Buku biru lusuh tebal, halaman pertama.
Dear Diary,
Diary, namanya Richo.
Richo Pradatama.
Dialah kak Richo-ku, kuperkenalkan padamu. Kamu harus tahu, diary. Dialah alasanku untuk semua pertanyaan yang ada. Tapi dia begitu sulit kujangkau. Dia begitu jauh… sangat jauh.
Tapi diary
Dia tak tahu.. aku selalu berjalan di belakangnya, berangkat dan pulang sekolah.
Dia tak tahu.. aku selalu menunggunya, di depan rumahnya dan di gerbang sekolah.
Dia tak tahu.
Dia sama sekali tak tahu.
Padahal aku ingin sekali dia tahu.
Aku ingin dia tahu.
Sangat menginginkannya.
Bantu aku memberitahunya satu kalimat ini, diary.
Bantu aku memberitahunya, bantu aku mengatakan kalimat ini.
“I love you, kak.”
Icha
“Kak Richo.”
Mendengar namanya dan menyebutkan namanya saja sudah membuatku begiu lega. Rasa-rasanya seperti menghirup udara yang begitu segar. Apalagi berjalan di dekatnya, mendengar derap-derap langkahnya, memperhatikan punggungnya, karena aku tak pernah berani berjalan di sampingnya.
Ah, entahlah.
Aku tak peduli. Semua tentangnya sudah membuatku begitu tenang, begitu merasa damai. Ternyata perasaan cinta itu begitu nyaman dan indah. Mampu membuatku begitu hidup. Detak yang begitu lemah dari jantungku pun bisa menjadi sedikit lebih kuat.
Lalu saat kumulai pagi ini, aku sudah menunggunya. Menunggu untuk berangkat bersamanya, mengikuti langkahnya. Melihat wajahnya tiap pagi, melihat tubuhnya yang dibalut seragam putih abu-abu, tas hitam yang diselempangkannya dibahunya yang kokoh, hitam rambutnya dan wajahnya yang dingin.
Aku menyukainya.
Aku bersandar di tembok pagar rumahnya, masih menunggu. Tiap hari sejak dua tahun lalu saat putih abu-abu resmi jadi warna seragam sekolahku.
Ah, aku ternyata begitu menyukainya.
Dia keluar, menutup pintu pagar rumahnya dan mulai berjalan. Aku pun ikut berjalan, beberapa meter di belakangnya. Terus menatapnya dan selalu seperti itu, tak pernah berani bahkan untuk sekedar mencoba menyapanya. Dia begitu dingin. Idola sekolah yang sangat misterius. Irit bicara, tak pernah kutahu apa yang dirasakanya dari ekspresinya, karena dia tak pernah menunjukkannya. Semuanya tersembunyi di balik mata hitamnya yang selalu bersorot tajam. Namuna aku bisa merasakan kelembutan berpendar dari situ.
Dan pintu kelasnya pun mengakhiri ritualku memandangnya. Aku berhenti sebentar, menatapnya sekali lagi sebelum kembali berjalan ke kelasku. Tapi selanjutnya, semua masih tentangnya. Kuikuti semua pelajaran dengan perasaan yang sangat tenang karena aku sudah melihatnya. Sebab entah mengapa, hanya dengan selalu melakukan hal seperti itu, aku sudah merasa puas.
Aku benci keramaian, rasanya menyakitkan.
Tapi sepertinya dia tidak. Dia idola sekolah, kapten tim futsal dan masih jomblo. Kegiatannya selalu mengundang keriuhan. Gadis-gadis selalu berteriak histeris setiap melihat dia berlatih dan bertanding futsal. Dia memang selalu dikelilingi gadis-gadis cantik. Tapi dia tidak pernah menghiraukan semua itu. Tak pernah kudengar dia kencan atau pacaran dengan salah satu dari gadis-gadis itu. Dia normal, hanya saja dia masih ingin sendiri, begitu yang kudengar.
Maka semua itu semakin membuatku menyukainya.
Aku lelah. Sudah tiga jam aku bersandar di gerbang sekolah, tapi aku tak juga melihatnya. Tapi aku juga tak ingin pergi. Aku ingin menunggunya. Dia akan keluar. Sebentar lagi. Aku hanya perlu bersabar. Mungkin lima menit lagi. Ya, mungkin lima menit lagi.
10 menit.
30 menit.
120 menit.
Aku merosot, terduduk dengan memeluk lututku. Langit sudah menghitam. Tapi aku masih ingin menunggunya. Aku masih begitu ingin menunggunya.
Air?
Basah?
Aku mendongak. Gerimis sebentar lalu hujan mulai lebat. Aku merepet. Atap gerbang melindungiku dan aku masih bertahan di sini karena aku masih ingin menunggunya.
Lutut menopang dahiku saat perlahan aku menundukkan wajahku dalam-dalam. Aku mulai basah dan merasa kedinginan. Dadaku sakit.
Aku mengeleng. Hanya lima menit saja, kumohon. Aku ingin kuat. Dadaku sakit. Tidak. Aku mohon, doaku tanpa suara seraya menyentuh dadaku. Aku ingin tetap disini. Tetap disini. Menunggunya.
”Kamu masih menunguku, Icha?”
Keningku berkerut. Aku seperti mendengarnya. Suaranya.
Aku mendengarnya, nyata. Bukan khayalku. Dia di depanku. Wajahnyalah yang pertama kulihat saat kudongakkan kepalaku. Aku mencoba tersenyum. Berusaha berdiri lalu mengangguk. Aku gugup, sangat gugup sampai aku merasa gemetaran.
Kamu masih menungguku, Icha?
Kata-kata itu terus terngiang ditelingaku. Itu yang pertama kali. Satu kalimat yang diucapkannya untukku. Dan.. dan di sana terselip namaku. Dia tahu, dia tahu namaku.
“Kenapa masih menungguku, Cha? Ini sudah malam, hujan pula. Nanti kamu bisa sakit, Cha. “
Nanti kamu bisa sakit, Cha.
Kau tahu? Kalau aku punya sayap. Aku mungkin sudah terbang. Terbang sangat tinggi. Menyentuh bintang. Sebab dia, dia mengkhawatirkanku.
Aku gemetar dan tak sanggup bicara
“Maaf membuatmu menunggu. Tadi ada latihan untuk pertandingan minggu depan dan dilanjutkan dengan rapat kecil untuk membahas itu.”
Dia menjelaskan semuanya dan bicara banyak sekali. Aku pikir inilah pertama kali kudengar begitu banyak kata terlontar dari bibirnya, kecuali ketika dia bicara tentang pertandingan futsal dengan teman-temannya.
Aku menatapnya lekat-lekat dan kemudian merasa sedikit menyesal melakukan itu. Dia mendadak berhenti bicara dan membuang muka. Memandang hujan yang tinggal rintik-rintik kecil. Aku menunduk memandang jalanan yang basah dan mendongak dengan tiba-tiba saat kurasakan tangannya menyentuh pundakku dan jaketnya sudah ada di punggungku.
Dia berjalan. Aku mencoba mengikutinya, tapi baru dua langkah saat tanpa sadar aku terjatuh. Aku ternyata begitu lemah dan lelah. Aku memandangnya penuh tanya ketika dia tiba-tiba membungkuk di depanku. Memunggungiku.
“Naiklah.”
Ragu.
Lalu entah darimana datangnya keberanian dan kekuatan ini. Aku bergerak, naik ke punggungnya dan dia langsung tegak berdiri, mengendongku. Langkahnya pelan. Mungkin dia merasakannya, detak-detak jantungku yang semakin tak beraturan. Tapi samar, aku juga mendengar dan merasakan detak jantungnya. Sama cepatnya.
Kuletakkan kepalaku di punggungnya.
Terima kasih, Tuhan.
Aku merasa nyaman. Benar-benar sangat nyaman. Andai bisa, aku ingin agar jalan ke arah rumahku menjadi semakin jauh agar aku bisa semakin lama seperti ini. Punggungnya hangat sekali dan sekarang aku mulai merasa sangat lelah. Punggungnya hangat sekali, aku jadi mengantuk. Dadaku sakit dan aku mulai benar-benar merasa sangat mengantuk. Mataku mengatup perlahan, tapi aku masih bisa merasakannya. Merasakan punggungnya yang hangat.
Aku merasa tenang.
Lebih dari rasa tenang mana pun yang pernah aku alami.
Lama sekali.
Rasanya lama sekali. Aku harus bangun, aku tak ingin membuatnya harus membangunkanku dulu saat aku sampai di rumahku. Aku berusaha bangun tapi mataku berat sekali. Tapi aku tetap mau bangun. Aku harus bangun.
Warna putih yang pertama menyeruak ke mataku saat aku terbangun. Lalu bau obat, kuat menusuk hidungku. Segalanya terasa samar. Ruangan apa ini?
Ah, dadaku sakit. Sangat sakit. Terlalu sakit. Tapi kemudian aku melihatnya. Dia duduk di dekat tempatku berbaring. Matanya fokus. Dia tengah membaca buku biru lusuh yang tebal. Itu..
Diaryku.
Tempatku selama ini menulis semuanya. Tempatku menuangkan perasaanku. Semuanya. Perasaan. Hati. Jiwa. Semuanya kutanam di situ. Dia membacanya. Dia membacaku.
Aku menggerakkan tangan kananku. Sakit. Ada infus di tanganku dan akhirnya aku tahu ini dimana. Ini tempat yang sejak kecil sering kukunjungi, tempat yang akhir-akhir ini mulai akrab lagi denganku. Rumah Sakit. Lalu saat aku memandangnya lagi, dia juga tengah memandangku. Matanya tajam menatapku, seperti meminta penjelasan. Sorot matanya menusuk langsung ke hatiku. Aku merasakan sakit yang tidak ada hubungannya dengan sakit di dadaku.
Kurasakan jantungku berusaha untuk terus berdetak meski lemah. Aku merasa semuanya nampak tak jelas. Hanya sebentar, karena kemudian aku melihatnya lagi. Sangat jelas sekarang. Aku mencoba bicara tapi tak ada satu kata pun keluar dari bibirku.
Dia tersenyum.
Senyumnya, pertama kali kulihat. Sangat sederhana tapi membuatku begitu damai hanya dengan melihatnya. Aku tidak tahu kenapa tapi sepertinya senyum itu hanya di buatnya untuk menutupi raut wajahnya yang berpendar sendu. Dia seperti ingin menangis atau entahlah apa, aku tak tahu. Dia tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke arahku dan menarikku pelan dan hati-hati. Menarikku ke dalam pelukannya. Dia memelukku sangat erat. Dadaku sakit tapi semua itu terkalahkan oleh perasaan bahagia yang menelusup ke dalam hatiku.
Bahagia sekali rasanya.
Dia tidak bicara apa pun, pelukannya mengendur tapi dia tak benar-benar melepaskannya. Aku tak tahu apa yang sekarang tengah ada di dalam pikirannya. Tapi aku diam dan membiarkannya memelukku seperti ini, karena aku sudah sangat bahagia.
Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Ini saatnya. Aku harus bicara. Dia harus tahu. Harus! Aku mencoba lepas dari pelukannya, tapi aku bahkan tak mampu sekedar bergerak menjauh. Untungnya dia mengerti, karena kemudian dia melepaskan pelukannya. Aku menatapnya, wajahnya sendu sekali. Ah, aku jadi ingin tertawa, ekspresinya bisa berubah sedih seperti itu rupanya.
Aku menghela nafas.
Ini pertama kalinya aku benar-benar punya keberanian untuk mengatakannya. Ini akan jadi kalimat pertama yang kukatakan untuknya. Aku tersenyum tulus dan mengucapkannya, pelan.
“I love you, kak.”
Tuhan..
Engkau juga mendengarnyakan? Aku mengucapkannya. Ini, ini yang paling aku inginkan. Aku ingin dia tahu dari mulutku dan sekarang aku sudah melakukannya.
Pipiku basah. Dua tetes airmata mengalir dari sudut mataku. Aku bahagia. Dadaku sakit. Tuhan, aku sudah sangat bahagia.
Aku mengantuk.
Tapi aku masih ingin lebih lama merasakan kebahagiaan ini. Dia baru tahu dan aku jadi ingin dia tahu lebih banyak lagi. Aku ingin dia mendengar semuanya. Dia menatapku dengan matanya yang bersorot aneh. Seakan takut kehilangan.
Dan selanjutnya, aku merasakannya lagi. Hangat pelukannya dan pelan dia berbisik, “Aku juga, Cha. Aku juga dan kumohon bertahanlah.”
Aku tak tahu apa maksudnya dengan memintaku bertahan. Tapi aku sudah sangat bahagia. Aku tak ingin apa-apa lagi sekarang. Aku sudah sangat sangat bahagia. Tiba-tiba aku merasa mengantuk.
Mataku perlahan menutup. Aku benar-benar luar biasa mengantuk sekarang. Aku berdoa dalam pelukannya. Tuhan, terima kasih. Aku merasa kehangatan menyelimutiku. Tanganku bergerak pelan menyentuh punggungnya.
“Kak Richo.”
***
Buku biru lusuh tebal, halaman terakhir.
Dear Icha,
Aku tahu, Cha..
Aku tahu kamu. Bagaimana tidak? Kau selalu menungguku di depan pagar rumahku dan di gerbang sekolah.
Aku tahu kamu. Bagaimana tidak? Kau selalu berjalan di belakangku saat berangkat dan pulang sekolah.
Awalnya aku tak tahu kenapa kau selalu melakukan itu, namun akhirnya aku tahu kenapa. Kau adalah bayanganku. Kau tahu? Tak pernah lengkap seorang manusia tanpa bayangannya. Kau adalah kebiasaanku. Kau tahu? Rasanya aneh kalau hariku tanpa kebiasaan itu.
Tapi, Cha,
Aku ingin kau berjalan di sisiku, bukan di belakangku.
Aku ingin menjaga hatimu, bukannya jadi sok dingin begitu.
Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi
Andai Tuhan memberimu waktu.
Tapi ternyata tak bisa ya, Cha?
Sudahlah. Mungkin Tuhan ingin cintamu tetap seperti itu. Sederhana tapi abadi. Lugu tapi sejati. Mungkin Tuhan ingin cintamu jadi cinta khas surga.
Cha,
I love you too
Richo
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.