Cerita Perempuan Itu

Ada cerita tentang perasaan yang diceritakan oleh seorang perempuan. Cerita tentang apa yang dirasakannya kepada seorang laki-laki yang menurutnya sangat dicintainya. Dia menyimpan perasaannya dengan baik dan tanpa cela. Meski seringkali laki-laki yang dicintainya itu cenderung menyakitinya dan membuatnya berulang kali menangis dan merasakan rasa sakit yang katanya tidak pernah dirasakan olehnya sebelumnya.

 

Tapi dia tetap menjaga perasaannya tersebut dan berjanji akan mempertahankan rasa yang menurutnya dimiliki mereka sampai batas akhir dimana dia sanggup bertahan. Ada kisah lain yang terjadi dan banyak hal membuatnya sedikit terisak. Tapi dia tetap bertahan di tempatnya semula, tegar. Sejujurnya dia tidak sekuat itu, dia sebenarnya lemah tapi hanya bersembunyi di balik topeng yang digunakannya agar orang lain tidak tahu bahwa dia demikian terluka.

 

Tidak banyak bicara dengan benar, dia hanya mampu bersuara lewat rangkaian huruf-huruf kecil yang diciptakannya dari tarian mungil penanya yang setia. Suatu ketika dia merasa sudah sangat lelah untuk bertahan ketika laki-laki itu tak juga memahami apa yang dia mau dengan benar.


Ketika laki-laki itu meninggalkannya membisu di sudut dan pergi dengan semua kesibukkan yang memenuhi hidup laki-laki itu. Perempuan itu merasa bosan dan marah, dia meracau memaki kisah cintanya yang tak seindah khayalannya. Tapi yang dia dapat selanjutnya justru membuat jantungnya serasa berhenti berdetak. Laki-laki yang dicintainya itu merasa tersinggung, dan perempuan itu tak tahu kalau ungkapan hatinya tadi akan berakibat separah ini.

 

Laki-laki yang dicintainya itu bahkan akan setega itu mengucapkan kalimat-kalimat yang intinya menginginkan perpisahan mereka. Perempuan itu terdiam. Dia belum ingin semuanya selesai secepat ini. Dia terpaku mendapati kenyataan tersebut. Tapi perasaannya menolak, dia ingin berbalik dan pergi.

 

Melupakan kisah yang diharapkannya dapat berjalan dengan baik dan indah. Tapi tak bisa, dia menggeleng cepat dan menangis keras. Jangan, tolong jangan pergi sekarang, ujar hatinya yang sudah cacat oleh lara. Hatinya memaksanya jangan menyerah, tapi dia lelah. Jujur saja sikap laki-laki itu tak membuatnya semakin merasa baik.

 

Semua yang terjadi seakan sia-sia dan laki-laki itu menolak paham dan malah keras kepala. Tak sadarkah laki-laki itu apa yang telah dilakukan dan dikatakannya telah menyakiti perempuan itu demikian parahnya. Tapi bukankah memang luka hati itu adalah sesuatu yang abstrak dan perempuan itu demikian pandainya menutupi semuanya.

 

Tapi dia tak sepenuhnya menutupi semuanya, dia membuka beberapa perasaannya yang nanar namun yang orang lain mungkin hanya sekedar terluka. Sekedar terluka. Kembali lagi ke keputusannya tentang hubungan keduanya, dia masih tak tahu harus bagaimana. Di sisi lain dia sudah lelah melanjutkan semua yang rasanya cuma menyakitinya saja.

 

Dan di sisi lainnya hatinya menolak pergi, hatinya berkeras dia harus bertahan. Sesakit apa pun, sejahat apa pun laki-laki itu dia harus bertahan dan berakhir dengan laki-laki itu. Perempuan itu diam. Lalu tak perlu waktu lama lagi dia memutuskan. Dia memilih hatinya daripada logikanya yang telah kelelahan.

 

Setengah menangis dan tak tahu harus bicara apa, dia menurunkan egonya. Bicara. Meminta agar semua tetap sama. Meminta agar kisah ini tetap berlanjut. Laki-laki itu sombong. Seharusnya dia tahu bagaimana perempuan itu berusaha bersabar menghadapinya. Semuanya memang tetap berjalan baik akhirnya.

 

Keduanya akhirnya memutuskan tetap bersama tapi kata-kata terakhir laki-laki itu justru membuat perempuan itu merasa sungguh seperti pengemis yang memohon cinta. “sudah ya, aku mau tidur”. Kalimat itu ringan, tapi coba bayangkan, ketika kau mencoba menyelesaikan masalah yang menurutmu sangat penting dan salah satu pihak justru mengakhirinya dengan kalimat itu dan membuatmu seakan-akan menjadi sesuatu yang sangat-sangat tidak penting.

 

Semalam penuh perempuan itu diam, dia bisu dalam keramaian di sekitarnya. Dia ingin menangis agar semuanya terasa lebih melegakannya, namun air mata nya tak mau jatuh. Hatinya terlalu sakit. Akhirnya dia pun hanya diam. Lagi-lagi diam. Diam dan makin diam.

 

Dia benci laki-laki itu. Malam itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya dia benar-benar membenci laki-laki itu. Harga dirinya tersakiti, bagian paling dalam darinya sebagai ego seorang perempuan tersakiti. Dia membenci laki-laki yang dicintainya itu. Dia membencinya.

 

Tapi bodoh, perempuan itu memang bodoh karena nyatanya dia sangat lemah. Asal kau tahu, hanya semalam, hanya semalam saja dia mampu membenci laki-laki itu. Hari selanjutnya, ketika dia merasakan kehangatan sinar matahari, dia merindukan laki-laki itu. Dia masih mencintai laki-laki itu dengan demikian besarnya. Dia membutakan matanya sendiri dari kenyataan bahwa laki-laki itu telah dan terus menyakiti dan mengabaikannya.

 

Dia menulikan telinganya sendiri dari kenyataan bahwa tak ada yang mendukungnya, tak ada yang mendukung pilihannya untuk bertahan. Dia mematikan perasaannya sendiri dari kenyataan bahwa mungkin benar laki-laki itu tidak mencintainya.

 

Tapi perempuan itu tampil dengan senyumnya, dia bersikap seolah semua baik-baik saja. Dia tertawa dan bertindak seperti biasanya. Semua selancar biasanya dan seakan semua benar-benar baik. Padahal dia meradang, kadang ketika dia sendiri. Dia menangis,dia menangis keras. Dan dia menghapusnya ketika orang lain datang. Dia demikian sakit. Tapi bukankah sudah kukatakan perempuan itu pandai memakai topengnya.

 

Dia tersenyum sementara dia menahan sakit di dalam. Dia tidak benar-benar baik sekarang. Waktu berjalan dengan pelan dan tak ada yang berubah. Yang dikecapnya masih pahit, kisah yang dijalaninya sekelam dunia tanpa kaca. Dia diam dalam rasa sakit yang kini dipilihnya untuk dinikmati sendiri.

 

Namun perempuan itu sudah teracuni oleh rasa sakit. Dia tidak tahu apa sekarang dia benar masih demikian besar mencintai laki-laki itu. Dia menangis lagi sampai rasanya air matanya kering. Dia hanya bisa menangis karena kau tau. Laki-laki itu tak peduli. Laki-laki itu jahat. Dia tak tahu bagaimana harap perempuan itu padanya.

 

Dan dia tak tahu bagaimana sebenarnya dia telah menghancurkan perasaan perempuan itu dengan telak. Tak ada yang tersisa. Sekarang, saat ini. Mungkin perempuan itu mati rasa. Mungkin benar dikatakannya kalimat “aku mencintaimu” pada laki-laki itu. Dia tak benar tahu apa maknanya sekarang. Seakan semua hilang, dan perempuan itu tersenyum. Namun dia tak tahu apa yang membuatnya tersenyum dan dia tiba-tiba menangis. Dia menggeleng cepat, rasa sakit itu membuatnya seperti seperti gila.

 

Tapi perempuan itu berucap pelan, “aku akan tetap disini meski sejujurnya aku tidak tahu kali ini untuk apa”. Laki-laki itu memang tidak tahu, atau memang laki-laki itu tidak pernah ingin tahu apa yang terjadi padanya. Dan dia sudah benar-benar lelah. Lebih dari sekedar rasa lelah yang sebelumnya dia rasakan.

 

Kelelahan itu membuatnya sekarang bersikap masa bodoh. Tak sepenuhnya masa bodoh memang, tapi dia mengurangi kadar kepeduliannya pada laki-laki itu. Dia berharap sekarang ketika dia sedikit mengurangi semuanya, laki-laki itu mau sedikit saja belajar memahami apa yang dia mau.

 

Dan jangan sampai, ketika perempuan itu memilih menyerah lalu berbalik pergi. Laki-laki itu baru menyadari bahwa perempuan itu berharga. Karena memang mungkin benar adanya, sesuatu itu baru terasa berharga ketika kau telah kehilangannya.

0 Comments

Menulislah dan jujurlah. Rangkaian kata itu lebih mujarab daripada sekuali ramuan sihir.