Dulu, ketika masih berusia empat belas tahunan, aku sering memikirkan bagaimana kelak cinta akan datang padaku. Dengan cara seperti apa, dimana, siapa dan kapan. Aku menerka-nerka, tapi kebanyakan malah terbentuk dalam imajinasi-imajinasi konyol yang sudah banyak dipengaruhi oleh drama-drama korea romantis yang kutonton. Seperti laki-laki yang sangat tulus mencintaiku, menerima apa adanya aku tanpa banyak mengeluh. Laki-laki yang membuatku betah menghabiskan dua puluh empat jamku hanya untuk berada di dekatnya. Laki-laki romantis yang mencium keningku dengan lembut, yang mengusap kepalaku penuh sayang, yang tertawa bersamaku. Berbagi kehidupannya denganku. Berbicara dan mengisahkan banyak hal kepadaku. Dan sialnya, aku seperti terobsesi pada laki-laki dalam bayangan di kepalaku ini.
Tapi kemudian, waktu berjalan cepat bagiku dan tidak terjadi apa-apa setelah bertahun-tahun berlalu. Tidak ada laki-laki itu, tidak ada yang mencium keningku, tidak ada yang mengusap kepalaku dengan sayang. Tidak ada. Aku kosong dan sendirian. Kupikir cinta mungkin akan jadi masalah yang sedikit rumit bagi kehidupanku. Aku sudah cukup umur untuk menjalin kisah dengan lawan jenisku. Tapi disini toh nyatanya aku sama sekali belum pernah menjalin kisah cinta dengan lawan jenisku. Aku berusaha. Sungguh. Kukatakan aku terobsesi mendapatkan laki-laki yang sering muncul dalam kepalaku itu dan aku mencoba. Aku mencoba menjalin beberapa kisah dan kuakui hasilnya buruk. Benar-benar tidak ada yang istimewa. Bersama mereka, aku merasa bosan. Cinta yang ada dalam kepalaku tidak semenyebalkan ini kurasa.
Maka aku berhenti mencoba dan menjalani hidupku seperti biasa, tanpa cinta. Tapi ingat, cinta yang kukisahkan ini hanya cinta dalam konteks seperti.. ya kau tahu, kisah-kisah seperti Romeo dan Juliet atau Prince Charming dan Putri Salju? Kita sedang membicarakan cinta yang seperti itu, tolong digarisbawahi agar nanti tidak terjadi perdebatan tentang betapa obsesifnya aku pada cinta. Well, cinta memang punya banyak jenis. Nah kembali pada kisahku, dan teruslah membaca kalau kau sudah paham.
Hidupku, lebih bisa kukatakan agak membosankan, sama seperti beberapa laki-laki yang pernah kupilih untuk kucoba cintai. Aku termasuk kategori anak baik. Atau paling tidak seperti itulah paradigma yang ada di kepala orang-orang di sekitarku. Anak perempuan manis penurut, juara kelas, tak pernah terlibat kenakalan-kenakalan yang seringkali melibatkan teman-teman terdekatku, penerima beasiswa, dan yah aku berhenti disini. Tidak perlu terlalu spesifik, aku bisa besar kepala, tapi yah, seperti itulah. Sesuatu yang baik dalam waktu lama yang konstan cenderung membosankan. Sangat. Tapi aku belum punya cukup keberanian untuk mendobrak semua dinding-dinding manis yang kubangun sendiri itu. Tidak jika kau tahu bentuk kebanggaan dan kebahagiaan seperti apa yang ada di wajah orangtuaku setiap kali aku pulang dan berkata, “Aku juara lagi..” atau “Aku dapat beasiswa bu..”. Meskipun dalam perkembangannya aku banyak berubah menjadi tidak terlalu manis dan penurut, tapi aku tidak pernah benar-benar membangkang. Tidak, aku tidak akan tega menghancurkan rona itu. Tidak akan pernah, karena aku, dengan seluruh jiwa dan hatiku, sangat mencintai orangtuaku. Mereka satu-satunya alasanku untuk banyak hal yang seringkali kulakukan meski sebenarnya aku enggan. Aku tidak ingin mengecewakan mereka. Mereka kehidupanku. Kau tahu? Itu salah satu jenis cinta lain yang sangat kuat.
Nah, kembali ke kisah cinta yang ini. Aku akhirnya merasakannya. Benar-benar, tapi tak tahu pasti kapan itu. Hanya terasa. Sangat kuat. Ini.. cinta yang seperti itu. Aku yakin. Tak ada kesalahan sama sekali. Semua berawal ketika waktu melenggang di matinya bulan kedelapan, sedikit tindakan main-main, campuran keisengan, mencari pelarian dari rutinitas membosankanku. Kemudian sebuah hubungan yang terjalin, meski dengan cara yang tidak keren kupikir. Tapi aku tidak akan membahasnya disini. Singkat kata, aku punya pacar, lagi.
Sudahkah kuceritakan kalau aku sangat menyukai laki-laki yang punya minat berlebih pada musik? Jika belum, dengarkan ceritaku lewat tulisanku ini. Aku suka musik, musik-musik dengan irama dan hentakan keras mungkin lebih baik bagiku. Dan aku akan sangat bersyukur kalau bisa membagi hobiku ini dengan laki-lakiku. Suatu hari, diantara irama alam, aku bersenandung dan dia memainkan alat musik. Kami memnghabiskan waktu dengan tenggelam dalam nada dan irama yang akan kami kenang sepanjang hidup kami. Bernyanyi bersama. Itu indah sekali dan aku sangat ingin benar-benar punya momentum seperti itu. Jadi, selama dulu aku mencoba mencari cinta. Aku selalu mencari, ya setidaknya laki-laki yang bisa memetik senar gitar dengan baik. Dan mujurnya, laki-laki yang pada akhirnya kutemukan sebagai laki-laki pertama yang membuatku jatuh cinta ini juga menguasai alat musik tersebut. Dia juga sangat menyukai musik, musik jenis rock lebih tepatnya. Dan kami setipe. Damn, dia makin mempesonakanku. Baiklah, dalam sedikit hal atau mungkin banyak, dia menang. Aku jatuh cinta.
Bulan kedelapan mati dengan cepat meninggalkan senyum lebar di wajahku. Halo dunia! Aku tidak kosong lagi. Aku tidak sendiri lagi. Aku punya dia, pacarku. Aku punya orang yang selalu menanyakan kabarku, sedang apa aku sekarang, sudah makankah aku dan banyak pertanyaan jenis seperti ini lainnya. Aku tidak keberatan meski ini terlalu umum. Tapi yah, siapa sih aku yang bisa dengan sadar menolak kehadiran laki-laki yang kucintai?
Hey Lord. If this is what people called ‘love’, please, I’m begging you. Please give us the best way.
Aku jatuh cinta. Terlalu banyak dan aku terperosok terlalu dalam dalam perasaanku ini. Aku sembilan belas tahun ketika itu. Dan dengan sadar kubiarkan cinta mengekangku dalam halusinasi kebahagiaan. Jangan tanya kenapa kusebut ini halusinasi meski kebahagiaan itu nyata adanya. Aku hanya merasa, sejak awal, kalau cinta yang terlalu banyak itu buruk. Aku tahu, tapi tak bisa menahan diriku untuk tidak bertambah jatuh cinta pada laki-laki itu setiap kali kami bisa bertemu. Bukan salahku kalau aku begitu terobsesi, ini cinta pertamaku, ingat?
Oktober, Januari, lalu sudah Januari lagi, kemudian sedikit tambahan dua hari di bibir Februari. Astaga, ini sempurna. Bulan-bulan berlalu dan aku tetap mencintainya. Sama seperti ketika pertama kali bertemu dengannya, meski kadarnya kutahu sering naik turun karena banyaknya kejadian sepanjang tahun, meski bisa kukatakan kadar cintaku tak pernah berada dalam titik terendah sejauh ini.
Tapi, cinta.. selalu saja tidak sepenuhnya senang-senang bukan? Pasti ada airmata atau isakan tertahan dan sakit hati dalam perjalanannya. Dan sialnya, bagiku, tak butuh waktu lama untuk segera merasakannya. Ini cinta pertamaku, cinta yang sangat dalam, cinta yang padanya kupersembahkan ketulusan dan kesetiaan tanpa cacat. Aku tidak tahu bagaimana harus bersikap. Mungkin aku sedikit pencemburu, sedikit cerewet, sedikit menuntut perhatiannya, sedikit.. yah, bersikap buruk mungkin. Aku tidak tahu. Aku tidak tahu mana yang salah karena dia tidak pernah berbagi isi kepalanya denganku. Dia, tidak menjadi laki-laki yang berbagi kehidupannya denganku. Dia tidak berbicara dan mengisahkan banyak hal kepadaku. Dia cenderung menutup dirinya, dariku. Meski kuakui dia mencium keningku. Memelukku hangat, tapi tetap saja dia seperti membentengi dirinya dariku. Aku tidak tahu dia orang yang seperti apa. Aku, seringkali mendapati diriku sendiri berpikir bahwa aku mungkin belum benar-benar mengenalnya. Atau bahkan sama sekali tidak mengenalnya. Entahlah.
Agak buruk. Sangat buruk, kukoreksi, perasaanku. Di Februari setelah Januari yang pertama,kami berpisah atau baiklah, jangan melihatku seperti itu! Dia yang memilih berpisah, menyingkirkanku. (Oke, puas sekarang?). Awalnya aku tidak yakin kenapa, aku tidak percaya pada alasan yang dikemukannya. Aku bahkan melawan kenyataan bahwa aku memohon padanya untuk kembali padaku. Aku mencintainya.
You deserve my ego. I love you. Please stay here, with me. Please..
Tetapi dengan sedih kukatakan tak ada yang berubah. Dia bergeming. Dia pergi, begitu saja setelah membuatku jatuh cinta sampai terseok-seok seperti ini. Dia pergi, begitu saja setelah membuat aku mengucapkan janji akan terus bersamanya, setia padanya. Dia pergi.. dan entah akan kembali atau tidak. Kau pikir ini sudah bagian yang terburuk tentang cinta yang kukisahkan? Kupikir juga begitu, tapi sayangnya kita salah. Sangat salah karena rupanya ini sama sekali belum apa-apa. Ini hanya sebagian kecil dari hal-hal buruk yang datang pada kisah cintaku.
Katakan padaku apa yang lebih buruk dari pacarmu menendangmu hanya untuk jadian dengan perempuan lain yang gilanya adalah temanmu sendiri?
(hening, tidak ada jawaban)
Aku mengangguk, mengerti. Sebab dengan semua kesialan sepanjang hidupku yang sepertinya bertumpuk disini, itulah yang terjadi. Dia pergi, pergi untuk mendapatkan perempuan lain. Perempuan lain yang dulunya bisa kusebut teman. Mengerikan! Aku belum pernah merasakan sendiri sesuatu yang sangat buruk seperti ini meski kuakui aku pernah melihatnya sendiri juga terjadi dengan karibku semasa SMA. Tapi tetap saja ini sangat mengerikan. Hanya lima puluh delapan hari, kalau aku tak salah hitung, dari hari dimana dia mengatakan ingin berpisah denganku dan dia sudah mengandeng perempuan lain dengan sangat mesra. Memamerkannya di depan banyak orang. Menaburkan banyak kata “sayang” yang membuatku ingin muntah setiap aku mendapati satu di depan mataku.
Jujur saja aku hancur. Rasanya seperti menjadi olok-olok. Ketika aku, dengan sangat bangga mengatakan pada dunia aku mencintainya, dia malah pergi. Meninggalkanku dan mengabarkan pada dunia bahwa dia mencintai perempuan lain. Astaga, rasanya seperti melihat mereka berciuman mesra tepat di depan hidungku dan setelah itu mereka tergelak melihatku yang berantakan dan berkata, “What are doing here, LOSER?”
Well, ini lebih dari apa yang disebut buruk sekali. Cintaku? Cinta pertamaku selesai. Diselesaikan lebih tepatnya dengan cara sekeji ini. Abaikan jika majas yang kugunakan kebanyakan hiperbola, hanya saja aku.. terluka. Aku ingat kalau aku bahkan menangis sampai terisak-isak di sebuah senja di pertengahan bulan April yang muram. Itu airmata paling parah yang terjadi untuk kedua kalinya, agak tak terkontrol, sejak yang pertama di masa-masa akhir SMA-ku. Setelahnya pun tak dapat kuingkari kalau aku jadi banyak menangis. Sejujurnya aku bukan orang yang lemah. I’m doing the best that I can.Aku hanya belum siap dan tidak menyangka akan mendapatkan perlakuan seperti ini dari cinta pertamaku, mengingat bagaimana bahagianya aku ketika di hari-hari pertama menyadari keberadaannya atau juga mengingat bagaimana aku begitu bersemangat membicarakan cinta bahkan di umur-umur yang harusnya kugunakan untuk memikirkan serial terbaru film barbie. Jujur saja sepertinya aku terlalu cepat dewasa.
Waktu berlalu. Detik. Menit. Jam. Hari. Minggu. Bulan. Semuanya berganti tapi aku statis tanpa pergerakan jelas. Harusnya ada masa, mengingat semua hal buruk yang terjadi, dimana aku akan sangat membencinya. Tapi sepertinya aku punya sistem pengecualian untuk yang satu ini dan aku tidak paham benar bagaimana atau kenapa bisa. Sebab setelah semua ini, aku sama sekali tidak benci padanya. Harus kuakui, memang ada beberapa jam dimana aku sangat marah padanya. Tapi tetap saja. Aku akhirnya kembali diam. Diam dan mencintainya. Seperti dulu.
Aku tidak tahu ini cinta jenis apa ketika aku tahu aku masih sangat mengharapkan dia kembali padaku. Aku bersedia, bersedia dengan tangan terbuka jika dia mau kembali padaku. Liking someone isn’t choice. It comes from your heart. Lagipula ini cinta pertamaku. Dia, cinta pertamaku. Kenyataannya, itulah yang kulakukan kemudian. Aku memeluknya dengan hangat ketika dia terengah, kembali padaku. Sorry.. dan aku datang menyambutnya seperti menyambut pahlawan yang baru pulang dari medan perang. Aku tidak peduli. Persetan dengan semua omongan orang tentang keputusan bodoh yang kupilih untuk kembali padanya. Aku mencintainya dan tak akan ingin kehilangan dia lagi. Cukup sekali bagiku dan tidak akan terjadi lagi. Aku janji..
Memeluk cinta pertama, kau ingat rasanya? Aku ingat. The best feel that I’ve ever got. Itu seperti coklat cair hangat yang membuatmu meleleh bahagia karena manisnya. Dan ya, aku bahagia. Aku memaafkannya. Meskipun aku selalu penasaran kenapa dia dulu lebih tertarik dengan perempuan itu daripada aku, tapi dia tak pernah membahas tentang masalah itu ketika kami kembali bersama dan aku memilih tidak mengungkitnya lagi kalau dia memang tidak ingin membicarakannya. Suatu saat nanti, jika dia merasa yakin, aku tahu dia akhirnya akan memberitahukan padaku alasan sebenarnya dia melakukannya. Aku percaya itu.
You are what I never knew I always wanted. Took me 12 months to finally realize it. In fact, you are beyond ‘wanted’, you are ‘needed’.
Sekali lagi waktu merambati setiap kedekatan kami. Aku membingkai dengan indah setiap obrolan yang tercipta diantara kami. Aku mengabadikan setiap tempat dan setiap momentum dalam kisah cinta kami dalam ingatan kekal di kepalaku. Aku tahu, dia, cinta.. memang muncul tak sesempurna apa yang kuharapkan dahulu. Tapi disini, jauh dalam dasar hatiku aku puas. Tak perlu seseorang yang sangat sempurna untuk bisa membuatmu jatuh cinta dan terus jatuh cinta meski dia pernah menyakitimu. Tak perlu seseorang yang bisa mengubah dunia untuk bisa kau cintai kalau kau sudah bisa menemukan seseorang yang mengubahmu. Secara psikis ya, dia melakukannya. Dia memang tak tahu bagaimana sekarang aku menjadi perempuan yang jauh lebih sabar, lebih menghargai orang lain, lebih peduli pada orang lain daripada aku yang dulu. Dia mengubahku menjadi lebih baik. He’s my cup of tea. Bersamanya egoismeku memudar. Superioritas dan intimidasi murni yang kerap muncul dalam diriku berkurang dengan pasti. Aku tahu. Aku tahu cinta membawaku dalam bentuk yang lebih baik. Dan aku selalu bersyukur mengenal dan mencintainya apapun yang terjadi.
Apapun yang terjadi.Sepertinya aku akan menelan ucapanku sendiri setelah ini. Januari kedua dan sedikit tambahan dua hari di lahirnya bulan Februari yang sempurna bagi sekotak kenangan kami pada akhirnya tak dapat mengubah ini terjadi lagi pada kami. Perpisahan. Entah bagaimana terjadi lagi. Ini mendekati tahun kedua kami dan aku malah memilih meninggalkannya. Aku. Ya, kali ini aku yang melakukannya.
Please forgive me for what I’m about to say. And know this is the hardest thing I’ve ever had to do.
Lelah. Aku hanya sangat lelah menghadapi sikap-sikapnya. Aku tidak pernah memintanya berada penuh dalam perputaran waktuku. Aku hanya mau dia peduli dan mengerti. Sedikit saja, tapi dia enggan. Cenderung menolak meski tak langsung. Hubungan percintaan harusnya tak sehambar ini. Tapi dalam hari-hari di akhir Februari dan awal Maret aku merasa ini sudah kelewat serius untuk kudiamkan. Aku harus melakukan sesuatu agar kepalaku dan semua pikiran burukku tidak pecah menjadi emosi tak terkendali yang bisa kembali membangunkan sifat-sifat egoku. Aku harus melakukan sesuatu.
Jadi aku mencoba bicara. Menyapa. Dan sialnya, tak ada kabar baik yang datang menjawab sapaanku. Hanya angin dingin yang berhembus menerpa tengkukku, berbisik bahwa segalanya sudah tak sama lagi, setidaknya baginya. Apa dia, pada akhirnya memutuskan bahwa kembali padaku adalah pilihan yang salah? Mungkin juga dia diam, pikirnya mungkin tidak sopan mendepakku untuk kedua kalinya, jadi dia menunggu. Menunggu sampai aku bosan menghadapi ke-diam-annya. Dia berhasil kalau memang seperti itu jalan pikirannya. Sebab toh pada akhirnya aku mengalah dan kali ini memilih mengakhiri semua ini.
Entah.. aku tidak tahu kenapa aku yang dulunya begitu keukeuh menginginkan dia kembali lagi padaku justru memilih melakukan ini. Aku mungkin akan menyesali keputusanku ini. Tapi setidaknya, untuk sekarang, ini mungkin yang terbaik. Sebab dimana baiknya sebuah hubungan jika di dalamnya tak ada komunikasi yang terbentuk? Dimana baiknya sebuah cinta jika di dalamnya hanya ada satu respon tunggal, tanpa balas. Aku mencoba memahami situasi ini. Aku tidak akan kembali egois dengan tetap menahannya bersamaku jika dia tidak merasa nyaman. Mungkin dia hanya merasa bersalah. Itu sebabnya dia memilih kembali padaku. Mungkin dia kasihan. Mungkin..
Jadi disinilah aku, pada akhirnya kembali sendirian tapi tidak kosong. Aku penuh, penuh oleh semua kenangan cinta yang ditorehkannya dalam kehidupanku. Being with him has made me so happy. Aku bersyukur, aku mencintainya dan tanpa ragu jelas masih mencintainya. Sampai sekarang dan entah sampai kapan. Aku bersyukur, dialah orang yang Tuhan kirim untukku sebagai cinta pertamaku. Aku tidak menyesal, tidak. Tidak ada yang perlu kusesali disini. Tidak juga untuk semua tangis, sakit hati dan amarah yang pernah ada diantara kami dulu. Itu proses hidup.
Aku percaya, cinta tak pernah salah. Cara kami bertemu tidak salah, bagaimana aku jatuh cinta juga tidak salah. Tidak ada yang salah. Mungkin hanya aku yang belum cukup bisa untuk membuat orang yang kucintai tinggal bersamaku dan memilihku. Mungkin aku belum mahir mencintai seseorang dengan benar. Wajar, ini yang pertama. Dia yang pertama. Dan dia laki-laki yang tepat. Kuakui dia baik. Meski kadang aku menyebutnya jahat tapi sesungguhnya dia baik. Murni dan tulus. Hanya saja aku yang tidak bisa memunculkan sifatnya itu ketika dia bersamaku. Ini salahku. Aku terlalu terobsesi pada cinta dan tak melihat aspek-aspek lain yang mungkin ada. Kau tahu, seperti ini misalnya, ketika aku merengek, menuntut pehatiannya, tidakkah pernah kupikirkan dia juga butuh perhatianku? Perhatianku pada kehidupannya. Dia sibuk dan punya banyak hal yang mungkin lebih pantas diperhatikan daripada seorang perempuan kekanak-kanakkan yang sedang tergila-gila pada cinta pertamanya. Aku harusnya lebih mengerti.
Tapi.. seperti kukatakan sebelumnya, cinta tidak salah. Tidak pernah salah. Kombinasi ketidakberuntungan dan nasib buruk mungkin saja berperan tanpa kusadari, jadi aku akan berhenti menangisi keputusan perpisahan ini. Suatu saat aku akan tahu bahwa aku tidak salah mengambil keputusan ini, karena dengan mengambil jeda, menjauh, aku bisa belajar memahaminya lebih baik. Dengan begitu, ketika kelak waktu akhirnya mengizinkanku untuk mencoba mencintai lagi, aku tidak akan jatuh pada kesalahan yang sama.
Kau mau dengar sesuatu dariku yang terdengar seperti menggurui? Jika ya, simak ini baik-baik. Kelak, jika kau sudah siap untuk jatuh cinta. Pasanglah batas kadar cinta yang akan kau ambil. Jangan jatuh cinta terlalu banyak karena itu merepotkan. Kebanyakan menghasilkan petaka dan airmata. Tapi percayalah, cinta, pada akhirnya akan selalu membuatmu bersyukur pernah ada dalam dunia ini. Cinta mengajarimu sesuatu yang lebih berharga dari aritmatika atau alkimia. Ada makna kehidupan yang diselipkan rapi dan hati-hati. Dan jika kau beruntung, kau akan menemukan ‘happy ever after’mu.
Tapi tetap lihat kondisimu, jangan memaksakan dirimu berusaha terlalu keras untuk cinta. Ada titik-titik dimana kau perlu jeda. Ada saat dimana kau hanya perlu mundur, mengambil tempat sendiri dan mencoba mengambil nafas dengan baik. Jika tak ada orang yang bisa menghargai cintamu dengan benar, maka kau, saat itu, harus mulai menimbang untuk menghargai dirimu sendiri. Sebab jika tidak, hatimu bisa membusuk dan itu buruk. Masih ingatkan? Cinta selalu baik. Akan ada banyak hal-hal baik yang menaungi cinta. Dan hati yang membiru bukan salah satunya. Mungkin kau salah menafsirkan cinta. Mungkin. Itu kemungkinan terkecilnya. Dan tetap saja patut dipertimbangkan. Kemudian, jika sudah selesai berdebat tentang ini cinta atau bukan. Kau bisa tersenyum, menghela nafas. Memandang kedepan dan berkata, “Aku bersyukur aku bisa mencintai.”
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.