Perempuan, Cinta dan Kebodohan

Pernah mendengar kisah tentang betapa bodohnya perempuan karena cinta? Pernah mendengar kisah tentang betapa sabarnya perempuan menghadapi semua sikap tak baik orang yang dicintainya? Pernah mendengar tentang ketulusan seorang perempuan mencintai seseorang? Aku pernah. Aku mendengar kisah itu. Satu kisah yang membuatku berpikir dua kali untuk jatuh cinta. Benar-benar jatuh cinta. Bukan sekedar suka.
Aku mendengarnya minggu lalu dari seorang perempuan yang duduk di sampingku di salah satu bangku panjang yang menghadap ke danau buatan di taman. Ketika itu hampir senja. Aku hanya duduk untuk memandang danau dan melepas penatku karena kesibukkanku sepanjang hari. Aku tidak tahu siapa perempuan itu. Dia duduk di sampingku tak lama setelah aku duduk.
Aku sadar dia menoleh cukup lama ke arahku ketika aku menerima telefon dari pacarku. Aku sadar ketika itu aku membentak, marah dan tak mengalah dalam percakapan panjangku di telefon. Aku pun sadar bagaimana egoisnya aku yang langsung menutup telefon tanpa menunggu respon dari pacarku. Kucabut baterai telefon selulerku. Kesal setengah mati, gondok dan tidak ingin terus direcoki dengan telefon-telefon yang tidak ingin kujawab.
Ya, ketika itu aku memang tengah ada masalah dengan pacarku. Aku dengan semua sifat kekanak-kanakkanku tetap bertahan pada pemikiranku bahwa bukan aku yang salah dan harus minta maaf dalam hal ini. Aku mengerutu pelan sebelum memasukkan telefon selulerku ke tas.
“Dari pacarnya ya, mbak?” tanyanya ketika itu.
Kontan aku menoleh dan mengangguk, “Iya” jawabku pendek tanpa ingin berbasa-basi.
Ada jeda yang cukup lama. Aku memang tidak berniat mengobrol dengannya, perempuan yang sama sekali tidak ku kenal. Ku lanjutkan memandang danau di depanku. Aku memang memandang danau di tempat ini. Aku sering meluangkan waktuku ke taman ini, terutama ketika pikiranku diliputi banyak kejenuhan dan masalah.
“Enak ya mbak ditelefon pacarnya?”
Aku menoleh cepat. Enak? Jelas-jelas percakapanku di telefon tadi bukan jenis percakapan yang romantis. Bagaimana bisa disebut mengenakkan. Menyebalkan sih iya. Aneh.
Perempuan itu menoleh ke arahku sebentar lalu tersenyum, sebelum memandang lagi ke depan. “Saya tahu mbak tadi pasti bertengkar dengan pacarnya ya?”
“Lalu?” tanyaku menanggapi dengan kesal. Jujur saja aku tidak suka dengan orang yang terlalu ikut campur dengan urusan orang lain. Apalagi dia bukan orang yang kukenal.
“Saya hanya menebak, pasti rasanya menyenangkan bisa bertengkar dengan orang yang kita cintai. Bisa berdebat. Saling mengeluarkan argumentasi dengan pikiran yang tidak jernih karena emosi. Pasti menyenangkan.”
Gila orang ini, pikirku ketika itu. Tapi aku malas meresponnya. Aku hanya mengamati wajah perempuan itu dari samping. Tidak jelek, simpulku. Wajah yang tidak membosankan untuk dilihat. Rambutnya panjangnya tergerai lebih dari pundaknya. Umurnya mungkin tidak jauh beda dari umurku tapi ada sesuatu dari aura atau mungkin pandangan sekilas dari perempuan ini yang membuatku berpikir bahwa dia memiliki kedewasaan dalam cara pikirnya. Entahlah aku sendiri bahkan tidak tahu bagaimana bisa aku menilai seperti itu hanya dengan melihat tanpa tahu dan mengenalnya.
“Saya ingin seperti mbak. Bisa bertengkar dengan pacarnya.”
“Hah?”
“Mbak mungkin tidak menyadarinya, tapi mbak benar-benar perempuan yang beruntung. Saya selalu berharap bisa bertengkar seperti itu. Saya berharap kami bisa saling membentak dan marah-marah. Saya berharap hubungan saya bisa senormal itu.” dia menoleh sebentar ke arahku lalu tertawa kecil, mungkin karena melihat ekspresi konyol di wajahku. Jujur saja aku juga tidak tahu gambaran jelas ekspresiku ketika itu. aku hanya heran saja. Apanya yang normal dengan saling marah dan membentak-bentak.
“Maaf ya. Saya malah jadi cerita begini.”tuturnya lembut. Aku baru menyadari kalau matanya berpendar sedih. Wajahnya yang kali ini bisa kulihat dengar benar karena dia tengah memandangku terlihat lelah dan kuyu. Ah, mungkin dia ada masalah dengan pacarnya. Sama seperti aku. Sepertinya tidak ada salahnya mendengarkannya. Toh aku juga tidak ada kerjaan lain.
“Ah tidak apa-apa mbak. Cerita saja. Sepertinya mbak juga ada masalh. Sama pacarnya juga ya?”selidikku
Dia mengangguk, “Iya.” Jawabnya singkat. Dia mengalihkan pandangannya ke depan. Kelihatannya dia memang tipe orang yang tidak suka melihat lawan bicaranya ketika dia bicara.
“Saya merasa kosong, mbak. Saya iri dengan banyak orang seperti mbak yang bisa merasakan hubungan senormal itu. sementara hubungan saya dengan laki-laki yang sangat saya cintai tak pernah berjalan normal.” Dia membuang nafas panjang, kelihatan sekali menahan entah epa di dalam hatinya. Matanya sayu.
“Jangankan untuk menelepon saya, pesan pendek pun rasanya jarang sekali. Kalau pun ada. Mungkin karena saya yang mengawalinya dan balasannya pun akan sangat lama dan hanya pendek-pendek. Sepertinya ada keengganannya untuk membalas pesan-pesan pendek saya itu. Padahal kami menjalin hubungan jarak jauh.”
Aku menatap perempuan itu dengan lekat. Mendengarkan dengan benar tanpa ingin menyela ucapannya.
“Saya selalu mengharapkan perhatian-perhatiaanya yang dulu. Perhatian yang dulu dia limpahkan kepada saya ketika kami masih baru menjalin cerita. Tapi rupanya seperti pungguk merindukan bulan.” Dia tertawa sedih.”Saya sadar saya kadang juga egois. Tapi dia jauh lebih egois. Dia meminta saya memahami semua kesibukannya. Tapi dia sama sekali tak mau belajar memahami saya. Saya tidak meminta dua puluh empat jam waktunya, saya hanya meminta beberapa detik saja. Beberapa detik untuk merindukan saya. Beberapa detik untuk mengabari saya. Saya merindukannya, sering mengkhawatirkannya. Tapi dia selalu bersikap masa bodoh.”
“Apa menurut mbak saya salah kalau saya mengeluh?”tanyanya sambil memutar kepalanya ke arahku.
Aku menggeleng cepet, “Tentu saja tidak. Wajarlah mbak mengeluh. Coba kalau itu saya. Pasti saya sudah mengakhiri hubungan itu. Mana enak hubungan jarak jauh tanpa adanyanya komunikasi yang baik. Lagipula kalau mbak tidak mengeluh dalam situasi seperti itu, saya pasti akan menebak mbak tidak normal.”jawabku panjang
Dia tertawa mendengar jawabanku, “Iya juga. Tapi tenang saja. Saya normal kok. Saya mengeluh waktu itu.”kelakarnya yang membuatku ikut tertawa.
“Ya, saya memang mengeluh mbak ketika itu. Saya mengeluh tentang sikapnya yang sama sekali tidak mengindahkan saya sebagai kekasihnya. Tapi dia malah marah, dia mengirimkan pesan pendek yang intinya menginginkan perpisahan kami. Saya terkejut setengah mati ketika itu. Saya langsung meneleponnya. Memintanya memepertahankan hubungan ini. saya menurunkan semua ego dan harga diri saya untuk mempertahankan kisah kami. Dan saya berhasil. Kami tetap bersama. Tapi entah kenapa saya merasa sedih. Masih saya ingat bagaimana nada suaranya ketika itu. Nada suara yang malas. Saya benar-benar merasa direndahkan.”
Sekilas aku melihat semburat kemarahan yang dicoba disembunyikannya dalam wajahnya. Entah kenapa aku merasa bersimpati dengan perempuan ini. mungkin karena ceritanya atau apa. Tapi aku berpikir kalau perempuan ini adalah perempuan yang baik. Teman-temanku bilang penilaianku kerap kali benar.
“Tadi mbak bilang, mbak LDRan ya?” tanyaku setelah dia nampak enggan melanjutkan ceritanya.
Dia mengangguk, “Pulau yang sama tapi profinsi yang berbeda.”jawabnya singkat.
“Lalu bagaimana mbak?”kejarku yang sudah terlanjur dibuat penasaran
“Kami masih bersama. Tapi semuanya semakin sulit bagi saya. Saya sering merasa cemburu. Dia terlalu dekat dengan banyak perempuan. Saya tahu kebanyakan mereka adalah temannya tapi entah kenapa saya tetap cemburu. Saya menyimpan perasaan itu ssendirian. Sebab sudah sering saya katakan padanya pun tak pernah ada respon. Hanya teman, selalu itu jawabnya. Dia tak pernah bicara panjang lebar kepada saya. Dan dia tidak pernah cemburu pada saya. Saya sering berpikir mungkin sebenarnya dia tidak mencintai saya.”
“Tapi selalu ada sisi di hati saya yang terus menyangkal pemikiran itu. Saya berusaha bersabar menghadapi semua sikapnya yang dingin dan tanpa perhatian. Saya mencintainya. Saya ingin lama bersamanya. Lagipula sikap tidak pedulinya itu hanya ada ketika kami berjauhan, karena ketika kami bertemu. Semuanya akan baik-baik saja. Dia lembut ketika kami dekat. Dia sangat baik. Saya selalu menyukai caranya berbicara. Caranya memperlakukan saya ketika di dekatnya.”
“Hanya ketika kami dekat. Ya begitulah. Hanya ketika kami dekat semuanya terasa benar-benar sempurna bagi saya. Tapi lagi-lagi ketika jarak kembali membentang di antara kami. Dia berubah seperti yang dulu-dulu. Dia memperlakukan saya seolah-olah saya bukan bagian dari kehidupannya. Dia menyingkirkan saya dengan kejam dari detik-detik waktunya. Padahal saya selalu sabar, saya mencoba menutupi semua kekecewaan saya dengan bertahan pada perasaan saya.”
“Tapi di suatu malam, menjelang akhir bulan februari yang lalu. Semua itu terjadi. Kisah kami selesai dengan tragis. Dia yang memintanya. Saya tahu, mungkin kali ini ada baiknya saya menurut meski sebenarnya saya sama sekali tidak menginginkannya. Saya tathu saya tidak boleh memohon-mohon seperti yang dulu. Mungkin memang ada baiknya kami berpisah.”
Ada jeda yang sangat lama, aku melihat matanya berkaca-kaca tapi perempuan itu sama sekali tidak menangis. Aku merasakan kesedihan yang disalurkan lewat ceritanya. Aku merasakan betapa sebenarnya dia memang tidak ingin berpisah dengan laki-laki itu.
“Sampai sekarang masih berpisah?”
Dia mengangguk lemah, “Mungkin memang dia tidak mencintai saya.”tuturnya lemah.”Seperti hubungan kami yang awalnya memang dibentuk dari keisengan kami. Cara kami menanggapi hal dengan main-main. Tapi entah kenapa, sejalan dengan waktu saya bisa benar-benar jatuh cinta padanya. Saya jatuh cinta dan sama sekali tidak bisa berbuat apa pun untuk mengontrol perasaan ini.”
Kepalanya menunduk, memandangi beberapa daun-daun pohon yang berserakan di sekitar kakinya, “Mungkin memang salah saya karena mencintainya dengan begini besar. Padahal dia belum tentu punya perasaan yang sama seperti saya. Mungkin hubungan ini baginya hanya permainan.” Dia berhenti di kalimat ini, menyeka sesuatu yang kuduga air matanya dari mata kanannya. “Padahal saya demikian tulus padanya. Saya berikan cinta yang tanpa syarat padanya. Tapi dia menyia-siakannya. Seolah-olah saya sama sekali tidak bernilai di matanya. “
“Kenapa tidak mencoba menjalin hubungandengan laki-laki lain yang mungkin saja bisa bersikap lebih baik?”
“Saya mencoba. Tapi saya gagal. Saya tidak pernah bisa mengalihkan perasaan saya darinya. Saya mencintainya.”
Satu kalimat terakhirnya itu benar-benar menyentuh hatiku. Saya mencintainya. Ucapannya demikian sederhana tapi penuh makna. Mendadak aku merasa sangat bodoh. Aku sama sekali tidak pernah bisa menghargai cinta yang diberikan laki-laki kepadaku. Aku memang belum pernah merasa benar-benar mencintai seseorang. Bagiku sekedar sayang pun tak masalah untuk menjadi alasan bagimu mengikat seorang laki-laki menjadi pacarku.
“Kenapa tidak mencoba kembali mbak?”
Dia menegakkan pandangannya. Menerawang jauh tanpa aku tahu apa yang ada di kepalanya. “Mungkin bukan saya perempuan yang bisa membuatnya bahagia dan merasa nyaman.” Dia mencoba tersenyum ketika memandangku. “Meski tidak rela. Meskipun saya marah dan benci sekali, tapi saya akan selalu mendoakan kebahagiaanya bahkan ketika dia menjalin kisah dengan perempuan lain yang mungkin saja juga perempuan yang saya kenal.”
Mataku melebar. Astaga. Cinta macam apa itu? Bukankah itu yang disebut kebodohan. Aku tahu rasa sakit yang dirasakannya hanya dengan melihat pancaran matanya. Aku melihat rasa lelah yang ditanggungnya hanya dengan merindukan laki-laki yang diceritakannya itu. Dan apa lagi tadi, saya akan selalu mendoakan kebahagiaanya bahkan ketika dia menjalin kisah dengan perempuan lain yang mungkin saja juga perempuan yang saya kenal. Ini gila. Aku tidak akan setegar itu menerimanya jika jadi dia. Atau mungkin aku memang tidak pernah bisa mencintai laki-laki sebesar dia melakukannya pada laki-laki itu.
Dasar laki-laki bodoh, makiku dalam hati. Harusnya dia merasa beruntung karena mendapatkan perempuan seperti ini. Bukannya meninggalkannya seperti ini. Tanganku bergerak menyentuh bahu perempuan di sampingku ini. Menepuknya pelan ketika ku lihat ada air mata yang tidak bisa disembunyikannya mengalir dari sudut matanya.
“Kamu pantas mendapatkan yang lebih baik.”
Dia tersenyum ketika menoleh ke arahku sekilas, “Saya bukan perempuan yang baik. Saya tahu dia pantas mendapat yang lebih baik dari saya. Bukannya saya yang mendapat sebaliknya.”
Aku menatapnya keheranan.
“Saya harus pergi sekarang.”katanya sambil mengambil tas tangannya. “Terima kasih sudah mau mendengar cerita membosankan ini. Maaf ya, pasti kamu bosan sekali.”
Aku menggelengkan kepalaku cepat-cepat. “Tidak, sama sekali tidak.”
Dia tersenyum sekali lagi, kali ini baru aku bisa benar-benar menyadari kalau perempuan ini  mempunyai senyum yang manis dan sepasang mata yang indah. Dia melambaikan tangannya ketika pergi. Aku membalasnya. Pandanganku tak mau lepas darinya sampai dia benar-benar menghilang dari pandanganku. Aku tertegun lama sekali dari tempatku duduk.
Ceritanya bukan cerita yang lengkap tapi aku tahu itu jujur. Ada banyak detil yang dilindunginya. Tapi tetap saja itu cerita yang menyedihkan. Mana ada cinta yang seperti itu. Bagiku, cinta adalah kebahagiaan. Jadi buat apa mencintai kalau yang didapat cuma kesedihan seperti itu. Dia terlalu baik, atau mungkin malah terlalu bodoh.
Aku ingat bahwa aku tak lama setelah dia pergi, aku mengambil telepon genggamku. Memasang kembali baterainya, dan mengetikkan dua kata yang langsung ku kirim kepada laki-laki yang tadi bertengkar denganku di telepon. Maafkan aku.
Aku tahu, aku memang tidak bisa mencintai laki-laki yang mencintaiku sama seperti yang dilakukan perempuan itu. Tapi kali ini aku janji  aku tidak akan pernah main-main lagi karena aku tidak ingin merasakan dipermainkan laki-laki ketika aku merasakan jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Cerita itu terus melekat di kepalaku sampai sekarang. Aku selalu ingat dan akhirnya tahu. Ada cinta yang demikian tulus di luar sana. Ada cinta yang dipersembahkan demikian besar dan tanpa syarat. Ada perasaan sabar yang nyata untuk orang yang benar-benar kau cintai. Ada airmata dan tawa yang tumbuh berdampingan ketika kau akhirnya memilih benar-benar mencintai seseoran. Aku belajar satu kalimat penting dari cerita perempuan itu yang kusimpulkan setelah berhari-hari aku terus memikirkannya. Aku harus membuat laki-laki jatuh cinta kepadaku sebelum aku jatuh cinta kepadanya, dengan begitu hatiku akan terjaga. Setidaknya, aku tidak akan merasakan pedih yang dirasakan perempuan itu.

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.