I Love You, Kak

Buku biru lusuh tebal,halaman pertama.

Dear Diary,,,
Diary namanya Richo..
Richo Pradatama..
Dialah kak Richo-ku, ku perkenalkan padamu..kamu harus tau diary.
Dialah alasanku untuk semua pertanyaan yang ada. 
Tapi dia begitu sulit ku jangkau. 
Dia begitu jauh… sangat jauh…
Tapi diary…
Dia tak tahu…. 
Aku selalu berjalan di belakangnya, berangkat dan pulang sekolah.
Dia tak tahu… 
Aku selalu menunggunya, di depan rumahnya dan di gerbang sekolah.
Dia tak tahu..
Dia sama sekali tak tahu….
Padahal aku ingin sekali dia tahu
Aku igin dia tahu
Sangat menginginkannya
Bantu aku memberitahunya satu kalimat ini diary…
Bantu aku memberitahunya, Bantu aku mengatakan….
“I love you,kak…”
-Icha-

       
    “Kak Richo….”
Mendengar namanya dan menyebutkan namanya saja sudah membuatku begiu lega. Rasa-rasanya seperti menghirup udara ynag begitu segar. Apalagi berjaan di dekatnya, mendengar derap-derap langkahnya, memperhatikan punggungnya. Karena aku tak pernah berani berjalan di sampingnya.
Ah, entahlah…
Aku tak peduli. Semua tentangnya sudah membuatku begitu tenang, begitu merasa damai. Ternyata perasaan cinta itu begitu nyaman dan indah. Mampu membuatku begitu hidup. Detak yang begitu lemah dari jantungku menjadi sedikit lebih kuat.
Dan saat ku mulai pagi ini aku sudah menunggunya. Menunggu untuk berabgat bersamanya, mengikuti langkahnya. Melihat wajahnya tiap pagi, tubuhnya yang di balut seragam putih abu-abu, tas hitam uang diselempangkannya di bahunya yang kokoh, aya rambutnya dan wajahnya yang dingin.
Aku menyukainya
Aku bersandar di tembok pagar rumahnya, masih menunggu. Tiap hari sejak dua tahun lalu saat putih abu-abu resmi jadi warna seragam sekolahku.
Ah, aku ternyata begitu menyukainya
Dia keluar, menutup pintu pagar rumahnya dan mulai berjalan. Aku pun ikut berjalan, beberapa meter di belakangnya. Terus menatapnya dan selalu seperti itu , tak pernah berani untuk sekedar mencoba menyapanya.
Dia begitu dingin. Idola sekolah yang sangat misterius. Irit bicara, tak pernah ku tahu apa yang dirasakanya dari ekspresinya karena dia tak pernah menunjukkannya. Semuanya tersembunyi di balik mata hitamnya yang selalu bersorot tajam, tapi aku bisa merasakan kelembutan berpendar dari situ.
Dan pintu kelasnya mengakhiri ritualku memandangnya. Aku berhenti sebentar, menatapnya sekali lagi lalu kembali berjalan ke kelasku.
Tapi selanjutnya, semua masih tentangnya. Kuikuti semua pelajaran dengan perasaan yang sangat tenang karena aku sudah melihatnya. Karena entah mengapa hanya dengan selalu melakukan hal seperti itu, aku sudah merasa puas.
Aku benci keramaian, rasanya menyakitkan.
Tapi sepertinya dia tidak, dia idola sekolah, kapten tim futsal dan masih jomblo. Kegiatannya selalu mengundang keriuhan. Gadis-gadis selalu berteriak histeris tiap melihat dia berlatih dan ertanding futsal. Dia selalu dikelilingi gadis-gadis cantik.
Satu hal yang membuatku masih begitu tenang. Dia tak menghiraukan semua itu. Tak pernak ku dengar dia kencan atau pacaran dengan salah satu dari gadis-gadis itu. Dia normal, hanya saja dia masih ingin sendiri, begitu yang ku dengar.
Maka semua itu semakin membuatku menyukainya.

***

Aku lelah…. Sudah tiga jam aku bersandar di gerbang sekolah tapi aku tak juga melihatnya. Tapi aku juga tak ingin pergi. Aku ingin menunggunya. Dia kan keluar, sebentar lagi. Mungkin lima menit lagi. Yah, mungkin lima menit lagi.
10 menit
30 menit
120 menit
Aku merosot, terduduk dengan memeluk lututku. Langit sudah menghitam. Tapi aku masih ingin menunggunya. Aku masih begitu ingi menunggunya.
Air…
Basah…
Aku mendongak. Gerimis, hujan. Aku merepet. Atap gerbang melindungiku dan aku masih bertahan disini kaena aku masih ingin menunggunya.
Lutut menopang dahiku, aku menunduk. Aku mulai basah dan aku merasa kedinginan. Dadaku sakit. Aku mengeleng. Hanya lima menit saja, kumohon. Aku ingin kuat. Dadaku sakit. Tidak!! Ku mohon, aku menyentuh dadaku. Aku ingin tetap disini. Tetap disini. Untuk menunggunya.
”Kamu masih menunguku,Icha..??”
Aku seperti mendengarnya. Suaranya.
Aku mendengarnya,nyata. Bukan khayalku. Dia di depanku. Wajahnya yang pertama kulihat waktu ku dongakkan kepalaku. Aku mencoba tersenyum. Berusaha berdiri lalu mengangguk. Aku gugup,sangat gugup sampai aku merasa gemetaran.
Kamu masih menungguku,Icha….
Kata-kata itu terus terngiang ditelingaku. Itu yang pertama kali. Satu kalimat yang diucakannya untukku. Dan… dan disana terselip namaku. Dia tahu, dia tahu namaku.
“Kenapa masih menungguku,Cha..? Ini sudah malam, hujan pula. Nanti kau bisa sakit,Cha”
Nanti kau bisa sakit,Cha
Kau tahu… kalau aku punya sayap. Aku sudah terbang mungkin, terbang sangat tinggi. Menyentuh bintang. Karena dia… dia mengkhawatirkanku.
Aku gemetar dan tak danggup bicara
“Maaf membuatmu menunggu. Tadi ada latihan untuk pertandingan minggu depan dan dilanjutkan dengan rapat kecil untuk membahas itu……”
Dia menjelaskan semuanya.dan bicara banyak sekali. Aku pikir inilah pertama kali kudengar begitu banyak kata terlontar dari bibirnya kecuali ketika dia bicara tentang pertandingan futsal dengan teman-temannya.
Aku menatapnya lekat-lekat dan kemudian merasa sedikit menyesal melakukan itu. Dia mendadak berhenti bicara dan membuang muka. Memandang hujan yang tinggal rintik-rintik kecil. Aku menunduk memandang jalanan yang basah dan mendongak dengan tiba-tiba saat kurasakan tangannya menyentuh pundakku dan jaketnya sudah ada di punggungku.
Dia berjalan,aku mencoba mengikutinyatapi baru dua langkah saat tanpa sadar aku terjatuh. Aku… ternyata begitu lemah dan lelah. aku memandangnya penuh Tanya ketika dia tiba-tiba membungkuk di depanku. Memunggungiku.
“Naiklah….”
Ragu…
Lalu entah darimana datangnya keberanian dan kekuatan ini. Aku bergerak, naik ke punggungnya dan dia langsung tegak berdiri. Mengendongku. Langkahnya pelan. Mungik dia merasakannya, detak-detak jantungku yang semakin tak beraturan. Tapi samara; aku juga mendengar dan merasakan detak jantungnya. Sama cepatnya.
Ku letakkan kepalaku di punggungnya.
Terima kasih,Tuhan….
Aku merasa nyaman. Benar-benar sangat nyaman. Andai bisa, aku igin agar jalan kea rah rumahku menjadi semakin jauh agar aku bisa semakin lama seperti ini.
Punggungnya hangat sekali dan sekarang aku mulai merasa lelah. Punggungnya hangat sekali, aku jadi mengantuk. Dadaku sakit dan aku mulai benar-benar merasa sangat mengantuk. Mataku mengatup perlahan, tapi aku masih bisa merasakannya. Merasakan punggungnya yang hangat.
Aku merasa tenang
Lebih dari rasa tenang yang pernah aku alami.

***

Lama sekali.
Rasanya lama sekali. Aku harus bangun, aku tak ingin membuatnya harus membangunkanku dulu saat aku sampai di rumahku. Aku berusaha bangun tapi mataku berat sekali. Tapi aku tetap mau bangun. Aku harus bangun.
Warna putih yang pertama menyeruak ke mataku lalu bau obat, kuat menusuk hidungku. Samar…. Ruangan apa ini. Ah…dadaku sakit. Sangat sakit. Terlalu sakit. Tapi aku bisa melihatnya. Dia duduk di dekat tempatku berbaring, membaca buku biru lusuh yang tebal. Itu…..
Diaryku
Tempatku selama ini menulis semuanya. Tempatku menuangkan perasaanku. Semuanya. Perasaan. Hati. Jiwa… ku tanam di situ. Dia membacanya. Dia membacaKU.
Aku menggerakkan tangan kananku. Sakit. Ada infuse di tanganku dan akhirnya aku tahu ini dimana. Ini tempat yang sejak kecil sering ku kunjungi, tempat yang akhir-akhir ini mulai akrab lagi denganku, Rumah Sakit. Dan saat aku memandangnya lagi, dia juga tengah memandangku. Matanya tajam menatapku, seperti meminta penjelasan. Sorot matanya menusuk langsung ke hatiku. Aku merasakan sakit yang idak ada hubunganna dengan itu.
Kurasakan jantungku berusaha untuk terus berdetak meski lemah. Aku merasa semuanya nampak tak jelas. Hanya sebentar karena kemudian aku melihatnya lagi. Sangat jelas sekarang. Aku mencoba bicara tapi tak ada satu katapun keluar dari bibirku.
Dia tersenyum
Senyumnya, pertama kali kulihat. Sangat sederhana tapi membuatku begitu tentram hanya dengan melihatnya. Aku tidak tahu kenapa tapi sepertinya senyum itu hanya di buatnya unuk memuntupi raut wajahnya yang berpendar sendu. Dia seperti ingin menangis atau entahlah apa, aku tak tahu. Dia tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke arahku dan menarikku pelan. Menarikku kedalam pelukannya. Dia memelukku sangat erat. Dadaku sakit tapi semua itu terkalahkan oleh perasaan bahagia yang menelusup ke dalam hatiku.
Bahagia sekali rasanya…
Dia tidak bicara apapun, pelukannya mengendur tapi dia tak melepaskannya. Aku tak tahu apa yang sekarang tengah ada dalam pikirannya. Tapi aku diam dan membiarkannya memelukku seperti ini. Karena aku sudah sangat bahagia.
Tiba-tiba aku teringatsesuatu. Ini saatnya. Aku harus bicara. Dia harus tahu. Harus! Aku mencoba lepas dari pelukannya tapi aku bahkan tak mampu sekedar beregerak menjauh. Tapi dia mengerti karena kemudian dia melepaskan pelukannya. Aku m,enatapnya, wajahnya sendu sekali. Ah, aku jadi igin tertawa, ekspresinya bisa berubah sedih seperti ini rupanya.
Aku menghela nafas.
Ini pertama kalinya aku benar-benar punya keberanian untuk mengatakannya. Ini akan jadi kalimat pertama yang kukatakan untuknya. Aku tersenyum tulus dan mengucapkannya, pelan.
“I love you,kak…”
Tuhan…
Engkau juga mendengarnyakan?  Aku mengucapkannya. Ini…ini yag paling aku inginkan. Aku ingin dia tahu dari ulutku dan sekarang.. aku sudah melakukannya.
Pipiku basah, dua tetes airmata mengalir dari sudut mataku. Aku bahaga. Dadaku sakit. Tuhan… aku sudah sangat bahagia.
Aku mengantuk
Tapi aku masih ingin lebih lama merasakan kebahagiaan ini. Dia baru tahu dan aku jadi ingin dia tahu lebih banyak lagi. Aku ingin dia mendengar semuanya. Dia menatapku dengaqn matanya yang bersorot aneh. Seakan takut kehilangan.
Dan selanjutnya, aku merasakannya lagi. Hangat pelukannya,dia berbisik, "Aku juga,Cha..!! aku juga dan kumohon bertahanlah.”
Aku tak tau apa maksudnya dengan memintaku bertahan. Tapi aku sudah sangat bahagia. Aku jadi tak ingin apa-apa lagi sekarang. Aku sudah sangat sangat bahagia. Tiba-tiba aku merasa mengantuk.
Mataku perlahan menutup. Aku benar-benar luar biasa mengantuk sekarang. Aku berdoa dalam pelukannya. Tuhan… terima kasih. Aku merasa kehangatan menyelimutiku. Tanganku bergerak pelan menyentuh punggungnya.
“Kak Richo……”

***

Buku biru lusuh tebal, halaman terakhir.

Dear Icha…
Aku tahu,Cha...!!!!
Aku tahu kamu. 
Bagaimana tidak? 
Kau selalu menungguku di depan pagar rumahku dan di gerbang sekolah.
Aku tahu kamu. 
Bagaimana tidak? 
Kau selalu berjalan di belakangku saat berangkat dan pulang sekolah.
Awalnya kau tak tahu kenapa kau selalu melakukan itu.
Namun akhirnya aku tahu kenapa. 
Kau adalah bayanganku. 
Kau tahu.. tak pernah lengkap seorang manusia tanpa bayangannya. 
Kau adalah kebiasaanku. 
Kau tahu.. rasanya aneh kalau hariku tanpa kebiasaan itu.
Tapi Cha…
Aku ingin kau berjalan di sisiku bukan di belakangku.
Aku ingin menjaga hatimu bukannya jdi sok dingin begitu.
Aku ingin mengenalmu lebih jauh lagi
Andai Tuhan memberimu waktu…
Tapi ternyata tak isa ya,Cha !
Sudahlah… 
Mungkin Tuahan ingin cintamu tetap seperti itu. 
Sederhana tapi abadi. 
Lugu tapi sejati. 
Mungkin Tuhan ingin cintamu jadi cinta khas Surga.
Cha…..
I love you too

-Richo-

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.