Salah Satu dari Banyak Goresan Tinta

Ketika kuucapkan janji itu aku demikian bersungguh-sungguh. Aku benar-benar ingin menjadikanmu sahabat hidupku, satu-satunya laki-laki yang akan kupertahankan hingga akhir usiaku. Aku ingin berdua bersamamu melalui semua perjalanan hidup ini. Aku ingin melukis kanvas kehidupanku sejalan dengan cinta dari kita berdua. Awalnya ku kira begitu, awalnya kusangka seperti itu. Tapi ketika itu aku demikian naïf, demikian terpaku hanya pada satu fakta bahwa aku demikian mencintaimu dengan begitu besarnya.

Ketika itu aku begitu egois, janji itu kukatakan hanya karena ku ingin memilikimu sebagai konsekuensi dari perasaanku. Aku sama sekali tidak melihat itu dari sisimu. Kamu tidak sama, perasaanmu untukku tidak sama. Kamu tidak mencintaiku seperti aku melakukannya untukmu. Kamu tidak pernah. Tidak pernah mencintaiku. Lalu kalau sudah begitu, apa aku masih harus menepati janjiku? Kalau sudah begitu, bagaimana bisa aku terus berusaha menepatinya sementara kamu sama sekali tidak merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan? Apakah harus kuteruskan ketika aku sudah menyadari fakta ini? Egois sepertinya jika aku terus melangkah maju dan mengusahakan janjiku ketika kamu tidak lagi sejalan denganku.

Kamu tidak mencintaiku. Tidak pernah benar-benar menyayangiku. Lihat saja betapa sangat berbeda sikap dan tindakanmu ketika bersamaku dan bersama dia. Kamu menyukainya, menyayangi dia. Mungkin cinta. Mungkin begitu sejak awal, sejak awal memang kamu mencintai dia BUKAN aku. Hanya dia. Dan aku hanya perempuan pengganti sementara dalam perjalananmu mendapatkannya. Aku hanya “perempuan nakal” yang bisa dan mau kamu perlakukan semaumu. Ya, mungkin Cuma sebatas itu aku bagimu. Dan aku malah sok tahu menafsirkan kalau kamu juga punya perasaan yang sama seperti perasaanku. Bodoh sekali. Bodoh dan benar-benar terlalu percaya diri ya? Aku naïf sekali. Apa pikirku padahal aku Cuma serendah itu dalam nilaimu. Baru kusadari semua ini setelah kulihat kamu dan dia.  

Setelah kulihat perbedaan yang sangat jelas dalam ekspresi dan pembawaanmu. Bersamaku, sikapmu dingin. Tidak peduli dan benar-benar tidak mau tahu seperti apa perasaanku. Aku sakit, kamu tidak peduli. Kehidupanku apa lagi. Seakan-akan aku hanya berarti hanya ketika kau ada di dekatmu saja, tapi ketika kita jauh. Masa bodoh bagimu. Tapi lihatlah bagaimana sikapmu ketika bersamanya. Sangat berbeda, jauh sangat berbeda dengan yang kau tampilkan untukku.  Tidak pernah benar-benar kamu tunjukkan kepedulianmu kepadaku di depan umum, bahkan di depanku sendiri saja sulit bagimu. Namun dengan dia secara terbuka kau tunjukkan kepedulianmu. Bahkan ketika tidak ada kabar darinya, kamu begitu khawatir. HPnyamati dalam perjalanan pulangnya dari Surabaya ke Jakarta, dan kamu sudah demikian khawatirnya sampai bertanya dengan teman-temannya Mencari-cari informasi dari sahabat-sahabatnya. 

Semoga dia baik-baik saja. Tulisan itu pun untuk diabukan? Membaca twit-twit itu saja rasanya sesak sekali dadaku. Sakit. Padahal tidak ada yang terlihat terluka di luar. Dan aku pun masih harus tahu dan membaca  pesan dindingmu di profil Facebooknya. Jaga diri baik-baik sayang, luv u :* , pulsaku habis sayang kamu baik-baik ya disana, iya sama-sama sayang, happy birthday my lady.. Dan entah apa lagi, aku sudah tidak ingin tahu. Meremovenya dari pertemanan Facebookku  adalah hal yang kemudian kulakukan. Menyakiti diri sendiri rasanya jika entah dengan dorongan apa aku menjadi sering membuka situs itu dan membacanya. Entah kenapa, aku benar-benar merasa seperti orang yang paling bodoh ketika mengetahui itu semua. rasanya seperti dipermainkan.  

Tapi harusnya aku tidak marahkan? Aku sudah selesai denganmu ketika itu. Wajarnya tak ada hak bagiku merasa sedih atau bahkan marah. Aku bukan siapa-siapamu. Namun entah mengapa aku justru merasa seperti itu. Merasa menjadi perempuan yang sangat menyedihkan. Semua ketulusanku selama ini sepertinya tidak pernah bertarti apa-apa. Dan disini, aku ditertawakan nasib. Ironis. Jadi setelah semua fakta itu, sepertinya aku memang harus menyelesaikan perasaanku padamu cukup sampai disini saja. Aku akan merapikan semuanya. Meski ada perasaan tidak rela tapi aku harus melepaskan semuanya. Aku akan mengakhiri usahaku dalam memenuhi janjiku kepadamu. Aku akan pergi, menjauh dari kamu dan dia. Aku akan menjauh semampuku. Meski ada perasaan tidak ingin pergi tapi aku harus melakukannya. Ada baiknya aku mencoba menghargai diriku sendiri ketika kamu tidak pernah menghargaiku. Ada baiknya aku menjauh dan tidak lagi melihatmu. Melihat kalian. Karena akan sangat menyakitkan bagiku melihat kalian berdua, melihat perhatianmu yang demikian besar kepadanya, melihat romansa diantara kalian sementara aku masih berharap dan menyisakan cinta yang masih sama besar untukmu. 

Jadi sebaiknya aku memang harus benar-benar menepi dan belajar untuk memposisikan letakku dengan benar. Di hatimu tidak ada aku. Tidak pernah ada aku karena sejak awal sepertinya memang hanya ada dia. Bersamanya, kulihat betapa ekspresifnya kamu. Panggilan sayang secara terbuka. Pernyataan kekhawatiran yang nyata. Aku cemburu. Ya, aku memang cemburu, sedih dan kecewa. Segalanya bercampur menjadi satu dan tumpah ruah di dadaku. Aku jadi sesak. Sulit bernafas. Maka biarkan aku melindungi sendiri dengan menepikan diriku. Belajar mengabaikan perasaanku kepadamu. Biar aku belajar. Belajar menata hatiku yang berantakan dan sakit. Biar kurapikan hati, otak dan perasaanku, juga tubuhku.


Midnite, 30 April 2012

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.