Memiliki seseorang yang benar-benar kita cintai mungkin adalah hal terbesar yang paling kita inginkan, tapi memiliki seseorang yang selalu tulus dan begitu besar mencintai kita juga bukan sesuatu yang buruk. Aku belajar memaknai tentang itu sekarang. Mencintaimu, Senja. Dan menerima cintamu, Fajar. Akankah begitu? Ataukah akan ada takdir lain?
***
Jatuh cinta pada pandangan pertama. Senja membuatku mencintainya. Senja membuatku larut dalam dekap perasaan tergila-gila tanpa batas. Semburat warna-warninya adalah keindahan yang mampu membuatku hilang akal. Aku gila karena mencintai Senja. Benar-benar nyaris gila karena cinta yang begini besar. Aku berusaha menjaga dan mempertahankan Senja-ku. Mengenggam jemari Senja meski kerap dilepaskan. Aku terus mengenggam senja dengan erat. Aku mencintaimu Senja, aku mencintaimu. Tak akan habis cinta ini meski sudah ribuan rasa yang tak kau acuhkan. Aku akan tetap begini. Akan ada dan bisa kau rasa. Senjaku, aku mencintaimu. Sadarilah itu. Pahami aku wahai Senja. Raba setiap gelisahku ketika gelap mulai membuatmu memudar. Jamahi setiap risauku ketika malam mengulummu menghilang.
Senja, tak bisakah kau sedikit bicara dan melepas bisumu. Lihat aku. Lihat ada aku disini. Aku yang begini besar mencintaimu. Tak habiskah lelahmu membuatku terus mencintaimu tanpa mau membalasnya sedikit saja. Apa harus aku mengiba untuk menerima pedulimu? Haruskah aku memohon terlebih dulu agar bisa kukecap perhatianmu? Ah Senja, letihku meneliti jejakmu. Habis rasanya semua energiku. Tak hanya tubuhku, tapi jiwaku juga habis. Habis rasa mencoba memahamimu. Senja, mungkinkah aku memang tak pantas bagimu? Hingga sulit bagimu menengok ke sudut dimana aku terpekur kelelahan karena kerasnya berusaha membuatmu memperhatikanku. Mungkinkah aku memang tak patut berharap bisa berbalas rasa denganmu? Hingga begini tega kau buat aku mengais-ais isi hatimu. Senja.. Senja-ku. Tolonglah mengerti aku.
Dan ketika aku terpekur terisak karena senja, satu sentuhan Fajar menyapa bahuku. Membuatku menoleh dan merasakan pendaran cahayanya yang hangat. Tangan Fajar terulur, mengangguk dan meyakinkanku yang ragu. “Jangan menangis lagi.” Ucap Fajar lembut.
Mataku memperhatikan Fajar baik-baik. Beralih ke tangannya yang masih terulur kepadaku. Fajar tersenyum. Dan itu jenis senyuman tulus yang sama seperti yang kulengkungkan untuk Senja. Fajar baik. Dan aku meraih tangannya pelan.
Aku bangkit dan Fajar mengenggam tanganku begitu erat. Hangat. Aku merasakan kehangatan tangan Fajar yang menyalur membawa perasaan nyaman padaku. “Terima kasih.” Bisikku.
Fajar menoleh, menelengkan kepalanya ke arahku. “Untuk apa? Ini?”
Aku mengangguk.
Anehnya Fajar justru tertawa pelan, “Aku melakukannya karena aku memang mau. Aku melakukannya untukmu. Jadi tidak usah berterima kasih. Semua ini tulus hanya untukmu.”
Fajar..
Fajar masih mengenggam tanganku, semakin erat. Dan aku berjalan di sampingnya. Kadang masih meneliti Fajar. Fajar berbeda.
Fajar dan Senja
Berbeda. Berbeda sekali. Fajar hangat, sementara Senja dingin. Fajar peduli sementara Senja, aku yang mengejar kepeduliannya. Fajar mencintaiku dan aku mencintai Senja. Fajar dan Senja.
Aku menunduk. Hatiku dimana sekarang?
Aku melepaskan genggaman Fajar. Matanya yang hitam menatapku seolah berkata, “Kenapa?”. Namun aku hanya menunduk, diam dan tak mampu bicara apapun.
“Maaf.”
Aku menunduk semakin dalam. Dan tanpa aba-aba, sejurus kemudian aku berlari. Pergi meninggalkan Fajar yang terpaku memandang punggungku yang semakin menjauh.
Aku berlari. Terus berlari.
Senja. Aku mencintai Senja. Aku mencintai Senja. Hanya dia.
Kujatuhkan tubuhku. Terduduk di tengah pasir-pasir pantai yang setengah basah, aku memandang bekas Senja di kejauhan. Hitam membekas memanjang. Gelap datang. Tubuhku bergetar. Buku-buku jariku bergerak pasti, meraup pasir di sekitarnya dan menggenggamnya penuh-penuh.
Aku masih bergetar hebat. Sebelum kulepaskan semua pasir dalam tanganku seiring dengan pecahnya tangisku.
“Apa aku sejahat itu?”
Suara itu..
Ketika aku menoleh perlahan, aku melihat Senja duduk di sampingku. Jingga dan bercahaya. Mulutku menganga, terburu kuhapus sisa lelehan airmataku. Kubenarkan cara dudukku dan setengah menahan sisa sesenggukkanku. “Apa aku sejahat itu?” Senja kembali bertanya. Dan aku menjamahi wajahnya dengan mataku. Buru-buru kugelengkan kepalaku, “Tidak.” Jawabku cepat.
Dia mengambil udara dingin di sekitarnya, menghisapnya. Kemudian tampak sedih. Aku mereka-reka penyebabnya. Adakah salah yang sudah kuucapkan?
“Kenapa tidak mau jujur kalau aku memang sangat jahat. Aku tahu aku sudah keterlaluan padamu, Bumi.”
Aku menggelang cepat tapi tangan Senja juga sama cepatnya menyentuh ubun-ubunku. Membuatku berhenti. “Kau yang terbaik. Terbaik dari banyak yang mencoba masuk ke kehidupanku. Dan kurasa kau juga yang paling bodoh.”
Keningku berkerut. Nyaris membuat kedua alisku bertemu. Mata Senja menerawang, tangannya lepas dari kepalaku. “Seharusnya kau sudah lama pergi ketika tahu aku tidak peduli, ketika tahu aku sama sekali tidak mau tau tentangmu. Tapi bukannya pergi, kau malah bertahan. Masih sangat baik. Menemuiku, mengajakku berbincang dan terus mencintaiku.”
“Ini salah, Bumi. Harusnya kau pergi. Sejak awal. Aku bukan sosok yang baik untuk dicintai. Kau tidak akan bahagia bersamaku.” Satu gerakan, Senja bangkit. Menatapku dari atas, Senja kembali bersuara, “Tolong jangan jadi bodoh dan keras kepala hanya karena aku.”
Aku bisu. Seperti tersihir. Tak bergerak. Bola mataku hanya menangkap tubuh senja yang menjauh, pergi dariku. Aku masih memandangnya. Hanya memandang tanpa tau harus melakukan apa. Sampai tubuhnya menghilang dari jangkauan pandangku aku masih beku.
“Tolong jangan jadi bodoh dan keras kepala hanya karena aku.”
Apa maksudnya berucap seperti itu? Apakah dia lelah menerima semua perhatian dan ketulusan perasaanku? Apakah Senja marah?
Aku menjejak dengan cepat. Berdiri tapi tak melangkah. Tidak satu gerakanpun setelah itu. Mulutku setengah terbuka. Jantungku berdetak tegas. Satu. Satu.
Senja, mulai lelahkah engkau? Mulai hilangkah sabarmu padaku yang mencintaimu. Apakah ujaran-ujaranmu tadi adalah petanda. Petanda agar aku mengalah pada perasaanku sendiri. Senja.. Apakah memang begitu? Apakah..
Satu basah. Turun meleleh dari sudut mata kiriku. Hanya satu. Turun, jatuh ke pipi dan menelusuri wajahku. Ya, hanya satu kali ini.
“Bumi.. Bumi..”
Nafas terengah-engah, menyentuh kedua pundakku dan menelitiku dengan khawatir.
“Kau baik-baik saja?”
Fajar. Lalu entah bagaimana aku berhambur memeluknya. Erat. Sangat erat. Kali ini tidak lagi cuma satu, tapi banyak. Banyak lelehan keluar dari kedua bola mataku. Fajar menyingsing, menyilaukanku dengan kehangatan dan perlindungannya. Mendekapku kembali dengan semua perhatian dan kasih yang dimilikinya. Diusapnya lembut punggungku dengan tangannya, “Tidak apa-apa. Tidak apa-apa, Bumi. Menangislah jika itu membuatmu merasa lebih baik. Menangislah, tidak apa-apa. Ada aku disini.”
Dan suara isakku makin keras, memecah kesunyian yang diciptakan semesta. Membuat riuh alam dan merusak senyap yang awalnya merajai. Tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin menangis dan berteriak. Lagipula Fajar bilang tidak apa-apa. Ya, semua akan baik-baik saja kalau Fajar bilang tidak apa-apa. Tidak apa-apa.
“Tidakkah kau merasa lelah terus berusaha membuatnya berpaling ke arahmu dan hanya menatapmu?” Suara Fajar membuyarkan diamku setelah cukup lama kami duduk berdampingan di atas pasir putih yang menyebar di sepanjang pantai ini. Kami hanya duduk seperti ini sejak aku memutuskan berhenti mengusik semesta dengan tangisanku.
Aku memeluk kedua lulutku. Mataku memandang ke depan, menerawang ke masa-masa dimana Senja pernah bersikap sangat baik padaku.
“Cinta memang tak pernah salah, Bumi. Tapi cinta juga bukan sesuatu yang akan menyakitimu separah ini. Lihatlah dirimu. Berkacalah dan bandingkan. Kau dulu lebih ceria. Lebih bahagia dan bebas. Tapi semenjak kau tambatkan hatimu pada Senja, kau memudar. Auramu meremang. Kau menjadi pemurung dan bukan lagi Bumi yang periang.”
“Senja mungkin juga mencintaimu. Tapi tidak sebanyak kau melakukannya untuknya. Senja mungkin juga mencintaimu. Tapi tidak cukup banyak untuk mematrikan kaulah satu-satunya.”
Fajar berhenti, menarik udara bersih. Membawanya ke paru-parunya lalu mengeluarkannya lagi sebelum dia kembali memandangku. “Tidakkah kau ingat apa yang dulu dilakukannya padamu. Senja memilikimu. Tapi dia tak merasa cukup. Kemudian dibuatnya kau menangis sampai habis ketika dia mencumbui Laut di belakangmu.”
Masa itu? Aku mengais-ngais kotak kenanganku dan menemukan masa itu. Senja dan Laut? Suram. Kotak paling suram. Aku membukanya dan aku ingat kembali ketika aku demikian keras berjuang. Berjuang demi Senja. Namun Senja malah menampikku dan tak ada satu purnama berlalu, senja sudah membawa pulang Laut sebagai pendampingnya. Ombak milik Laut seperti mau menenggelamkanku. Membuatku nyaris mati karena sakit hati. Meski tak lama. Meski bertopeng, hubungan itu menyakitiku sampai busuk.
Fajar menyentuh bahuku, “Ambillah jeda, kumohon..”
Aku berpaling, menemukan raut wajah Fajar yang jujur. Aku masih diam ketika dia meneruskan perkataannya.
“Ambillah jeda untuk meneguk ramuan penyembuh lukamu, Bumi. Ambillah jeda untuk dirimu sendiri. Cinta yang sebanyak ini pada Senja yang mengabaikanmu adalah racun yang perlahan-lahan akan memusnahkanmu.”
Jemarinya menyibak helaian rambutku yang terbang di atas wajahku. Ditelungkupkannya punggung tangannya, menangkup kedua pipiku dan berkata lagi, “Kumohon.. Lakukanlah untuk dirimu sendiri. Ambillah jeda. Jangan mencintai Senja lagi.”
Jangan mencintai Senja lagi?
Tapi bagaimana bisa. Hatiku, penuh. Bulat penuh sudah dimiliki Senja. Tak ada sisa sedikitpun ditubuhku sekarang. Semua hatiku sudah dimiliki Senja. Lalu bagaimana bisa aku berhenti mencintai Senja jika seperti itu adanya?
“Aku hanya tidak ingin melihatmu terluka..lagi.”
Dan bibirnya mengecup kelopak mataku. Aku terpejam. Ada rasa aman menyelinap disana ketika bibir Fajar kembali bergerak. Kali ini berhenti pada keningku. Lama..
“Aku mencintaimu Bumi..”
Fajar melepas kecupannya. Fajar melepas tangkupan tangannya pada pipiku. Fajar memandangku gugup, merasa bersalah, “Maaf, aku tidak bermaksud un..”
“Tidak apa-apa.” Kataku untuk pertama kalinya. Lalu aku memeluknya singkat. “Terima kasih sudah mencintaiku Fajar.” Kemudian aku bangkit dan melangkah pergi. Aku tahu Fajar masih terus memandangi punggungku yang menjauh. Aku tahu. Tapi aku terus melangkah. Tidak berhenti.
Ya, Fajar benar. Mungkin aku memang harus mengambil jeda. Jeda panjang untuk mengobati lukaku. Jeda panjang untuk memberi waktu pada perasaanku sendiri.
Fajar benar. Selalu benar. Aku memang harus melakukannya. Untuk diriku sendiri. Untuk kehidupanku sendiri. Aku akan mengambil jeda dan jarak. Tidak hanya pada Senja tapi juga pada Fajar.
Aku tahu seperti apa rasanya cinta yang tak berbalas. Aku tahu seperti apa rasa sakit karena mencintai seseorang yang malah mengabaikanmu. Rasanya sangat buruk dan aku tidak ingin fajar merasakannya. Tidak. Fajar sangat baik dan aku akan jadi mnakhluk paling jahat di semesta ini jika sampai melakukan itu pada Fajar.
Dan aku mencintai Senja. Meski dia jahat. Meski dia kerap membuatku menangis. Meski dia tak bisa mengerti perasaanku. Meski dia terus menerus menebas habis jiwaku. Aku mencintainya. Akan selalu begitu. Senja cinta pertamaku. Dan cinta terakhirku.
Seburuk apapun Senja memperlakukanku, aku tahu perasaanku padanya tak akan berubah. Sekeras apapun aku mencoba membencinya, aku tahu aku hanya akan semakin merindukannya. Aku tahu, tidak akan ada celah untuk cinta lain menyapa dan menyelinap memasuki relung jiwaku. Tidak ada. Bahkan untuk Fajar sekalipun. Aku hanya milik Senja. Cintaku hanya untuk Senja. Hanya dia.
Ya, aku akan mengambil jeda. Jeda supaya Senja tak perlu risih melihatku terus menerus. Jeda agar Fajar mengalah dan mencoba mencintai Merkurius atau Venus atau Mars. Atau siapapun yang akan mampu membuatnya bahagia.
Aku akan pergi. Aku akan mengambil jeda sampai keduanya paham. Sampai Senja paham bahwa aku satu-satunya sosok yang mampu bertahan dan mencintainya dalam kondisi apapun. Sampai Senja paham bahwa aku satu-satunya sosok yang sangat tulus mempersembahkan cinta tanpa tuntutan padanya. Sampai Fajar paham bahwa aku tidak bisa membalas perasaannya hingga kapanpun. Sampai Fajar paham bahwa aku hanya akan menjadi sahabat terbaiknya, bukan kekasih yang bercinta dan mencintainya.
Ya, aku akan mengambil jeda. Jeda panjang agar lelehan itu tidak jatuh lagi dari sudut mataku. Jeda panjang agar Senja bisa merindukanku. Jeda panjang yang bisa memberi waktu pada Senja, pada Fajar, dan pada diriku sendiri.
Aku terus melangkah. Membiarkan kakiku mengambil alih arahku. Membiarkan angin menemaniku sambil bermain dengan helai-helai rambutku yang terbang naik turun. Aku terus melangkah untuk mengambil jeda. Ya, mengambil jeda.
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.