Hello Karma, Ini aku.. perempuan yang kau sapa tanpa mau kau kenali lebih dulu.
Hello Karma, ini aku.. perempuan yang kau buat menangis saat kau tak bosan-bosannya menyambangiku.
Hello Karma, aku menyorongkan tanganku dan menunggu tanganmu menyambutku.
Hello Karma, aku mau mengenalmu.
Karma..
Mari berkenalan.
Mari saling mengenali dan saling mengetahui satu sama lain.
Mari tersenyum lalu tidak saling melukai lagi.
Hei Karma..
Kalau kita sudah saling mengenal, kamu jangan jahat lagi ya.
Kalau kita sudah saling mengetahui, kamu jangan suka menyakitiku lagi ya.
Kalau kita sudah saling tersenyum, kamu jangan hobi membuatku menangis lagi ya.
Nah, Karma..
Kita harus saling memaafkan.
Tidak boleh saling membalas luka tentang masa kemarin lagi.
Dan Karma..
Jika kita sudah saling mengenal, boleh kuminta sesuatu?
Tidak sulit, sungguh.
Hanya, Karma..
Jangan menyentuh dia, laki-laki yang telah menyakitiku.
Jangan membuat dia merasakan sakitku ini.
Jangan memeluknya dalam racunmu.
Bolehkan Karma?
Boleh ya?
Aku hanya tidak ingin dia merasa sedih karena tersakiti.
Aku hanya ingin dia hidup bahagia tanpa mengenalmu, Karma.
Maka Karma..
Terima Kasih sudah membiarkan aku mengenalmu.
“Aku tidak suka hujan.”
to be continued
Jika aku tahu akhir dari cinta sesakit ini
Maka Tuhan..
Tolong
Tolong buat aku tidak jatuh cinta lagi
***
2 September 2012Selamat ulang tahun..
Selamat ulang tahun..
***
Bahkan dede’ juga gak tahukan maksud aku ngetwit itu. Percuma juga dijelasin kalau sudah dianggap salah. Sebenarnya dede’ anggap aku apa....harusnya udah bisa tahu aku orangnya gimana. Bedain dunia mayaku dengan dunia nyataku. Dede’ udah pernah sama akukan di dunia nyata? Dan sekarang masalahnya adalah kita terlalu lama bertemu di dunia maya. Jadi semua kelakuan dunia mayaku yang kamu ambil. Sudahlah, aku juga gak punya hak atas semuanya. Seandainya aku ngasih pertanyaan sama dede’, apa yang kamu ketahui tentang aku? Pasti jawabannya atas semua pembelajaranmu tentang aku di dunia maya. Iyakan?
***
***
***
***
***
23 Januari 2013Ini benar-benar pelukannya.
Ini benar-benar mata hitam tajamnya.Ini benar-benar Jogjakarta.Lagi..
***
***
***
***
***
Kini tak ada terdengar kabar dari dirimu. Kini kau telah menghilang jauh dari diriku. Semua tinggal cerita antara kau dan aku. Namun satu yang perlu engkau tahu. Api cintaku padamu tak pernah padam..
Everything’s extinguished
***
***
I miss you
Ciyee
***
Kamu ngga ingin ngomong apa-apa gitu sama aku? Ngga pengen nyapa juga?
Haloo..
***
***
21 April 2013Aku patah hati dengan sederhana
Haloo..Dan aku patah hatiAku patah hatiSekali ini benar-benar patahDan Haloo.Aku habisSelesaiHaloo..Maka aku patah hati dengan sederhana
Setiap orang tentunya memiliki mimpi-mimpinya sendiri. Dengan mimpinya itu orang akan hidup dengan baik, dengan semangat dan dengan senyum yang tulus. Aku pun juga, aku punya banyak mimpi yang kurangkai menjadi sekuali semangat yang akan terus membawaku menjadi pribadi yang tidak mudah menyerah. Mimpi-mimpiku, aku tidak ingin itu hanya menjadi sekedar mimpi yang cuma menjadi harapan semu.
Aku ingin mimpi-mimpiku menjadi kenyataan. Pasti akan sangat menyenangkan mendapati apa yang kau mimpikan selama ini menjadi sesuatu yang riil. Maka aku memutuskan akan berusaha semampuku untuk menyukseskan proses transisi mimpi-mimpiku menjadi kenyataan. Dan aku memilih satu mimpi ini untuk kuubah menjadi kenyataan, mimpi untuk melanjutkan studiku ke perguruan tinggi negeri dengan jurusan Sastra Jepang.
Aku suka bahasa Jepang, aku suka linguistik negeri bunga sakura ini. Dan aku benar-benar serius ingin memperdalam ilmu tentang bahasa Jepang. Aku percaya kesuksesanku berada dalam ranah bidang ini, oleh karena itu aku mengambil jurusan Bahasa ketika aku berada di kelas XI. Aku selalu merasa penuh semangat ketika belajar bahasa Jepang. Aku belajar dengan tekun dan berusaha dengan keras menyerap semua yang diajarkan sensei kepadaku.
Di tahun 2010, ketika pendaftaran penerimaan mahasiswa baru perguruan negeri melalui jalur PMDK dibuka, akupun menyiapkan diriku untuk bergabung di dalamnya. Universitas Negeri Surabaya dengan jurusan Pendidikan Bahasa Jepang adalah pilihanku, satu-satunya pilihanku ketika itu. Aku sama sekali tidak punya keinginan lain selain masuk ke Universitas Negeri Surabaya dan menjadi mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Jepang. Namun ketika pengumuman penerimaan mahasiswa baru jalur PMDK diumumkan, aku menjadi satu dari banyak anak lainnya yang kecewa dan menangis diam-diam.
Aku tidak lolos. Tanpa rencana cadangan aku hampir putus asa. Nyaris kulepas saja mimpi tentang kuliah bahasa Jepang, tapi kedua orang tuaku menyemangatiku dan memintaku tidak menyerah. Memberiku harapan jika mungkin saja Allah merencanakan sesuatu yang lain untukku. Sedikit demi sedikit aku memupuk kembali rasa percaya diriku. Mungkin ini memang bukan saat yang tepat bagiku untuk mewujudkan mimpiku. Aku percaya kehendak Allah selalu yang terbaik untukku. Allah mungkin sedang menyimpan sesuatu yang jauh lebih indah bagiku. Dan ternyata benar juga, Allah punya ceritaNya sendiri untukku.
Setelah pengumuman nilai dan kelulusan sekolah menengah atasku, seorang guru memanggilku ke kantornya. Beliau mengatakan bahwa aku mendapat tawaran beasiswa kuliah ke Universitas Negeri Malang, bebas memilih jurusan yang aku mau dan bebas biaya pendidikan maupun biaya masuk karena aku mendapat peringkat ketiga nilai tertinggi UAN SMA Jurusan Bahasa. Ketika itu aku diam, benar-benar tidak tahu harus mengucapkan apa. Aku sangat bahagia. Pernah merasakan semangkuk besar es krim coklat dengan taburan cookies coklat? Apa yang kurasakan ketika itu bahkan jauh lebih manis.
Kesuksesan kecil ini, rasanya mau menangis menahan perasaan bahagia yang membuncah di dadaku. Apalagi melihat ekspresi kedua orangtuaku ketika aku memberi tahu mereka kabar gembira ini. Sungguh, rasanya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Pelukan dan kecupan dari bapak dan ibu. Mata mereka yang berkaca-kaca bahagia. Subhanallah, itu kebahagiaan paling nyata yang bisa kurasakan. Melihat dua raga yang paling besar mempengaruhi hidupku itu tertawa lepas dan begitu bangga padaku. Itulah untuk pertama kalinya aku merasa aku berguna secara nyata.
Maka akupun menerima tawaran beasiswa itu dengan memilih jurusan Sastra Jerman dengan prodinya Pendidikan Bahasa Jerman. Selain karena Universitas Negeri Malang tidak mempunyai jurusan bahasa Jepang, kesukaanku terhadap bahasa asinglah yang akhirnya mendukungku untuk memilih bahasa Jerman. Terus terang aku bahkan sama sekali belum mengenal bahasa Jerman sedikit pun ketika itu. Semacam kenekatan saja. Tapi toh akhirnya aku menjalaninya, setahun penuh menjadi mahasiswa Sastra Jerman Universitas Negeri Malang yang juga menerima beasiswa PPA yang kuterima setiap tiga bulan sekali.
Namun entah kenapa, aku belum bisa benar-benar melupakan mimpi awalku, kuliah di perguruan tinggi negeri dengan jurusan Sastra Jepang. Aku merasa jalanku disitu, nyawaku disitu. Sebaik dan sekeras apapun aku belajar bahasa Jerman, aku tetap menyisihkan waktuku untuk membaca modul bahasa Jepang SMA-ku. Aku merasa ada sesuatu dalam diriku yang belum benar-benar rela melepas bahasa Jepang. Maka kuceritakan kepada orantuaku betapa aku sesungguhnya menyukai Bahasa Jepang lebih dari Bahasa Jerman. Mereka mengerti, tapi mereka juga tidak bisa membantuku secara materi. Keterbatasan ekonomi keluargaku membuat bapak dan ibuku tidak bisa membantuku mewujudkan keinginanku itu. Intinya, jika aku memang mau dan serius pada apa yang kuputuskan, maka aku pun yang harus mengusahakannya sendiri.
Kubulatkan tekadku untuk sekali lagi berusaha menggapai mimpiku kuliah bahasa Jepang. Berbekal niat, tekad dan sedikit kenekatan aku memulai usahaku. Satu-satunya jalan agar aku bisa kuliah bahasa Jepang tanpa perlu merepotkan kedua orangtuaku dengan biaya pendidikannya adalah mendapatkan beasiswa. Maka aku memulai mencari beragam beasiswa yang sekiranya cocok denganku. Beasiswa Bidik Misi akhirnya menjadi pilihan utamaku.
Aku membaca semua persyaratannya dan mulai mengumpulkan semua berkas-berkas yang wajib disertakan dalam proses pengajuan beasiswa. Karena beasiswa ini harus diajukan secara kolektif oleh SMA maka akupun mau tak mau harus sering ke SMA-ku dulu untuk melakukan semua proses yang dibutuhkan. Dan jarak nyata antara Malang-Nganjukpun harus menjadi resiko yang harus kutempuh. SMA-ku ada di Nganjuk sementara aku sekarang berdomisili di Malang karena kuliah disana. Semua ini benar-benar melelahkan, tidak hanya secara fisik tapi juga mental. Jarak yang jauh, sendirian dan aku pun masih harus mempertimbangkan jadwal kuliahku di UM (Universitas Negeri Malang).
Sabtu adalah satu-satunya hari yang bisa kugunakan untuk mengurus kelengkapan pengajuan beasiswa ke SMAku. Karena itu adalah satu-satunya hari dimana aku tidak ada jadwal kuliah. Jadi sehari penuh, rasanya tidak menjejak tanah. Dari Malang, berangkat pagi-pagi sekali, aku naik kereta api ke Kediri selama hampir lima jam lalu naik bus dari Kediri sampai ke Nganjuk. Mengejar waktu, berharap semoga guru SMA-ku yang mengurus proses pengajuan beasiswa Bidik Misi sekolahku belum pulang. Rutinitas seperti itulah yang kulakukan setiap akhir pekan. Hingga pada suatu ketika, proses pengajuan beasiswaku sudah hampir selesai. Aku hanya perlu mengumpulkan semua berkas persyaratan yang dengan susah payah berhasil kulengkapi.
Maka stasiun kota baru Malang, stasiun Ngadiluwih Kediri, sepanjang jalan raya Kediri-Nganjuk kembali menyapaku sabtu itu. Setengah sadar karena masih mengantuk dan kelelahan, akhirnya aku sampai juga di depan gerbang SMA Negeri 2 Nganjuk. Tapi yang kudapati ketika aku masuk ruang tata usaha justru membuatku myaris menangis karena kesal. Guru yang bertugas mengurus beasiswa Bidik Misi sudah pulang ke rumah. Aku tidak punya pilihan lain kecuali mengantarkan berkas beasiswaku ke rumah beliau. Aku tidak mungkin kembali lagi kesini lain waktu. Minggu depan aku harus menempuh ujian tengah semester. Aku tidak boleh disibukkan dengan semua urusan pengajuan beasiswa ini dulu. Aku harus fokus, bagaimanapun juga aku tak boleh melalaikan kewajibanku. Aku masih punya tanggung jawab sebagai mahasiswa Sastra Jerman Universitas Negeri Malang. Maka apapun yang terjadi aku harus menyelesaikan urusan pengajuan beasiswa Bidik Misi hari ini juga.
Tengah hari ditemani matahari yang perkasa tepat di atas kepalaku bersama, omelan dan sedikit keputusasaan, aku melangkah, benar-benar berjalan kaki ke rumah guru tersebut. Menempuh jarak yang cukup membuat keringat menetes satu demi satu dari dahiku. Sampai di perumahan guruku, karena tidak terlihat ada satpam perumahan, aku mencoba bertanya pada beberapa orang dimana alamat rumah tersebut. Dan semua orang yang kutanyai mengatakan hal yang sama, “Maaf ya mbak, saya ngga tau.”.
Rasanya mau mengalah saja, pulang. Sudah di tepian jurang keputusasaan. Aku terus berusaha menyabarkan diri, demi mimpimu, demi kesuksesanmu. Maka aku terus mencari di perumahan yang blok dan nomer rumahnya sama sekali tidak urut susunan alphabet mapun numerik ini. Rasanya seperti melihat ibu peri baik hati, ketika seorang anak kecil yang iseng kutanyai alamat guruku, justru tahu dimana itu dan mau berbaik hati mengantarkanku kesana.
Singkatnya, aku pada akhirnya bisa memberikan kelengkapan berkas-berkas beasiswaku kepada guru SMA-ku tersebut. Dan tanpa mampir ke rumahku yang juga ada di Nganjuk, aku kembali ke Malang. Kereta api lagi. Berjam-jam dalam kereta api ekonomi, Rapih Dhoho jurusan Kediri-Malang. Baru sekitar jam sembilan malam aku baru sampai kosku di Malang. Aku menelepon kedua orangtuaku, meminta doa. Semoga semua kerja kerasku membuahkan hasil sukses. Meski aku tidak punya jaminan apakah beasiswaku akan diterima atau tidak. Tapi usahaku, doaku dan doa orang tuaku yang selalu mengelilingiku menjadi satu kekuatan yang mampu membuatku percaya. Aku bisa.
Dan sekarang, bisa kulihat hasil dari semua jerih payahku itu, tidak sia-sia aku berada lebih dari sepuluh jam sehari di kereta api, naik bus, jalan kaki dengan cuaca panas kota Nganjuk, mencari-cari alamat guru SMAku. Maka saat ini aku disini, kuliah sebagai mahasiswa semester empat Sastra Jepang Universitas Airlangga Surabaya.
Lalu beasiswaku, membawaku kesini dengan gratis dalam istilah kasarnya. Tanpa uang pangkal (SOP, SO3), tanpa membayar SPP tiap semesternya dan masih mendapat biaya hidup tiap bulannya. Bahagia bukan? Kelegaan yang begitu besar ketika mimpimu bisa terwujud dengan usaha dan kerja kerasmu sendiri. Tanpa merepotkan orangtuaku, tanpa meminta uang lagi dari mereka. Aku mandiri sebagai individu sendiri. Disini aku berdiri, bisa bangga pada diriku sendiri. Satu mimpi terwujudkan.
Kesuksesan yang membawaku pada rasa syukur yang teramat besar. Berkat doa dan semangat dari kedua orangtuaku akhirnya aku bisa sampai pada tahap ini. Berkat kepercayaan, dorongan dan pelukan hangat mereka, aku tahu aku tidak boleh menyerah bagaimanapun susahnya jalan yang harus kutempuh untuk mewujudkan mimpi-mimpiku. Merekalah yang membuat aku terus berusaha meski berkali-kali aku nyaris gagal dan menyerah. Mereka selalu tersenyum dan berkata bahwa aku pasti bisa.
Kesuksesan itu milik siapa saja yang mau berusaha. Dan aku beruntung menjadi salah satunya. Terima kasih, bapak, ibu, yang selalu ada dan mendukung apapun pilihanku. Aku mencintai kalian.
Memiliki seseorang yang benar-benar kita cintai mungkin adalah hal terbesar yang paling kita inginkan, tapi memiliki seseorang yang selalu tulus dan begitu besar mencintai kita juga bukan sesuatu yang buruk. Aku belajar memaknai tentang itu sekarang. Mencintaimu, Senja. Dan menerima cintamu, Fajar. Akankah begitu? Ataukah akan ada takdir lain?
***
Jatuh cinta pada pandangan pertama. Senja membuatku mencintainya. Senja membuatku larut dalam dekap perasaan tergila-gila tanpa batas. Semburat warna-warninya adalah keindahan yang mampu membuatku hilang akal. Aku gila karena mencintai Senja. Benar-benar nyaris gila karena cinta yang begini besar. Aku berusaha menjaga dan mempertahankan Senja-ku. Mengenggam jemari Senja meski kerap dilepaskan. Aku terus mengenggam senja dengan erat. Aku mencintaimu Senja, aku mencintaimu. Tak akan habis cinta ini meski sudah ribuan rasa yang tak kau acuhkan. Aku akan tetap begini. Akan ada dan bisa kau rasa. Senjaku, aku mencintaimu. Sadarilah itu. Pahami aku wahai Senja. Raba setiap gelisahku ketika gelap mulai membuatmu memudar. Jamahi setiap risauku ketika malam mengulummu menghilang.
Senja, tak bisakah kau sedikit bicara dan melepas bisumu. Lihat aku. Lihat ada aku disini. Aku yang begini besar mencintaimu. Tak habiskah lelahmu membuatku terus mencintaimu tanpa mau membalasnya sedikit saja. Apa harus aku mengiba untuk menerima pedulimu? Haruskah aku memohon terlebih dulu agar bisa kukecap perhatianmu? Ah Senja, letihku meneliti jejakmu. Habis rasanya semua energiku. Tak hanya tubuhku, tapi jiwaku juga habis. Habis rasa mencoba memahamimu. Senja, mungkinkah aku memang tak pantas bagimu? Hingga sulit bagimu menengok ke sudut dimana aku terpekur kelelahan karena kerasnya berusaha membuatmu memperhatikanku. Mungkinkah aku memang tak patut berharap bisa berbalas rasa denganmu? Hingga begini tega kau buat aku mengais-ais isi hatimu. Senja.. Senja-ku. Tolonglah mengerti aku.
Dan ketika aku terpekur terisak karena senja, satu sentuhan Fajar menyapa bahuku. Membuatku menoleh dan merasakan pendaran cahayanya yang hangat. Tangan Fajar terulur, mengangguk dan meyakinkanku yang ragu. “Jangan menangis lagi.” Ucap Fajar lembut.
Mataku memperhatikan Fajar baik-baik. Beralih ke tangannya yang masih terulur kepadaku. Fajar tersenyum. Dan itu jenis senyuman tulus yang sama seperti yang kulengkungkan untuk Senja. Fajar baik. Dan aku meraih tangannya pelan.
Aku bangkit dan Fajar mengenggam tanganku begitu erat. Hangat. Aku merasakan kehangatan tangan Fajar yang menyalur membawa perasaan nyaman padaku. “Terima kasih.” Bisikku.
Fajar menoleh, menelengkan kepalanya ke arahku. “Untuk apa? Ini?”
Aku mengangguk.
Anehnya Fajar justru tertawa pelan, “Aku melakukannya karena aku memang mau. Aku melakukannya untukmu. Jadi tidak usah berterima kasih. Semua ini tulus hanya untukmu.”
Fajar..
Fajar masih mengenggam tanganku, semakin erat. Dan aku berjalan di sampingnya. Kadang masih meneliti Fajar. Fajar berbeda.
Fajar dan Senja
Berbeda. Berbeda sekali. Fajar hangat, sementara Senja dingin. Fajar peduli sementara Senja, aku yang mengejar kepeduliannya. Fajar mencintaiku dan aku mencintai Senja. Fajar dan Senja.
Aku menunduk. Hatiku dimana sekarang?
Aku melepaskan genggaman Fajar. Matanya yang hitam menatapku seolah berkata, “Kenapa?”. Namun aku hanya menunduk, diam dan tak mampu bicara apapun.
“Maaf.”
Aku menunduk semakin dalam. Dan tanpa aba-aba, sejurus kemudian aku berlari. Pergi meninggalkan Fajar yang terpaku memandang punggungku yang semakin menjauh.
Aku berlari. Terus berlari.
Senja. Aku mencintai Senja. Aku mencintai Senja. Hanya dia.
Kujatuhkan tubuhku. Terduduk di tengah pasir-pasir pantai yang setengah basah, aku memandang bekas Senja di kejauhan. Hitam membekas memanjang. Gelap datang. Tubuhku bergetar. Buku-buku jariku bergerak pasti, meraup pasir di sekitarnya dan menggenggamnya penuh-penuh.
Aku masih bergetar hebat. Sebelum kulepaskan semua pasir dalam tanganku seiring dengan pecahnya tangisku.
“Apa aku sejahat itu?”
Suara itu..
Ketika aku menoleh perlahan, aku melihat Senja duduk di sampingku. Jingga dan bercahaya. Mulutku menganga, terburu kuhapus sisa lelehan airmataku. Kubenarkan cara dudukku dan setengah menahan sisa sesenggukkanku. “Apa aku sejahat itu?” Senja kembali bertanya. Dan aku menjamahi wajahnya dengan mataku. Buru-buru kugelengkan kepalaku, “Tidak.” Jawabku cepat.
Dia mengambil udara dingin di sekitarnya, menghisapnya. Kemudian tampak sedih. Aku mereka-reka penyebabnya. Adakah salah yang sudah kuucapkan?
“Kenapa tidak mau jujur kalau aku memang sangat jahat. Aku tahu aku sudah keterlaluan padamu, Bumi.”
Aku menggelang cepat tapi tangan Senja juga sama cepatnya menyentuh ubun-ubunku. Membuatku berhenti. “Kau yang terbaik. Terbaik dari banyak yang mencoba masuk ke kehidupanku. Dan kurasa kau juga yang paling bodoh.”
Keningku berkerut. Nyaris membuat kedua alisku bertemu. Mata Senja menerawang, tangannya lepas dari kepalaku. “Seharusnya kau sudah lama pergi ketika tahu aku tidak peduli, ketika tahu aku sama sekali tidak mau tau tentangmu. Tapi bukannya pergi, kau malah bertahan. Masih sangat baik. Menemuiku, mengajakku berbincang dan terus mencintaiku.”
“Ini salah, Bumi. Harusnya kau pergi. Sejak awal. Aku bukan sosok yang baik untuk dicintai. Kau tidak akan bahagia bersamaku.” Satu gerakan, Senja bangkit. Menatapku dari atas, Senja kembali bersuara, “Tolong jangan jadi bodoh dan keras kepala hanya karena aku.”
Aku bisu. Seperti tersihir. Tak bergerak. Bola mataku hanya menangkap tubuh senja yang menjauh, pergi dariku. Aku masih memandangnya. Hanya memandang tanpa tau harus melakukan apa. Sampai tubuhnya menghilang dari jangkauan pandangku aku masih beku.
“Tolong jangan jadi bodoh dan keras kepala hanya karena aku.”
Apa maksudnya berucap seperti itu? Apakah dia lelah menerima semua perhatian dan ketulusan perasaanku? Apakah Senja marah?
Aku menjejak dengan cepat. Berdiri tapi tak melangkah. Tidak satu gerakanpun setelah itu. Mulutku setengah terbuka. Jantungku berdetak tegas. Satu. Satu.
Senja, mulai lelahkah engkau? Mulai hilangkah sabarmu padaku yang mencintaimu. Apakah ujaran-ujaranmu tadi adalah petanda. Petanda agar aku mengalah pada perasaanku sendiri. Senja.. Apakah memang begitu? Apakah..
Satu basah. Turun meleleh dari sudut mata kiriku. Hanya satu. Turun, jatuh ke pipi dan menelusuri wajahku. Ya, hanya satu kali ini.
“Bumi.. Bumi..”
Nafas terengah-engah, menyentuh kedua pundakku dan menelitiku dengan khawatir.
“Kau baik-baik saja?”
Fajar. Lalu entah bagaimana aku berhambur memeluknya. Erat. Sangat erat. Kali ini tidak lagi cuma satu, tapi banyak. Banyak lelehan keluar dari kedua bola mataku. Fajar menyingsing, menyilaukanku dengan kehangatan dan perlindungannya. Mendekapku kembali dengan semua perhatian dan kasih yang dimilikinya. Diusapnya lembut punggungku dengan tangannya, “Tidak apa-apa. Tidak apa-apa, Bumi. Menangislah jika itu membuatmu merasa lebih baik. Menangislah, tidak apa-apa. Ada aku disini.”
Dan suara isakku makin keras, memecah kesunyian yang diciptakan semesta. Membuat riuh alam dan merusak senyap yang awalnya merajai. Tapi aku tak peduli. Aku hanya ingin menangis dan berteriak. Lagipula Fajar bilang tidak apa-apa. Ya, semua akan baik-baik saja kalau Fajar bilang tidak apa-apa. Tidak apa-apa.
“Tidakkah kau merasa lelah terus berusaha membuatnya berpaling ke arahmu dan hanya menatapmu?” Suara Fajar membuyarkan diamku setelah cukup lama kami duduk berdampingan di atas pasir putih yang menyebar di sepanjang pantai ini. Kami hanya duduk seperti ini sejak aku memutuskan berhenti mengusik semesta dengan tangisanku.
Aku memeluk kedua lulutku. Mataku memandang ke depan, menerawang ke masa-masa dimana Senja pernah bersikap sangat baik padaku.
“Cinta memang tak pernah salah, Bumi. Tapi cinta juga bukan sesuatu yang akan menyakitimu separah ini. Lihatlah dirimu. Berkacalah dan bandingkan. Kau dulu lebih ceria. Lebih bahagia dan bebas. Tapi semenjak kau tambatkan hatimu pada Senja, kau memudar. Auramu meremang. Kau menjadi pemurung dan bukan lagi Bumi yang periang.”
“Senja mungkin juga mencintaimu. Tapi tidak sebanyak kau melakukannya untuknya. Senja mungkin juga mencintaimu. Tapi tidak cukup banyak untuk mematrikan kaulah satu-satunya.”
Fajar berhenti, menarik udara bersih. Membawanya ke paru-parunya lalu mengeluarkannya lagi sebelum dia kembali memandangku. “Tidakkah kau ingat apa yang dulu dilakukannya padamu. Senja memilikimu. Tapi dia tak merasa cukup. Kemudian dibuatnya kau menangis sampai habis ketika dia mencumbui Laut di belakangmu.”
Masa itu? Aku mengais-ngais kotak kenanganku dan menemukan masa itu. Senja dan Laut? Suram. Kotak paling suram. Aku membukanya dan aku ingat kembali ketika aku demikian keras berjuang. Berjuang demi Senja. Namun Senja malah menampikku dan tak ada satu purnama berlalu, senja sudah membawa pulang Laut sebagai pendampingnya. Ombak milik Laut seperti mau menenggelamkanku. Membuatku nyaris mati karena sakit hati. Meski tak lama. Meski bertopeng, hubungan itu menyakitiku sampai busuk.
Fajar menyentuh bahuku, “Ambillah jeda, kumohon..”
Aku berpaling, menemukan raut wajah Fajar yang jujur. Aku masih diam ketika dia meneruskan perkataannya.
“Ambillah jeda untuk meneguk ramuan penyembuh lukamu, Bumi. Ambillah jeda untuk dirimu sendiri. Cinta yang sebanyak ini pada Senja yang mengabaikanmu adalah racun yang perlahan-lahan akan memusnahkanmu.”
Jemarinya menyibak helaian rambutku yang terbang di atas wajahku. Ditelungkupkannya punggung tangannya, menangkup kedua pipiku dan berkata lagi, “Kumohon.. Lakukanlah untuk dirimu sendiri. Ambillah jeda. Jangan mencintai Senja lagi.”
Jangan mencintai Senja lagi?
Tapi bagaimana bisa. Hatiku, penuh. Bulat penuh sudah dimiliki Senja. Tak ada sisa sedikitpun ditubuhku sekarang. Semua hatiku sudah dimiliki Senja. Lalu bagaimana bisa aku berhenti mencintai Senja jika seperti itu adanya?
“Aku hanya tidak ingin melihatmu terluka..lagi.”
Dan bibirnya mengecup kelopak mataku. Aku terpejam. Ada rasa aman menyelinap disana ketika bibir Fajar kembali bergerak. Kali ini berhenti pada keningku. Lama..
“Aku mencintaimu Bumi..”
Fajar melepas kecupannya. Fajar melepas tangkupan tangannya pada pipiku. Fajar memandangku gugup, merasa bersalah, “Maaf, aku tidak bermaksud un..”
“Tidak apa-apa.” Kataku untuk pertama kalinya. Lalu aku memeluknya singkat. “Terima kasih sudah mencintaiku Fajar.” Kemudian aku bangkit dan melangkah pergi. Aku tahu Fajar masih terus memandangi punggungku yang menjauh. Aku tahu. Tapi aku terus melangkah. Tidak berhenti.
Ya, Fajar benar. Mungkin aku memang harus mengambil jeda. Jeda panjang untuk mengobati lukaku. Jeda panjang untuk memberi waktu pada perasaanku sendiri.
Fajar benar. Selalu benar. Aku memang harus melakukannya. Untuk diriku sendiri. Untuk kehidupanku sendiri. Aku akan mengambil jeda dan jarak. Tidak hanya pada Senja tapi juga pada Fajar.
Aku tahu seperti apa rasanya cinta yang tak berbalas. Aku tahu seperti apa rasa sakit karena mencintai seseorang yang malah mengabaikanmu. Rasanya sangat buruk dan aku tidak ingin fajar merasakannya. Tidak. Fajar sangat baik dan aku akan jadi mnakhluk paling jahat di semesta ini jika sampai melakukan itu pada Fajar.
Dan aku mencintai Senja. Meski dia jahat. Meski dia kerap membuatku menangis. Meski dia tak bisa mengerti perasaanku. Meski dia terus menerus menebas habis jiwaku. Aku mencintainya. Akan selalu begitu. Senja cinta pertamaku. Dan cinta terakhirku.
Seburuk apapun Senja memperlakukanku, aku tahu perasaanku padanya tak akan berubah. Sekeras apapun aku mencoba membencinya, aku tahu aku hanya akan semakin merindukannya. Aku tahu, tidak akan ada celah untuk cinta lain menyapa dan menyelinap memasuki relung jiwaku. Tidak ada. Bahkan untuk Fajar sekalipun. Aku hanya milik Senja. Cintaku hanya untuk Senja. Hanya dia.
Ya, aku akan mengambil jeda. Jeda supaya Senja tak perlu risih melihatku terus menerus. Jeda agar Fajar mengalah dan mencoba mencintai Merkurius atau Venus atau Mars. Atau siapapun yang akan mampu membuatnya bahagia.
Aku akan pergi. Aku akan mengambil jeda sampai keduanya paham. Sampai Senja paham bahwa aku satu-satunya sosok yang mampu bertahan dan mencintainya dalam kondisi apapun. Sampai Senja paham bahwa aku satu-satunya sosok yang sangat tulus mempersembahkan cinta tanpa tuntutan padanya. Sampai Fajar paham bahwa aku tidak bisa membalas perasaannya hingga kapanpun. Sampai Fajar paham bahwa aku hanya akan menjadi sahabat terbaiknya, bukan kekasih yang bercinta dan mencintainya.
Ya, aku akan mengambil jeda. Jeda panjang agar lelehan itu tidak jatuh lagi dari sudut mataku. Jeda panjang agar Senja bisa merindukanku. Jeda panjang yang bisa memberi waktu pada Senja, pada Fajar, dan pada diriku sendiri.
Aku terus melangkah. Membiarkan kakiku mengambil alih arahku. Membiarkan angin menemaniku sambil bermain dengan helai-helai rambutku yang terbang naik turun. Aku terus melangkah untuk mengambil jeda. Ya, mengambil jeda.
THE LADY OF MIRKWOOD
Formulir Kontak
POPULAR POSTS
Categories
- 30-Day Writing Challenge 4
- AUPAIR 2
- Cerpen 25
- Impian 6
- Ini Curhat 11
- Jejak R & D 2
- Kisah di Austria 7
- Kisah di Jerman 7
- Kisah Tak Sempurna 8
- Kumpulan Twitt 19
- Malaikat Hujan 7
- Puisi 18
- Random Thoughts 23
- Reading Link 2
- Untaian Kata 32
- Untuk Senpai 52
- Untuk SID 7
- Visa Jerman 3
- WritingChallenge 4