Ketika mendengar suara hujan aku selalu mengingatmu. Ketika disentuh hujan aku selalu mengingatmu. Ketika melihat hujan aku selalu mengingatmu. Ketika merindukan hujan berarti aku juga merindukanmu. Hujan dan kamu adalah satu bentuk kesatuan yang saling melekat dan membawaku dalam diam yang lama. Aku suka hujan. Aku suka kamu. Kehilanganmu adalah kehilanganku akan hujan. Dan akankah itu terjadi?
Aku menepi, merasakan titik-titik air yang jatuh dari langit mulai membasahi kepala, bahu dan wajahku. Mula-mula aku hanya diam, lalu perlahan mendongak. Langit gelap. Aku masih diam ketika hampir semua orang di dekatku berlarian menghindari hujan. Bergegas mencari tempat berteduh. Bahkan yang sudah memakai payung pun masih berjalan dengan cepat hanya karena mereka tidak ingin basah oleh air hujan. Ah, orang-orang ini, keluhku dalam hati. Aku menepi bukan untuk menghindari hujan. Aku menepi untuk memberi jalan kepada mereka yang bergegas. Sebab aku ingin menikmati hujan tanpa menganggu orang lain.
Aku memejamkan mataku. Beberapa saat saja kubiarkan aku hidup dalam dunia hujanku sendiri. Saat mataku terpejam aku mendengar lagu hujan. Aku merasakan sentuhan-sentuhan hangat hujan yang dingin. Aku merasa damai dan tenang. Hujan itu obat paling mujarab bagiku. Aku tersenyum, Tuhan terima kasih untuk hujan hari ini.
Tak peduli. Sudah biasa bagiku melihat orang-orang memandangiku dengan aneh dari tempat mereka berteduh ketika hujan turun makin deras. Aku bahkan terkesan melambatkan langkahku dan kuakui itu memang benar. Aku suka hujan. Sudah kubilang bukan? Jadi aku ingin menikmati waktuku bersama hujan. Basah bukan hal yang perlu untuk dipermasalahkan. Basah adalah resiko yang harus kuhadapi karena aku menyukai hujan. Dan itu bukan suatu hal yang aneh. Bukankah setiap hal, apa pun itu selalu punya resiko. Entah kalian mau menyadarinya atau tidak. Langkah kakimu itu bahkan juga mengandung resiko. Jadi buat apa keheranan melihat aku berbasah-basahan karena hujan. Aku toh tidak apa-apa dan malah suka.
Langkah kakiku menapak seirama hujan. Aku memandang jalanan di depanku. Tidak tahu harus memikirkan apa. Aku hanya tahu aku sedang bahagia karena hujan. Dan aku... ah iya, kamu. Hujan itu kamu. Selalu ada kamu dalam pikiranku ketika hujan. Aku semakin melambatkan langkahku seirama dengan alur-alur cerita tentang kamu yang sedang berebutan untuk kususun dan kukenang kembali.
Kamu adalah hujanku. Padahal aku ingat dengan jelas kalau kamu bahkan sama sekali tidak suka hujan. Lalu kenapa bagiku kamu adalah hujan? Entahlah, aku pun tak tahu. aku hanya tahu bahwa semua yang kurasakan ketika hujan sama seperti perasaan yang kurasakan ketika ada kamu. Aku suka kamu. Aku suka hujan. Aku suka. Suka sekali.
Lamat-lamat dalam langkahku yang tanpa suara aku kembali pada ingatan tentangmu. Tentang bagaimana kita dahulu. Kita? Mendadak langkahku terhenti. Aku memandang air hujan yang berjatuhan makin banyak. Bercipratan membasahiku dan membasahi jalan di sekitarku. Masihkah ada kata kita? Aku membuang nafas panjang. Aku tidak punya jawabannya.
Kulanjutkan langkahku dan berusaha mengingat kenangan yang baik saja. Aku tersenyum. Yah, kenangan yang baik. Kenangan indah. Aku mengusap-usap kedua telapak tanganku di depan wajahku. Aku rindu kamu padahal sekarang ada hujan. Aku rindu ketika kamu tersenyum. Kamu marah. Apa pun ekspresi itu, jika milikmu maka aku merindukannya. Tapi masihkah boleh kumerindukan kamu ketika kamu bahkan entah masih mengingatku atau tidak.
“Jangan ada hujan diantara kita. Aku tidak suka hujan. Cuma bikin sakit. Pokoknya aku tidak mau keluar kalau sedang hujan.”
Sebesar itukah rasa tidak sukamu terhadap hujan? Lalu kalau aku menurutimu karena aku menyukaimu. Apakah itu berarti aku juga harus tidak menyukai hujan? Aku menggelengkan kepalaku. Aku tidak mau. Aku menyukaimu. Tapi aku juga menyukai hujan. Aku ingin menyukai keduanya. Kamu dan hujan dan bukan salah satunya. Aku ingin dua-duanya. Boleh ya?
“Di luar hujan, dek.”katamu pelan sambil memandang ke arahku ketika itu.
Aku tersenyum, aku tahu aku boleh menyukai keduanya. Kamu mau mengerti. Kamu memahami aku yang menyukai hujan. Aku masih ingat kalau aku melangkah mendekat ke pintu. Merepet, mendengarkan suara hujan tanpa bisa melihatnya. Tapi ketika itu aku bahagia sekali. Kamu memberikanku waktu mendengarkan lagu hujan meski kamu tidak suka hujan. Sesekali memandangku, kamu tetap sok angkuh dan menyebalkan tapi aku menyukaimu, dan hujan tentu saja.
Aku menyentuh lenganku sendiri. Tubuhku sudah nyaris basah kuyup dan hujan masih deras. Aku pun tetap tidak ingin berhenti berjalan. Sudah dekat. Mungkin setelah ini aku bisa menikmati hujan dengan secangkir teh hangat di tanganku. Jadi buat apa aku berhenti kalau aku bisa menikmati hujan lebih lama. Orang-orang yang berteduh pun masih memandangiku. Dan aku pun tetap tak mau peduli tentang mereka.
“Kenapa sih kamu itu suka banget hujan? Heran, kok ada ya orang yang suka hujan seperti kamu?’
Aku tersenyum lebar. Kamu pun penasaran rupanya. Makin penasaran karena aku hanya menjawab tidak tahu tanpa mengalihkan pandanganku pada hujan yang tidak bisa aku lihat. Kamu mengamatiku. Geleng-geleng kepala dan kembali hidup dalam dunia game sepak bola yang begitu kamu sukai.
Aku merangkai huruf-huruf dalam kepalaku dan merangkainya menjadi alasan untuk menjawab pertanyaanmu. Meski pun aku tahu, kalau pun aku bicara sekarang. Apa kamu masih ingin tahu. Kamu bukan orang yang bisa dengan mudah memperhatikanku. Kamu bukan orang yang mau mengubrisku hanya untuk mendengarkan hal-hal yang menurutmu tidak penting. Jadi, aku pun tidak tahu apa pertanyaanmu ketika itu benar-benar tulus penasaran atau hanya pertanyaan mengambang yang diucapkan tanpa peduli pada jawaban yang akan kuberikan.
Tapi ya sudahlah, buat apa memperdebatkan itu. Aku tidak mau menyia-siakan hujan kali ini. aku mau menyusun huruf-huruf itu lagi. Aku, hujan, kamu. Aku menyukai hujan karena hujan yang membuatku menyadari kalau aku menyukaimu. Aku menyukai hujan karena hujan menahanmu lebih lama bersamaku. Hujanlah yang mendekatkan kita. Hujan yang membuat aku bisa memandangmu lekat. Hujan membiarkanku memelukmu. Hujan yang menghangatkan cinta kita. Hujan yang membuatku selalu bisa bertahan denganmu meski kamu selalu membuatku lelah menghadapi sikap-sikapmu. Hujan menyanyikan lelagu yang menenangkanku ketika aku risau, ketika aku marah, ketika aku kecewa. Sebab hujan baik. Baik dengan semua keterbatasan yang dimilikinya. Hujan demikian romantis. Hujan yang mendekatkan kita. Sadarkah kamu? Sadarkah atas semua anugerah hujan?
Aku tahu dengan benar bahwa kamu sama sekali tidak menyadari itu. Haruskah aku membuatmu menyadari itu dengan caraku. Setelah sekian lama kita merapuh. Meluruh dalam ikatan yang semakin terkikis. Aku yang tak pernah menyerah meski kamu selalu membuatku mendekati titik batas kesabaranku. Haruskah ku lakukan itu. Haruskah kutinggalkan kamu setelah semua usahaku mempertahankan kata “kita”? Tidak, aku menyukaimu dan tidak ingin kehilanganmu. Aku ingin menjalani lebih banyak waktu denganmu. Melakukan banyak hal bersama denganmu. Aku masih ingin bertahan di sampingmu.
Bertahan di sampingmu? Lalu sekarang? Aku menyeka air hujan yang mengalir turun dari dahi ke mataku. Aku tidak menangis. Aku menyukai hujan. Tidak akan kubiarkan hujan melihatku menangis. Tidak akan. Tidak akan. Aku menyeka wajahku makin sering. Makin cepat. Dan langkahku menjadi bergegas. Mataku panas. Tidak. Aku tidak menangis. Hujan, aku tidak menangis. Aku tidak..
Langkahku terhenti dan aku merosot. Jatuh terduduk. Air mataku berlomba mengalir bersama air hujan di pipiku. Hujan menyeka air mataku. Menepuk bahuku yang berguncang-guncang karena isakanku. Dan semua ingatan itu seperti berlomba-lomba memainkan babaknya sendiri-sendiri. Berebutan membuatku merasa sakit karena semua yang telah terjadi.
“Aku tidak bisa melanjutkan ini semua. Aku tidak ingin menyakitimu terus. Kamu tahukan sifatku. Aku jarang menghubungimu. Aku tidak pernah berbagi denganmu tentang semua yang kurasakan. Aku tidak bisa menjadi laki-laki yang kamu harapkan. Lebih baik kita sampai disini saja. Aku sungguh-sungguh tidak ingin menyakitimu terus. Kalau denganku kamu hanya akan terus-terusan kecewa. Jadi maaf, aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini.”
“Tapi aku ingin bersamamu. Aku akan berusaha memahamimu.”
“Sampai kapan dek? Sampai kapan kamu tahan denganku?
“...”
“Maaf dek. Tapi lebih baik seperti ini.”
Tidak ingin menyakiti? Tidak ingin menyakiti katamu? Terbuat dari apa hatimu sesungguhnya? Dengan mengatakan semua itu berarti kamu sudah menyakitiku jauh lebih dalam dari pada yang kamu lakukan sebelumnya. Aku bisa tahan dengan semua ketidak pedulianmu akanku. Aku bisa mengerti, atau lebih tepatnya aku berusaha mengerti.
Ku redam jauh-jauh hasratku untuk mengalah pada semua keadaan ini dan tetap menjaga hatiku suci hanya untukmu. Tulus. Meski kamu tidak dapat melihat ketulusan ini. tapi aku benar-benar tulus. Sepenuh hati. Sungguh belum pernah aku setulus ini menyukai seseorang. Meski aku memang sering mengeluh tentang sikapmu tapi aku bertahan dan tetap bersamamu.
Namun kamu. Tanpa perasaan menandaskan semua harapanku dengan sekali pangkas. Tebas habis, kamu melumpuhkan jiwaku. Kosong. Aku menangis dalam kekecewaan tanpa batas. Sungguh sulit bagiku bernafas. Oksigen teras mencekikku. Mengulur hatimu dalam sulur-sulur terlilit simpul mati. Aku sakit. Jiwaku sakit karena perlakuanmu.
“Jangan pernah meninggalkanku ya?” Tanpa respon. Jeda yang panjang dan kamu tak menjawab. “Besok mau jalan-jalan kemana?”
Deg
Aku tahu, aku tahu kalau sebenarnya pun tak pernah ada niatanmu untuk mempertahankanku sebagai kekasihmu. Harusnya aku tidak seterkejut ini ketika kamu memutuskan meninggalkanku sebagai wanita sisamu dengan kejam. Sadarkah kamu? Kamu adalah laki-laki paling kejam yang pernah aku kenal. Kamu kejam dengan caramu yang lembut. Kamu kejam dengan semua ucapan dan tindakanmu. Padahal aku selalu mengalah untukmu. Aku selalu meresponmu dengan sangat baik meski tak pernah ada timbal baliknya perasaanku.
Aku tergugu.
Hujan menyelimutiku yang menangis. Seolah sahabat yang mengerti. Hujan sama sekali tidak memintaku menghentikan air mataku. Hujan diam dan membiarkanku meluapkan emosiku. Hujan mengerti. Hujan mengerti dan kali ini sama sekali tidak seperti kamu yang sama sekali tidak bisa mengerti.
Lihatlah nanti, akan ada waktu dimana kamu akhirnya menyadari betapa sesungguhnya aku adalah wanita yang terbaik untukmu. Tidak akan ada wanita yang bisa sebesar ini mencintaimu tanpa syarat. Tidak akan ada wanita yang setulus ini menerima semua sikap dan perlakuanmu. Tidak. Tidak akan ada. Sebab hanya aku, wanita bodoh yang melakukan itu semua untukmu.
Dan ketika saat itu tiba, aku tidak tahu. aku tidak bisa mereka apakah aku masih bisa bertahan dengan semua ini. Masihkan aku jejak bersama semua kenangan masa lalu bersamamu. Aku tidak tahu apa aku masih bisa menerimamu. Ataukah jika ya, aku juga tidak tahu apa perasaanku masih sama besar. Apa pesonamu di mataku tetap pada frekuensi statis yang sama.
Dan jangan menyesali apa-apa ketika itu karena kamu pun sama sekali tidak bisa memahami hujan seperti aku memahami hujan. Tidak akan bisa kamu mengerti apa pun ketika yang kamu tampilkan hanya kepura-puraan.
Aku menyeka airmataku yang terakhir. Bangkit perlahan aku melangkah lagi. Sudah. Sudahi saja semua perasaan ini. Aku tidak akan mengikat harapan lagi. Biarlah tindakanmu berjalan seperti apa maunya kamu. Tidak akan memaksa apalagi memohon. Kubiarkankan dirimu dilingkupi kebebasan tanpa batas.
Hujan turun makin deras. Aku mempercepat langkahku. Hujan. Kamu. Ketika aku melepas arti kamu. Aku menyadari bahwa selain hujan aku demikian menginginkan kehangatan rumahku. Lamat-lamat aku tahu langkahku bergegas. Hujan. Kamu. Memudar seiring munculnya perubahan. Matahari. Bintang. Bulan. Hujan yang selesai.
Hujan. Aku akan selalu merindukanmu.
0 Comments
Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.