Kesuksesan Itu Milik Siapa Saja Yang Mau Berusaha

Setiap orang tentunya memiliki mimpi-mimpinya sendiri. Dengan mimpinya itu orang akan hidup dengan baik, dengan semangat dan dengan senyum yang tulus. Aku pun juga, aku punya banyak mimpi yang kurangkai menjadi sekuali semangat yang akan terus membawaku menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah. Mimpi-mimpiku, aku tidak ingin itu hanya menjadi sekedar mimpi yang cuma menjadi harapan semu.

Aku ingin mimpi-mimpiku menjadi kenyataan. Pasti akan sangat menyenangkan mendapati apa yang kau mimpikan selama ini menjadi sesuatu yang riil. Maka aku memutuskan akan berusaha semampuku untuk menyukseskan proses transisi mimpi-mimpiku menjadi kenyataan. Dan aku memilih satu mimpi ini untuk kuubah menjadi kenyataan, mimpi untuk melanjutkan studiku ke perguruan tinggi negeri dengan jurusan Sastra Jepang.

Aku suka bahasa Jepang, aku suka linguistik negeri bunga sakura ini. Dan aku benar-benar serius ingin memperdalam ilmu tentang bahasa Jepang. Aku percaya kesuksesanku berada dalam ranah bidang ini, oleh karena itu aku mengambil jurusan Bahasa ketika aku berada di kelas XI. Aku selalu merasa penuh semangat ketika belajar bahasa Jepang. Aku belajar dengan tekun dan berusaha dengan keras menyerap semua yang diajarkan sensei kepadaku.

Di tahun 2010, ketika pendaftaran penerimaan mahasiswa baru perguruan negeri melalui jalur PMDK dibuka, akupun menyiapkan diriku untuk bergabung di dalamnya. Universitas Negeri Surabaya dengan jurusan Pendidikan Bahasa Jepang adalah pilihanku, satu-satunya pilihanku ketika itu. Aku sama sekali tidak punya keinginan lain selain masuk ke Universitas Negeri Surabaya dan menjadi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Jepang. Namun ketika pengumuman penerimaan mahasiswa baru jalur PMDK diumumkan, aku menjadi satu dari banyak anak lainnya yang kecewa dan menangis diam-diam.

Aku tidak lolos. Tanpa rencana cadangan aku hampir putus asa. Nyaris kulepas saja mimpi tentang kuliah bahasa Jepang, tapi kedua orang tuaku menyemangatiku dan memintaku tidak menyerah. Memberiku harapan jika mungkin saja Allah merencanakan sesuatu yang lain untukku. Sedikit demi sedikit aku memupuk kembali rasa percaya diriku. Mungkin ini memang bukan saat yang tepat bagiku untuk mewujudkan mimpiku. Aku percaya kehendak Allah selalu yang terbaik untukku. Allah mungkin sedang menyimpan sesuatu yang jauh lebih indah bagiku. Dan ternyata benar juga, Allah punya ceritaNya sendiri untukku.

Setelah pengumuman nilai dan kelulusan sekolah menengah atasku, seorang guru memanggilku ke kantornya. Beliau mengatakan bahwa aku mendapat tawaran beasiswa kuliah ke Universitas Negeri Malang, bebas memilih jurusan yang aku mau dan bebas biaya pendidikan maupun biaya masuk karena aku mendapat peringkat ketiga nilai tertinggi UAN SMA Jurusan Bahasa. Ketika itu aku diam, benar-benar tidak tahu harus mengucapkan apa. Aku sangat bahagia. Pernah merasakan semangkuk besar es krim coklat dengan taburan cookies coklat? Apa yang kurasakan ketika itu bahkan jauh lebih manis.

Kesuksesan kecil ini, rasanya mau menangis menahan perasaan bahagia yang membuncah di dadaku. Apalagi melihat ekspresi kedua orangtuaku ketika aku memberi tahu mereka kabar gembira ini. Sungguh, rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pelukan dan kecupan dari bapak dan ibu. Mata mereka yang berkaca-kaca bahagia. Subhanallah, itu kebahagiaan paling nyata yang bisa kurasakan. Melihat dua raga yang paling besar mempengaruhi hidupku itu tertawa lepas dan begitu bangga padaku. Itulah untuk pertama kalinya aku merasa aku berguna secara nyata.

Maka akupun menerima tawaran beasiswa itu dengan memilih jurusan Sastra Jerman dengan prodinya Pendidikan Bahasa Jerman. Selain karena Universitas Negeri Malang tidak mempunyai jurusan bahasa Jepang, kesukaanku terhadap bahasa asinglah yang akhirnya mendukungku untuk memilih bahasa Jerman. Terus terang aku bahkan sama sekali belum mengenal bahasa Jerman sedikit pun ketika itu. Semacam kenekatan saja. Tapi toh akhirnya aku menjalaninya, setahun penuh menjadi mahasiswa Sastra Jerman Universitas Negeri Malang yang juga menerima beasiswa PPA yang kuterima setiap tiga bulan sekali.

Namun entah kenapa, aku belum bisa benar-benar melupakan mimpi awalku, kuliah di perguruan tinggi negeri dengan jurusan Sastra Jepang. Aku merasa jalanku disitu, nyawaku disitu. Sebaik dan sekeras apapun aku belajar bahasa Jerman, aku tetap menyisihkan waktuku untuk membaca modul bahasa Jepang SMA-ku. Aku merasa ada sesuatu dalam diriku yang belum benar-benar rela melepas bahasa Jepang. Maka kuceritakan kepada orantuaku betapa aku sesungguhnya menyukai Bahasa Jepang lebih dari Bahasa Jerman. Mereka mengerti, tapi mereka juga tidak bisa membantuku secara materi. Keterbatasan ekonomi keluargaku membuat bapak dan ibuku tidak bisa membantuku mewujudkan keinginanku itu. Intinya, jika aku memang mau dan serius pada apa yang kuputuskan, maka aku pun yang harus mengusahakannya sendiri.

Kubulatkan tekadku untuk sekali lagi berusaha menggapai mimpiku kuliah bahasa Jepang. Berbekal niat, tekad dan sedikit kenekatan aku memulai usahaku. Satu-satunya jalan agar aku bisa kuliah bahasa Jepang tanpa perlu merepotkan kedua orangtuaku dengan biaya pendidikannya adalah mendapatkan beasiswa. Maka aku memulai mencari beragam beasiswa yang sekiranya cocok denganku. Beasiswa Bidik Misi akhirnya menjadi pilihan utamaku.

Aku membaca semua persyaratannya dan mulai mengumpulkan semua berkas-berkas yang wajib disertakan dalam proses pengajuan beasiswa. Karena beasiswa ini harus diajukan secara kolektif oleh SMA maka akupun mau tak mau harus sering ke SMA-ku dulu untuk melakukan semua proses yang dibutuhkan. Dan jarak nyata antara Malang-Nganjukpun harus menjadi resiko yang harus kutempuh. SMA-ku ada di Nganjuk sementara aku sekarang berdomisili di Malang karena kuliah disana. Semua ini benar-benar melelahkan, tidak hanya secara fisik tapi juga mental. Jarak yang jauh, sendirian dan aku pun masih harus mempertimbangkan jadwal kuliahku di UM (Universitas Negeri Malang).

Sabtu adalah satu-satunya hari yang bisa kugunakan untuk mengurus kelengkapan pengajuan beasiswa ke SMAku. Karena itu adalah satu-satunya hari dimana aku tidak ada jadwal kuliah. Jadi sehari penuh, rasanya tidak menjejak tanah. Dari Malang, berangkat pagi-pagi sekali, aku naik kereta api ke Kediri selama hampir lima jam lalu naik bus dari Kediri sampai ke Nganjuk. Mengejar waktu, berharap semoga guru SMA-ku yang mengurus proses pengajuan beasiswa Bidik Misi sekolahku belum pulang. Rutinitas seperti itulah yang kulakukan setiap akhir pekan. Hingga pada suatu ketika, proses pengajuan beasiswaku sudah hampir selesai. Aku hanya perlu mengumpulkan semua berkas persyaratan yang dengan susah payah berhasil kulengkapi.

Maka stasiun kota baru Malang, stasiun Ngadiluwih Kediri, sepanjang jalan raya Kediri-Nganjuk kembali menyapaku sabtu itu. Setengah sadar karena masih mengantuk dan kelelahan, akhirnya aku sampai juga di depan gerbang SMA Negeri 2 Nganjuk. Tapi yang kudapati ketika aku masuk ruang tata usaha justru membuatku myaris menangis karena kesal. Guru yang bertugas mengurus beasiswa Bidik Misi sudah pulang ke rumah. Aku tidak punya pilihan lain kecuali mengantarkan berkas beasiswaku ke rumah beliau. Aku tidak mungkin kembali lagi kesini lain waktu. Minggu depan aku harus menempuh ujian tengah semester. Aku tidak boleh disibukkan dengan semua urusan pengajuan beasiswa ini dulu. Aku harus fokus, bagaimanapun juga aku tak boleh melalaikan kewajibanku. Aku masih punya tanggung jawab sebagai mahasiswa Sastra Jerman Universitas Negeri Malang. Maka apapun yang terjadi aku harus menyelesaikan urusan pengajuan beasiswa Bidik Misi hari ini juga.

Tengah hari ditemani matahari yang perkasa tepat di atas kepalaku bersama, omelan dan sedikit keputusasaan, aku melangkah, benar-benar berjalan kaki ke rumah guru tersebut. Menempuh jarak yang cukup membuat keringat menetes satu demi satu dari dahiku. Sampai di perumahan guruku, karena tidak terlihat ada satpam perumahan, aku mencoba bertanya pada beberapa orang dimana alamat rumah tersebut. Dan semua orang yang kutanyai mengatakan hal yang sama, “Maaf ya mbak, saya ngga tau.”.

Rasanya mau mengalah saja, pulang. Sudah di tepian jurang keputusasaan. Aku terus berusaha menyabarkan diri, demi mimpimu, demi kesuksesanmu. Maka aku terus mencari di perumahan yang blok dan nomer rumahnya sama sekali tidak urut susunan alphabet mapun numerik ini. Rasanya seperti melihat ibu peri baik hati, ketika seorang anak kecil yang iseng kutanyai alamat guruku, justru tahu dimana itu dan mau berbaik hati mengantarkanku kesana.

Singkatnya, aku pada akhirnya bisa memberikan kelengkapan berkas-berkas beasiswaku kepada guru SMA-ku tersebut. Dan tanpa mampir ke rumahku yang juga ada di Nganjuk, aku kembali ke Malang. Kereta api lagi. Berjam-jam dalam kereta api ekonomi, Rapih Dhoho jurusan Kediri-Malang. Baru sekitar jam sembilan malam aku baru sampai kosku di Malang. Aku menelepon kedua orangtuaku, meminta doa. Semoga semua kerja kerasku membuahkan hasil sukses. Meski aku tidak punya jaminan apakah beasiswaku akan diterima atau tidak. Tapi usahaku, doaku dan doa orang tuaku yang selalu mengelilingiku menjadi satu kekuatan yang mampu membuatku percaya. Aku bisa.

Dan sekarang, bisa kulihat hasil dari semua jerih payahku itu, tidak sia-sia aku berada lebih dari sepuluh jam sehari di kereta api, naik bus, jalan kaki dengan cuaca panas kota Nganjuk, mencari-cari alamat guru SMAku. Maka saat ini aku disini, kuliah sebagai mahasiswa semester empat Sastra Jepang Universitas Airlangga Surabaya.

Lalu beasiswaku, membawaku kesini dengan gratis dalam istilah kasarnya. Tanpa uang pangkal (SOP, SO3), tanpa membayar SPP tiap semesternya dan masih mendapat biaya hidup tiap bulannya. Bahagia bukan? Kelegaan yang begitu besar ketika mimpimu bisa terwujud dengan usaha dan kerja kerasmu sendiri. Tanpa merepotkan orangtuaku, tanpa meminta uang lagi dari mereka. Aku mandiri sebagai individu sendiri. Disini aku berdiri, bisa bangga pada diriku sendiri. Satu mimpi terwujudkan.

Kesuksesan yang membawaku pada rasa syukur yang teramat besar. Berkat doa dan semangat dari kedua orangtuaku akhirnya aku bisa sampai pada tahap ini. Berkat kepercayaan, dorongan dan pelukan hangat mereka, aku tahu aku tidak boleh menyerah bagaimanapun susahnya jalan yang harus kutempuh untuk mewujudkan mimpi-mimpiku. Merekalah yang membuat aku terus berusaha meski berkali-kali aku nyaris gagal dan menyerah. Mereka selalu tersenyum dan berkata bahwa aku pasti bisa.

Kesuksesan itu milik siapa saja yang mau berusaha. Dan aku beruntung menjadi salah satunya. Terima kasih, bapak, ibu, yang selalu ada dan mendukung apapun pilihanku. Aku mencintai kalian.

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.