejak aku terakhir kali memposting cerita ini. Tapi, pada akhirnya lanjutannya ada juga di sini. Hup hup. Kisah ini hampir terlupakan gara-gara aku sibuk berkutat dengan HV.

Jika saja, sahabatku tidak mengingatkanku akan cerita ini dan memintaku mempostingnya, mungkin aku benar-benar lupa. Hahahah. Erel.. maaf ya.

Well, aku tidak akan bercuap-cuap lagi. Selamat membaca. Chapter ini kudedikasikan untuk sahabat terbaikku sepanjang masa.

Bebeh, ini loh yang kamu minta. Kisahnya Erel sama Nuna. Hohoho.

Salam

@amouraXexa

***

“Nuna..”

Seseorang menguncang bahuku dengan pelan. Aku mengerjap dan bergerak pelan. Leherku terasa sakit ketika aku menegakkan tubuhku. Wajah pucat tante Amy menjadi hal pertama yang benar-benar menguasai fokusku ketika aku akhirnya bisa melenyapkan semua sisa-sisa mimpi di kepalaku.

Aku melihat ke arah lain, dan Martha—perawat yang menangani tante Amy—tersenyum ke arahku, “Kau sudah di sini sejak pagi. Ini sudah hampir jam dua, kau tidak makan siang?”

“Tidak, Martha. Aku tidak lapar.” Jawabku sambil tersenyum. Kami saling mengenal dengan baik karena aku sering ke sini dan bertemu dengannya. Kadang dia menemaniku bercakap-cakap sambil memeriksa kondisi tante Amy.

“Tapi Adrian meninggalkan roti-roti itu untukmu.”

Keningku berkerut dalam, “Adrian? Dia kesini tadi?”

Martha mengangguk, “Sekitar jam sebelas. Kupikir dia membangunkanmu. Tapi sepertinya dia buru-buru, perempuan yang diajaknya nampak tidak suka menunggu.”

Perempuan?

“Adrian tidak datang sendirian?”

“Awalnya kupikir dia bersamamu, tapi ternyata bukan. Perempuan itu berambut pendek, terlihat terlalu menor dan—“

Martha tidak melanjutkan ucapannya ketika dia menyadari perubahan ekspresiku. Aku segera tersenyum, “Tidak apa-apa. Aku sepertinya tahu siapa dia. Mungkin sekretarisnya.” Kataku sambil membenarkan rambut dan bajuku. Aku melihat jam tanganku sebelum bangkit dan mengambil tasku, “Aku harus pergi, Martha. Tolong jaga tante Amy dengan baik.”

Dia tersenyum, “Tentu.”

Aku mengangguk dan merasa tidak perlu khawatir. Meskipun usia Martha belum sampai tiga puluh tahun, aku tahu dia perawat yang cakap.

“Nuna.”

Aku menoleh ketika tanganku sudah mencapai gagang pintu, “Roti dari Adrian. Kau lupa membawanya.”

“Kau bisa memakannya atau terserah. Aku tidak suka roti, Martha. Mungkin Adrian melupakan hal itu.” Jawabku sebelum benar-benar keluar dari ruangan ini.

Aku memejamkan mataku sebentar. Mengatur nafas sebelum kulangkahkan kakiku meninggalkan lorong rumah sakit ini. Mungkin Adrian bukan hanya melupakan bahwa aku tidak suka roti. Dia melupakan segalanya, tentangku, tentang janji kami dan perasaan yang dulu ada pada kami.

Jadi sekarang sudah ada perempuan lain lagi?

Aku mendesah lelah. Apakah aku akan terus cukup sabar menghadapinya.

***

Aku tidak tahu harus pergi kemana ketika melajukan mobilku di jalanan. Aku melirik ke jam tanganku. Mendesah. Masih jam dua lebih. Apa yang harus kulakukan? Aku mengamati jalanan di sekitarku ketika lampu lalu lintas masih berwarna merah. Memperhatikan kesibukan jalanan di sekitarku.

Ada sebuah toko kue dengan kue dalam bentuk-bentuknya yang cantik terpasang di etalase toko yang buram. Aku tersenyum. Kue-kue ulang tahun. Rasanya sudah lama sekali sejak terakhir kali aku meniup lilin-lilin berbentuk angka di atas kue ulang tahun. Entah sejak kapan rasanya tidak ada kebahagiaan seperti itu yang datang pada kehidupanku. Dan aku tahu aku merindukannya. Keajaiban di setiap hembusan nafasku yang memadamkan lilin ulang tahunku dengan sebuah harapan yang kukirimkan pada Tuhan.

Aku ingin melakukan itu lagi.

Mendadak sebuah ide merasuk dalam pikiranku. Sebuah ingatan akan hari ini membuatku tersenyum lebar. Aku akan meniup lilin di atas sebuah kue cantik malam ini. Tapi aku tidak akan sendirian, aku akan meniupnya bersama Erel.

Erelku.

Bukankah tadi pagi Erel mengingatkan padaku bahwa ini adalah hari terakhir di bulan November? Hari terakhir di bulan November adalah hari yang menurut Erel sangat bersejarah bagi kami. Aku selalu mengagumi keahlian Erel mengingat setiap momen penting diantara kami. Dia selalu membuatku merasa istimewa dengan segala hal yang diingatnya tentangku.

Aku melajukan mobilku dengan bersemangat ketika lampu lalu lintas berubah menjadi hijau. Ini akan menjadi malam yang sangat indah bagiku dan Erel. Aku akan melupakan semua hal buruk yang terjadi pada hidupku. Aku akan melupakan Adrian dan siapapun perempuan baru yang sedang dikencaninya itu. Malam ini aku akan melupakan semua itu dan segalanya hanya akan tentang aku dan Erel.

***

Aku memandang dengan resah jam dinding yang menunjukkan jam tujuh lewat. Bukankah Erel harusnya sudah datang sejak tadi? Apakah dia terjebak macet? Atau malah dia mengambil lembur?

Lembur?

Dengan kesal kusandarkan tubuhku di sofa. Ini hari penting kami. Erel tidak mungkin membiarkanku sendirian di apartemennya dan dia malah menyibukkan diri dengan tumpukan kerjaan kantor. Aku harus berpikir positif. Erel mungkin hanya terjebak macet yang sangat parah. Ya, dia akan datang tak lama lagi. Erel tidak pernah mengecewakanku.

Aku mengangguk yakin. Senyum lebar terpasang di wajahku sambil mengamati apa yang sudah kusiapkan untuknya nanti. Sebuah kue besar dilumuri coklat dan bertabur hazelnut menghiasi meja di ruang makan Erel yang kecil. Tepian kuenya dilumuri krim putih dan sebuah lilin angka dua tertancap di dekat tulisan Nuna dan Erel yang diukir dengan menggunakan krim warna pink yang terlihat mencolok diantara warna hitam coklat dan putih krim. Sementara itu—di sekitar kue itu—aku sudah menyiapkan sebotol wine mahal dan makanan-makanan lezat yang dengan susah payah kubeli dengan mengitari hampir separuh kota ini. Semua makanan kesukaan Erel

Ini akan menjadi malam yang tak terlupakan. Lagipula, bukankah ini malam perayaan hubungan kami. Dua tahun? Aku tertawa kecil. Aku tidak menyangka aku bisa bersamanya dalam waktu selama itu dan tidak pernah merasa kehilangan perasaanku padanya.

Aku melirik jam di dinding sekali lagi. Detik-detiknya membuatku ketidaksabaranku kembali. Apalagi suara hujan yang turun di luar sana membuatku semakin gelisah. Aku melihat bayangan hujan dari jendela kaca besar di apartemen Erel. Hujan bahkan turun untuk melengkapi malam ini untuk kami dan orang yang kutunggu malah belum datang. Aku menggerang kesal.

Dengan gerakan cepat, aku melompat bangun dari sofa ketika mendengar suara pintu dibuka. Aku membenarkan letak gaun warna biruku dan berlari ke sana.

“Happy 2nd anniversary!”

Aku melompat mengejutkannya dan langsung memeluknya. Dengan penuh semangat aku mengecup pipinya dan bibirnya dengan singkat. Masih dengan penuh energi dan kebahagiaan yang meluap, aku menatapnya. Namun dia tidak bereaksi apapun dan hanya menatapku dengan datar.

“Ada apa?” tanyaku begitu menyadari ekspresiku, “Kau lelah ya? Terjebak macet tadi? Atau ada acara apa? Aku menunggumu sejak jam lima disini, kupikir kau akan pulang cepat karena ini akhir November.”

Tapi dia diam lama sebelum menjawab dengan pelan, “Di luar hujan, Nuna.”

“Erel..” kataku menyadari makna di balik ucapannya.

“Di luar hujan.” Ulangnya.

“Kupikir kita sudah menyelesaikan masalah ini tadi pagi.” Sahutku tidak mengerti. Kenapa dia membahasnya lagi? Ada apa sebenarnya?

Tapi Erel hanya menggeleng dan berjalan melewatiku begitu saja. Dengan lelah dia duduk ke sofa, melepaskan dasi yang digunakannya dan melemparkannya begitu saja di sampingnya. Aku semakin tidak mengerti. Sebenarnya ada apa ini, “Erel.” Panggilku sambil berjalan ke arahnya, “Ada apa?”

“Sekarang hujan, Nuna. Hujan di akhir November. Janji hujan? Kau mengingatnya bukan?”

“Ta-tapi kau bilang tidak apa-apa. Kau bilang kau bisa mengerti. Bukankah itu yang kau katakan padaku tadi pagi.”

Erel menatapku. Aku bisa mendengar tarikan nafasnya yang terdengar berat. Mendadak aku takut mendengar apapun yang akan dia katakan padaku.

“Aku selalu mengerti, Nuna. Aku selalu mengerti dirimu selama dua tahun ini. Tanpa jeda. Tanpa tuntutan. Tanpa permintaan. Aku mencintaimu. Aku tergila-gila padamu. Kau tahu itu. Dan aku selalu ada dan mengalah untukmu. Namun sekarang apa, Nuna? Apa yang kudapat?”

“Er—“

“Kau malah akan bertunangan dengan Adrian.”

Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya dengan terkejut. Bagaimana bisa dia mendengar tentang kabar ini, “Erel, aku-“

Tidakapa-apa, Nuna. Tidak apa-apa. Kau berharap aku mengatakan itu kepadamu kali ini?” dia menggeleng, terlihat kehabisan kesabarannya menghadapiku, “Tidak kali ini. Untuk masalah ini, maaf. Maaf, Nuna. Aku tidak bisa. Aku tidak bisa berkata aku tidak apa-apa padamu jika setelahnya aku harus melihatmu menikah dengan laki-laki lain. Tidak. Aku tidak bisa. Aku tidak akan bisa membiarkanmu melakukan itu.”

Aku mendengar setiap kata yang diucapkannya dengan perasaan hancur. Aku tahu pada akhirnya aku hanya akan menjadi seseorang yang menyakitinya, “Erel, maaf.”  Aku merosot, berlutut di depannya dan menggenggam tangannya yang dingin. Dia memandangku lurus-lurus, dan aku bisa melihat kesakitan yang selama ini disembunyikannya dariku. Erelku tidak pernah tidak apa-apa. Ada luka di sana. Begitu dalam dan semuanya karena aku. Sebegitu jauhkah aku sudah membuatnya terluka?

“Kenapa kau tidak pernah bisa meninggalkan Adrian padahal kau punya aku di sampingmu? Kau punya aku yang tidak akan pernah menyakitimu. Punya aku yang akan selalu melindungi dan mencintaimu sampai akhir. Apakah dengan aku saja tidak terasa cukup bagimu, Nuna?”

Suaranya yang melembut bahkan tidak bisa menyembunyikan betapa banyak perih tersimpan disana, “Erel, aku-“

“Aku minta maaf, Nuna. Aku tidak bisa. Kau harus menentukan sikapmu. Akhirnya aku sadar bahwa kita tidak bisa berada dalam garis abu-abu seperti ini terus menerus. Ada saatnya dimana kita harus menentukan, dan kupikir inilah saatnya Nuna. Semua berada di tanganmu.”

“Jangan lakukan ini, Erel. Kumohon.” Kataku sudah nyaris menangis. Dia tidak bisa meminta aku memilih. Tidak, jika semua yang kulakukan hanya akan menyakiti semua orang. Aku menggenggam tangannya dengan erat. Berharap dia akan kembali menjadi Erelku yang baik, yang sabar, yang akan selalu mengerti bahwa apa yang kulakukan selalu memiliki alasan kuat di baliknya. Aku ingin dia tahu dan mau mengerti diriku sekali lagi.

Aku tahu aku terdengar egois. Tapi aku tidak peduli. Tidak jika sekarang tiba-tiba Erel memintaku untuk memilih. Memilih antara dia atau Adrian? Tidak adakah pilihan lain selain itu? Namun wajah Erel mengeras dan aku tahu dia tidak akan mengubah apa yang sudah dikatakannya untukku.

“Tidak apa-apa, Nuna. Begini saja, aku akan membuat segalanya mudah untukmu. Jika kau memilihku, tetaplah tinggal disini bersamaku sampai November ini berakhir. Hanya tinggal beberapa jam, Nuna. Namun jika Andrian terasa lebih penting untukmu, kau bisa pergi dari sini. Dan itu artinya kita selesai.”

Aku menatapnya dengan mulut terbuka. Tak bisa menahan semua perasaan di dalam dadaku dan airmataku jatuh perlahan. Akhirnya dia mengatakan ini. Aku menunduk, harusnya dia tahu dia tidak boleh memaksaku melakukan ini. Aku tahu Erel paham benar konsekuensinya. Dia jelas tahu apa yang akan kulakukan.

Dalam diam, aku bisa merasakan tangannya menyentuh lenganku dan menarik tubuhku ke dalam pelukannya dengan sangat lembut, “Tidak apa-apa, Nuna. Kau bisa menentukan pilihanmu. Apapun yang sesungguhnya hatimu mau. Aku tidak berada disini untuk menahan atau memaksamu bersamaku. Kebahagiaanmu adalah tujuanku. Jika kau bahagia bersama Adrian, aku akan merelakanmu bersamanya.”

“Erel..” suaraku tertahan dalam air mataku untuknya ketika dia mengatakan semua itu, dia tahu apa pilihanku dan dia tetap membuatku melakukannya.

 Dia melepaskan pelukannya dan menyentuh kedua bahuku, membuatku bisa memandang mata hitamnya yang teduh, “Kau tahu, Nuna.. sesungguhnya selama ini, kaulah malaikat hujan itu, bukan aku. Kaulah yang memberiku kebahagiaan dan mengubah kehidupanku yang kosong menjadi berwarna. Kau adalah irama hujan yang selalu memberiku ketenangan. Kaulah malaikat hujan untukku, Nuna. Dan jika melepasmu akan membuat sayapmu terbentang, maka pergilah Nuna.”

Aku terisak tanpa suara. Jadi kami hanya akan menjadi seperti ini. Malaikat hujanku melepaskanku. Malaikat hujanku berkata bahwa akulah malaikat itu dan bukan dia. Rasanya aku ingin memakinya keras-keras. Dia harusnya tahu bahwa dia salah, malaikat hujan itu bukan aku, tapi dia. Hanya Erel dan semua keajaiban kebahagiaan yang selalu berlimpah diberikan untukku. Dan sekarang, dia melepaskanku?

“Maaf, Erel..”

Aku tidak bisa mengatakan apapun lagi. Aku bangkit dan berbalik pergi tanpa menoleh lagi. Tidak ada lilin yang ditiup malam ini. Tidak ada malam romantis bagi kami. Tidak ada. Bahkan tidak ada yang tersisa untuk kami selain kenangan sekarang. Aku melangkah dengan gontai menjauh dari apartemen Erel.

Tanganku menyentuh dadaku dan aku bisa merasakan ada yang begitu perih berdenyut menyakitkan di sana.

Erel, maafkan aku.

***

Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan sekarang. Aku bahkan tidak tahu aku harus kemana sekarang. Jam besuk sudah selesai dan aku tidak akan pernah dizinkan masuk ke ruang tempat tante Amy dirawat. Aku tidak bisa pulang karena papa pasti akan sangat khawatir melihat air mata yang sialnya tak bisa berhenti mengalir dari kedua bola mataku. Dan hasilnya, di sinilah aku. Di parkiran apartemen Adrian, membenamkan wajahku di kemudi dan masih menangis.

Entah kekuatan atau kegilaan apa yang membawaku ke sini. Aku tidak tahu. Mungkin alam bawah sadarku yang melakukannya, menyadari bahwa selain Erel, sekarang hanya Adrian yang tersisa. Erel sudah melepaskanku karena aku memilih Adrian. Lalu apa lagi? Tidak ada yang tertinggal di antara kami kecuali kenangan yang tak akan pernah bisa kuhapuskan seumur hidupku.

Aku mencintai Erel.

Air mataku berjatuhan dan aku tahu aku akan menyesali keputusanku meninggalkan Erel. Aku akan berakhir dalam penyesalan bahwa aku baru saja meninggalkan seorang malaikat dalam wujud manusia setampan Erel. Manusia yang memiliki segalanya, kebaikan hati, kesabaran dan cinta. Perasaan yang berlimpah dan diberikan hanya untukku. Namun aku mengkhianatinya. Aku, sejak awal sudah membuatnya terluka dan dia bertahan karena dia mencintaiku. Dia bertahan karena dia tahu dia tidak bisa meninggalkanku sendirian di antara semua masalah di sekitarku.

Lalu sekarang? Kudapati malaikatku terluka lebih dari yang sanggup dia tanggung. Ada sakit yang demikian dalam kugoreskan di antara kesucian hatinya. Aku mungkin sudah mematahkan sayapnya dan dia tidak akan bisa terbang lagi.

Erel, maaf..

Aku tidak akan bisa kembali. Erel sudah memberikan pilihan dan aku sudah mengambilnya. Tidak akan ada lagi jalan untuk kembali. Aku tahu ini yang terbaik. Aku tahu aku bukan perempuan yang akan membuatnya bahagia. Mungkin benar, cukup bagi kami. Atau aku hanya akan terus melukainya. Erel pantas mendapatkan perempuan lain. Perempuan yang mencintainya dan hanya mencintainya. Hanya dia dan tidak akan orang lain, bukannya seperti yang kulakukanku.

Pelan, kubuka pintu mobilku dan berjalan ke luar. Aku tidak akan bisa melalui ini sendirian. Aku butuh seseorang untuk memelukku meskipun hanya beberapa detik. Adrian. Kuharap dia masih cukup manusiawi untuk bisa memperlakukanku dengan lembut sekarang atau aku akan benar-benar berakhir sebagai perempuan mengenaskan yang patah hati malam ini.

Lift membawaku ke lantai teratas gedung ini. Ke salah satu apartemen yang harganya paling mahal dan paling mewah di sini. Apartemen Adrian, tempat tinggalnya. Aku melangkah dengan pelan dan tanpa semangat begitu keluar dari lift. Dengan pelan, aku menyusuri lorong bersih dan bercahaya ini menuju satu-satunya pintu di ruangan ini. Apartemen Adrian adalah satu-satunya bangunan yang ada di lantai ini. Dia menyukai kesendirian dan tempat ini benar-benar menunjukkan sifatnya. Aku merasa dingin dan begitu sepi. Aku lebih menyukai apartemen Erel dan semua kehangatan yang ditawarkan di sana.

Erel..

Tidak. Aku harus berusaha menghapuskan nama itu sekarang. Sudah selesai. Aku dan Erel tidak punya cerita lagi. Aku menarik nafas panjang, menghapus sisa air mataku dan menggesekkan kartu kunci apartemen Adrian.

Kegelapan menyambutku ketika aku masuk. Bau pengharum ruangan Adrian yang mirip seperi bau hutan dengan pohon pinus dan aroma-aroma lainnya membuatku merasa lebih tenang. Aku melepaskan sepatu berhak tinggiku dan berjalan pelan di dalam kegelapan ruang ini. Membiarkan dingin kayu yang menjadi lantai tempat ini menyentuhku. Suasana begitu hening. Adrian mungkin belum pulang dan aku akan menunggunya di dalam kamarnya. Sepertinya aku butuh berbaring. Aku butuh istirahat sejenak dari semua kepenatan di dalam kepalaku.

Aku menyentuh gagang pintu kamar Adrian, membukanya pelan dan berhenti ketika aku mendengar suara Adrian di dalam sana. Jantungku berdebar menyakitkan, dia tidak sendirian. Aku tahu aku harusnya langsung pergi dan bukannya mematung di sini. Tapi kakiku terlalu kebas dan aku diam, mendengarkan.

“Adrian..” Suara perempuan itu begitu lembut, dan dari celah yang tercipta di pintu, aku bisa melihat sosoknya. Tinggi semampai dengan rambutnya yang hanya sebahu. Dia cantik, dengan bibir berwarna merah terang yang penuh. Mungkinkah dia perempuan yang dilihat Martha di rumah sakit?

Adrian tidak pernah membawa perempuan lain selain aku ke ruangan tante Amy. Dan tadi dia membawa perempuan itu? Aku baru menyadarinya sekarang. Kenapa Adrian melakukannya? Apakah sekarang dia punya perempuan yang terasa penting baginya sehingga dia berani membawa perempuan itu di depan tante Amy?

“Aku mencintaimu.” Katanya lagi.

“Aku tahu, Dilla.” Suara Adrian terdengar lembut. Nada yang sama yang dia gunakan ketika dia berbicara padaku dulu. Aku menunggu, dengan debar jantung yang jauh lebih menyakitkan dari sebelumnya.

“Lalu apa lagi yang kurang?” perempuan itu duduk, menyentuh lengan Adrian, “Kita tetap bisa bersama bukan? Seperti yang selalu kau katakan untukku?”

Wajah Adrian nampak ragu, “Entahlah. Aku merasa ada yang salah.”

“Apalagi? Tidakkah cinta kita cukup? Mamamu akan merestui kita. Kita akan menjalin hubungan serius karena kita saling mencintai. Bukan seperti yang terjadi antara mama dan papamu. Dan kita bisa hidup bahagia.”

Aku terhuyung, menyentuh pintu. Untungnya tanpa menimbulkan suara apapun. Kepalaku berdenyut menyakitkan. Apa tadi? Kata-kata apa yang tadi meluncur dari mulut berbisa perempuan itu. Cinta kita? Restu mama? Tante Amy.. dan—aku tahu air mataku jatuh lagi—dia tahu tentang apa yang terjadi tentang tante Amy dan papa Adrian. Sudah sejauh inikah? Bukankah selama ini Adrian hanya bermain-main dengan semua perempuan penggoda itu? Dia tidak melibatkan perasaannya. Dia tidak—

“Aku punya Nuna, Dilla.”

Dengan rasa sakit yang semakin besar. Aku melihat wajah Adrian yang penuh kebingungan. Ada keraguan dan dia mengucapkan namaku seolah aku adalah penganggu dalam hubungan romantis mereka. Atau, aku memang seperti itu sekarang?

“Nuna? Perempuan itu lagi??” nada suara si perempuan meninggi dan dia menutup wajahnya dengan frustasi, “Aku tidak percaya kau masih memikirkannya. Aku pikir kau hanya mencintaiku sekarang. Tapi ter—“

“Aku mencintaimu. Kau tahu pasti hal itu, Dilla. Tapi Nuna juga merupakan bagian yang penting dalam hidupku.

Bagian?

Perempuan itu—Dilla—nampak marah dan dia menatap Adrian, “Lalu aku? Apakah aku tidak penting bagimu? Apakah aku masih di bawah perempuan itu di dalam kehidupanmu?”

Adrian menyentuh bahu perempuan itu dengan sabar, “Dilla, kumohon.“ katanya.

Tapi si perempuan menyentakkan tangan Adrian dan berjalan menuju pintu—ke arahku—dan seketika dia terdiam. Adrian juga. Mereka berdua seperti terkena mantra beku ketika melihatku berdiri di sini. Aku bisa melihat bibir Adrian menyebut namaku tapi tidak ada satu suarapun keluar dari bibirnya. Dia mungkin terlalu terkejut melihatku ada di sini.

Aku mengangkat wajahku dan Dilla balas memandangku seperti perempuan rendah yang tidak punya rasa malu. “Jadi kau ada di sana.” Katanya dengan suara dingin. Lalu dia berbalik menatap Adrian, “Bukankah ini saat yang tepat untuk membuatnya tahu yang sebenarnya?”

Adrian maju, meraih tangan Dilla dengan marah, “Apa maksudmu? Jangan macam-macam, Dilla.” Desisnya.

Tapi perempuan ini sepertinya sudah kehilangan kewarasannya ketika dia kembali menyentakkan tangan Adrian dan berjalan mendekat ke arahku, “Nuna, kau hanya masa lalu bagi Adrian. Kau harusnya pergi dan menjauh dari hidupnya. Hanya akan ada aku di masa depan Adrian dan kau, harusnya cukup tahu diri untuk pergi karena Adrian sudah tidak pernah mencintaimu lagi. Dia hanya mencin—“

PLAK

Kesabaranku habis. Aku tidak bisa menahan segalanya. Bagaimana dia bisa mengatakan itu di depanku? Mengatakannya dengan lantang seolah akulah yang jadi pihak ketiga di dalam cerita ini? Jadi seperti ini.. perempuan seperti ini yang dicintai Adrian.

Aku meninggalkan apartemen ini tanpa menoleh lagi begitu aku selesai menutup mulut pelacur itu dengan tamparanku.

“Nuna!!” aku bisa mendengar teriakan Adrian ketika aku berlari menjauh. Dia mengejarku, aku tahu itu. Tapi aku sudah tidak peduli.

“Nuna!” dia menangkap tanganku dan memaksaku berhenti. Aku meronta dan membuatnya melepaskan tanganku, “Apa lagi?” jeritku dengan air mata di mataku.

Dia terdiam, terkejut dengan reaksiku. Aku mundur menjauh ketika dia mencoba meraihku, “Nuna..” dia memanggilku dengan lembut. Dengan nada suara yang begitu kurindukan selama ini. Tapi sekarang? Tidak. Aku tahu dia juga bicara dengan nada suara itu ketika bersama pelacur tadi.

“Nuna, maafkan aku.”

Aku tahu harusnya ini akan menjadi indah. Adrian tidak pernah mengucapkan maaf padaku meski dia menyakitiku selama ini. Namun sekarang dia mengatakannya. Apakah dia benar-benar merasa bersalah padaku atau dia benar-benar mencintai pelacur itu sampai mengatakan ini kepadaku?

“Tidak. Kau tidak perlu minta maaf, Adrian.” Aku mencoba menguatkan diriku, “Aku yang harusnya minta maaf. Perempuan itu benar. Aku harusnya cukup tahu diri untuk pergi dan membiarkanmu bersamanya.”

Adrian menggeleng, “Tidak. Bukan seperti itu. Aku bisa menjelas—“

“Sudahlah.” Kataku menyerah, “Aku lelah, Adrian. Aku bersabar untuk semua yang terjadi di antara kita. Aku bersabar ketika semua perempuan-perempuan yang bukan aku mengelilingimu. Aku berpikir bahwa masih ada harapan di antara kita. Tapi..” aku mendesah, benar-benar merasa sangat lelah, “Mungkin aku salah. Tidak ada harapan di antara kita. Tidak ada yang tersisa di antara kita kecuali ingatan-ingatan yang ada di masa lalu.”

“Nuna—“

“Mungkin inilah saatnya kita melepaskan semua itu. Nikmatilah hidupmu, Adrian. Pergilah dengan siapapun yang kau inginkan. Tidak akan ada lagi aku yang menjadi bebanmu. Ketika tante Amy bangun nanti, aku yang akan menjelaskan padanya bahwa ini keputusanku. Aku tahu dia akan mengerti.”

“Kau tidak bisa memutuskan semua ini begitu saja.” Adrian membentakku dengan keras. Membuatku mundur tanpa aku sadari. Dia langsung meraih tanganku begitu melihat tatapan terkejutku, “Nuna, aku hanya mencintaimu.” Desahnya dengan suara sama lelah sepertiku. Aku bisa melihat pancaran mata yang tak asing di sana. Pancaran yang sama yang juga diberikan Erel untukku. Adrian dan Erel, mereka menderita.. bersamaku.

Aku menggeleng. Sudah. Cukup untuk hari ini. Aku berbalik dengan tegas. Meninggalkan Adrian tanpa mengatakan appun lagi. Sudah cukup. Aku menggenggam erat jemariku.

Erel. Adrian. Semuanya hilang. Pada akhirnya aku tidak mendapatkan apa-apa. Aku meninggalkan Erel demi Adrian dan sekarang Adrian.. aku tidak sanggup melanjutkan pikiran itu. Aku terus berjalan dengan tegap. Merasakan dingin lantai lorong apartemen Adrian menjalari kakiku yang telanjang. Membawa hawa dingin yang sama ke dalam hatiku. Aku merasa beku dan hancur.

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.