"Aku tidak suka hujan."
Kepalaku menoleh memandangnya. Sebentar saja, kemudian kuarahkan kembali pandanganku keluar. Menerobos kaca yang buram karena hawa dingin. Hujan masih turun. Semakin deras dan langit semakin pekat. Sepertinya hujan kali ini akan sangat lama.
Aku menoleh lagi memandangnya. Kali ini bukan karena suaranya tapi karena kesunyian yang mendadak menyelinap diantara kami. Bukan kebiasaannya membiarkan kesunyian menguasai kebersamaan kami. Sehingga akan sangat mengherankan bagiku ketika situasi seperti ini mendadak tercipta.
Dia nampak murung. Memainkan jari-jari tangannya dengan tatapan kosong.
"Ada apa?"Tanyaku
Dia mendongak, menatapku. "Entah."Jawabnya mengambang
"Dia kenapa lagi?"Tanyaku lagi sambil menyeruput sedikit teh.
Matanya mengerjap. Membulat. Lalu dengan dramatis dia membuang nafas dengan kasar. "Dia akan punya anak dariku."
"Lalu?"Tanganku meletakkan cangkir tehku dengan pelan ke atas meja, sama sekali tidak memandangnya.
Dia menyipitkan matanya, "Aku tidak mau punya anak dengannya."Paparnya alih-alih mengatakan ketidaksukaannya pada tanggapanku yang sedingin hujan di luar.
Kali ini aku memandangnya dengan cermat sebelum mengalihkan pandanganku ke luar lagi. "Telah terjadi. Kau tak bisa menghindarinya. Terima saja."
Dia seperti mau protes, tapi yang kudengar kemudian hanya helaan nafasnya dan jawaban singkat yang membuatku meragukan saran yang ditawarkan bibirku sendiri.
Aku hanya mengangguk dan mengucapkan segelintir kalimat normal seperti, "hati-hati di jalan." dan "jangan ngebut" ketika dia berdiri dan berpamitan akan pergi. Aku melihat gerakan tidak jelas yang dilakukannya. Seperti maju mundur tak pasti, seakan-akan ingin menyorongkan pipinya ke arahku tapi tak jadi. Aku hanya menatapnya dengan tatapan paling biasa yang aku punya. Hingga akhirnya dia hanya mencoba tersenyum meski jelas terlihat kecut, dan dengan suara tak bersemangat dia berkata, "akan kutelpon nanti malam."Lagi-lagi aku mengangguk. Tanpa senyum sama sekali. Bahkan mungkin dia akan tahu bahwa ada sesuatu yang berat menganjal di otakku.
Ketika dia berbalik dan berjalan ke arah pintu keluar cafe, aku kembali mengarahkan pandanganku keluar. Bertopang dagu.
Samar-samar, dari kaca yang semakin memburam oleh embun hujan, aku melihat mobilnya bergerak keluar dari pelataran parkir cafe. Aku mengamatinya. Mobil itu berhenti sebentar sebelum akhirnya berbaur bersama kendaraan-kendaraan lain di jalan raya yang ada tepat di depan kafe. Dia berhenti untuk memandangku. Aku tahu itu. Dia selalu melakukannya. Selalu. Selama tujuh tahun ini.
Ya, sudah selama itu kami saling mengenal. Selama itu pula kami seperti menjalin semacam simbiosis. Entah mutualisme, entah komensalisme. Aku bahkan belum bisa memutuskan yang mana. Padahal harusnya tiga hari lagi perayaan tujuh tahun kami.
Tujuh tahun kami..
Tujuh tahun kami? Tapi sebagai apa? Temankah? Atau mungkin, pasangan?
Aku menarik nafas dalam-dalam dan makin larut dalam lagu yang sedang dinyanyikan hujan. Mendadak aku merasa akan jauh lebih baik jika aku bisa berada di bawah hujan di luar sana. Mungkin diguyur derasnya air hujan bisa membantu menjernihkan otakku yang sedang berkabut. Dan jika manjur, siapa tahu jiwaku juga bisa dijernihkan.
Iya siapa tahu?
Kalau jiwaku bisa dijernihkan, kalau bisa..
Pikiranku mengawang. Kalau saja bisa semudah itu dijernihkan. Maka aku akan membiarkan hujan meluruhkanku di tetes pertamanya. Tetes pertama yang kutemui tujuh tahun lalu.
Aku akan menjernihkan jiwaku yang terpesona dengannya pada pandangan pertama kami. Terdengar konyol dan polos, tapi itu yang terjadi. Aku jatuh cinta. Jatuh sampai menyusup ke dasar paling dasar. Aku tergila-gila.
Dan aku terus jatuh cinta padanya. Seperti sampai sekarang. Aku masih saja jatuh cinta. Meski selama tujuh tahun, tak cukup berkali-kali dia membuat hatiku patah, hancur, rusak, sakit. Sampai kebas sekarang.
Tapi aku selalu saja masih jatuh cinta dan dibuat gila olehnya. Gila? Ya mungkin gila ini pengaruh satu tahun lalu. Satu tahun lalu. Satu tahun, tiga ratus enam puluh lima hari penuh aku kehilangan dia. Tapi aku ini tidak bertepuk sebelah tangan. Biarpun dia adalah orang paling rumit. Dia mencintaiku. Dan sama gilanya. Mungkin lebih. Jadi kemudian, waktu, nasib, atau malah takdir mempertemukan kami kembali.
Satu gerakan. Sapuan lembut di bibir, mampu mengerakkan setan yang lama bersemayam di dalam tubuhku. Setanku. Obsesiku dan kegilaan cintaku pada dia. Kami menyatu. Dalam gejolak liar paling panas yang pernah kami punya.
Lalu beginlah jadinya. Aku makin gila. Jiwaku makin buram. Seperti kaca di depanku ini. Aku terjebak. Dalam tipuan obsesi kami berdua. Pun ketika dia bertutur tentang sesuatu yang mendadak mampu membuatku bisu berjam-jam. Aku tetap bertahan pada ketidakjernihan ini hanya karena dia menangis dan memelukku. Memelukku dan mengenggam jari-jariku yang bergetar menahan robohnya bangunan hatiku yang sudah tua dan dipoles renovasi seadanya.
Akhirnya aku cuma mengiyakan. Pasrah menerima kemauannya. Lalu sampai sekarang pun aku tetap bersamanya. Menjadi pujaan hatinya yang berdiri bukan di sampingnya. Tapi diam-diam mengintip dan memperhatikan dari sudut gelap di kejauhan yang tidak diketahui orang. Dan dengan gerakan sangat biasa dia akan tahu sudut itu, mengerling dan melengkungkan senyum paling mempesonakan untukku.
Ah, rupanya kami sudah serumit ini.
Aku menyentuhkan telunjukku di kaca. Dingin. Lalu aku menjatuhkan telunjukku tetap dengan menyentuh kaca. Membentuk satu garis vertikal. Membekas. Aku bisa melihat hujan di luar lebih jelas dari garis itu. Sementara kaca di sekitarnya begitu buram. Tapi hanya sebentar, karena dingin kembali mengendap dan menyelubungi garis vertikalku dengan embunnya.
Buram lagi, aku menghela nafas dan mengalihkan pandanganku mengelilingi cafe. Lumayan ramai. Ada banyak orang, dengan cangkir-cangkir setengah kosong dan obrolan yang masih penuh. Aneka rona dan ekspresi. Aku tersenyum. Wajah mereka hidup.
Lalu aku melihat ke sudut. Melihat dua sofa empuk yang diduduki sepasang muda-mudi yang tengah tertawa lepas. Mendadak wajah mereka digantikan oleh benang-benang ingatan otakku. Sebentuk wajah oval kecil, rambut bergelombang tipis. Manis. Dengan pakaian sangat rapi, sepatu berhak tinggi, rambut disanggul sederhana. Perempuan itu seperti perempuan yang menunggu untuk wawancara kerja. Percaya diri. Namun ketika dia membuka mulutnya dan bicara, aku mendengarnya seperti manusia yang kehilangan separuh nyawanya. Suara yang mengisyaratkan rasa putus asa. Kelelahan.
"Saya bertahan satu tahun lebih diperlakukan seperti itu olehnya. Saya diam meskipun saya tahu apa yang terjadi. Saya mendengar semua omongan-omongan orang tentangnya. Tapi saya tidak mau peduli. Saya percaya padanya. Saya mencintainya. Dia suami saya."
Aku hanya memandangnya dengan tatapan bosan. Setengah muak. Setengah lagi menahan diri untuk mengusirnya dari cafe ini.
"Saya tahu persis hubungan seperti apa yang terjalin antara anda dan suami saya."
Mataku menyipit, "Apa maksud anda?" Nada suaraku meninggi.
"Saya tahu kalian saling mencintai. Tapi tolong mengertilah. Ini hal yang mustahil diperjuangkan. Saya selalu sabar menghadapinya. Menghadapi sikap-sikapnya yang buruk pada saya. Saya bertahan dan terus sabar. Tapi sekarang tidak bisa lagi. Oleh karena itu saya nekat bicara dengan anda."
Aku mengangkat cangkir tehku. Menyeruputnya perlahan masih dengan memandangnya. Aku melihat perubahan raut wajahnya. Kepercayaan dirinya runtuh, digantikan ekspresi ganjil yang tidak kupahami.
"Saya tahu jika anda mengatakan ini kepadanya, dia mungkin akan menceraikan saja. Tapi saya mohon, sekali ini saja mengalahlah. Lepaskan dia dan biarkan dia belajar mencintai saya." Sebulir air matanya jatuh ketika dia memandangku dengan tatapan memohon yang tulus dan dalam.
Entah mengapa aku menjadi diam melihatnya. Aku yakin jika tidak ada meja diantara kami, dia akan duduk bersimpuh memohon di depanku. Dia memandangku dengan matanya yang lugu. Suci. Khas wanita bodoh yang mau-maunya dijodohkan di zaman semodern ini.
"Tolong.."Suaranya mengambang putus asa.
Aku masih diam. Terus terang tidak tahu harus menjawab apa.
"Pergilah."Kataku pendek.
Dia semakin terlihat lelah ketika aku mengusirnya, "Tolong, mengalahlah." Ucapnya sekali lagi. Masih berusaha memohon padaku.
"Pulanglah."
Matanya semakin basah. Dan dia bangkit dari duduknya. Menunduk. "Terima kasih sudah mau mendengarkan saya." Lalu kakinya melangkah pelan keluar dari cafe ini. Aku hanya semakin diam sambil memandang punggung wanita itu.
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.