Cinta. Satu bahasan yang tidak akan pernah kehabisan huruf untuk menjabarkannya. Meski ketika itu waktu sudah menua. Cinta diajarkan sebagai sebuah anugrah untuk jiwa manusia. Cinta itu indah. Meski kadang terlihat kejam. Cinta punya berbagai cara untuk menunjukkan keberadaannya. Dengan membuatmu membenci, membuatmu menangis, tertawa, lalu bahagia. Cinta akan dan pasti indah. Caramu menghargainyalah yang akan membedakan tingkat keindahannya.
Cinta. Pernah merasakannya? Aku pernah. Sejauh ini baru sekali. Dulu kupikir aku sering merasa jatuh cinta. Tapi ternyata bukan. Cinta sederhana tapi rumit. Dan sulit ditelaah dengan cepat. Jadi ternyata, kebanyakan hanya suka bukan cinta. Dan jatuh cinta yang sebenarnya itu baru sekali. Dengan dia. Dia yang sulit disentuh dengan sikapku yang sekarang. Dia yang sukar kuterjemahkan.
Aku mencintainya. Jatuh cinta. Dan terlalu banyak. Cinta ini kadang kumaknai dengan buruk. Sebab kerap kali banyak airmata dan perasaan berbeda. Tapi rupanya hanya kulitnya. Sebab selama ini cinta tetap baik. Selama aku menangis untuknya, cinta memelukku dalam rasa yang menumbuhkan keikhlasan. Selama aku mencemburuinya, cinta mengenggam tanganku. Menawarkan kehangatan dan perasaan nyaman. Disana cinta selalu ada untuk mendampingiku. Mengajariku caranya mengalah dan sedikit merubah sikap.
Cinta membawaku pada babak baru hidupku. Dimana kata menunggu tak lagi terlihat membosankan. Dimana kata setia hanya akan terhapus jika memang waktu yang berkehendak meluruhkannya. Ya, cinta itu selalu baik. Untukku, untuknya. Untuk semua yang hidup dan semua yang pernah merasakan cinta. Maka aku akan selalu jujur dan berkata, “Aku mencintaimu, senpai”. Meski dia jengah dan telah berubah. Aku akan menepati janjiku karena cinta memberitahuku arah untuk berlaku adil pada apa yang telah kuutarakan. Jika dia tak mau menunggu, maka aku yang akan melakukannya, sebab dengannya aku bisa mengenal cinta. Berbaik sikap dengan cinta. Berbagi cerita dan keluh. Cinta pula yang mengajariku bersikap dewasa. Memahami apa itu artinya perbedaan. Dalam garis yang dulu kutentang dengan keras, kepercayaan. Tapi toh karena cinta aku bisa melihat celah-celah yang diloloskan oleh pemahamanku yang dulu. Sehingga sekarang aku bisa belajar mengerti.
Ah cinta, jika aku memang bukan wanita yang ditakdirkan untuk memiliki dia yang kucintai. Maka biarkan aku tetap bahagia karena telah mencintainya dengan begini besar. Aku tulus padanya. Setulus aku menerima bahwa aku memang jatuh cinta. Akhirnya, untuk pertama kalinya. 14 Oktober 2011. Boleh kusapa kamu untuk jadi simbol? Iya simbol, simbol awal dari dimulainya segala cerita ini.
Aku mengenalnya secara tak terduga. Menemukannya dari dunia maya. Situs jejaring sosial terkenal, twitter. Saling follow dan mention. Mendadak merasa akrab dan berlanjut ke direct message. Kau bisa menebak akhirnya bukan? Ya, saling bertukar nomer handphone. Segalanya begitu cepat. Sangat tidak lazim dan tak bisa dilogika akal. Mungkin awalnya memang sekedar main-main. Tapi toh pada akhirnya aku benar-benar tulus pada perasaan cinta untuknya.
Dan kemudian, simbol itu menjadi mula. Keheningan tercipta di tengah keriuhan orang-orang di sekitar kami. Tak banyak rangkaian kata. Serba ala kadarnya. Mungkin dia memang sosok pendiam. Tapi kalau aku? Aku hanya kehabisan kata. Tidak tahu bagaimana ceritanya, mulutku ini kelu. Aku gugup. Lucu sekali. Rasanya seperti anak SMP yang baru berkenalan dengan laki-laki. Ah konyol, aku menahan diri untuk menertawakan diriku sendiri.
Maka pertemuan itu membuatku semakin mengenalnya. Meski sulit kujamah kebenaran sifatnya tapi aku tetap menyukai saat-saat bersamanya. Dia itu menyebalkan. Tapi aku suka. Kadang, hanya dengan melihatnya yang sibuk bermain gameaku bisa tersenyum sendiri. Apa-apaan ini? Seperti sebuah kesederhanaan yang bisa membuatmu merasakan kebahagiaan yang benar-benar. Dan itu langka.
“Kenapa harus ingin punya kakak sih, de? Kan ada aku, yang bisa jadi kakak, sahabat dan kekasihmu.” Ujarnya ketika kukeluhkan keinginanku mempunyai kakak laki-laki padanya.
Kamu tahu? Sederet kalimatnya itu sanggup membuatku merasa “bungah”, bahagia. Senyum kecilku terkembang, merasa benar-benar tidak salah telah menjadikan orang ini cinta pertamaku. Kebahagiaan yang awet, dan itu kudapat dari kalimat sederhananya.
Ah senpai, terima kasih.
Namun, bukankah hidup tidak selalu seperti yang kamu inginkan. Maka itulah yang terjadi. Ini bukan kisah dongeng, bukan kisah yang selalu berakhir dengan, “..maka sang putri dan pangeran pun hidup bahagia selamanya..”. Ini dunia nyata, ini kisah hidupku, dan ini yang terjadi. Amarah, kekecewaan, kesedihan dan entah perasaan negatif apa lagi. Jarak tempat tinggal diantara kami membuat jarak yang sama jauhnya dalam hubungan ini. Dan sikapnya sama sekali tak membantu mempermudah segalanya.
Ya, aku dan dia memang menjalin hubungan jarak jauh. Jauh, Surabaya dan Jogja. Dan itu tidak menyenangkan. Menjadi penasaran tentang kegiatannya, tentang alur hidupnya membuatku benar-benar kerepotan. Apalagi dia lepas tangan. Segalanya berubah, aku kehilangan dia yang dulu pertama kali kukenal dan dia berubah menjadi sosok yang sama sekali tidak kukenal. Atau mungkin aku memang belum benar-benar mengenalnya.
Ketika aku kesulitan meraih perhatiannya, mengais pedulinya. Dia malah pongah dan seakan tidak mau tahu. Apa normal bagimu ketika LDR tanpa komunikasi? Tidak bukan, tapi itu yang kujalani. Setengah mati aku bersabar, meredam keinginanku untuk berontak dan meninggalkannya yang angkuh itu. Sekarat rasanya dibiarkan dijerat rindu yang tak dirindukan. Sesak melihatnya menganggap seolah semuanya baik-baik saja padahal aku disini sudah nyaris gila. Haruskah aku kesana, ke kotamu dan berteriak di depanmu, “Hei, aku ini pacarmukan? Apa kau lupa kalau kau masih punya aku?”
Tapi dasar cinta yang dasarnya memang tak punya mata. Karena nyatanya ketika kami bertemu lagi, aku sama sekali tidak berteriak padanya. Aku malah tersenyum dan berbisik pelan, “Senpai, aku kangen”. Oke aku lulus sebagai orang tolol. Dimana menguapnya semua kejengkelanku padanya? Dimana hanyutnya semua ketidakrelaanku karena tidak dianggap? Dimana?
Sulit rasanya mengenali diriku yang sekarang. Apa memang kebodohan seperti ini yang dilakukan oleh orang yang sedang jatuh cinta? Dan untukku, cinta pertama, malah lebih parah. Dicari-caripun aku juga tak menemukan jawaban tentang kenapa aku bisa mencintainya sampai seperti ini. Maka aku berhenti mencari dan menikmati kebersamaan bersamanya.
Kamis, 26 Januari 2012. Melihatnya lagi. Memeluknya lagi. Dan merasakan kepeduliannya lagi. Ya, dia peduli. Aku selalu merasakan nyata kepeduliannya padaku ketika aku dan dia dekat. Tapi ketika jauh, jangan tanya lagi. Satu pesan pendek yang dibalas empat kali berturut-turut itu sudah seperti keajaiban dunia.
Ah sudah. Aku berhenti memikirkan itu. Sebab kali ini, ada kebahagiaan baru. Ada kebahagiaan yang menyapaku ketika aku bersamanya. Kali ini, dia mengenalkanku pada teman-teman dekatnya, pada orang yang sudah seperti keluarga baginya. Dan itu adalah kebahagiaan yang sangat besar. Tau rasanya dihargai? Tau rasanya diakui sebagai kekasih? Itu yang kurasakan ketika itu. Aku benar-benar merasa sangat bersyukur dan aku bahagia. Bahagia sekali. Aku berbagi kebahagiaan pada bintang yang bersembunyi malu-malu di atas kami, dan aku menceritakannya pada kerlip-kerlip bintang lain yang menyebar di bawah kaki kami yang duduk menghabiskan malam di Bukit Bintang.
“Kok diam terus sih de?”
Aku menoleh menatapnya, tidakkah dia melihat kebahagiaan yang berpendar dari kedua bola mataku. Tidakkah dia melihat betapa aku merasa sangat beruntung memilikinya ketika itu. Dan karena perasaan bersyukur itu, mendadak terlintas pikiran lain di kepalaku. Apa selama ini aku pernah membuatnya sebahagia seperti aku saat ini? Pernahkah? Entahlah. Aku tak tahu. Sulit menafsirkan isi kepalanya dan aku jadi ragu. Apa aku pantas untuknya? Sisa waktu bersamanya, aku banyak diam. Mendadak banyak berpikir dan kehilangan mood baikku. Banyak spekulasi dan hasilnya membuatku murung.
“Dede’ gak nyaman ya di sini?” Tanyanya pada satu kesempatan.
Astaga, pertanyaan apalagi itu. Hei, belajarlah memahami bahasa kediamanku. Aku hanya merasa menyesal. Menyesal karena kerapkali keberadaanku di kotanya ini hanya merepotkannya. Tidak membuatnya merasa senang. Aku merasa bersalah. Aku tidak ingin membuatnya susah. Aku.. Aku hanya ingin membuatnya bahagia, sama seperti yang dia lakukan padaku. Dan aku sedih. Sedih telah membuatnya melakukan banyak hal untukku ketika bersamanya sementara aku, tidak pernah.
Lalu aku kembali. Kembali ke kotaku dengan membawa perasaan yang bercampur baur tak karuan di hatiku. Disatu sisi aku sangat bahagia, tapi disisi lain. Aku merasa telah mengecewakannya. Tak tahu, aku semakin tidak mengerti. Ada begitu banyak perasaan lain yang mendadak ikut andil disini. Aku merasa sesak. Kalau sudah begini akhirnya aku cuma bisa menangis. Maaf ya. Maaf. Maafkan aku.
Lagipula, mungkin air mata itu memang bersahabat denganku. Karena setelahnya aku malah jadi sering menangis karenanya. Benarkah kalau jatuh cinta, perempuan akan sering menangis? Kalau benar begitu, maka aku akan berpikir ribuan kali jika aku ingin jatuh cinta lagi.
Sebab sekarang segalanya seakan keluar lagi dari jalurnya. Sikapnya tak pernah konsisten. Dan setelah pertemuan itu, sikap tidak pedulinya malah memburuk. Lebih buruk dari apa yang disebut buruk sekali. Dia perlahan menjauh. Aku didekap kecemburuan. Aku direngkuh perasaan iri. Cemburu pada perempuan-perempuan lain yang kutahu dekat dengannya. Iri pada mereka yang mendapat perhatian lebih darinya.
Aku bisu, memperbaiki dan menjaga perasaanku sendiri ketika dia tak pernah lagi mau tahu tentang aku. Aku mencoba semampuku tetap pada pendirianku untuk mempertahankannya. Meski rasanya sakit sekali diperlakukan seperti ini, tapi kukuatkan diriku untuk tetap memilikinya.
Tapi akhirnya aku kalah. 23 Februari 2012, aku disingkirkan. Aku dilepas dan dibuang. “..aku tidak mau terus menerus menyakiti dan mengecewakanmu..”. Kalimat omong kosong apa itu? Alasan macam apa itu.
Pernah dikecewakan sampai rasanya kamu tidak mau merasakan lagi penyebabnya? Jika pernah, maka kamu tahu seperti apa rasanya aku ketika itu. Aku seperti sampah ya? Berat rasanya mengakui bahwa dengan sangat bodoh aku masih mencintainya ketika dengan kejam dia meninggalkanku dengan begitu mudahnya. Tapi itu faktanya. Sebab aku selalu gagal. Meski sekeras apapun aku berusaha melupakannya, membencinya. Yang ada aku justru tenggelam semakin dalam pada perasaan rinduku padanya.
Jujur, aku lelah. Sangat lelah. Coba sapa aku dan lihat. Lihat betapa aku sudah kehabisan semua tenagaku, pikiranku, hanya untuk mencari apa kesalahan fatalku. Mungkinkah memang salahku? Salahkah jika aku mengeluh karena kehilangan responnya pada keberadaanku yang jauh disini? Salahkah egoisnya aku karena tidak ingin kehilangannya? Salahkah cemburuku hanya karena aku terlalu takut dia berbagi rasa?
Aku memang tidak bisa membacanya. Aku tidak pernah tahu apa yang tidak dikatakannya padaku. Aku sulit, mengertilah. Ini pertama kalinya bagiku jatuh cinta. Harusnya dia tahu itu. Harusnya dia bisa baca semua ketakutanku itu. Sudah sampai ujung batas rasanya aku terus mengalah, tapi tetap saja hasilnya sama. Disisihkan dan kalah.
Berkali-kali mengeluh pun sia-sia. Maka dengan tegas kukatakan padanya, “Aku akan menjadi wanita yang layak kau pertahankan. Jadi tunggulah. Tunggu sampai bisa kubuktikan itu padamu.”
Berminggu-minggu berlalu tapi tetap saja ada perasaan sedih dan kecewa bersarang kekal di hatiku. Aku terus memikirkan cara membuktikan hal itu padanya. Tapi apa? Aku tidak tahu dan malah kehilangan diriku yang biasanya.
“Kamu kenapa sih?”
“Kenapa apanya?” Aku malah balik bertanya.
“Kok jadi agak pendiam. Biasanyakan heboh banget.”
Aku tertawa kering, “Siapa bilang aku jadi pendiem?.”
“Aku yang bilang. Biasanya loh kamu heboh banget. Orangnya rame, tapi sekarang jadi agak diem gitu. Jadi kamu yang dulu lagi dong.”
Seperti itukah kelihatannya, sahabat? Apa benar aku sudah berubah. Entah, aku hanya merasa tidak baik. Aku merasa sakit. Tubuhku, hatiku, perasaanku, jiwaku. Aku tidak tahu benar apa ini, hanya saja segalanya di luar kendaliku. Sejauh inikah dia mempengaruhi hidupku? Sejauh inikah dia mengubah segalanya.
Aku tetap terdiam dan tidak tahu jawabannya. Waktu berlalu. Dan aku tetap saja tidak bisa mengalihkan segala perasaanku untuknya. Maret pelan-pelan berakhir. April tersenyum padaku, namun pada pertengahannya, April mematikanku dengan sekali tebas.
Ujian tengah semesterku, mata kuliah Bahasa Inggris 1. Aku ingat dengan benar ketahuan yang kusesali itu. Ya, kusesali. Aku menyesal tahu bahwa dia tak lagi sendiri. Bahwa dia kini telah mengenggam jemari perempuan lain. Perempuan lain yang berada pada urutan pertama perempuan yang kucemburui dulu. Redam, redam, redamkan amarahku. Luruh, luruhkan airmataku. Hapuskan saja kecewaku. Tolonglah. Tolong, aku mohon.
Kenapa harus jahat seperti ini? Ketika aku sedikit saja belum bisa beralih darinya. Dia sudah memeluk perempuan lain. Ketika sejengkal pun aku belum bisa melupakannya. Dia sudah menghapus total semua kenangannya tentangku.
Segalanya mendadak terasa begitu jelas sekarang. Ya aku tahu, aku tahu. Lewat sikapnya yang sangat bertolak belakang ketika bersama perempuan itu, aku tahu. Lihat betapa berbedanya jika dibanding sikapnya terhadapku dulu. Kepedulian, perhatian, sikap ekspresif yang sepertinya tanpa batas untuk perempuan itu. Dan haruskah memamerkan semua kemesraan itu sehingga aku tahu segalanya. Tidak cukupkah menyakitiku dulu, hingga saat inipun rasanya masih tak lelah baginya untuk membuatku semakin tenggelam dan habis.
Mungkin memang dari awal aku hanya mainannya. Mungkin memang dari awal tak ada cintanya untukku. Mungkin memang dari awal tak ada niatannya untuk benar tulus denganku. Mungkin memang dari awal hanya perempuan itu yang ada di hatinya.
Mungkin..
Dan sorenya, usai semua ujianku hari itu, untuk pertama kalinya aku menangis di depan sahabatku. Aku menangis. Sekali ini ingin rasanya kubagi semua sesak di dadaku pada sahabatku. Aku hanya ingin menangis di depan sahabatku. Aku lelah menangis sendirian. Aku lelah diperlakukan begini. Aku lelah.
Hari-hari setelah itu segalanya terasa sangat tidak bersahabat. Aku hilang konsentrasi, aku tidak pernah lagi tulus tertawa. Aku tersenyum, berbicara, bercanda. Namun hanya sebatas topeng. Lepas itu, hancur segalanya.
Buruk sekali. Kali ini merasa lebih rendah dari sampah. Apa aku tidak patut dihargai lebih? Apa salahku? Atau mungkin memang aku yang tidak pantas dicintai. Mungkin aku yang tidak layak berada di sampingnya. Mungkin banyak kurangku. Mungkin aku tidak cantik. Mungkin memang wajar baginya mempermainkan perasaanku seperti ini. Ya, mungkin. Mungkin seperti itu adanya.
Maka setelah benar tahu segalanya itu, aku menepikan diri. Aku menepi dan melepas segala harapanku tentangnya. Aku berusaha mengosongkan semua daftar impianku bersamanya. Biar kularutkan saja segalanya. Tapi aku tahu dengan pasti bahwa aku tetap akan mencintainya. Ya, aku masih mencintainya. Masih mencintainya dan tetap sama besar seperti dulu.
Jika kamu tanya kenapa aku tidak mencoba melupakannya, tidak mencoba membencinya. Aku hanya bisa diam. Aku hanya tidak mau mengusahakan sesuatu yang sia-sia. Sebab aku tahu, aku akan selalu gagal dalam usahaku menghapuskan perasaan ini untuknya. Jadi kubiarkan saja. Biar cinta ini tetap begini. Tetap seperti ini. Aku hanya akan mencintainya. Tidak akan melupakannya. Karena dia serupa bau hujan pertama di musim kemarau. Sangat khas dan unik. Seakan-akani semua elemen bumi tumpah menjadi satu. Ada aroma basah tanah, bau segar angin, kilauan embun dan air, juga satu kesatuan antara kerinduan semua dedaunan, dahan-dahan, bebatuan serta bumi akan air. Air dari langit, hujan. Seperti itulah dia. Sangat komplek dan menyegarkan. Sebab dia cintaku yang pertama. Laki-laki pertama yang membuatku menangis sesering ini. Laki-laki pertama yang sanggup membuatku mengalah dan kalah. Laki-laki pertama yang mengkhianatiku dan bersikap kejam padaku.
Maka aku akan mencintainya. Mencintainya saja. Sebab cintaku tulus. Jika memang dengan perempuan itu, dia bahagia. Maka doaku kuhaturkan untuknya. Segala yang terbaik yang bisa membuatnya tersenyum dan bahagia. Dengan keras kusingkirkan amarahku, dan belajar menerima. Semoga dia bahagia. Semoga cinta pertamaku bahagia. Semoga segalanya baik dan terbaik untuknya.
Aku mencoba untuk tidak protes meski hatiku sakit. Aku mencoba kebas rasa. Aku mencoba diam dan sok mati rasa. Maka disini, di tepian. Aku akan belajar untuk menghargai segalanya. Aku akan belajar menerima semua ini. Semua yang telah terjadi padaku. Pada kisah cinta pertamaku. Semoga tidak ada kisah sedih lagi. Semoga kelak akan ada cinta yang membiaskan keindahan nyata untukku. Semoga segalanya baik. Semoga.. Dan aku akan belajar bersyukur. Setidaknya dia pernah membuatku sangat bahagia. Setidaknya dia pernah mengajariku apa itu cemburu, mencintai, dan mengalah. Ah rupanya banyak sekali yang dia ajarkan padaku. Jadi terima kasih banyak.Terima kasih untuk semua yang pernah dia lakukan untukku. Terima kasih cinta pertamaku.
Terima kasih, aku mencintaimu..
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.