Ketika mendengar suara hujan aku selalu mengingatmu. Ketika disentuh hujan aku selalu mengingatmu. Ketika melihat hujan aku selalu mengingatmu. Ketika merindukan hujan berarti aku juga merindukanmu. Hujan dan kamu adalah satu bentuk kesatuan yang saling melekat dan membawaku dalam diam yang lama. Aku suka hujan. Aku suka kamu. Kehilanganmu adalah kehilanganku akan hujan. Dan akankah itu terjadi?
***
Aku menepi, merasakan titik-titik air yang jatuh dari langit mulai membasahi kepala, bahu dan wajahku. Mula-mula aku hanya diam, lalu perlahan mendongak. Langit gelap. Aku masih diam ketika hampir semua orang di dekatku berlarian menghindari hujan. Bergegas mencari tempat berteduh. Bahkan yang sudah memakai payung pun masih berjalan dengan cepat hanya karena mereka tidak ingin basah oleh air hujan. Ah, orang-orang ini, keluhku dalam hati. Aku menepi bukan untuk menghindari hujan. Aku menepi untuk memberi jalan kepada mereka yang bergegas. Sebab aku ingin menikmati hujan tanpa menganggu orang lain.
Aku memejamkan mataku. Beberapa saat saja kubiarkan aku hidup dalam dunia hujanku sendiri. Saat mataku terpejam aku mendengar lagu hujan. Aku merasakan sentuhan-sentuhan hangat hujan yang dingin dan ketika itu aku merasa damai dan tenang. Hujan itu obat paling mujarab bagiku. Aku tersenyum, Tuhan terima kasih untuk hujan hari ini.
Tak peduli. Sudah biasa bagiku melihat orang-orang memandangiku dengan aneh dari tempat mereka berteduh ketika hujan turun makin deras. Aku bahkan terkesan melambatkan langkahku dan kuakui itu memang benar. Aku suka hujan. Sudah kubilang bukan? Jadi aku ingin menikmati waktuku bersama hujan. Basah bukan hal yang perlu untuk dipermasalahkan. Basah adalah resiko yang harus kuhadapi karena aku menyukai hujan. Dan itu bukan suatu hal yang aneh. Bukankah setiap hal, apa pun itu selalu punya resiko. Entah kalian mau menyadarinya atau tidak. Langkah kakimu itu bahkan juga mengandung resiko. Jadi buat apa keheranan melihat aku berbasah-basahan karena hujan. Aku toh tidak apa-apa dan malah menyukainya.
Langkah kakiku menapak seirama hujan. Aku memandang jalanan di depanku. Tidak tahu harus memikirkan apa. Aku hanya tahu aku sedang bahagia karena hujan. Dan aku… ah iya, kamu. Hujan itu kamu. Selalu ada kamu dalam pikiranku ketika hujan, seperti sekarang ini. Aku semakin melambatkan langkahku seirama dengan alur-alur cerita tentang kamu yang sedang berebutan untuk kususun dan kukenang kembali.
Kamu adalah hujanku. Padahal aku ingat dengan jelas kalau kamu bahkan sama sekali tidak suka hujan. Lalu kenapa bagiku kamu adalah hujan? Entahlah, aku pun tak tahu. Aku hanya tahu bahwa semua yang kurasakan ketika hujan sama seperti perasaan yang kurasakan ketika ada kamu. Aku suka kamu. Aku suka hujan. Aku suka. Suka sekali.
Lamat-lamat dalam langkahku yang tanpa suara aku kembali pada ingatan tentangmu. Tentang bagaimana kita dahulu. Kita? Mendadak langkahku terhenti. Aku memandang air hujan yang berjatuhan makin banyak. Bercipratan membasahiku dan membasahi jalan di sekitarku.
Kulanjutkan langkahku dan berusaha mengingat kenangan yang baik saja. Aku tersenyum. Yah, kenangan yang baik. Kenangan indah. Aku mengusap-usap kedua telapak tanganku di depan wajahku. Aku rindu kamu padahal sekarang ada hujan. Aku rindu ketika kamu tersenyum. Kamu marah. Apa pun ekspresi itu, jika milikmu maka aku merindukannya. Tapi masihkah boleh kumerindukan kamu ketika kamu bahkan entah masih mengingatku atau tidak.
“Jangan ada hujan diantara kita. Aku tidak suka hujan. Cuma bikin sakit. Pokoknya aku tidak mau keluar kalau sedang hujan. Basah, jalanan licin, macet belum lagi kalau banjir. Ribet”
Sebesar itukah rasa tidak sukamu terhadap hujan? Lalu kalau aku menurutimu karena aku menyukaimu. Apakah itu berarti aku juga harus tidak menyukai hujan? Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak mau. Aku menyukaimu. Tapi aku juga menyukai hujan. Aku ingin menyukai keduanya. Kamu dan hujan, dan bukan salah satunya. Aku ingin dua-duanya. Boleh ya?
“Di luar hujan, dek.” katamu pelan sambil memandang ke arahku ketika itu. “Jogja hujan seharian ini. Menyebalkan. Tapi kamu pasti malah suka?” gerutumu sambil melangkah menjauh dari pintu.
Aku tersenyum, aku tahu aku boleh menyukai keduanya. Kamu mau mengerti. Kamu memahami aku yang menyukai hujan. Aku masih ingat kalau aku melangkah mendekat ke pintu. Merepet, mendengarkan suara hujan tanpa bisa melihatnya. Tapi ketika itu aku bahagia sekali. Kamu memberikanku waktu mendengarkan lagu hujan meski kamu tidak suka hujan. Sesekali memandangku, kamu tetap sok dingin tapi aku menyukaimu, dan hujan tentu saja.
Aku menyentuh lenganku sendiri. Tubuhku sudah nyaris basah kuyup dan hujan masih deras. Aku pun tetap tidak ingin berhenti berjalan. Sudah dekat. Mungkin setelah ini aku bisa menikmati hujan dengan secangkir teh hangat di tanganku. Jadi buat apa aku berhenti kalau aku bisa menikmati hujan lebih lama. Orang-orang yang berteduh pun masih memandangiku. Dan aku pun tetap tak mau peduli tentang mereka.
“Kenapa sih kamu itu suka banget hujan? Heran, kok ada ya orang yang suka hujan seperti kamu?”
Aku tersenyum lebar. Kamu pun penasaran rupanya. Makin penasaran karena aku hanya menjawab tidak tahu tanpa mengalihkan pandanganku pada hujan yang tidak bisa kamu lihat. Kamu mengamatiku. Geleng-geleng kepala dan kembali hidup dalam dunia game sepak bola yang begitu kamu sukai.
Aku merangkai huruf-huruf dalam kepalaku dan merangkainya menjadi alasan untuk menjawab pertanyaanmu. Tapi ketika aku sudah bicara, sedetikpun kau tak lagi menoleh ke arahku. Semua perhatianmu berada dalam game yang tengah kau mainkan.
Kamu bukan orang yang bisa dengan mudah memperhatikanku. Kamu bukan orang yang mau mengubrisku hanya untuk mendengarkan hal-hal yang menurutmu tidak penting. Jadi, aku pun tidak tahu apa pertanyaanmu ketika itu benar-benar tulus penasaran atau hanya pertanyaan mengambang yang diucapkan tanpa peduli pada jawaban yang akan kuberikan. Seperti sekedar keluar sebagai basa basi.
Tapi ya sudahlah, buat apa memperdebatkan itu lagi. Aku tidak mau menyia-siakan hujan kali ini. Aku mau menyusun huruf-huruf itu lagi. Aku, hujan, kamu. Aku menyukai hujan karena hujan yang membuatku menyadari kalau aku menyukaimu. Aku menyukai hujan karena hujan menahanmu lebih lama bersamaku. Hujanlah yang mendekatkan kita. Hujan yang membuat aku bisa memandangmu lekat. Hujan membiarkanku memelukmu. Hujan yang menghangatkan cinta kita. Hujan yang membuatku selalu bisa bertahan denganmu meski kamu selalu membuatku lelah menghadapi sikap-sikapmu. Hujan menyanyikan lelagu yang menenangkanku ketika aku risau, ketika aku marah, ketika aku kecewa. Sebab hujan baik. Baik dengan semua keterbatasan yang dimilikinya. Hujan demikian romantis. Hujan yang mendekatkan kita. Sadarkah kamu? Sadarkah atas semua anugerah hujan?
Aku tahu dengan benar bahwa kamu sama sekali tidak menyadari itu. Haruskah aku membuatmu menyadari itu dengan caraku. Setelah sekian lama kita merapuh. Meluruh dalam ikatan yang semakin terkikis. Aku yang tak pernah menyerah meski kamu selalu membuatku mendekati titik batas kesabaranku. Haruskah ku lakukan itu? Haruskah kutinggalkan kamu setelah semua usahaku mempertahankan makna “kita”. Tidak, aku menyukaimu dan tidak ingin kehilanganmu. Aku ingin menjalani lebih banyak waktu denganmu. Melakukan banyak hal bersama denganmu.
“Lihat dek, bintang-bintang itu.” Katamu pada suatu masa yang kita lewati ketika duduk berdua di bukit bintang.
Aku mengamati langit. “Tidak ada bintang.”
“Itu karena mendung. Teman-teman hujanmu itu menyembunyikan bintang.”
Aku beralih memandangmu, “Lalu? Bukan salah hujan kal-“
Tanganmu menepuk bahuku pelan, memotong ucapanku, kamu buat aku melihat ke arah lain yang sedang kamu tunjuk, “Lihat. Itu bintang-bintang yang lain.” Ucapmu sambil tetap memandangi apa yang kamu sebut bintang-bintang yang lain. Aku terpaku mendapati kerlipan lampu-lampu kota Jogjakarta yang menyebar megah di bawah sana. Ada menara-menara cahaya di bandara Adi Sutjipto dan juga lampu-lampu kendaraan yang bergerak lambat di kejauhan sana. Kerlip-kerlipnya benar-benar indah. Seperti taburan ribuan bintang yang beralih tempat.
“Bintang-bintang itu bintang-bintang yang jatuh dari langit karena ulah hujanmu. Mereka seperti putri-putri dari kahyangan yang diusir ke bumi. Dan kamu tau kan dek siapa yang mengusirnya?”
“Hujan?”
Kamu mengangguk, “Itulah kenapa aku benci hujan.”
Sesaat ekspresimu begitu serius. Sejahat itukah hujan dimatamu? Tapi mendadak tawamu pecah. Dengan tanpa dosa kau mengusap-usap kepalaku, memberantakan rambutku. Dan dengan tangan yang sama kau menarikku dalam rangkulanmu. “Jangan terlalu serius.”Bisikmu
Tapi aku diam. Bersembunyi dalam rangkulanmu, pikiranku menjabarkan semuanya.
Sejak awal aku tahu kamu benci hujan. Kamu akan selalu punya alasan untuk membenci hujan. Tapi aku juga akan selalu punya lebih banyak alasan lagi untuk membela hujan. Kadang kita memperdebatkan itu dengan serius. Lebih banyak berakhir dengan aku yang mengalah, diam. Aku tidak suka bertengkar denganmu. Bertengkar denganmu sama seperti bertengkar dengan hujan. Dan keduanya sama-sama buruk. Aku hanya ingin tetap bertahan untuk menyukai hujan dan juga tetap bertahan di sampingmu.
Bertahan di sampingmu? Lalu sekarang? Aku menyeka air hujan yang mengalir turun dari dahi ke mataku. Aku tidak menangis. Aku menyukai hujan. Tidak akan kubiarkan hujan melihatku menangis. Tidak akan. Tidak akan. Aku menyeka wajahku makin sering. Makin cepat. Dan langkahku menjadi bergegas. Mataku panas. Tidak. Aku tidak menangis. Hujan, aku tidak menangis. Aku tidak..
“Kenapa selalu memperdebatkan soal perhatian dan kepedulian? Kamu tau aku sibuk dek. Tidak cukup punya banyak waktu untuk terus menerus memperhatikanmu. Dewasalah. Jangan kekanak-kanakan begini.”
Dengan lelah aku memandangmu, “Bukan empat puluh jam waktumu yang aku minta. Cuma beberapa detik. Tapi itupun tidak pernah. Kita jarang bertemu, hubungan kita berjarak. Tidakkah itu semua sudah cukup membuat segalanya sulit, lalu apa salahnya kalau aku minta sedikit saja perhatian lebihmu untukku. Aku cuma ingin tetap berada dalam lingkar waktu dua puluh jammu meski cuma sedetik dua detik. Kekanak-kanakankah kalu seperti itu?”
Kamu menatapku dengan matamu yang bersorot tajam sebelum mengalihkan pandanganmu ke arah lain. Selanjutnya, tak ada kata-kata lain yang keluar dari mulutmu. Kamu diam, hanya menatap lurus ke jendela yang berembun karena hujan yang turun di luar sana. Aku mencoba membaca apa yang ada di pikiranmu, tapi aku tak bisa. Aku tak pernah bisa melakukannya.
Aku tak pernah bisa melakukannya.
Apa aku menangis? Bukan. Ini air hujan. Ini bukan air mata. Ya, ini air hujan. Kulangkahkan kakiku cepat. Entah kenapa, sesering apapun aku memikirkanmu, yang ada aku selalu berakhir dengan kenangan-kenangan buruk yang membuatku menangis. Perdebatan-perdebatan tanpa ujung. Masalah-masalah kecil yang entah kenapa meluber menjadi seperti banjir yang pada akhirnya akan menenggelamkan semua kenangan indah. Kenangan indah?
“Aku ingin hujan-hujan.”kataku sambil memandangi rerintikan gerimis yang jatuh semakin deras. “Boleh ya?” aku menoleh ke arahmu yang sibuk dengan telepon genggammu. “Boleh??” ulangku. Kamu menggeleng, mengangkat kepalamu dan memandangku tajam. “Kamu bukan anak-anak lagi dek.”sahutmu kalem.
“Hanya sekali.”rajukku sambil mengambil duduk mendekat ke kamu. “Sekali saja, yah?” aku mengelayut manja di lenganmu.
“Tidak.”katamu tegas sambil mengeser dudukmu dan melepaskan pegangan tanganku di lenganmu. “Tapi..”
“Dek!”
Aku menunduk. Dan ketika itu aku merasakan sentuhan tanganmu di pipiku, membuatku memandangmu. “Hujan bisa membuatmu sakit dek. Dan aku tidak ingin itu terjadi..”
Kedua tanganmu menangkup pipiku, “Kita jarang bertemu bukan? Dan sekalinya bertemu, apakah harus kuhabiskan dengan menjagamu yang sakit hanya karena basah-basahan dengan hujan? Tidak bukan?” aku mengangguk. “Nah, harusnya kamu sadar kalau hujan itu selalu menghalangi kita menghabiskan waktu dengan lebih baik. Apa enaknya cuma duduk berdua begini, terperangkap hujan, jika kita bisa jalan-jalan ke banyak tempat. Menikmati kehangatan matahari, cahaya bulan, gemerlap bintang. Ketahuilah dek, hujan yang terlalu sering itu hujan jahat.”
Hujan jahat?
Setelah percakapan itu, nyaris seminggu lamanya aku menghindari hujan. Aku berusaha untuk tidak menyukai hujan. Hujan jahat? Aku mempercayaimu. Tapi rasanya menyiksa sekali, dan ketika tanpa sengaja setitik dua titi lalu akhirnya gerimis menyentuh kulitku, aku merasa ada kebahagiaan kecil yang menelusup masuk melalui lubang pori-pori kulitku. Ada aliran menyenangkan yang menyentak darahku.
Aku mendongak, melihat titik-titik air yang jatuh dari langit. Lihat, ini hadiah kecil dari Tuhan. Hujan itu anugerah. Ketika kecil, ibu selalu bilang padaku kalau hujan itu punya sihir tersendiri. Sihir kecil yang menumbuhkan padi, jagung, bunga-bunga dan banyak lainnya. Tak hanya itu, melalui sihirnya seringkali hujan bersama matahari menciptakan pelangi. Jalur kecil tempat bidadari turun ke bumi untuk mandi. Hujan memberi para petani kehidupan, memberi pepohonan kehidupan. Melalui restu Tuhan, hujan menyihir semesta menjadi menghijau dan rimbun.
Banjir? Bukankah itu ulah hujan. Ya, memang kelihatannya seperti itu. Hujan melimpah karena sendunya melihat semesta yang merapuh. Tapi limpahan itu mengalir secepat petaka, tak ada akar-akar pohon yang menahan alirannya. Manusia menebang banyak pohon yang tumbuh karena sihir hujan entah karena apa. Lalu kenapa menyalahkan hujan karena limpahan itu terus mengalir dan membasahi kehidupan manusia. Hujan cuma sedang terlalu sendu.
Jadi hujan tidak jahat tapi..
Deg
Bukan hujan yang jahat, tapi kamu.
Kenapa?
Langkahku terhenti dan aku merosot. Jatuh terduduk. Air mataku berlomba mengalir bersama air hujan di pipiku. Entah kenapa, semua momentum buruk itu berjatuhan memenuhi isi kepalaku. Kenangan yang indah saja, kenangan yang indah saja, aku memohon. Hujan menyeka air mataku. Menepuk bahuku yang berguncang-guncang karena isakanku. Dan semua ingatan itu seperti berlomba-lomba memainkan babaknya sendiri-sendiri. Berebutan membuatku merasa sakit karena semua yang telah terjadi.
“Aku tidak bisa melanjutkan ini semua. Aku tidak ingin menyakitimu terus. Kamu tahukan sifatku. Aku jarang menghubungimu. Aku tidak pernah berbagi denganmu tentang semua yang kurasakan. Aku tidak bisa menjadi laki-laki yang kamu harapkan. Lebih baik kita sampai disini saja. Aku sungguh-sungguh tidak ingin menyakitimu terus. Kalau denganku kamu hanya akan terus-terusan kecewa. Jadi maaf, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini.”
“Tapi aku ingin bersamamu. Aku akan berusaha memahamimu.”
“Sampai kapan dek? Sampai kapan kamu tahan denganku?”
“…”
“Maaf dek. Tapi lebih baik seperti ini.”
Tidak ingin menyakiti? Tidak ingin menyakiti katamu? Terbuat dari apa hatimu sesungguhnya? Dengan mengatakan semua itu berarti kamu sudah menyakitiku jauh lebih dalam dari pada yang kamu lakukan sebelumnya. Aku bisa tahan dengan semua ketidak pedulianmu akanku. Aku bisa mengerti, atau lebih tepatnya aku berusaha mengerti.
Ku redam jauh-jauh hasratku untuk mengalah pada semua keadaan ini dan tetap menjaga hatiku suci hanya untukmu. Tulus. Meski kamu tidak dapat melihat ketulusan ini. tapi aku benar-benar tulus. Sepenuh hati. Sungguh belum pernah aku setulus ini menyukai seseorang. Meski aku memang sering mengeluh tentang sikapmu tapi aku bertahan dan tetap bersamamu.
Namun kamu. Tanpa perasaan menandaskan semua harapanku dengan sekali pangkas. Tebas habis, kamu melumpuhkan jiwaku. Kosong. Aku menangis dalam kekecewaan tanpa batas. Sungguh sulit bagiku bernafas. Oksigen teras mencekikku. Mengulur hatimu dalam sulur-sulur terlilit simpul mati. Aku sakit. Jiwaku sakit karena perlakuanmu.
“Jangan pernah meninggalkanku ya?” Tanpa respon. Jeda yang panjang dan kamu tak menjawab. “Besok mau jalan-jalan kemana?”
Hening
Aku tahu, aku tahu kalau sebenarnya pun tak pernah ada niatanmu untuk mempertahankanku sebagai kekasihmu. Harusnya aku tidak seterkejut ini ketika kamu memutuskan meninggalkanku sebagai wanita sisamu dengan kejam. Sadarkah kamu? Kamu adalah laki-laki paling kejam yang pernah aku kenal. Kamu kejam dengan caramu yang lembut. Kamu kejam dengan semua ucapan dan tindakanmu. Padahal aku selalu mengalah untukmu. Aku selalu meresponmu dengan sangat baik meski tak pernah ada timbal baliknya perasaanku.
Aku tergugu.
Hujan menyelimutiku yang menangis. Seolah sahabat yang mengerti. Hujan sama sekali tidak memintaku menghentikan air mataku. Hujan diam dan membiarkanku meluapkan emosiku. Hujan mengerti. Hujan mengerti dan kali ini sama sekali tidak seperti kamu yang sama sekali tidak bisa mengerti.
Lihatlah nanti, akan ada waktu dimana kamu akhirnya menyadari betapa sesungguhnya aku adalah wanita yang terbaik untukmu. Tidak akan ada wanita yang bisa sebesar ini mencintaimu tanpa syarat. Tidak akan ada wanita yang setulus ini menerima semua sikap dan perlakuanmu. Tidak. Tidak akan ada. Sebab hanya aku, wanita bodoh yang melakukan itu semua untukmu.
Wanita bodoh?
April menebar bau kering tanah di Surabaya. Hujan jarang muncul. Kesepakatan bersama matahari. Ini saatnya hujan mengalah. Udara berhembus sama kering. Surabaya panas, sedikit pepohonan di kampusku dan ini menambah sulit. Aku tidak tahan panas, malam nanti alergiku pasti kambuh lagi. Lalu mendadak aku merindukan Jogjakarta. Meski tanpa hujan, kota yang jauh lebih kecil dari Surabaya itu pasti jauh lebih sejuk karena rerindangan pohon yang masih banyak memenuhi kota. Tapi aku tersenyum simpul. Mungkin jika dibanding Jogjakarta, aku lebih merindukanmu. Sudah sebulan lebih berlalu sejak kamu mengakhiri “kita”. Tapi sedetik pun aku belum beralih darimu. Aku merindukanmu. Tapi aku beruntung ketika itu hujan begitu sering muncul. Sehingga aku merasa tak sesendiri yang sebelumnya kusangka.
Didera kebosanan, kuputuskan menghabiskan waktuku menunggu ujian tengah semester bahasa Inggrisku dengan berselancar di dunia maya melalui jaringan internet di smartphone-ku. Memasuki ruang-ruang jejaring sosial yang kini begitu popular. Dan tanpa sengaja, mataku tertaut di sebuah laman. Genggaman tanganku melonggar. Ketika kudengar bunyi smartphone-ku yang terjatuh di lantai aku tak bereaksi. Membeku di tempatku, merasakan degup jantyungku yang keras, satu-satu. Menyakitkan.
Selamat ulang tahun my lady..
Tuhan..tolong bantu aku bernafas dengan baik. Tolong bantu aku. Turunkan hujan dan sihirnya. Tolong Tuhan. Aku ingin suara hujan menyembunyikan isak tangisku yang semakin keras detik demi detik. Tolong bantu aku bernafas dengan baik tuhan. Tolong..
Rasanya sesak. Ada sesuatu yang hidup di sini, di dalam diriku. Sesuatu itu menekan dadaku, meremas jantungku, menyempitkan paru-paruku. Membuatku sulit bernafas. Sekali ini kurasakan sakit yang jauh lebih sakit dari yang para penyair lukiskan di puisi-puisi gelap mereka. Rasa sakit yang membuat pandanganku berkunang. Aku tidak tahu kapan aku mulai menangis tapi aku bersembunyi. Memeluk lututku, kutempelkan dahiku di lututku. Tubuhku berguncang. Aku masih menangis.
Kamu butuh tak lebih dari seratus hari untuk menghapuskan namaku di hatimu. Kamu butuh tak lebih dari seratus hari untuk mengatakan, “aku mencintaimu” pada perempuan lain. kamu butuh tak lebih dari seratus hari untuk mengumbar kemesraan itu di dunia maya. Kamu…
Aku hidup terpenjara dalam kenanganmu. Aku hidup hanya untuk memikirkan sedang apa kiranya kamu. Aku hidup untuk tersenyum ketika mengingat bukit bintang bersamamu. Aku hidup dalam semua momentum kebahagiaan yang sudah lalu. Aku..sejengkal saja belum bisa beralih darimu. Sejengkal saja belum, tapi kamu. Aku sakit. Sesuatu di hatiku sangat sakit. Ada luka yang tak kutahu bentuknya tapi terus menerus berdenyut keras dan membuatku kesakitan. Disini, di hatiku. Ada lubang besar menganga karena kehilangan kepercayaan padamu.
Hujan.. bisakah kuminta sedikit sihirmu. Sedikit saja. Basahi tubuhku dan peluk aku dalam basah. Ringankan rasa sakit ini. Aku mohon..
Aku menutup mulutku. April tahun lalu itu. Untuk pertama kalinya aku merasa benar-benar disingkirkan. Seolah-olah ada yang menertawai kebodohanku bertahan mencintaimu. Kamu dan perempuan itu menertawaiku? Kalian menjalin kisah romantis entah sejak kapan. Selama masih denganku, apa kedekatan itu sudah terjalin? Perasaan cinta yang lain itukah yang membuatmu sulit menyeretku dalam dua puluh empat jam milikmu. Perasaan cinta yang lain itukah yang membuatmu berhenti memikirkan perasaanku.
Kalau benar begitu maka benar kamu yang jahat, bukan hujan. Bukan hujan yang akan membuatku sakit, tapi kamu. Bukan hujan yang akan membuatku merasa dunia ini begitu dingin, tapi kamu. Tidakkah kamu bisa merasakan ketulusan dan rasa cinta yang dulu selalu kuhaturkan begitu melimpah tanpa batas untukmu. Mungkin benar, kamu akan bisa menemukan wanita-wanita cantik untuk dimiliki dan dicintai, tapi ketahuilah kamu tidak akan mendapatkan cinta sebesar yang kuberikan kepada kamu. Karena seperti yang kukatakan sebelumnya, hanya aku wanita bodoh yang melakukan itu semua untukmu.
Aku bangkit. Kuputuskan melanjutkan langkahku. Hujan semakin deras menguyur setiap sudut kota Surabaya. Aku menyeka sisa air mataku dengan punggung tanganku dengan kasar. Mungkin kamu akan menyadarinya, mungkin. Suatu saat nanti. Entah kapan. Dan ketika saat itu tiba, aku tidak tahu. Aku tidak bisa mereka-reka apakah aku masih bisa bertahan dengan semua ini. Masihkan aku jejak bersama semua kenangan masa lalu bersamamu. Aku tidak tahu apa aku masih bisa menerimamu. Ataukah jika ya, aku juga tidak tahu apa perasaanku masih sama besar. Apa pesonamu di mataku tetap pada frekuensi statis yang sama.
Dan jangan menyesali apa-apa ketika itu terjadi karena kamu pun sama sekali tidak bisa memahami hujan seperti aku memahami hujan. Tidak akan bisa kamu mengerti apa pun ketika yang kamu tampilkan hanya kepura-puraan. Hujan itu baik. Dia punya sihir yang baik untuk melindungiku. Hujan tahu benar ketulusan. Dan kuharap, suatu saat nanti kamu bisa merasakan sihir hujan. Kamu bisa berhenti membenci hujan karena hujan pun tak pernah membencimu. Ya, aku tahu. Aku akan hidup, meski kadang sihir hujan membangkitkan semua kenangan bersamamu, aku akan tetap hidup dan bertahan. Hujan dan sihirnya akan melindungi. Melindungiku.
Juga melindungi semua cinta yang masih sama besar untukmu.
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.