Pernah ketika dulu aku berpikir jika aku tidak akan pernah beranjak dari tempat ini. Aku akan tetap disini dan menatap satu arah, hanya padanya. Aku akan tertinggal di jalan ini dan hidup bersama kenangan masa lalu. Aku akan jauh berada di belakang ketika yang lainnya berlari bersama masa depan mereka. Pernah, ketika dulu, aku berpikir seperti demikian.
Namun nyatanya sekarang aku memilih beranjak. Memulai langkahku untuk meninggalkan tempat ini sesenti demi sesenti. Meskipun sangat lambat tapi aku tahu bahwa aku melangkah. Bahwa aku melakukan sesuatu dan bukan hanya diam seperti yang kulakukan selama ini.
![]() |
Source : Google Image |
Aku melangkah. Sambil terus memandang ke bawah hanya agar aku bisa melihat kakiku yang menapak ke depan. Sedikit sedikit, tapi aku begitu bahagia. Ini pembaharuan. Ini sebuah langkah awal yang sangat jauh dari apa yang dari dulu kupikirkan.
Lihat.. aku.. move on.
Sebelum ini yang aku tahu waktu berlalu dan aku menghitungnya dalam rentang sekitar dua puluh empat bulan sejak hari dimana kami mengenal. Lebih kurang selama itu aku hanya menatap kepadanya, diam dan terpekur dalam pesonanya. Orang bilang ini namanya tergila-gila. Aku tidak tahu. Ketika itu yang kutahu aku hanya merasa aku ingin menjadikannya porosku. Tempatku menyandarkan harapanku, citaku dan cintaku. Padanya kupasrahkan apa yang disebut orang ketulusan dan kesabaran. Pada sudut tempatnya berdiri, aku mengacu dan terdiam dalam hening yang sering kunikmati bersama rinduku tentangnya dan tentang kami.
Begitu banyak momentum terjadi dan aku tahu tak sedikit dari itu layaknya mimpi buruk bagiku. Hanya saja aku masih di tempat yang sama dan sama sekali tidak berniat untuk pergi. Meski porosku memiliki begitu banyak satelit baru yang gemerlap dan gemintang, aku, dalam cahaya samar-samar tetap memandanginya dalam pesona yang tidak berubah. Aku selalu seperti itu. Tak peduli apa yang kulakukan. Apa yang kutulis. Apa yang kukatakan. Aku tetap pada satu tempat. Tak bergeser meski sesentipun. Seperti terpaku jauh pada akar utama.
Sahabat-sahabatku berkata bahwa aku gila. Bahwa aku terobsesi padanya. Entah. Mungkin benar begitu tapi itu tetap tidak menggoyahkanku. Aku tetap memandangnya dalam diam yang kadang membuatku nelangsa. Aku bercerita hanya dalam cubicle ini, membagi airmata dan duka yang tidak kubagi bersamanya. Aku menikmati sakit yang cuma kutulis, tanpa dia akan pernah paham seperti apa itu. Namun aku tidak peduli, sejak dulu aku tahu dia tidak akan mau tahu dan aku sudah memaksa diriku agar aku tahu itu dan tidak memperdebatkannya. Maka aku mengerti, mencoba mengerti.
Lalu aku diam. Dan dalam diam aku tetap berada di tempatku. Tidak beranjak. Aku menjadi penonton. Melihat hidupnya yang tanpaku. Membaca hidupnya yang bebas dariku sementara aku menjalankan hidupku dan terikat bersamanya. Sedikit rumit dan aku tahu akan sulit. Tapi aku tetap saja diam dan hanya memandangnya. Meski aku tahu dia tidak pernah balik memandangku.
Aku berharap dia selalu bahagia.
Bagian mataku yang menangkap bayangannya yang bersama satelit lain mengabarkan padaku bahwa dia tertawa lepas. Satu hal yang sulit dia ungkap ketika aku berputar begitu dekat dengannya. Dia tersenyum, dia tertawa, dia membuat kata-kata dan dia jujur. Semua hal yang tidak dia lakukan ketika dia berada dalam rotasiku. Mataku mengerjap dengan sulit ketika otaknya memproses segalanya dan menarik sebuah kesimpulan. Ketika nuraniku menyadarkanku yang membeku begitu aku membaca kesimpulan itu, aku tersedu. Aku tidak akan bisa, meski sekalipun, untuk bisa menjadi seperti satelit itu di depannya.
Maka beberapa waktu yang lalu aku berputar arah dan membelakanginya meski secara fisik aku tidak bergerak dari tempatku yang biasanya. Aku merenung. Berpikir dengan menggunakan otakku yang paling jernih. Berbicara dengan sudut nuraniku yang paling jujur. Dia sudah bahagia dan itu bukan karena aku. Dia sudah bahagia dan itu karena sosok lain. Dia sudah bahagia dan aku tidak boleh selalu jadi pengganggu. Dia sudah bahagia dan aku harus berhenti.
Berhenti?
Sebelumnya aku sama sekali tidak pernah berpikir akan berhenti. Namun kenyataannya sekarang aku harus berhenti. Suka atau tidak. Mau atau tidak. Aku harus berhenti. Aku harus berhenti menunggunya di sudut ini. Aku harus berhenti memandanginya dari kejauhan. Aku harus berhenti membaca kehidupannya. Aku harus berhenti menggambar wajahnya dalam ingatanku. Aku harus!
Maka dengan pikiran sejernih mata air di puncak pegunungan paling alami, aku mengakuinya. Aku memutuskannya. Aku akan melakukannya. Ya, aku akan.. berhenti.Jadi sekarang, sebelum aku melangkah pergi, aku akan memandangnya lekat-lekat. Memandangnya dengan lebih baik dari sebelumnya. Memandangnya untuk membentuk ingatanku tentangnya, meski ini untuk yang terakhir kali.
Dia sedang tertawa. Dia sedang bahagia. Dia sedang jatuh cinta. Dia bilang dia akan jadi apapun yang satelit itu mau. Dia juga merasakan rindu. Dia juga merencanakan berputar disana. Dia menari. Dia tertawa. Dia tertawa. Dia bahagia.
Mataku berkabut. Astaga perempuan, betapa lemahnya kau.
Aku menyeka ingatan burukku tentangnya dan menyimpan satu raut wajah tertawanya di dalam jiwaku. Meski tawa itu ada bukan karena aku, aku bahagia melihatnya bahagia. Meski bukan karena aku, aku bahagia. Aku bahagia karena kebahagiaannya membuatku merasa lega. Karena kebahagiaannya adalah jalan bagiku untuk melangkah dan meninggalkan tempatku berdiam selama ini.
Aku melangkah. Sekarang akhirnya aku memilih melangkah. Aku melangkah pergi sambil terus memandang ke bawah hanya agar aku bisa melihat kakiku yang menapak ke depan. Sedikit sedikit, tapi aku begitu bahagia. Ini pembaharuan. Ini sebuah langkah awal yang sangat jauh dari apa yang dari dulu kupikirkan.
Lihat.. aku.. move on.
Surabaya, 13 November 2013
07.05 PM
*catatan dari seorang perempuan yang sebelumnya selalu gagal move on
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.