Kita mengawali segalanya tanpa
bertatap muka. Kita sepakat berjalan bersama tanpa bisa saling
mengenggam tangan. Kemudian, ketika kau putuskan berbelok dan
meninggalkanku. Kau pun juga tak menampakkan wujudmu di depanku. Hanya
sederet kata yang kehalusan tuturnya sanggup menggilas habis perasaan
bahagiaku. Pun kau pergi, benar-benar pergi seperti orang tanpa
perasaan. Tidak ada sentuhan ketenangan di bahu, tidak ada usapan
menentramkan di kepalaku.
Kau hanya pergi dengan segelintir kalimat yang
berserakan, memintaku menyusun. Aku berdiri kaku. Diantara riuh
kesibukan kota, aku tenggelam. Nyaris mati mesti oksigen rapat
mengelilingi. Aku hanya menatap serpihan-serpihan harapanku yang
berceceran setelah kau hancurkan. Aku bisu mengamati impianku bersamamu
yang kau ludahi lalu jadi hina. Aku meraba dadaku, mencari sebongkah
hatiku yang membusuk karena luka. Tapi tidak ada. Sudah tidak ada. Aku
kehilangan hatiku ketika aku kehilanganmu.
Airmata pun
rasanya kering meski mataku basah. Mengusap kasar wajahku, aku berusaha
hidup tanpa menengok ke arahmu. Tapi leherku menolak perintah. Nyaris
setiap sepersekian detik, leher ini menoleh, mencarimu. Dan mataku
melihat senyummu. Senyummu yang tanpaku. Bahagiakah kau tanpa aku?
Sebegitu senangnyakah kau tanpa perlu ada kicauanku? Lagi-lagi mataku
basah, kukira sudah kering tapi tetap ada sebentuk air yang menyelinap
turun dari sudut mataku. Aku masih begitu sama memandangmu. Hatiku yang
hilang pun mungkin masih sama besar memujamu. Meski kuanggap kau jahat
tapi aku masih sama besar merindukanmu.
Gilakah aku? Usah pikir, aku
menyeret kaki melanjutkan hidupku. Banyak diam, banyak pura-pura. Kau
membalikkan alur kisahku. Diam, kukunci mulutku. Diam saja. Diam. Tapi
rusak rasanya jika menahan perasaan ini. Maka kadang aku bertindak,
berbicara melalui suara fonem. Hanya supaya kau tahu seperti apa kau
telah mengubahku. Namun banyak diam lagi. Apalagi pagi itu. Tuhan tahu
bagaimana sakitnya aku. Sakitnya aku dihabisi kenyataan. Benar-benar
kusesali ketahuanku. Bila ada pilihanku, aku akan merengkuh
ketidaktahuan, sebab melihat kau dan dia yang dulu kecemburui merajut
kisah adalah satu bentuk kehancuran baru untuk nuraniku. Satu babak yang
lebur menginjak-injakku.
Gemetar, kususutkan bulir-bulir airmata kering
itu. Kutegakkan wajahku. Tidak apa-apa, baiknya menunjukkan amarah dan
menyembunyikan jiwaku yang mati hina oleh rasa putus asa dan lara. Kau
yang paling jahat dari sekian banyak manusia yang kukenal. Kau yang
paling kejam, bukan secara nyata namun perlahan mematikanku. Dengan
caramu sendiri kau menghancurkan rohaniku. Aku habis. Topengku
ketanggalkan dan secara terbuka aku tersedu. Padahal secara nyata kupuja
kau. Aku jujur, tulus dan benar. Menyerahkan hati dan segala
kepercayaanku. Kuhaturkan utuh tanpa sedikit pun terbagi. Perasaan cinta
ini. Tapi lihat bagaimana kau menerjemahkannya. Lihatlah seberapa
sadisnya kau membuatku hilang pada langkah awalku. Butuh sehari untuk
membuatku benar-benar mencintaimu tanpa syarat. Dan bagimu, ada beberapa
bulan untuk terus menerus menyiksaku. Membuatku terombang-ambing pada
fakta hatimu. Samakah lelagumu seperti merdunya irama cinta yang
kunyanyikan untukmu? Palsukah senyummu ketika itu, ketika ruang dan
waktu mengizinkan kita menukar rindu. Menyapa dan menyentuh. Habis
rasanya aku. Kelelahan aku mengeja dirimu. Belajar membacamu. Remang
benar dan tak pernah jelas.
Aku takut mendalami segalanya. Aku takut
menjadi tahu nyata perasaanmu. Aku takut menangis dan mengharap lagi.
Sebegitu takutnya sampai aku tak mau belajar membacamu lagi. Fakta
tentangmu yang menepikanku dengan satu sentakan sudah membuatku begini
sakit. Apalagi ketika tanganmu mengenggam tangannya, mempertontonkan
kemesraan lain yang mengantarku kepada kosong. Kosong yang hampa. Aku
mencintaimu. Sangat mencintaimu. Meski jiwaku sudah habis. Meski hatiku
sudah hilang. Meski ketulusanku sudah kau ludahi. Seandainya kau mau
katakan segala alasan, aku tak yakin apa aku mau mendengar. Sebab
gemetar, sebab takut. Aku sangat takut.
Mungkin baiknya begini saja. Aku
mencintaimu saja. Biar aku terus jatuh cinta padamu seperti ini. Biar
begini saja sehingga aku tidak menangis lagi. Sehingga aku tidak patah
berkeping-keping lagi. Aku takut sayang. Aku takut kau akan kembali
jahat. Aku takut kau akan memnyeretku dalam permainanmu lagi. Meski
harapanku masih tersisa. Meski impian bersama itu masih kukumpulkan
lagi. Aku tetap saja takut melangkah. Satu langkah mendekat padamu lagi.
Satu langkah yang mungkin saja akan membuatku menangis lagi. Aku benci
kemungkinan-kemungkinan itu. Aku takut dan benci. Hatiku bahkan belum
kembali. Masih hilang. Lalu sekarang aku diminta bertaruh. Tidak! Aku
takut dan tidak berani.
Aku mencintaimu saja. Aku mencintaimu saja. Aku
mau mencintaimu dengan benar dan besar seperti ini saja. Dan segala
janjiku akan kutepati. Akan kutepati, entah dalam berapa lama jangkauan
waktu. Mungkin ketika aku tidak lagi takut. Mungkin begitu. Itu janjiku
padamu, malaikatku. Jadi itu hutangku. Akan lunas kubayar nantinya. Tak
lagi kuharap kau menunggu karena aku tahu kau tak akan suka dan tak akan
mau melakukannya. Maka di batas, disini, aku belajar merelakanmu.
Belajar tidak cemburu, tidak sakit hati, tidak berkomentar. Hanya diam
ketika kau dekat dengan perempuan lain. Sebab banyak fakta ketika kau
memilih pergi meninggalkanku telah membuatku menjadi lebih tahu. Lebih
tahu dengan benar bahwa aku tidak bisa membuatmu bahagia.
Bahwa hanya
aku saja tidak akan pernah membuatmu merasa cukup.
Bahwa aku.. Aku bukan
perempuan yang bisa membuatmu jatuh cinta.
9 Juli 2012
08.47 AM
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.