Bahasan Hujan

“Aku tidak suka hujan.”

Kepalaku menoleh memandangnya. Sebentar saja, kemudian kuarahkan kembali pandanganku keluar. Menerobos kaca yang buram karena hawa dingin. Hujan masih turun. Semakin deras dan langit semakin pekat. Sepertinya hujan kali ini akan sangat lama.

Aku menoleh lagi memandangnya. Kali ini bukan karena suaranya tapi karena kesunyian yang mendadak menyelinap diantara kami. Bukan kebiasaannya membiarkan kesunyian menguasai kebersamaan kami. Sehingga akan sangat mengherankan bagiku ketika situasi seperti ini mendadak tercipta.

Dia nampak murung. Memainkan jari-jari tangannya dengan tatapan kosong.

“Ada apa?” tanyaku

Dia mendongak, menatapku. “Entah.” jawabnya mengambang

“Dia kenapa lagi?” tanyaku lagi sambil menyeruput sedikit teh.

Matanya mengerjap. Membulat. Lalu dengan dramatis dia membuang nafas dengan kasar. “Dia akan punya anak dariku.” akunya dengan berat.

“Lalu?” Tanganku meletakkan cangkir tehku dengan pelan ke atas meja, sama sekali tidak memandangnya.

Dia menyipitkan matanya, “Aku tidak mau punya anak dengannya.” paparnya alih-alih mengatakan ketidaksukaannya pada tanggapanku yang sedingin hujan di luar.

Kali ini aku memandangnya dengan cermat sebelum mengalihkan pandanganku ke luar lagi. “Telah terjadi. Kau tak bisa menghindarinya. Terima saja.”

Dia seperti mau protes, tapi yang kudengar kemudian hanya helaan nafasnya dan jawaban singkat yang membuatku meragukan saran yang ditawarkan bibirku sendiri.

Aku hanya mengangguk dan mengucapkan segelintir kalimat normal seperti, “Hati-hati di jalan.” dan “Jangan ngebut” ketika dia berdiri dan berpamitan akan pergi. Aku melihat gerakan tidak jelas yang dilakukannya. Seperti maju mundur tak pasti, seakan-akan ingin menyorongkan pipinya ke arahku tapi tak jadi. Aku hanya menatapnya dengan tatapan paling biasa yang aku punya. Hingga akhirnya dia hanya mencoba tersenyum meski jelas terlihat kecut, dan dengan suara tak bersemangat dia berkata, “Akan kutelpon nanti malam.”

Lagi-lagi aku mengangguk. Tanpa senyum sama sekali. Bahkan mungkin dia akan tahu bahwa ada sesuatu yang berat menganjal di otakku.

Ketika dia berbalik dan berjalan ke arah pintu keluar cafe, aku kembali mengarahkan pandanganku keluar. Bertopang dagu.

Samar-samar, dari kaca yang semakin memburam oleh embun hujan, aku melihat mobilnya bergerak keluar dari pelataran parkiran cafe. Aku mengamatinya. Mobil itu berhenti sebentar sebelum akhirnya berbaur bersama kendaraan-kendaraan lain di jalan raya yang ada tepat di depan kafe. Dia berhenti untuk memandangku. Aku tahu itu. Dia selalu melakukannya. Selalu. Selama tujuh tahun ini.

Ya, sudah selama itu kami saling mengenal. Selama itu pula kami seperti menjalin semacam simbiosis. Entah mutualisme, entah komensalisme. Aku bahkan belum bisa memutuskan yang mana. Padahal harusnya tiga hari lagi sudah perayaan tujuh tahun kami.

Tujuh tahun kami..

Tujuh tahun kami? Tapi sebagai apa? Temankah? Atau mungkin, pasangan?

Aku menarik nafas dalam-dalam dan makin larut dalam lagu yang sedang dinyanyikan hujan. Mendadak aku merasa akan jauh lebih baik jika aku bisa berada di bawah hujan di luar sana. Mungkin diguyur derasnya air hujan bisa membantu menjernihkan otakku yang sedang berkabut. Dan jika manjur, siapa tahu jiwaku juga bisa dijernihkan.

Iya siapa tahu?

Kalau jiwaku bisa dijernihkan, kalau bisa..

Pikiranku mengawang. Kalau saja bisa semudah itu dijernihkan. Maka aku akan membiarkan hujan meluruhkanku di tetes pertamanya. Tetes pertama yang kutemui tujuh tahun lalu.

Aku akan menjernihkan jiwaku yang terpesona dengannya pada pandangan pertama kami. Terdengar konyol dan polos, tapi itu yang terjadi. Aku jatuh cinta. Jatuh sampai menyusup ke dasar paling dasar. Aku tergila-gila.

Dan aku terus jatuh cinta padanya. Seperti itu sampai sekarang. Aku masih saja jatuh cinta. Meski selama tujuh tahun, tak cukup sekali dia membuat hatiku patah, hancur, rusak, sakit. Sampai kebas hasilnya sekarang.

Tapi aku selalu saja masih jatuh cinta dan dibuat gila olehnya. Gila? Ya mungkin gila ini pengaruh satu tahun lalu. Satu tahun lalu. Tiga ratus enam puluh lima hari penuh aku kehilangan dia. Tapi aku ini tidak bertepuk sebelah tangan. Biarpun dia adalah orang paling rumit. Dia mencintaiku. Dan sama gilanya. Mungkin lebih. Jadi kemudian, waktu, nasib, atau malah takdir mempertemukan kami kembali.

Satu gerakan. Sapuan lembut di bibir, mampu mengerakkan setan yang lama bersemayam di dalam tubuhku. Setanku. Obsesiku dan kegilaan cintaku pada dia. Kami menyatu. Dalam gejolak liar paling panas yang pernah kami punya.

Lalu beginlah jadinya. Aku makin gila. Jiwaku makin buram. Seperti kaca di depanku ini. Aku terjebak. Dalam tipuan obsesi kami berdua. Pun ketika dia bertutur tentang sesuatu yang mendadak mampu membuatku bisu berjam-jam. Aku tetap bertahan pada ketidakjernihan ini hanya karena dia menangis dan memelukku. Memelukku dan mengenggam jari-jariku yang bergetar menahan robohnya bangunan hatiku yang sudah tua dan dipoles renovasi seadanya.

Akhirnya aku cuma mengiyakan. Pasrah menerima kemauannya. Dan lihat, sampai sekarang aku masih bersamanya. Menjadi pujaan hatinya yang berdiri bukan di sampingnya. Tapi diam-diam mengintip dan memperhatikannya dari sudut gelap di kejauhan yang tidak diketahui orang lain. Dan dengan gerakan sangat biasa dia akan tahu sudut itu, mengerling dan melengkungkan senyum paling mempesona miliknya untukku.

Ah, rupanya kami sudah serumit ini.

Aku menyentuhkan telunjukku di kaca. Dingin. Lalu aku menjatuhkan telunjukku tetap dengan menyentuh kaca. Membentuk satu garis vertikal. Membekas. Aku bisa melihat hujan di luar lebih jelas dari garis itu. Sementara kaca di sekitarnya begitu buram. Tapi hanya sebentar, karena dingin kembali mengendap dan menyelubungi garis vertikalku dengan embunnya.

Buram lagi, aku menghela nafas dan mengalihkan pandanganku mengelilingi cafe. Lumayan ramai. Ada banyak orang, dengan cangkir-cangkir setengah kosong dan obrolan yang masih penuh. Aneka rona dan ekspresi. Aku tersenyum. Wajah mereka hidup.

Lalu aku melihat ke sudut. Melihat dua sofa empuk yang diduduki sepasang muda-mudi yang tengah tertawa lepas. Mendadak wajah mereka digantikan oleh benang-benang ingatan otakku. Sebentuk wajah oval kecil, rambut bergelombang tipis. Manis. Dengan pakaian sangat rapi, sepatu berhak tinggi, rambut disanggul sederhana. Perempuan itu seperti perempuan yang menunggu untuk wawancara kerja. Percaya diri. Namun ketika dia membuka mulutnya dan bicara, aku mendengarnya seperti manusia yang kehilangan separuh nyawanya. Suara yang mengisyaratkan rasa putus asa. Kelelahan.

“Saya bertahan satu tahun lebih diperlakukan seperti itu olehnya. Saya diam meskipun saya tahu apa yang terjadi. Saya mendengar semua omongan-omongan orang tentangnya. Tapi saya tidak mau peduli. Saya percaya padanya. Saya mencintainya. Dia suami saya.”

Aku hanya memandangnya dengan tatapan bosan. Setengah muak. Setengah lagi menahan diri untuk tidak mengusirnya dari cafe ini.

“Saya tahu persis hubungan seperti apa yang terjalin antara anda dan suami saya..”

Mataku menyipit, “Apa maksud anda?” Nada suaraku meninggi.

“Saya tahu kalian saling mencintai. Tapi tolong mengertilah. Ini hal yang mustahil diperjuangkan. Saya selalu sabar menghadapinya. Menghadapi sikap-sikapnya yang buruk pada saya. Saya bertahan dan terus sabar. Tapi sekarang tidak bisa lagi. Oleh karena itu saya nekat bicara dengan anda.”

Aku mengangkat cangkir tehku. Menyeruputnya perlahan masih dengan memandangnya. Aku melihat perubahan raut wajahnya. Kepercayaan dirinya runtuh, digantikan ekspresi ganjil yang tidak bisa kupahami.

“Saya tahu jika anda mengatakan ini kepadanya, dia mungkin akan menceraikan saja. Tapi saya mohon, sekali ini saja mengalahlah. Lepaskan dia dan biarkan dia belajar mencintai saya.” Sebulir air matanya jatuh ketika dia memandangku dengan tatapan memohon yang tulus dan dalam.

Entah mengapa aku menjadi diam melihatnya. Aku yakin jika tidak ada meja diantara kami, dia akan duduk bersimpuh memohon di depanku. Dia memandangku dengan matanya yang lugu. Suci. Khas wanita bodoh yang mau-maunya dijodohkan di zaman semodern ini.

“Tolong..” Suaranya mengambang putus asa.

Aku masih diam. Terus terang tidak tahu harus menjawab apa. Meskipun isi otakku justru memakinya aku malah diam. Bisa-bisanya dia berkata tolong dan mengutarakan semua alasan omong kosong yang telah membuat dia merebut satu-satunya laki-laki yang paling kucintai dengan semudah itu. Dia merebutnya setahun lalu. Lalu dosakah jika aku merebut laki-lakiku kembali? Mengambil kembali hak milikku atas laki-lakiku.

“Pergilah.” Kataku pendek.

Dia semakin terlihat lelah ketika aku mengusirnya, “Tolong mengalahlah. Anda masih bisa mendapatkan ribuan laki-laki lain jika anda melepaskan dia. Tapi saya, saya akan kehilangan segalanya jika dia meninggalkan saya.” Ucapnya sekali lagi. Masih berusaha memohon padaku.

Apa dia gila? Masih bisa mendapatkan ribuan laki-laki lain dia bilang. Ya, aku memang bisa melakukannya. Tapi apa baiknya jika aku mendapatkan banyak laki-laki tapi tak mendapatkan satu laki-lakiku. Laki-lakiku!

“Pulanglah.”

Matanya semakin basah. “Saya mohon.”

Tapi aku bergeming. Tidak menanggapinya atau bahakan sekedar menatapnya. Aku mengalihkan pandanganku darinya.

Ada jeda yang begitu lama sebelum akhirnya dia bangkit dari duduknya. Menunduk. “Terima kasih sudah mau mendengarkan saya. Saya mohon pikirkanlah permintaan saya. Cobalah melihat segalanya dari sisi saya.” Lalu kakinya melangkah pelan keluar dari cafe ini. Aku hanya semakin diam sambil memandang punggung wanita itu. Punggung yang terlihat tegak tapi sebenarnya rapuh.

Aku menghembuskan nafas panjang. Kebingungan. Kualihkan pandanganku dari sudut itu dan kembali memandang ke luar. Hujan masih deras dan ingatan tentang wanita itu juga masih sama jelas. Aku masih mengingat dengan baik segalanya. Bahkan aroma parfumnya yang lembut.

Nyaris seminggu setelahnya aku menyelidiki segala tentangnya. Perempuan itu. Semuanya. Dan aku cukup terkejut menyadari betapa hidupnya sudah sangat menderita sebelumnya. Lahir dari ibu yang sangat  diktator. Dia tidak punya keinginan sendiri, bahkan hidupnya seolah sudah ditentukan oleh ibunya. Sekolah, kuliah, menikah. Dan semuanya pilihan ibunya. Ayahnya sudah lama meninggal. Belum lagi entah beban apa yang ada di pikirannya selain itu semua. Apakah beban hidup keluarganya, adik-adiknya juga menjadi tanggung jawabnya?

Cobalah melihat segalanya dari sisi saya.

Kalimatnya itu berputar-putar terus di kepalaku. Membuatku merasa pusing dan tertekan. Mendadak aku merasa telah menjadi orang yang begitu egois.

Aku menghela nafas. Kuangkat cangkir tehku, memaki pelan ketika kusadari cangkir itu sudah kosong.

***
 
Aku menelusuri wajahnya dengan telunjuk kananku. Mengamati setiap garis dan lekuk di wajahnya. Sebenarnya, dengan mata tertutup pun aku masih bisa mengingat dengan jelas seperti apa pahatan wajahnya berbentuk.

Kuhela nafas panjangku. Aku merasa lelah, lebih pada apa yang ada dalam batinku daripada lelah nyata yang ada. Pikiranku penuh. Entah harus bagaimana. Aku beralih dari wajahnya ke langit-langit kamar apartemenku.

Dia membuka matanya, menemukanku yang sedang menatap ke atas. Menerawang. “Ada apa?” Dia menarik tubuhku semakin merapat ke tubuhnya. Mengusap dahiku dan mengecupnya sekali. Penuh cinta yang tak pernah berkurang sejak bertahun-tahun lalu.

“Tidak apa-apa.” Kilahku. Beralih ke wajahnya dan menelusupkan kepalaku ke dadanya. “Aku hanya tak bisa tidur.”

Dia mengusap rambutku. Memelukku. “Mau kunyanyikan sebuah lagu?”

Aku mengangguk. Dua detik kemudian, lirik demi lirik lagu Warmness On The Soul dari Avenged Sevenfold mengalir merdu dari mulutnya. Lagu favorit kami. Lagu cinta kami.

Dia terus menyanyi. Terus mengusap rambutku. Aku diam dalam pelukannya. Ketika lagunya selesai, dia masih mengusap rambutku. “Terima kasih, Sophia. Terima kasih untuk tetap bertahan bersamaku sampai sejauh ini. Terima kasih karena telah begitu berbesar hati merelakanku menikah dengan perempuan lain. Terima kasih mau mengerti ini semua demi kesehatan mamaku. Terima kasih”

Aku membeku dalam pelukannya. “Kau tahu aku mencintaimu lebih dari apapun di dunia inikan, Sophia? Jadi kumohon, bersabarlah sampai aku bisa membuat mama mengerti tentang kita tanpa membuatnya jatuh sakit. Kumohon..jangan berhenti bertahan denganku meskipun aku akan punya anak dari perempuan itu.”

Tubuhku berguncang. Aku menangis terisak tanpa suara. Dan ketika tubuhku berguncang makin keras, dia memelukku semakin erat. Semakin erat sampai aku merasa susah bernafas.

“Maaf Sophia. Maaf..”

Dia melepaskan pelukannya. Menangkup wajahku. “Aku tahu kau marah ketika itu. Aku tahu. Aku..” Dia tak menyelesaikan ucapannya ketika aku membungkam mulutnya dengan ciumanku. Ciuman basah yang penuh air mata. Aku tak ingin mendengar dia minta maaf lagi. Aku tak ingin mendengar apapun tentang perempuan itu lagi. Perempuan yang datang ke kafeku dan memintaku mengalah untuknya. Tidak. Aku tak akan mau mendengar apapun lagi. Tidak lagi.

***

Perempuan itu datang lagi tujuh bulan kemudian. Dengan perut membuncit dia mendatangiku ke kafe milikku. Sekali ini tanpa sepatu hak tinggi, tanpa gelungan khas orang yang akan wawancara kerja. Tanpa senyum.

Dia memandangku, kini dengan mata bersorot tajam. “Cukup kali ini!” Katanya setengah berteriak. Membuat beberapa orang menoleh ke arah kami sejenak sebelum berbisik-bisik meributkan apa yang tengah terjadi.

Aku memandangnya. Duduk dengan dua tangan tersilang di depan dada. Tak kalah tajam menatapnya.
“Jauhi suamiku.” Tegas. Suaranya setegas wajahnya. Dia bahkan tak duduk. Hanya bicara seperti itu.
Aku tak goyah. Ini tentang laki-lakiku. “Jika aku tak mau lantas kau mau apa?”

Mata hitam kecilnya penuh kilatan amarah. Dia meraih cangkir tehku, menyiramkan seluruh isinya ke wajahku dan membanting cangkirnya ke lantai.

Bunyi pecahan cangkir itu membungkam semua suara yang ada di kafe ini. Sementara aku shock, setengah tak percaya perempuan ini akan melakukan hal itu padaku, setengah lagi masih belum yakin dia benar-benar perempuan yang sama dengan perempuan yang dulu pernah memohonku dengan tatapan yang tulus.

Mengabaikan semua mata yang mengarah kepada kami, aku bangkit dari dudukku dan mengusap wajahku yang basah dengan tanganku. Aroma teh hijau yang khas memenuhi indra penciumanku.

“Pergi dari sini.” Suaraku yang paling dalam. Kutahan semua amarah yang memenuhi dadaku. Kuingatkan pada diriku sendiri bahwa aku bukan pecundang yang hanya bisa melawan perempuan hamil.

“Jauhi suamiku atau aku akan..”

“Pergi dari sini!!” Aku berteriak.

Dia mengerjap, sebelum akhirnya berbalik. Pergi dari tempat ini meninggalkan sisa pecahan cangkir yang berserakan di sekitarku, meninggalkan mata-mata penasaran yang terus menelanjangiku, meninggalkan bisik-bisik penuh spekulasi memuakkan yang mengutukku.

Aku memanggil seorang pegawaiku. Memintanya membersihkan semua sisa keributan ini sementara aku memilih meninggalkan tempat ini dengan kepala tegak. Aku masuk ke mobilku. Kumasukkan kunci mobilku dengan tergesa. Dan hasilnya bunyi gemerincing kunci yang terjatuh ke bawah menyadarkanku pada titik ini.

Aku menangis. Menangis terisak-isak dengan memeluk kemudiku. Menangis terisak-isak dengan semua pikiran tak menentu memenuhi tempurung kepalaku.

***

“Kau ini kenapa?”

Aku mengangkat kepalaku dari tumpukan laporan keuangan kafeku. Melihat wajahnya yang marah, menatapku.

“Aku kenapa?” aku balik bertanya. Tak mengerti kenapa dia tiba-tiba datang dengan wajah marah seperti itu.

“Monisa itu hamil besar, Sophia. Tapi kenapa kau malah memperlakukannya seperti itu.”

Kedua alisku bertaut. Masih tak mengerti arah pembicaraannya.

“Kenapa kau malah memakinya di depan banyak orang dengan kata-kata kasar seperti itu? Kata-kata yang tak pernah kupikir akan keluar dari bibirmu. Mengatakan dia perempuan inilah, perempuan itulah. Kau harusnya sadar kalau Monisa itu sedang..”

“Mengandung anakmu?” Aku menyelesaikan ucapannya. Memandangnya dengan tatapan paling nanar yang aku punya. Dulu dia bilang dia tidak menginginkan anak dari perempuan itu. Lalu kenapa sekarang seperti ini sikapnya. “Kau kesini hanya untuk memarahiku? Pulanglah kalau begitu. Istrimu yang sedang hamil itu pasti sedang menunggumu. Tak ada gunanya kau disini.” Aku bangkit dari dudukku dan masuk ke kamarku. Menguncinya dari dalam. Aku berbaring. Menyalakan musik keras-keras dan tenggelam di dalamnya.

Aku memaki perempuan itu? Aku? Justru perempuan itu yang melakukannya. Dia merusak harga diriku di depan semua orang. Aku sudah diam. Tak melakukan apapun dan kenapa dia malah memfitnahku melakukan apa yang sama sekali tidak kulakukan. Aku memeluk tubuhku sendiri. Berguncang dengan semua air mata yang saling berebutan untuk keluar dari sudut mataku. Aku tak bergerak ketika kudengar ketukan keras pintu kamarku. Aku tak mau melihatnya kali ini. Aku tak bergerak ketika laki-laki yang ada di balik pintu itu terus memanggil namaku. Aku tak mau melihatnya kali ini. Laki-laki itu, aku bahkan tak yakin apakah dia masih laki-lakiku atau tidak.

***

Aku memaafkannya. Seperti biasanya, aku selalu memaafkannya. Memaafkannya ketika esoknya dia datang dan memohon maafku. Aku tak mendengar dengan baik penjelasannya, aku hanya memaafkannya. Hanya itu.

Tangannya merangkulku dan mengecup kepalaku. Aku mengerjap. Suara hujan lebat di luar sana teredam hanya dengan keberadaannya di sampingku. Kami tak saling bicara, hanya menikmati kebersamaan ini dengan bahasa hati kami masing-masing.

Bunyi pesan masuk dari handphonenya menganggu bisu kami. Dia bergerak meraihnya. Entah apa yang tertulis disana tapi aku jelas merasakan ada perubahan sikapnya. Dia merangkulku dengan gelisah. Matanya berkedip dengan risau dan dahinya berkerut.

Mendadak dia melepaskan rangkulannya. Bangkit dari atas tempat tidur dan mengumpulkan pakaiannya yang terserak di bawah. Memakainya dengan tergesa. “Aku harus pergi dulu.” Dia bicara tanpa memandangku.

Aku meraih selimut untuk menutupi tubuhku, duduk mengamatinya. “Ada apa?” Tanyaku khawatir.

“Ada hal penting yang terjadi di kantor. Aku harus..”

“Tapi ini sudah larut. Diluar juga hujan.” Aku memotong perkataannya.

Dia mengabaikanku dan malah memakai jam tangan hitamnya dengan sama tergesanya seperti ketika dia memakai pakaiannya. Aku meraih tangannya, “Jangan pergi.” Aku memohon.

Dia memandangku, minta maaf. Kemudian dengan perlahan melepaskan pegangan tanganku. “Aku pergi dulu.” Sebuah kecupan singkat di bibir dan dia menghilang di balik pintu kamarku. Kudengar suara sepatunya ketika akhirnya dia juga menutup pintu apartemenku.

Aku bergerak, kembali berbaring ketika tanganku menyentuh sebuah benda asing di atas tempat tidurku. Aku meraih benda itu, handphonenya. Aku duduk tegak. Kuurungkan niatku untuk kembali tidur. Kutekan tombol demi tombol di keypad handphonenya. Mencari sebab kenapa dia setergesa itu. Aku merasa dia berbohong tentang apapun itu yang terjadi di kantornya. Aku tahu dia berbohong karena dia tak menatap kedua bola mataku dengan benar. Aku tahu kebiasaannya.

“Edo sayang, sepertinya aku akan melahirkan malam ini. Aku sudah meminta supir mengantarku ke rumah sakit di dekat kantormu. Segeralah menyusulku di rumah sakit kalau pekerjaanmu sudah selesai. Aku mencintaimu. Aku harap kau jadi orang pertama yang melihat bayi kita lahir di dunia ini.”

Tanganku gemetar. Edo sayang? Aku mencintaimu? Dan.. Bayi kita? Kita?

Aku membanting handphone itu ke dinding. Aku menangis keras dan menahan tubuhku yang gemetar dengan memeluk lututku. Malam itu aku menangis dengan keras. Terisak-isak sampai suaraku serak.

***

Aku merasa tidak sehat. Tubuhku lemas dan aku merasa pusing. Ketika kuputuskan pergi ke rumah sakit, alam bawah sadarku justru memilih membawaku ke rumah sakit di dekat kantornya. Kantornya. Dia. Rumah sakit ini? Apakah aku ingin melihat dia bersama anaknya dari perempuan itu.

Aku mengabaikan pikiran-pikiran itu dan memilih melangkah masuk dengan percaya diri ke rumah sakit ini.

***

Aku memandang ke ruangan itu dari kaca persegi panjang kecil yang di pasang pintu ini. Aku menemukan ruangan ini setelah bertanya pada bagian informasi dan menyebutkan nama laki-lakiku. Jujur saja aku sama sekali tak tahu siapa nama lengkap perempuan itu. Dan sekarang aku melihatnya. Laki-lakiku. Dengan senyum paling cerah yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tangannya menggendong bayi kecil dalam balutan selimut tebal. Rona kebahagiaan memancar jelas dari wajahnya. Dia tertawa. Sementara perempuan itu tersenyum lebar, masih berbaring dengan wajah lelah di atas ranjang pasiennya. Ada banyak orang di dalam sana. Mereka semua tertawa bahagia. Semakin keras dan riang ketika bayi dalam gendongannya bergerak kecil. Semua kebahagiaan itu memang berpusat disana. Dalam tubuh kecil tanpa dosa itu.

“Sophia..”

Aku menoleh cepat. Seraut wajah yang kukenal sejak lama memenuhi pandanganku. Raut wajah yang karena pemiliknyalah aku harus membagi laki-lakiku ini dengan perempuan di dalam ruangan itu.

“Maaf?”

“Kau Sophia, bukan?”

Aku menggeleng, “Bukan. Anda mungkin salah orang.” Aku bergegas pergi. Meninggalkan perempuan paruh baya itu dengan tergesa tanpa tahu bahwa perempuan paruh baya itu memandangku dengan tatapan maaf dan penyesalan yang dalam.

***

Aku membaca kertas hasil diagnosa milik dokter dengan jantung berdebar. Aku sudah tahu, dokter sudah mengatakan padaku hasilnya ketika aku di rumah sakit. Tapi aku ingin membacanya lagi. Memastikan segalanya. “Selamat ya, ibu positif hamil..”

Tanganku merambat, menyusuri perutku yang masih datar. Hamil? Jadi di dalam sini ada kehidupan lain. Sekarang aku berbagi tubuh dengan nyawa lain.

Aku..hamil.

Suara hujan yang turun dengan sangat deras di luar sana sama sekali tak mengusikku. Aku membeku dalam dudukku dengan secangkir teh hijau panas yang asapnya mengepul di depanku.

Aku hamil?

Hujan turun makin deras.

Ini.. anakku dan dia. Ini buah cinta kami. Anak kami. Hujan turun lebih deras. Jalanan di depan kafeku tergenang. Dan aku.. hamil. Aku..

“Sophia, kau baik-baik saja?”

Aku mengerjap, memandang sahabatku yang juga merangkap menjadi manager di kafeku. Aku mengangguk pelan.

“Kau yakin? Kau tidak seperti biasanya. Kau sakit? Wajahmu pucat.”

Aku menyentuh kedua pipiku pelan. Tersenyum, “Aku baik-baik saja. Mungkin hanya sedikit lelah.”

Dia diam, meskipun sebenarnya aku tahu dia masih mengamatiku.

“Bagaimana keadaan di kafe akhir-akhir ini?” Aku mengalihkan topik pembicaraan.

“Baik. Sangat baik. Jumlah keuntungan sejauh ini sudah melampaui target kita bulan lalu.”

Aku mengangguk. Dia memang bisa kupercaya. Dia menjalankan bisnis yang kudanai ini dengan sepenuh hati. Berkat dialah kafe ini menjadi seperti ini sampai sekaranf. Aku memandangnya yang tengah mengamati keadaan di kafe yang tetap ramai meski kadang cuaca tak bersahabat. Aku beralih darinya ke hujan di luar sana. Tak jelas. Kaca berembun karena ulah air hujan. Aku menyentuh kaca kafe ini. Dingin. Kutarik satu garis vertikal dan aku mengintip dunia di luar sana.

Hujan lebih deras. Mendung hitam pikat dan garis vertikalku lenyap dalam beberapa detik. Aku membuang nafas panjang. Kusentuh kembali perutku dan memandang keluar meski aku tak dapat melihat apa-apa.

to be continued

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.